Nama ku Sri Rahayu umur ku baru 18 tahun dan baru saja lulus SMA sebulan yang lalu. Aku memilik seorang ibu yang begitu cantik dan sabar dalam mendidik ku yang bernama Ningsih.
Hari ini begitu cerah namun tidak secerah hati ku, hati ku sedih dimana aku akan melangkahkan kaki ini menuju tempat yang belum pernah aku datangi sebelumnya dan meninggalkan ibu ku untuk pertama kalinya.
Disana aku akan memulai hidup ku yang baru, meskipun aku belum tau apa yang akan terjadi nantinya. Di tempat asing itu aku akan tinggal bersama dengan tante ku Halima, adik satu-satunya dari ibu ku.
Dengan berat hati aku harus meninggalkan ibu namun apalah daya ku. Aku hanya seorang anak perempuan yang sudah lama kehilangan sosok ayah.
Setelah ayah ku meninggal dunia pada saat aku berumur 10 tahun dan satu tahun kemudian ibu menikah lagi dengan laki-laki yang berstatus duda anak satu yang usianya dibawah ku satu tahun.
Awalnya aku tidak masalah dengan itu karena bagi ku ibu juga berhak untuk bahagia dan kami pun tinggal bersama dengan keluarga baru ku tapi setelah berjalan beberapa bulan sifat dari saudari tiri ku sangat menggangu ku.
Dia bernama Ayumi, anaknya sedikit manja dan aku merasa kasih sayang ibu ku semuanya ia rebut dari ku. Entah aku yang berlebihan atau apa yang jelas aku kurang menyukai nya. Tapi sebisa mungkin aku menyembunyikan perasaan itu agar tidak menimbulkan masalah di keluarga kami.
Aku merasa kasihan kepada ibu jika aku menimbulkan masalah maka itu pasti akan merusak suasana dan keharmonisan keluarga kami, jadi aku bertahan sampai pada akhirnya Ayumi mengatakan jika aku hanya beban bagi ayahnya yang menjadi tulang punggung keluarga.
Kejam bukan? itulah hidup ku namun aku tidak pernah memberitahukan ibu atau pun ayah tiri ku tentang ucapan dari Ayumi kepada ku. Hingga pada akhirnya aku berada dititik terendah kesabaran ku.
Aku yang tidak tahan lagi dengan segala tingkah dan perlakuan Ayumi kepada ku dibelakang ibu dan ayah tiri ku. Maka pada saat itu aku memutar otak ku apa yang harus aku lakukan. Hingga muncul sebuah ide di kepala ku yaitu melarikan diri dari semua ini dengan cara meminta dan memohon kepada ibu agar aku tinggal bersama dengan Tante Halima.
Seperti seorang pecundang yang tak berani menghadapi kenyataan tapi itulah yang terpikir dibenak ku pada saat itu. Karna aku yakin ibu pasti akan baik-baik saja tanpa diriku disisinya.
Tentu saja ibu ku tidak mengijinkan ku begitu saja, aku harus bersusah payah membujuk ibu siang dan malam, merenggek layaknya anak kecil yang menginginkan sesuatu. Hingga pada akhirnya ibu sendiri yang memberi ku ijin setelah melihat perubahan sikap ku yang awalnya periang kini sedikit lebih banyak diam.
Dan disini lah aku sekarang disebuah rumah yang cukup besar untuk kami berdua bersama dengan tante ku Halima.
Sebelumnya ia hanya tinggal sendiri setelah suaminya memilih untuk bercerai dengannya hanya karna tante Halima tak kunjung memberikannya keturunan selama 14 tahun menikah.
Sungguh sangat menyedihkan melihatnya dalam posisi itu, pada hal dia sendiri pun tidak akan menginginkan hal semacam itu terjadi di hidupnya tapi itulah hidup kita hanya bisa berserah dan ikhlas menjalani kehidupan yang sudah digariskan demikian oleh sang empunya kehidupan.
