NovelToon NovelToon

Terjebak Pernikahan Dengan Play Boy

Bab 1

Kanaya duduk di depan cermin meja rias di dalam kamar yang berukuran 3×3 meter, ia mengenakan gaun pengantin berwarna putih. Saat ini ia mengamati ekspresi wajah pucatnya,  hari ini adalah hari pernikahannya. Namun dirinya terlihat sangat menyedihkan, keraguan berputar di benaknya ia akan menikah dengan pria paling jujur dan sempurna di alam semesta.  Ya, itu  bagi semua orang, termasuk orang tuanya.

Ia sudah berapa kali ia mencoba menjelaskan pada orang tuanya, kalau dia bukan orang baik tetapi mereka tidak akan mendengar apa-apa tentang itu dari mulutnya. Justru kini ayahnya bahkan mengancam untuk tidak mengakui dirinya jika ia melakukan apapun yang membatalkan pernikahannya dengan Doni. Doni adalah sosok laki-laki kaya, tampan dan menawan serta dia akan membawa mereka keluar dari lingkup kemiskinan yang kini mereka alami. Orang tuanya tak pernah mendengar penjelasan dirinya saat ia mengatakan yang sebenarnya dan apa yang ia alami setahun ini, mereka telah dibutakan oleh Doni.

Doni adalah impian setiap wanita, tetapi dia bukan miliknya karena ia telah melihat dia dalam bentuk aslinya. Dia dulu mungkin juga mimpinya, tetapi ia tahu lebih baik kini ia tak bersama dia. Dia ada serigala berbulu domba yang akan menyakiti dirinya jika mereka terus bersama. Kini pikirannya kembali ke saat dia pertama kali bertemu dengannya satu tahun yang lalu.

Saat itu, pertama mereka bertemu pertama kalinya di perguruan tinggi. Saat ia dengan sahabatnya yang bernama Nisa telah berdiri di stasiun bus selama berjam-jam menunggu sekarang aku memiliki lagu untuk diriku sendiri ucap Doni sambil melilit ke arah wanita yang kini duduk di sampingnya ya setelah ia menurunkan wanita salah satunya Ia pun meminta seseorang yang menurutnya cantik itu duduk di sampingnya ia tak mau dibilang sebagai sopir pribadi bus yang tak kunjung tiba. Beberapa saat kemudian, ia dan sahabatnya  melihat sebuah mobil yang tiba-tiba parkir di depan mereka duduk, ya mobil mewah berwarna hitam dengan simbol kuda sudah bisa dipastikan jika pemiliknya juga seorang yang kaya raya karena mobil itu hanya ada beberapa di negara ini.

"Hei wanita cantik," sapa seseorang laki-laki yang berada dalam mobil saat jendela kaca mobil turun dengan sempurna. Ia pun memasang  wajah yang berseri-seri serta menampakkan gigi putihnya.

Kanaya dan Nisa saling memandang kemudian mereka seperti bertanya satu sama lain apa mereka saling kenal? Begitu lah arti tatapan mereka. Kemudian secara bersamaan mereka pun menggelengkan kepala pelan. Setelah beberapa detik kemudian, mereka menatap laki-laki yang masih memandang mereka. 

"Jika tak keberatan, aku ingin memberi tumpang pada kalian sampai tujuan. Sampai nanti malam pun tak akan ada bus yang lewat," ucap Dani sambil menopang kepalanya dengan salah satu tangannya yang ia letakkan pada setir pengemudi.

Kanaya dan Nisa, tanpa harus menunggu tawaran kedua dari laki-laki yang berada dalam mobil itu pun, bergegas masuk ke dalam mobil bagian belakang. Saat sepanjang perjalanan, mereka pun menatap ke depan ke arah laki-laki yang sibuk mengemudi sambil tertawa cekikikan karena tak menyangka hari ini mereka ketemu pangeran penolong yang tampan rupawan.

