Nama ku Gisele Anastasya, aku adalah seorang mahasiswi Sastra di salah satu Universitas yang ada di Kota Bandung. Sekarang ini aku sedang melihat diriku yang sedang frustrasi di cermin karena aku terlalu gugup. Aku gak tau harus memakai kerudung yang mana karena ini adalah hari penting untukku, Rahma..... kenapa dia musti sakit segala sih? dan aku yang harus menanggung tugas nya.
Seharusnya aku sedang belajar untuk ujian akhirku, minggu depan, namun di sini aku mencoba memakai kemeja cream dan setelan kantor gitu, pakai celana kain hitam dan kerudung warna hitam serta memakai sepatu pantofel warna hitam.
Bismillahirrahmanirrahim.....
Allaahummalthuf bii fii taisiiri kulli 'asiirin, fa inna taisiira kulli 'asiirin 'alaika yasiir, as 'alukal yusra wal mu'aafaata fid dun-yaa wal aakhirati
Artinya: "Ya Allah, berilah taufik, kebajikan, atau kelembutan kepadaku dalam hal kemudahan pada setiap kesulitan, karena sesungguhnya kemudahan pada setiap yang sulit adalah mudah bagiMu, dan aku mohon kemudahan serta perlindungan di dunia dan di akhirat," (HR Thabrani).
Aku berharap di lancarkan dan di berikan kemudahan dalam wawancara nanti aamiin. Aku memutar mataku dengan putus asa dan menatap gadis pucat berkerudung hitam, bermata coklat yang agak sipit, wajahnya menatapku, dan menyerah begitu saja di dalam cermin. Satu-satunya pilihan ku adalah dengan memakai setelan ini. Mungkin bisa sedikit terlihat rapi karena biasanya aku tidak terlalu memperhatikan penampilanku, asalkan itu tertutup dan longgar maka aku bisa terus menjaga aurat ku.
Rahma adalah teman sekamarku, dan takdir yang membuat nya terkena flu di saat-saat genting seperti ini, tidak bisa menyalahkannya juga sih, karena semua telah menjadi takdir Illahi. Tapi... aku juga yang harus kena getahnya.
Oleh karena itu, dia tidak dapat menghadiri wawancara yang telah dia rencanakan, dengan seorang pengusaha muda, yang katanya tampan, tapi aku tidak akan percaya kabar burung sebelum aku melihatnya dengan mata kepala ku sendiri dan lagi pula aku belum pernah dengar, dan tidak ada di surat kabar mahasiswa.
Jadi aku dengan sukarela aja membantunya.
Aku harus menyelesaikan ujian akhir, satu esai yang harus diselesaikan, dan aku seharusnya bekerja siang ini, tapi tidak hari ini aku harus menyetir seratus enam puluh lima mil ke pusat kota Jakarta untuk bertemu dengan CEO misterius dari Cafrio Enterpreuner. Sebagai pengusaha luar biasa dan dermawan yang banyak berdonasi untuk Universitas kami, waktunya sangat berharga, jauh lebih berharga daripada waktu ku, tapi dia telah mengizinkan Rahma untuk wawancara. Kudeta nyata, katanya padaku. Itu semua kegiatan ekstrakurikuler nya.
Rahma meringkuk di sofa di ruang tamu.
"Gisele, maafkan aku. Butuh waktu sembilan bulan untuk mendapatkan wawancara ini. Perlu enam bulan lagi untuk menjadwal ulang, dan kami berdua akan lulus saat itu. Sebagai editor, aku tidak bisa melewatkannya. Tolong, " Rahma memohon padaku dengan suaranya yang serak dan sakit tenggorokan. Bagaimana dia melakukannya?
Bahkan sakit dia terlihat feminim dan cantik, rambut hitam yang terurai dan mata hitamnya yang besar, meski sekarang berbingkai merah dan berair. Kasian juga melihatnya, yang biasanya ceria, sekarang terkapar lunglai tak berdaya.