"Ini kamar mu!" tunjuknya sambil membukakan pintu kamar untuk ku sehingga membuyarkan lamunanku.
"Makasih Tante." Jawab ku singkat dengan senyum yang sedikit kaku sambil menarik koper milik ku.
"Istirahatlah dulu nanti tante panggil jika sudah waktunya untuk makan malam." Ucap tante Halima kemudian menutup pintu kamar tanpa menunggu jawaban dari ku.
Dan benar saja begitu waktu jam makan malam tante Halima memanggil ku keluar dari kamar. Karena jarang bertemu aku tidak terlalu banyak berbicara dengannya.
Begitu selesai makan malam kami berdua sama-sama membersihkan meja makan dan peralatan yang baru kami gunakan tadi.
Keesokan harinya Tante Halima membawa ku ketempatnya mengais rejeki dengan mengendari motor miliknya. Awalnya aku sedikit bingung karena kami masuk kedalam pasar dan disana kami melewati toko-toko pakaian yang berjejer rapi, dan tak lama kemudian aku melihat beberapa kios dan dari kelihatannya itu merupakan kios salon yang berjejer. Motor yang kami tumpangi akhirnya berhenti didepan sebuah kios yang bertuliskan Halimah salon.
Disebuah pasar di kota itu ia membuka sebuah salon kecantikan untuk bertahan hidup. Begitu tiba kami berdua bergegas masuk dan mulai membersihkan tempat itu meskipun tidak begitu berantakan.
Belum selesai aku menyapu tempat itu seorang wanita diikuti oleh seorang pria datang membuat aku sedikit terkejut pasalnya wanita cantik itu masuk begitu saja tanpa menyapa terlebih dahulu.
"Kau mau apa disini ha?" ucap pria yang datang bersama dengannya.
"Diamlah!" balas wanita itu.
Dari yang aku lihat wanita itu seperti sedang mengandung walau pun belum begitu terlihat jelas.
"Kau rupanya?" ucap tante Halima.
Ternyata wanita itu sudah saling kenal dengan tante ku.
"Kau mau apa? bukankah seharusnya kau istirahat?" ucap tante Halima kepadanya.
"Aku hanya bosan." Ucapnya santai.
"Siapa dia?" tanyanya menunjuk kepada ku yang masih diam ditempat ku karna bingung harus berbuat apa, tidak mungkin aku melanjutkan menyapu sementara ada orang itu kan tidak sopan.
"Sri...Nanti saja lanjutkan!"
"Baik Tante." ucap ku kemudian menjauh dari mereka.
Dan tak lama kemudian wanita dan pria itu pun pergi tanpa melakukan apa pun membuat ku sedikit bertanya dalam hati. Bukan kah jika ada orang yang datang kesalon kecantikan pasti menginginkan sesuatu seperti memotong rambut misalnya tapi tidak dengan wanita itu. Setelah berbicara dengan tante ku tak berapa lama ia pergi aneh bukan? atau aku yang tidak tau apa-apa? ntah lah!!
Beberapa hari berlalu dan aku selalu setia ikut dengan tante Halima kesalon meskipun hanya membantu seadanya saja dan sambil aku perhatikan bagaimana tante Halima melayani para pelanggannya.
Siapa tau aku bisa seperti tante Halima ahli dalam merias setiap orang yang datang ketempatnya.
Diwaktu senggangnya tante Halima pun mulai mengajari ku mulai dari cara memotong rambut menggunakan rambut palsu yang sudah ia pasangkan dikepala patung.
Perlahan-lahan aku mulai bisa sedikit demi sedikit beruntung tante Halima begitu sabar mengajari ku hingga aku mulai bisa walaupun hasilnya belum sebagus yang aku harapkan.
Saksikan terus kelanjutannya ya besti....Mohon dukungannya dengan like,komet dan votenya agar karya ini lebih baik lagi kedepannya.