Setelah sampai tujuan pertama, Nisa pun turun lebih dulu, kemudian berlanjut ke rumah Kanaya. Di situlah awal mula hubungan mereka berlangsung dari percakapan sederhana menjadi sebuah hubungan istimewa.

"Sekarang aku memiliki Ratu untuk diriku sendiri," ucap Doni sambil melirik wanita di sampingnya. Beberapa menit yang lalu ia meminta wanita yang belum turun itu berpindah tempat di sampingnya. Ia tak mau dikatakan jika ia seorang sopir pribadi padahal ialah pemilik mobil yang kini ia kemudikan.

Kanaya yang baru pertama kali mendapat pujian itu pun, seketika detak jantungnya berpacu lebih cepat dari sebelumnya. 

"Betulkan?" tanya Kanaya dengan tersipu malu karena mendengar pernyataan dari laki-laki yang baru saja ia temui mengatakan jika ia seorang ratu, padahal ia hanya upil abu yang tak memiliki apa-apa. Hidup yang serba pas-pas dengan kuliah mengandalkan biaya siswa akan prestasi yang ia miliki.

"Apa kamu pernah melihat ratu tanpa istana?" ucap Kanaya lagi. Ia memang bertanya seperti itu karena ia tak memiliki istana, sekedar rumah yang mereka tinggali saja tak punya. Ia bersama orang tuanya selalu berpindah-pindah tempat jika masa kontrakan habis.

"Bagaimana kalau aku membangunkan sebuah istana dan kamu menjadi ratuku, kita akan memerintah sebuah kerajaan yang kita miliki," ucap laki-laki itu dengan senyum yang sangat menawan. "Perkenalkan aku Doni Anggriawan, panggil saja Doni. Kita juga satu fakultas," ucap Doni dengan mengulurkan  tangan kanannya untuk berjabat tangan dengan wanita cantik yang terus memamerkan deretan gigi putihnya

"Aku Kanaya Putri Dewi, panggilan saja Naya atau Kanaya," jawab Kanaya dengan menerima uluran tangan Doni.

"Nama yang sangat cantik, dan pastinya orangnya juga sangat cantik," puji Doni.

Kanaya yang mendapatkan pujian itu, terus tersipu malu. Ia baru pertama kali mengobrol dengan lawan jenisnya, karena selama ini hidupnya ia gunakan untuk terus  belajar agar prestasinya selalu bertahan dan mampu meraih cita-cita yang ia inginkan dan pastinya mampu mengubah taraf ekonomi kehidupannya di masa depan.

Begitulah perjalanan mereka dimulai, Doni sering mengunjungi rumahnya dan memberikan barang-barang untuk hadiah. Dalam waktu yang sangat singkat Doni dapat meluluhkan hati ibunya, kemudian ayahnya. Kini ia telah mendapatkan restu dari orang tuanya untuk berpacaran. Itu membuatnya bahagia. Enam bulan pertama hubungan mereka berjalan dengan penuh kebahagian.

Setelah itu hubungan mereka tak pernah lagi berkencan dan dia tidak pernah muncul. Seperti sedang menjaga jarak, ia pun mulai khawatir dengan kekasihnya, ia sudah mencoba menghubunginya, tetapi tidak mendapat jawaban. Ia pun akhirnya memutuskan untuk melihat sendiri apakah dia baik-baik saja, ia pergi naik taksi dan membukti ke rumah Doni.

Ia mulai mengetuk pintu yang tertutup rapat, namun mobil milik Doni masih terparkir di halaman rumahnya. Ia berulang kali menekan bel serta mengedor-ngedor pintu dengan cukup keras, hingga tangannya sedikit memar merah, namun tetap sama tak mendapatkan jawaban, dia mencoba menarik kkop dan pintu itu masih terkunci, ia menjadi sangat yakin kalau dia masih berada di dalam. Ia yang teringat pernah diberi kunci cadangan, ia pun segera mencari dalam tasnya, beruntung ia belum memindahkannya dalam tasnya. Dengan cepat, ia pun membuka pintu itu, hanya butuh hitungan menit pintu terbuka dengan sempurna.