"Tentu saja aku akan pergi ma. Kamu harus kembali ke tempat tidur. Apakah kamu mau jeruk nipis sama kecap? Itu bagus untuk obat batuk"
"Tidak nanti aku bisa bikin ramuan sendiri kalau mau, oh iya Ini adalah pertanyaannya dan perekam mini-disc ku. Tekan saja rekam di sini. Buat catatan, aku akan menyalin semuanya."
"Aku tidak tahu apa-apa tentang dia," bisikku, mencoba dan gagal menekan kepanikan ku yang meningkat.
"Pertanyaan akan membantumu. Pergilah. Ini perjalanan yang panjang. Aku tidak ingin kamu terlambat."
"Oke, aku pergi. Kembalilah ke tempat tidur. Aku membuatkan mu sup untuk dipanaskan nanti." Aku menatapnya dengan kasih. Hanya untukmu, Ma, aku akan melakukan ini. Karena dia sahabatku.
"Semoga beruntung. Dan terima kasih gisele, seperti biasa, kau penyelamatku."
sambil merapikan isi tas ku, aku tersenyum padanya, lalu keluar dari pintu ke mobil.
Aku tidak percaya telah membiarkan Rahma membujukku melakukan ini. Tapi kemudian Rahma bisa membujuk siapa pun menjadi apa saja.
Dia akan menjadi jurnalis yang luar biasa. Dia pandai bicara, kuat, persuasif, argumentatif, cantik, dan dia adalah sahabatku tersayang.
Jalanan bersih saat aku berangkat dari Bandung menuju Jakarta pusat. Ini masih pagi, dan aku harus berada di Jakarta pusat sampai pukul dua siang ini. Untungnya, Rahma meminjamkan ku mobil merah honda jazz miliknya. Aku meyakinkan diriku sendiri bahwa aku akan melakukan perjalanan tepat waktu. Ini adalah perjalanan yang menyenangkan, dan jarak berlalu begitu saja saat aku menginjak gas mobilnya.
Tujuan ku adalah kantor pusat perusahaan global Mr. Cafrio. Ini adalah gedung perkantoran dua puluh lantai yang besar, semuanya terbuat dari kaca dan baja melengkung, fantasi seorang arsitek handal, dengan Cafrio House diam-diam ditulis dengan baja di atas pintu depan kaca. Saat itu pukul dua kurang seperempat ketika aku tiba, sangat lega bahwa aku tidak terlambat saat aku berjalan ke lobi yang sangat besar, dan terus terang mengintimidasi, kaca, baja, dan batu pasir putih.
Di belakang meja batu pasir yang kokoh, seorang wanita muda pirang yang sangat menarik, terawat, tersenyum ramah padaku. Dia mengenakan jas arang paling tajam dan kemeja putih yang tidak pernah ku lihat. Dia terlihat rapi. Dan mungkin dia adalah orang barat. Dia menghampiriku dan aku berkata padanya.
"Saya di sini untuk bertemu Mr.Cafrio. Gisele Anastasya untuk Rahma Susilawati."
"Permisi sebentar, Nona Anastasya." Dia melengkungkan alisnya sedikit saat aku berdiri dengan sadar diri di hadapannya.
"Nona Susilawati dikonfirmasi. Silakan masuk di sini, Nona Anastasya. Anda masuk kedalam lift terakhir di sebelah kanan, tekan lantai dua puluh." Dia tersenyum ramah padaku, dan aku masuk ke dalam lift, sesuai arahannya.
Dia memberi ku kartu keamanan yang dicap PENGUNJUNG dengan sangat kuat di bagian depan. Aku tidak bisa menahan seringai ku. Tentunya sudah jelas bahwa aku hanya berkunjung. Aku sama sekali tidak cocok di sini.