Hari demi hari berganti dan tak terasa sudah hampir 4 bulan aku bersama Tante Halima. Semakin lama aku semakin mahir melayani para pelanggan yang datang kesalon. Seperti memotong rambut pelanggan, meluruskan rambut dan cuman aku belum terlalu berani jika disuruh untuk merias para pelanggan misalnya merias pelanggan yang akan menghadiri pesta pernikahan.
Aku takut jika pelanggan kami tidak merasa puas dengan hasil yang ku perbuat. Dan bersyukur juga Tante Halima tidak terlalu memaksakan aku untuk hal yang aku belum mampu.
Belakangan ini seorang wanita sepantaran Tante Halima sering berkunjung kesalon dan kadang juga datang kerumah kami tinggal. Dari penampilannya sudah terlihat jelas jika dia orang kaya terbukti setiap datang kerumah ia selalu diantar oleh supir dengan mobil mewahnya.
Hingga pada suatu malam wanita itu datang untuk meminta ku untuk menikah dengan anaknya. Tentu saja aku menolak hal itu walaupun dia dari kalangan orang kaya namun aku tidak mau asal dalam memilih calon suami ku kelak terlebih lagi aku belum mengenal anak dari wanita itu.
Wanita yang biasa dipanggil oleh Tante Halima dengan sebutan Nia.
Aku tidak tau sedekat apa hubungan keduanya yang aku lihat mereka berteman baik.
Penolakan ku ternyata tidak membuat Tante Nia menyerah untuk membujuk ku agar mau menikah dengan anaknya. Namun selalu aku tolak dengan bahasa yang santun takut jika aku salah bicara dan membuat dia sakit hati.
Tapi sepertinya mereka tidak putus asa agar aku mau dan menerima keinginan mereka. Maka aku putuskan untuk memikirkan hal itu terlebih dahulu mengingat aku belum mengenal anaknya.
Tante Nia pun mau bersabar untuk menunggu keputusan dari ku.
Hari ini aku tidak berangkat kesalon bersama dengan tante Halima karena aku bangun kesiangan. Efek dari tidak bisa tidur karena memikirkan jawaban apa yang akan aku katakan nantinya kepada tante Nia jika sudah tiba waktunya ia bertanya lagi.
Didepan gang rumah aku berdiri sambil menunggu angkot yang lewat menuju pasar. Karna terburu-buru aku tidak memperhatikan jika ada sebuah mobil yang melintas hingga aku hampir tertabrak. Tapi nasib baik masih berpihak kepada ku ternyata.
Aku tidak kenapa-napa tapi pengemudi mobil mewah itu turun dari mobil miliknya langsung memarahi ku tanpa menanyakan keadaan ku.
Padahal kan disini bukan sepenuhnya kesalahan ada pada ku. Dia juga melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi.
"Kau punya mata tidak?" bentaknya kepada ku.
Aku hanya tertunduk tanpa bisa mengucapkan sebuah kalimat apa pun.
Kalau kau ingin mati bilang biar aku melajukan mobil ku lebih kencang lagi! ucap nya membuat ku emosi dan sontak menatap kewajahnya.
Antara mau marah tapi tidak jadi. Mulut ku tidak sanggup berkata-kata begitu bola mata ku menatap kepada orang yang sedang berdiri didepan ku. Seorang pria dengan tubuh yang tinggi tegap wajah yang tampan kulitnya putih bersih. Sungguh indah dipandang mata sehingga aku lupa diri diwaktu yang sesaat.
"wah selain tidak bisa meluh ternyata kau juga tidak bisa mendengar ucapan ku dengan baik." Sentak pria itu membuyarkan lamunan ku.
"Maaf!" Kata ku sambil menundukkan kepala ku dan didetik berikutnya aku mengumpat diriku sendiri. Bagaimana tidak bisa-bisanya aku diam saja terpukau oleh wajah tampannya.
"Dasar orang aneh." Ejeknya dan kemudian berlalu begitu saja meninggalkan begitu saja.
"Ya ampun kau tampan tapi sayang cara mu berbicara tidak setampan wajah mu." Gerutu ku begitu ia sudah masuk kedalam mobilnya.