Saat pintu itu terbuka, kedua matanya menganga saat melihat pakai yang berserakan di lantai, sebuah pakaian dan ****** ***** ada di mana-mana. Ia mulai membungkuk untuk memungutnya, ia mulai bingung ketika ia melihat ****** ***** wanita sedangkan ia menoleh ke kanan kiri kita ada siapapun di sana. Ia pun akhirnya memutuskan untuk menuju ke lantai atas dan saat ia mulai menaiki tangga semakin naik semakin mendengarkan suara yang samar-samar dari arah kamar tidur. Ia pun akhirnya melangkah menuju sumber suara saat ia menempelkan daun telinganya tak ada, hingga ia berpindah menuju pintu sebelahnya, hingga ia mendengarkan dengan sangat jelas suara tersebut. Saat ia merasa itu adalah kamar Doni, ia pun membukanya.

Bab 2

Kedua matanya membulat sempurna, ia tak menyangka jika laki-laki yang ia anggap sangat setia sedang bersama wanita lain yang berbalut selimut menutupi tubuh mereka, sungguh ia tidak mempercayai namun itu adalah faktanya. Ia juga bisa melihat, jika Doni setengah telanjang. 

"Doni," bisik wanita itu seraya menarik selimut ke atas sampai ke dadanya. 

Doni yang melihat Kanaya itu pun melompat dari atas ranjang, ia pun memungut kaosnya dan memakai sambil berlari mengejar Kanaya yang menuruni anak tangga.

"Nay, ini tak seperti yang kamu lihat!" ucap Doni yang terus mengejar Kanaya hingga di lantai bawah. "Aku bisa jelaskan ini semua," lanjutnya lagi untuk mencari pembelaan pada dirinya. 

Kanaya mengumpat dalam hatinya, bisa-bisanya dia bilang ini tak seperti yang ia lihat. Padahal sudah sangat jelas kalau mereka sedang bercumbu. Menjijikan.

Kanaya tak menghiraukan teriakan dari kekasihnya, ralat mulai detik itu ia tak menganggap dia seorang kekasih lagi. Ia pun keluar dari rumah Doni dengan membanting pintu dengan cukup keras, dan berlari pergi.

Beberapa minggu kemudian, Doni dengan gigih terus menghubungi dan mengirim pesan pada Kanaya. Tak hanya itu, Doni juga terus datang ke rumah Kanaya untuk minta maaf. Ia berjanji tak akan mengulangi kesalahan itu lagi. Dan pada akhirnya Kanaya yang masih terlalu cinta dan sayang itu pun memaafkan Doni.

Suatu hari saat ia di kampus, ia sedang sibuk mengobrol dengan salah satu teman laki-lakinya, saat itu juga Doni datang menghampirinya. Kini ia bisa melihat tatapan Doni yang begitu marah, dia datang mendekat lalu mencengkram kerah kemeja temannya dengan cukup kencang membuat teman laki-lakinya itu kesulitan bernapas.

"Jangan pernah kau dekati wanitaku, ralat calon istriku!" hardik Doni yang tak pernah suka jika miliknya dekat dengan lelaki lain.

"Tapi, Don. Kami tak melakukan apa pun, kami hanya bicara soal tugas kuliah," ucap teman laki-laki Kanaya. Memang yang mereka bicarakan saat ini hanya tugas kuliah.

Doni yang terbakar api cemburu, ia pun segera melayangkan sebuah pukulan tepat di hidung laki-laki itu hingga darah segar mengalir dari hidungnya.

Kanaya yang melihat sikap arogan Doni, ia pun malu dan marah seketika. Ia pun  menampar Doni agar sadar apa yang dia lakukan itu salah. Namun, Doni semakin emosi mendapatkan tampan dari Kanaya, ia pun menarik paksa tangan Kanaya ke dalam mobilnya.