Tidak ada yang berubah, aku menghela nafas dalam hati. Berterima kasih padanya, aku berjalan ke tepi lift melewati dua petugas keamanan yang berpakaian jauh lebih rapi daripada aku dalam setelan hitam berpotongan rapi.
Lift membisikkan ku dengan kecepatan terminal ke lantai dua puluh. Pintu bergeser terbuka, dan aku berada di lobi besar lainnya, lagi-lagi semuanya terbuat dari kaca, baja, dan batu pasir putih. Aku dihadapkan pada meja lain dari batu pasir dan seorang wanita pirang muda berpakaian hitam dan putih tanpa cela yang bangkit untuk menyambut ku.
"Nona Anastasya, bisakah Anda menunggu di sini?" Dia menunjuk ke area duduk kursi berwarna putih.
Di belakang kursi terdapat ruang pertemuan berdinding kaca yang luas dengan meja kayu gelap yang sama luasnya dan setidaknya dua puluh kursi yang serasi di sekelilingnya. Di luar itu, ada jendela dari lantai ke langit-langit dengan pemandangan cakrawala jakarta pusat yang menghadap ke kota. Ini adalah pemandangan yang menakjubkan, dan aku sejenak ditaklukan oleh pemandangan itu. MasyaAllah sungguh indah alam ciptaan mu ya Allah.
Aku duduk, dan melihat daftar pertanyaan dari tasku, dan memeriksanya, dalam hati aku sedikit kesal karena Rahma tidak memberiku biografi singkat. Aku tidak tahu apa-apa tentang pria yang akan aku wawancarai ini. Dia bisa jadi sembilan puluh atau dia bisa tiga puluh tahun. Ketidakpastian menyakitkan, dan saraf ku muncul kembali, membuat ku gelisah. Aku tidak pernah nyaman dengan wawancara satu lawan satu, lebih memilih anonimitas diskusi kelompok di mana aku bisa duduk diam-diam di belakang ruangan. Sejujurnya, aku lebih suka sendiri, membaca sebuah novel, meringkuk di kursi di perpustakaan kampus. Tidak duduk gelisah di bangunan kaca dan bebatuan ini.
Selang beberapa waktu ada seorang wanita pirang yang menghampiriku.
"Mr. Cafrio akan menemui mu sekarang, Miss Anastasya. Silakan masuk," kata wanita itu.
Aku berdiri agak goyah mencoba untuk menekan saraf ku. Merapikan tas ku, aku meninggalkan gelas air ku dan berjalan ke pintu yang terbuka sebagian.
"Kamu tidak perlu mengetuk masuk saja." Dia tersenyum ramah.
Aku mendorong pintu hingga terbuka dan terhuyung-huyung, tersandung kakiku sendiri, dan jatuh ke dalam dalam pelukan Mr. Cafrio. Sembari aku di pangkuannya aku memandang wajahnya yang rupawan bagai lukisan yang sangat sempurna, ketampanan yang baru saja ku lihat, Dia tinggi, mengenakan setelan abu-abu halus, kemeja putih, dan dasi hitam dengan rambut berwarna tembaga gelap yang sulit diatur dan bermata biru sedikit sipit seperti artis Korea gitu, kalau kata Rahma yang suka nonton drakor, mungkin mirip aktor korea Lee Minho.
Kami saling berpandangan.
Lelucon apa ini?
"Astaghfirullahhaladzim, bukan muhrim"
Seketika aku tersadar dan mendorong Mr. Cafrio.
Dia jatuh bersandar ke meja kerjanya.
"Maksud anda apa ya mendorongku?
Mr. Cafrio terkejut dan heran dengan sikapku yang mendorongnya.
"Maaf dalam agamaku laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim atau belum menikah di larang untuk bersentuhan, tadi saya tanpa sengaja jatuh dalam pangkuan anda, aku minta maaf atas ketidak sopan nan saya."
Saya menjelaskannya sebisa yang saya bisa.