* * *
Tanpa sepengetahuan ku tante Halima memberitahu kepada keluarga tante Nia jika aku bersedia menikah dengan anak dari tante Nia. Jujur aku sungguh terkejut dengan apa yang sudah kulihat dimana begitu banyak kartu undangan yang bertuliskan nama ku disana.
"Rey dan Sri"
"Ini apa tante?" tanya ku dengan sedikit gusar.
Aku belum siap jika apa yang aku pikirkan itu benar adanya.
"Itu undangan pernikahan kau dan Rey anak dari Nia. Dan sebentar lagi Nia akan datang menjemput mu untuk memilih pakaian pengantin untuk mu." Jelasnya.
"Tapi aku belum memutuskan jika aku..."
"Tante yang memutuskan dan tante juga sudah meminta persetujuan dari ibu mu. Jangan khawatir semuanya sudah tante urus kau hanya perlu mengikuti apa yang Tante katakan padamu."
"Apa?"
Aku tak habis pikir ku kira tante Nia tidak menagih jawaban dari ku karena tidak ingin memaksa ku tapi apa ini? aku bahkan belum mengenalnya demikian juga dengan anak dari tante Nia. Bahkan kami belum pernah bertemu sekali pun. Sungguh ini tak adil, ini tidak masuk diakal.
"Tapi tan..." Belum sempat aku melanjutkan kalimat penolakan ku tante Halima sudah memotong ucapan ku.
"Jangan menolak karna ini semua demi kebaikan mu Sri!"
"Kebaikan apa tan? tante tidak bisa seperti ini! ini hidup ku aku yang akan menjalani bukan tante dan karna itu tante tidak seharusnya mengambil keputusan tanpa sepengetahuan dari ku. Aku tidak mencintainya bahkan tidak mengenalnya sama sekali!" Ucap ku dengan meninggikan suara ku sambil menahan tangis dan sesak didalam dada ku.
Rasanya aku sulit untuk bernafas, dunia ku seakan berhenti. Pupus sudah harapan ku ingin menikah dengan orang yang aku cintai dan yang mencintai ku tentunya.
"Sri..Kau tidak tau apa-apa tentang cinta! cinta tidak akan menjamin hidup mu bahagia, ingat itu."
"Tapi tan...Aku mohon jangan seperti ini." Ucap ku dengan suara lirih.
"Tidak ada gunanya menangis mau tidak mau suka atau tidak kau harus tetap menikah dengan Rey." Tegas Halima membuat tangisan Sri pecah.
"Aku mohon tante..."
Tangisan ku ternyata tidak berpengaruh apa-apa, Tante Halima meninggalkan ku sendiri. Sungguh begitu kejam apa yang aku rasakan ini dimana orang terdekat ku sendiri yang membuat aku masuk dalam lingkaran hidup yang tidak pernah aku pikirkan sedikit pun.
Entah apa yang ia katakan kepada ibu sehingga ibu mengikuti keinginannya tanpa menanyakan kepada terlebih dahulu. Mereka semua membuat rencana tanpa sepengetahuan ku seperti ingin memberi ku sebuah kejutan dan terima kasih karna kejutannya sukses membuat ku terkejut hingga dunia ku seakan runtuh.
"Apa yang akan terjadi pada ku nanti?" bergumam sendiri dan tanpa sadar ternyata Tante Nia sudah berada dibelakang ku karna bertepatan pintu depan tidak tertutup pada saat itu.
"Kau menangis?"
"Tidak tan, ini hanya air mata bahagia." Bohong ku menutupi apa yang baru saja terjadi.
Tiba-tiba Tante Nia memeluk ku sambil berkata. "Terima kasih sayang sudah mau menuruti permintaan tante."
Aku pun hanya memaksakan senyuman ku tidak tega jika aku mengecewakannya yang terlihat sangat bahagia.
Hari ini tante Nia datang menjemput ku karna hari ini rencananya kami akan memesan gaun pengantin yang akan aku kenakan di hari pernikahan ku nantinya. Tante Halima memang pintar memberi ku kejutan yang tiada habisnya.