Kanaya yang berada dalam mobil Doni yang kini melaju dengan kecepatan tinggi ia berteriak meminta Doni menghentikan mobilnya.

"Berhenti! Aku mau turun, di sini!" tegas Kanaya. Ia pun mencoba untuk merebut setir kemudi yang dikendalikan oleh Doni. Setidaknya jika mobil ini tak berhenti, bisa berjalan dengan wajar tanpa kecepatan tinggi.

"Kau akan membuat kita terbunuh," teriak Doni dengan menginjak pedal rem mobilnya seketika.

"Aku mau turun! Hentikan mobilnya," tegas Kanaya.

"Baiklah, aku akan menepikan mobilnya dan kita cari tempat berhenti yang sepi. Ini jalanan sangat ramai, jangan sampai kita membuat kemacetan," jelas Doni.

Doni pun mulai melajukan kembali mobilnya dengan perlahan, hingga mendapatkan tempat parkir yang sedikit sepi dari kendaraan roda empat.

"Sayang, tentang yang tadi aku minta maaf," ucap Doni setelah ia mematikan mesin mobilnya.

Kanaya tidak menjawabnya ia segera buka pintu dan turun, dan saat itu pun Doni juga ikut turun dari sisi mobilnya. 

"Sayang, tolong maafkan aku," pintanya lagi sambil mengejar Kanaya yang berjalan di trotoar jalan. "Aku menyesal telah menampar, dan memukul dia," lanjutnya lagi. 

Doni yang tak kunjung mendapat jawaban dari Kanaya, ia pun menghadang jalan Kanaya.

"Maafkan aku, aku tak tau apa yang merasukiku, aku terlalu cemburu dan emosi melihat kamu bersama laki-laki tadi," jelas Doni.

"Don, aku bosan dengan hubungan ini. Aku nggak ingin kejadian seperti ini terulang dan terulang lagi," ucap Kanaya. Ia sudah sering mendapatkan perlakuan kasar dari sang kekasih dan ia juga terlalu malu karena teman satu kelasnya sudah hampir mendapatkan bogeman dan tamparan dari Doni.

"Sayang tolong jangan katakan itu, aku berjanji akan mengubah semuanya dan hal tadi tidak akan terjadi lag,"i ucap Doni memohon. Ia pun berlutut dengan air matanya mengalir di kedua pipinya mohon pengampunan untuk mendapatkan maaf dari Kanaya.

Kanaya yang melihat keseriusan  dari sang kekasih, ia tak bisa untuk tidak memaafkannya karena ia begitu mencintanya. Mungkin memang benar jika cinta itu buta, semua yang salah kalau sudah cinta itu terlihat benar seperti yang kini di alami oleh Kanaya.

Kanaya segera meletakkan kedua tangannya di kedua bahu Doni, "Jangan berlutut seperti ini! Berdirilah!" 

"Aku tak akan berdiri sebelum kamu memaafkan aku, sayang," ucap Doni.

"Aku sudah memaafkan kamu, bangunlah!"

Doni yang mendapatkan maaf dari Kanaya, ia pun berdiri. Ia pun langsung memeluk Kanaya. 

"Terima kasih banyak, aku akan menebusnya untukmu. Ayo kita keluar untuk makan siang," ajak Doni sambil merekah senyum di kedua pipinya.

"Maaf, aku sekarang sangat lelah. Hari ini banyak sekali tugas kuliah yang harus aku kerjakan, bagaimana kalau besok," usul Kanaya.

"Baiklah, sayang," ucap Doni yang setuju akan usulan Kanaya. Ia pun mencium kening Kanaya sekilas.

Meskipun ia sudah memaafkan Doni, tapi insiden-insiden yang pernah terjadi dan di lakukan oleh Doni masih saja membekas dibenaknya. 

Kanaya yang  berada di rumahnya, kini ia sedang sibuk dengan pemikirannya. Ia memikirkan apa hubungannya pantas untuk diperjuangkan atau sebaliknya. Ia mengusap wajahnya frustrasi.