"Merepotkan...!" Dia menjawab nya demikian. Mungkin dia berbeda agama denganku, jadi tidak tahu akan hal itu.
Dia sangat muda sekali tidak sesuai dengan bayanganku, untuk posisi seorang CEO, dia sudah sukses di usia muda.
"Ok baiklah langsung ke intinya, Aku Ricardo The Cafrio, kamu mau berdiri saja seperti itu atau akan duduk?"
"Um. Sebenarnya " gumamku.
Sebenarnya aku tidak boleh memandang laki-laki terlalu lama tapi entah mengapa mataku tidak lepas dari memandang wajahnya. Aku berkedip dengan cepat, kelopak mataku cocok dengan detak jantungku.
"Nona Susilawati sedang tidak sehat, jadi dia mengirim ku. Kuharap kau tidak keberatan, Tuan Cafrio."
"Dan Anda?" Suaranya hangat, tapi sulit diketahui dari ekspresinya yang tanpa ekspresi.
"Gisele Anastasya. Aku belajar Sastra dengan Rahma, um... Nona Susilawati di Kota Bandung"
"Begitu," katanya sederhana. Aku rasa aku melihat sekilas senyum di ekspresinya, tapi aku tidak yakin.
"Kalau begitu duduklah?" Dia melambai padaku ke arah sofa berwarna putih.
Ruangan kerjanya sangat besar untuk hanya satu orang. Di depan jendela dari lantai ke langit-langit, ada meja kayu gelap modern yang besar sehingga enam orang bisa makan dengan nyaman. Cocok dengan meja kopi di samping sofa.
Segala sesuatu yang lain berwarna putih, langit-langit, lantai, dan dinding kecuali, di dinding dekat pintu, tempat banyak lukisan abstrak kecil digantung, tiga puluh enam di antaranya disusun dalam bentuk persegi. Mereka sangat indah, serangkaian objek biasa yang terlupakan yang dilukis dengan detail dan sangat tepat sehingga terlihat seperti foto. Ditampilkan bersama, mereka menakjubkan.
"Seorang seniman lokal. Simanjuntak," kata Tuan Cafrio saat dia menatap mataku.
"Lukisannya sangat indah. Membuat yang biasa menjadi luar biasa," gumamku, teralihkan oleh dia dan lukisan-lukisan itu. Dia memiringkan kepalanya ke satu sisi dan memandangku dengan penuh perhatian.
"Aku sangat setuju, Nona Anastasya," jawabnya, suaranya lembut dan untuk beberapa alasan yang tak bisa dijelaskan aku mendapati diriku tersipu dan pipiku merah seperti tomat, tapi aku sentak menundukkan kepalaku, tidak baik terus memandangnya karena wajah Tuan Cafrio seperti narkoba, terlarang tapi bikin ketagihan.
Selain lukisan, bagian kantor lainnya dingin, bersih, dan higienis. Aku bertanya-tanya apakah itu mencerminkan kepribadian nya yang perfeksionis yang duduk dengan gagah di salah satu kursi tepat di hadapanku. Aku menggelengkan kepala, bingung dengan arah pikiranku, dan mengambil daftar pertanyaan yang sudah dipersiapkan oleh Rahma dari tasku.
Selanjutnya, aku mengatur perekam mini-disc dan semua jari dan ibu jari, menjatuhkannya dua kali di atas meja kopi di depan ku. Tuan Cafrio tidak mengatakan apa-apa, menunggu dengan sabar, aku harap, karena aku menjadi semakin malu dan bingung. Saat aku memberanikan diri untuk menatapnya, dia memperhatikanku, satu tangan santai di pangkuannya dan tangan lainnya menangkup dagunya dan meletakkan jari telunjuknya yang panjang di bibirnya. Aku pikir dia mencoba menahan senyum.
"Maaf," aku gagap. "Aku tidak terbiasa dengan ini."
"Santai saja Nona Anastasya, kamu tidak perlu gugup menghadapi ku, lagipula aku tidak akan memakan mu" katanya.