Kemarin soal perjodohan dan hari ini aku tau undangannya sudah siap disebar dan sekarang ini tentang pakaian pengantin.
Ya Tuhan apa ini semua? harus kah aku mensyukuri ini semua atau kah sebaliknya?seperti mimpi saja hidup ku ini.
Kami berdua pun turun dari mobil yang kami tumpangi setelah supir yang mengantar kami menghentikan mobilnya kemudian tante Nia menggandeng tangan ku untuk masuk kedalam sebuah butik.
Disana kami disambut dengan ramah oleh para pekerja dan pemilik butik tersebut, sepertinya tante Nia sudah sangat dikenal disana terlihat dari bagaimana cara mereka berbicara satu sama lainnya dengan seorang wanita yang seumuran dengannya yang merupakan pemilik butik itu
Tak lupa tante Nia memperkenalkan ku sebagai calon menantunya dan wanita itu pun ikut memberi selamat walaupun pernikahan itu belum terjadi.
"Selamat Nia.. Akhirnya anak laki-laki mu akan segera menikah, aku turut bahagia mendengar kabar ini." Ucapnya.
Dan dibalas dengan Tante Nia. " Terima kasih Wanda."
"Oh jadi namanya Wanda" dalam hati karna tidak mungkin aku menanyakan nya bukan?karna aku ini hanyalah orang asing disini.
Tante Nia begitu antusias untuk mempersiapkan gaun yang akan aku kenakan terlihat dari bagaimana ia memilihkan bahan dan model pakaian pengantin untuk ku.
Sementara aku hanya bisa mengikuti kemauannya karena setiap ditanya aku tidak bisa berkata apa-apa sebab aku tidak tau harus menjawab apa.
Berbeda mungkin jika pernikahan ku disaat aku sudah benar-benar menemukan orang yang tepat dan tentunya yang mencintai aku sepenuhnya.
Sementara ini tidak demikian tapi ya sudahlah, sekarang aku hanya mencoba mengiklaskan diri ku terjebak dalam situasi yang tidak ku inginkan ini.
Semoga kelak pengorbanan ku ini tidak sia-sia agar tidak ada penyesalan semur hidup ku.
Disela-sela kesibukan tante Nia yang sedang menjelaskan keinginannya terkait model yang paling tepat untuk aku gunakan telponnya berdering dari dalam tas miliknya, entah siapa yang menelponnya.
Telpon itu tidak langsung dijawab olehnya sangking seriusnya berbica dengan pemilik butik itu. Tak lama kemudian telponnya kembali berdering untuk kedua kalinya dan kali ini beliau meminta ku untuk mengabulkan ponsel miliknya dari dalam tas yang ia letak tak jauh dari ku.
"Ini tante." Ucap ku sambil memberikan ponsel itu.
"Angkatlah dahulu Tante masih belum selesai." Sirihnya kepada ku.
Dan dengan terpaksa aku pun menuruti ucapannya. Ku usap layar ponsel itu yang bertuliskan Rey sayang, sepertinya itu adalah calon suami ku.
"Halo" kata ku begitu terhubung keseberang sana.
Namun bukannya menjawab ucapan ku yang ku dapat adalah bentakan.
"Kau siapa? dimana mama ku?" cecar sipenelpon itu.
"Tante lagi sibuk." Kata ku.
"Berikan ponselnya sekarang cepat!"
Wah sepertinya dia orang yang tidak sabaran rupanya.
"Tan..." Aku kembali memberikan ponsel itu kepada pemiliknya.
"Siapa?" tanyanya sambil menerima ponsel itu dari tangan ku.
"Oh" Ucapnya begitu melihat nama yang tertulis disana.
"Calon suami mu menelpon." Guraunya dengan tersenyum yang mengembang di bibirnya.
Ya Tuhan sebahagia itu tante Nia dengan pernikahan anaknya dan hal itu membuat aku semakin penasaran dengan semuanya.