"Kenapa kamu, Nak?" tanya Dewi, ibu Kanaya. Ia melihat putrinya yang duduk disofa yang sedikit sobek covernya itu ia menghampiri dan duduk di sampingnya.

Kanaya menoleh, ia menatap ibunya yang kini duduk sempurna di sampingnya ia pun ingin meminta pendapat pada ibunya. Ia mulai menceritakan semua yang terjadi dan apa yang dilakukan Doni, dari dia main kasar, hingga tidur dengan wanita lain. Ia sangat bersyukur ibunya mau mendengarkan apa yang ia ceritakan.

"Bu, aku rasa ingin mengakhiri hubungan ini," ucap Kanaya dengan lirih.

"Sstt, jangan bilang seperti itu, Nak. Kamu tahu bukan kalau Doni telah banyak melakukan sesuatu bagi keluarga kita," ucap Dewi. Ia ingat betul, jika balas budi itu masih berlaku. Apalagi, Doni sudah sering membantu mereka khususnya bantuan finansial. Jika tak ada Doni, mungkin keluarganya sudah tinggal di kolong jembatan karena tak mampu membayar uang kontrakan.

"Tapi, Buk. Aku tak bisa hidup dengan orang seperti dia, jujur memang aku masih cinta sama Doni. Namun, Doni saja  beluk menikah sudah bermain api dibelakang  Kanaya, apa lagi nanti," jelas Kanaya pada ibunya. 

"Nak, ayahmu pasti tak akan setuju jika kamu putus dengan Doni. Ibu pun juga begitu, kamu juga perlu tahu setiap orang memiliki kekurangan jadi ibu harap kamu mengerti hal itu. Mungkin Doni tidur dengan wanita lain, karena kamu tak mampu memberikan apa yang dia inginkan," ucap Dewi dengan entengnya.

Kanaya hanya bisa mendengus kesal, ia tak menyangka justru ibunya itu akan bicara seperti itu. Padahal sudah sangat jelas kalau Doni sudah tidur bersama wanita lain, kalau ibunya pengertian dan memiliki normal yang baik pasti melarang ia dekat dengan Doni karena takut anak perempuannya akan hamil di luar nikah atau anaknya akan melanggar agama. Mungkin kini orang tuanya telah menyampingkan agama dan dibutakan oleh uang.

***

Hari ini tepat dimana ia dan Doni sepakat untuk makan siang sesuai janji mereka kemarin. Ia dan Doni pun pergi kesesuaian tempat yang istimewa dan pastinya itu tempat yang begitu mewah bagi dirinya. 

Ia dan Doni mulai masuk ke dalam menuju tempat yang telah Doni pesan. 

"Silahkan duduk tuan putri!" Ucap Doni sambil menarik kursi untuk sang kekasih duduk.

Kanaya pun duduk sambil mengulas senyum, "Terima kasih."

"Kamu tunggu bentar ya, aku May ke toilet bentar," pamit Doni yang merasakan getaran pada saku celana yang ia kenakan.

Saat Doni pergi ke toilet cukup lama, tanpa sengaja ia melihat seseorang yang sangat ia kenal dan lama tak ia jumpai. Ia pun berdiri, dan seseorang itu pun juga datang menghampirinya.

"Kanaya."

"Rian."

Ucap mereka secara bersamaan, kini mereka pun yang lama tak jumpa segera berpelukan untuk melepas rasa rindu. Rian adalah sepupu dari ayahnya mereka sangat lama tak ketemu setelah terakhir kali waktu duduk dibangku sekolah menengah bawah.

Doni yang baru saja selesai mengangkat panggilan teleponnya, melihat Kanaya berpelukan dengan pria lain, ia menempelkan tangannya. Ia melangkah dengan cepat, lalu memukul pria itu dengan cukup keras hingga pria itu jatuh tersungkur ke lantai. Dengan gerakan cepat, ia menarik tangan Kanaya untuk keluar dari restoran.