Kesan pertamaku pada tuan Cafrio, kukira dia orang yang dingin, dan sangat angkuh, tapi ternyata dia orang yang cukup ramah.
"Apakah Anda keberatan jika saya merekam jawaban Anda?" Aku meminta ijin untuk mewawancarainya.
"Setelah Anda bersusah payah mengatur alat perekam, Anda masih bertanya kepada saya sekarang?"
Dia menggodaku. Aku menelan ludahku, tidak yakin harus berkata apa, dan kurasa dia mengasihani ku karena dia tau betapa gugupnya aku.
"Tidak, aku tidak keberatan."
"Apakah Rahma, maksudku, Nona Susilawati, menjelaskan tujuan wawancara nya?"
"Ya. Untuk tampil di edisi kelulusan koran mahasiswa, karena saya akan menganugerahkan gelar pada upacara kelulusan tahun ini."
Oh! Ini adalah berita baru bagi ku, dan untuk sementara aku disibukkan oleh pemikiran bahwa seseorang yang tidak jauh lebih tua dari ku, oke, mungkin enam tahun atau lebih, dan dia sudah menjadi pengusaha yang sukses, tapi tetap saja, dia yang akan memberi ku gelar. Aku mengerutkan kening, mengalihkan perhatianku kembali ke tugas yang ada.
"Bagus," aku menelan ludah dengan gugup. "Aku punya beberapa pertanyaan, Mr. Cafrio." Aku merapikan kerudungku sambil menariknya ke belakang.
"Saya pikir Anda mungkin....," katanya, datar. Dia menertawakan ku. Pipiku memanas saat menyadarinya, dan aku duduk dan menegakkan bahuku dalam upaya untuk terlihat lebih tinggi dan lebih mengintimidasi. Menekan tombol start pada perekam, aku mencoba terlihat profesional.
"Anda masih sangat muda untuk mengumpulkan kemegahan seperti sekarang ini. Motivasi apa yang mendorong anda meraih kesuksesan ini?" Aku melirik ke arahnya. Senyumnya sedih, tapi dia terlihat agak kecewa.
"Bisnis adalah tentang orang, Nona Anastasya, dan saya sangat pandai menilai orang. Saya tahu bagaimana mereka tergerak, apa yang membuat mereka berkembang, apa yang tidak, apa yang menginspirasi mereka, dan bagaimana memberi insentif kepada mereka. Saya mempekerjakan orang yang luar biasa di tim, dan saya menghargai mereka dengan baik." Dia berhenti dan menatapku dengan tatapan mata biru nya.
"Keyakinan saya adalah untuk mencapai kesuksesan dalam skema apa pun, seseorang harus menguasai skema itu, mengetahuinya luar dalam, mengetahui setiap detail. Saya bekerja keras, sangat keras untuk melakukannya. Saya membuat keputusan berdasarkan logika dan fakta. Saya memiliki insting alami yang dapat menemukan dan memupuk ide bagus yang solid dan orang-orang yang baik. Intinya adalah, selalu tergantung pada orang-orang yang baik."
"Mungkin anda hanya beruntung." Ini tidak ada dalam daftar pertanyaan Rahma, tapi dia sangat angkuh. Matanya menyala sejenak karena terkejut.
"Saya tidak percaya keberuntungan ataupun kesempatan, Nona Anastasya. Semakin keras saya bekerja, semakin banyak keberuntungan yang saya miliki. Ini benar-benar tentang memiliki orang yang tepat di tim Anda dan mengarahkan energi mereka sesuai dengan itu. Saya pikir itu adalah tumbuh dan berkembangnya manusia adalah panggilan tertinggi kepemimpinan.'"
"Anda terdengar seperti orang yang terlalu senang mengatur orang lain." Kata-kata itu keluar dari mulutku sebelum aku bisa menghentikannya.