Dengan tampang yang akan menjadi calon suami ku, dengan kehidupan mereka karna sepertinya keduanya sangatlah dekat.
Seperti sebuah ungkapan yang pernah aku dengar sebelumnya jika anak laki-laki sampai kapan pun akan tetap jadi milik ibunya. Sedewasa apa pun anak laki-lakinya akan tetap sama baginya.
Namun didetik selanjutnya aku tersentak dari segala pemikiran ku yang bercabang kemana-mana karna mendengar suara dari tante Nia.
"Cepatlah! kami sudah dibutik." ucap tante Nia begitu sambungan telponnya terhubung. Tanpa berbasa-basi terlebih dahulu seperti Halo, ada apa kau menelpon misalnya.
Ya namanya dia berbicara dengan anaknya mungkin mereka memang seperti itu.
"Kalau begitu selesaikan pekerjaan mu setelah itu kau datang kebutik Wanda secepatnya. Mama sudah memilihkan modelnya kau hanya perlu datang untuk mengukur ukuran mu". Suruh tante Nia dan menutup telponnya begitu saja.
"Dasar anak itu." Tante Nia bergumam sendiri.
Selesai dari butik kami berdua memutuskan untuk langsung pulang walau awalnya tante sempat mengajak ku untuk makan siang terlebih dulu namun aku menolak dengan beralasan jika tante Halima sudah menunggu ku.
Diperjalanan pulang aku memberanikan diri ku untuk bertanya kepadanya tentang apa yang mengganjal dihati ku.
Kulirik dia sejenak sebelum memulai berbicara.
"Tan, aku boleh bertanya tidak?"
"Apa? katakan jangan sungkan." Jawabnya.
"Kenapa tante menjodohkan aku dengan anak tante? pada hal banyak wanita diluar sana yang bisa Tante jadikan menantu tante." Ucap ku takut-takut salah berbicara.
Namun justru ia malah tersenyum kepada ku.
"Sri..Itu semua tante lakukan karena Tante yakin ku anak yang baik dan pantas untuk anak tante." Ucapnya menghentikan ucapannya sejenak.
"Anak tante itu sudah cukup umur untuk menikah dan Tante takut jika ia salah memilih wanita untuknya. Karna selama ini tante melihat semua yang dekat dengannya tidak ada yang tulus mencintainya mereka semua hanya bersikap manis demi kepentingannya sendiri dan hanya untuk menikmati kemewahan yang diberikan anak tante kepada mereka." Jelasnya panjang lebar.
"Maksud tante apa dengan kata mereka?"
"Mereka yang dekat sebagai pacar dari Rey semuanya palsu." Sahutnya membuat ku terdiam dengan semua pikiran ku sendiri mencoba mencerna yang barusan ku dengar.
"Tenang saja Sri, Rey itu anak baik tidak ada yang perlu kau takuti." Terangnya sambil mengambil tangan ku lalu digenggamnya dengan kedua tangan memberi aku kekuatan atas kekhwatiran ku.
"Tapi tan kami belum saling mengenal satu sama lain."
"Maaf, tante sampai melupakan hal itu. Akan tante urus pertemuan kalian nanti maklum Rey itu orangnya sibuk." Katanya sambil tersenyum.
Asik bercerita hingga tak terasa jika mobil yang kami tumpangi sudah berhenti didepan rumah tante Halima.
"Tante mau mampir dulu?" tanya ku.
"Lain kali saja ya! tante masih ada urusan lain." Sahutnya.
"Kalau begitu tante hati-hati dijalan." Ucap ku karna bingung harus berkata apa. Pada hal kan tante Nia bersama supirnya seharusnya aku mengatakan itu kepada supirnya bukan? tapi ya sudah lah.
Begitu aku turun dari mobil mereka pun segera meninggalkan tempat ku dan aku masih berdiri ditempat ku sampai mobil itu menjauh dari ku sambil melambaikan tangan ku. Agak lebai sedikit menurut ku tapi mau gimana lagi namanya juga calon menantu idaman.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!