"Oh, aku mengendalikan semua hal, Nona Anastasya," katanya tanpa jejak humor dalam senyumnya. Aku menatapnya, dan dia menahan pandanganku dengan mantap, tanpa ekspresi. Detak jantungku semakin cepat, dan wajahku memerah lagi.
Mengapa dia memiliki efek yang mengerikan padaku Ketampanannya yang luar biasa mungkin, Cara matanya menyala ke arahku, Cara dia mengusapkan jari telunjuknya ke bibir bawahnya Aku berharap dia berhenti melakukan itu.
"Selain itu, kekuatan besar diperoleh dengan meyakinkan diri sendiri dalam lamunan rahasia Anda bahwa Anda dilahirkan untuk mengendalikan berbagai hal," lanjutnya, suaranya lembut.
"Apakah kamu merasa bahwa kamu memiliki kekuatan yang sangat besar?"
"Saya mempekerjakan lebih dari empat puluh ribu orang, Nona Anastasya. Itu memberi saya rasa tanggung jawab yang tinggi, kekuatan, jika Anda mau. Jika saya memutuskan saya tidak lagi tertarik pada bisnis telekomunikasi dan menjual, dua puluh ribu orang akan berjuang untuk melakukan pembayaran hipotek mereka setelah sekitar satu bulan."
Mulutku menganga. Aku tidak menyangka dengan sikapnya yang penuh dengan kepercayaan dirinya dan membanggakan dirinya sendiri, sebenarnya aku kurang menyukai orang yang selalu membanggakan dirinya sendiri, orang itu terkesan sombong.
"Apakah anda tidak punya papan untuk dijawab?" tanyaku.aku merasa dia bisa melakukan semua hal sendiri karena kesombongannya itu.
"Saya memiliki perusahaan saya. Saya tidak perlu bertanggung jawab kepada dewan." Dia mengangkat alis ke arahku.
Tentu saja, aku akan tahu ini jika aku melakukan penelitian. Tapi sayangnya dia sangat sombong. Aku mengubah taktik.
"Dan apakah Anda memiliki minat di luar pekerjaan Anda?"
"Aku punya banyak minat, Nona Anastasya." Hantu senyum menyentuh bibirnya.
"Sangat bervariasi." Dan untuk beberapa alasan, aku bingung dan memanas oleh tatapannya yang tajam. Matanya menyala dengan beberapa pikiran jahat.
"Tapi jika anda bekerja sangat keras, apa yang anda lakukan untuk bersantai?"
"Bersantai?" Dia tersenyum, menampakkan gigi putih sempurna. Aku berhenti bernapas. Dia benar-benar tampan. Seharusnya tidak ada yang setampan ini.
"Hmmmm, untuk 'bersantai', seperti yang Anda katakan,saya berlayar, saya terbang, saya menikmati berbagai pengejaran fisik."
Dia bergeser di kursinya.
"Saya orang yang sangat kaya,Nona Anastasya , dan saya memiliki hobi yang elegant dan menarik, meskipun itu harus merenggut uang yang banyak, bagiku tidak masalah"
Aku melirik cepat ke pertanyaannya Rahma, ingin keluar dari topik ini. Rasa nya sedikit mual karena dia terlalu sombong meskipun dia memiliki ketampanan yang sempurna. Tapi semua itu hanya titipan Allah, dan tidak ada yang bisa kita banggakan di dunia ini.
"Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. ” (QS Luqman : 18). Rasulullah saw juga pernah bersabda yang artinya, “Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” (HR Muslim).
"Anda berinvestasi di bidang manufaktur. Mengapa, anda terfokus pada bidang ini ?" Aku bertanya. Kenapa dia membuatku sangat tidak nyaman?
"Saya suka membangun sesuatu. Saya ingin tahu bagaimana sesuatu bekerja: apa yang membuat sesuatu bergerak, bagaimana membangun dan mendekonstruksi. Dan saya menyukai kapal. Apa yang harus saya katakan lagi?"
"Kedengarannya seperti hati anda yang berbicara daripada logika dan fakta."
Mulutnya menganga, dan dia menatapku dengan pandangan menilai.
"Mungkin. Meskipun ada orang yang mengatakan aku tidak punya hati."
"Mengapa mereka mengatakan itu?"
"Karena mereka tidak mengenalku dengan baik." Bibirnya melengkung membentuk senyum masam.
"Apakah teman-teman anda akan mengatakan bahwa anda mudah untuk dikenal?"
Dan aku menyesali pertanyaan itu begitu aku mengatakannya. Itu tidak ada dalam daftar pertanyaan nya Rahma.
"Saya orang yang sangat tertutup, Nona Anastasya. Saya berusaha keras untuk melindungi privasi saya. Saya jarang memberikan wawancara," dia terdiam.
"Mengapa anda setuju untuk melakukan wawancara ini?"
"Karena saya dermawan Universitas, dan untuk semua maksud dan tujuan, saya tidak bisa melepaskan Nona Susilawati. Dia mendesak dan mendesak orang-orang pekerja saya, dan saya mengagumi keuletan semacam itu."
Aku tahu betapa uletnya Rahma. Itu sebabnya aku duduk di sini menggeliat tidak nyaman di bawah tatapan tajamnya, saat aku seharusnya belajar untuk ujian.
"Anda juga berinvestasi dalam teknologi pertanian. Mengapa Anda tertarik dengan bidang ini?"
"Kita tidak bisa makan uang, Nona Anastasya, dan ada terlalu banyak orang di planet ini yang tidak cukup makan."
"Kedengarannya sangat *filantropis. Apakah ini sesuatu yang sangat Anda sukai? Memberi makan orang miskin di dunia?"
*Filantropis adalah sebuah perilaku orang yang mencintai sesamanya dengan memiliki nilai kemanusiaan sehingga mereka bisa menyumbangkan uang, waktu, juga tenaganya untuk membantu sesama.
Dia mengangkat bahu, sangat tidak berkomitmen.
"Ini bisnis yang cerdik," bisiknya, meskipun menurutku dia tidak jujur.
"Tidak masuk akal memberi makan orang miskin di dunia. Tanpa melihat keuntungan finansial dari ini, hanya kebajikan dari cita-cita."
Aku melirik pertanyaan berikutnya, bingung dengan sikapnya.
"Apakah Anda memiliki filosofi Jika demikian, apa itu?"
"Saya tidak memiliki filosofi seperti itu. Mungkin prinsip panduan * Carnegie's. Saya sangat mandiri, dan terdorong. Saya suka mengontrol diri saya sendiri dan orang-orang di sekitar saya."
*Seorang pria yang memperoleh kemampuan untuk menguasai sepenuhnya pikirannya sendiri dapat menguasai apa pun yang menjadi haknya.
"Jadi anda ingin memiliki sesuatu?" Dia terlalu senang mengendalikan orang.
"Aku ingin pantas memilikinya, tapi ya, intinya, aku punya."
"Anda terdengar seperti konsumen akhir."
"Saya."
Dia tersenyum, tapi senyum itu tidak menyentuh matanya. Sekali lagi ini bertentangan dengan seseorang yang ingin memberi makan dunia, jadi aku tidak dapat berhenti berpikir bahwa kita sedang membicarakan sesuatu yang lain, tetapi aku benar-benar bingung apa itu. Aku menelan ludah.
Suhu di dalam ruangan naik atau mungkin hanya aku yang merasakannya. Aku hanya ingin wawancara ini selesai. Tentunya Rahma memiliki cukup bahan sekarang. Aku melirik ke pertanyaan berikutnya.
"Anda diadopsi. Menurut anda seberapa jauh itu membentuk diri anda?"
Ah, ini pribadi. Aku menatapnya, berharap dia tidak tersinggung. Alisnya berkerut.
"Aku tidak punya cara untuk mengetahuinya."
Ketertarikan ku terusik.
"Berapa umur anda ketika anda diadopsi?"
"Itu masalah catatan publik, Nona Anastasya." Nadanya tegas. Aku tersipu, lagi. Omong kosong, dengan rasa penasaran ini.
Ya tentu saja, jika aku tahu aku melakukan wawancara ini, aku akan melakukan penelitian terlebih dahulu.
Aku melanjutkan dengan cepat.
"Anda harus mengorbankan kehidupan keluarga untuk pekerjaan anda."
"Itu bukan pertanyaan." Dia singkat.
"Maaf." Aku menggeliat, dan dia membuatku merasa seperti anak yang haus akan informasi. Aku coba lagi.
"Apakah Anda harus mengorbankan kehidupan keluarga untuk pekerjaan Anda?"
"Saya punya keluarga. Saya punya saudara laki-laki dan perempuan dan dua orang tua yang penuh kasih. Saya tidak tertarik untuk memperluas keluarga saya lebih dari itu."
"Apakah anda g * y, Tuan Cafrio?"
Dia menarik napas tajam, dan aku merasa ngeri, malu. Omong kosong. Mengapa aku tidak menggunakan semacam filter sebelum aku membacanya langsung? Bagaimana aku bisa mengatakan kepadanya kalau aku hanya membaca pertanyaan?
Rahma ini menjebak ku, dia tidak bisa membendung rasa ingin tahunya!
"Tidak Gisele, aku tidak." Dia mengangkat alisnya, sinar dingin di matanya. Dia tidak terlihat senang.
"Maaf. Ini um... tertulis di sini." Ini pertama kalinya dia menyebut namaku. Detak jantungku bertambah cepat, dan pipiku memanas lagi. Dengan gugup, aku merapikan kerudung hitam ku menariknya ke belakang dan meniup bagian atas kerudungku.
Dia memiringkan kepalanya ke satu sisi.
"Ini bukan pertanyaanmu sendiri?"
Darah mengalir dari kepalaku. Oh tidak. Bahasa yang tadinya formal tiba-tiba berubah jadi informal
"Err... tidak. Rahma, maksud saya Nona Susilawati, dia yang menyusun pertanyaannya saya hanya mengikuti daftar pertanyaan nya."
"Apakah kamu rekan kerja di himpunan mahasiswa (HIMA) juga?" Aku tidak ada hubungannya dengan HIMA. Ini kegiatan ekstrakurikuler nya, bukan milik ku. Wajah ku tiba-tiba terasa terbakar.
"Tidak. Dia teman sekamar saya."
Dia menggosok dagunya dengan tenang, mata birunya menilai ku.
"Apakah kamu secara sukarela melakukan wawancara ini?" dia bertanya, suaranya sangat tenang.
Tunggu, siapa yang seharusnya mewawancarai siapa? Matanya membara padaku, dan aku terpaksa menjawab dengan jujur.
"Saya di bujuk olehnya. Dia sekarang sedang tidak sehat." Suaraku lemah dan menyesal.
"Itu menjelaskan banyak hal."
Ada ketukan di pintu, dan seorang wanita pirang masuk ke ruang kerja nya.
" Tuan Cafrio,maafkan saya menyela, tapi rapat Anda berikutnya dua menit lagi."
"Kita belum selesai di sini, Debora. Tolong batalkan pertemuanku berikutnya."
Debora ragu-ragu. Dia tampak tersesat. Dia memutar kepalanya perlahan untuk menghadapinya dan mengangkat alisnya. Dia memerah, merah muda cerah. Oh bagus. Bukan hanya aku yang di buat tersipu karena menghadapinya.
"Baiklah, Tuan Cafrio," gumamnya, lalu keluar. Dia mengerutkan kening, dan mengalihkan perhatiannya kembali padaku.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!