"Doni, dia itu saudaraku," ucap Kanaya mencoba menjelaskan agar tak terjadi kesalahan pahaman diantara mereka.

Doni tak menghiraukan penjelasan Kanaya, ia menyeret kekasihnya masuk ke dalam mobil. Ia juga tak memperdulikan jika saat ini mereka menjadi tontonan orang-orang.

"Don, dia itu hanya saudara dari ayahku. Kami tak memiliki hubungan apa-apa," jelas Kanaya lagi sambil menahan sakit pada dagu dan bagian lehernya saat ia mendapatkan cengkraman dari laki-laki yang ada di depannya. "Tolong lepaskan tangan kamu," ucap Kanaya yang mulai kesulitan bernapas itu.

"Kalau kamu tak diberi pelajaran, pasti kamu akan terus mengulangnya lagi. Sudah berapa kali aku peringatkan pada kamu jangan pernah dekat dengan pria lain, apa kamu tak paham itu?!" hardik Don. Ia pun melepas tangannya  saat melihat wajah pucat dari Kanaya.

"Dia itu saudaraku, Don. Dan tadi itu kami hanya kebetulan ketemu setelah kita lama tak bertemu," jelas Kanaya. 

Plak.

Sebuah tamparan mendarat di pipi mulus Kanaya. Ia yang menahan sesak akibat cengkraman tangan kelar Doni itu pun belum mampu menetralkan nafasnya, kini sakit itu bertambah lagi ketika ia mendapatkan dua tamparan di pipi kanan dan kirinya hingga ia mulai kehilangan kesadaran. Dan akhirnya pandangan gelap.

Bab 3

Kanaya telah membuka kedua matanya, kini pandangannya pertama kali menatap langit-langit dinding yang berwarna putih. Ia pun menoleh,  saat itu yang ada di sampingnya adalah sang ibu. 

"Bu, apa yang terjadi dengan Naya?" tanyanya yang merasa sedikit pusing.

"Syukur kamu susah sadar, Nak. Kata Doni, Kamu itu kemarin terpeleset dan kepala kamu terbentur  saat keluar bersama dia," ucap Dewi.

Terpeleset?! Pikiran Kanaya mulai melayang mengingat kejadian kemarin. Ia masih ingat betul kalau dirinya tak terpeleset atau pun jatuh. Kalau terbentur, itu memang benar. Ia terbentur dashboard mobil Doni saat ia dipaksa masuk ke dalam mobil. Ia tak menyangka laki-laki itu akan mengarang cerita hingga ibunya percaya pada dia. Padahal sangat jelas, ia begini karena kelakuan dia yang menyiksanya hingga tak sadar diri.

"Lain kali kalau jalan itu kamu hati-hati, kalau begini jadinya merepotkan juga. Beruntung biaya rumah sakit Doni yang menanggung semua ini, kalau ibu mana mampu. Apa lagi kamar ini, mahal biayanya," ucap Dewi sambil berkacak pinggang.

"Bu, kalau dia yang bayar biaya rumah sakit itu, sudah wajar karena dia yang …."

"Sudah, nggak perlu banyak bicara. Sebaiknya kamu istirahat sekarang," ucap Dewi.

Kanaya hanya bisa memijat pelipisnya yang berdenyut nyeri karena terlalu berpikir keras, ia yang benar saja  tetap disalahkan padahal itu dimata ibunya sendiri apalagi orang lain.

"Bagaimana kondisinya, Buk?" tanya Doni yang berjalan masuk dengan membawa kantong kresek di kedua tangannya.

Ibu Dewi yang mendengar suara tak asing itu pun menoleh, melihat calon menantu yang datang ia pun beranjak berdiri.

"Nak, Doni. Sini! Duduk, Nak!" Dewi mempersilahkan menantunya untuk menempati kursi yang ia duduki tadi. 

"Iya, Buk. Ini Doni bawakan sarapan untuk ibu, sebaiknya ibu makan dulu. Pasti ibu lelah menunggu semalam Naya," ucap Doni dengan menyerahkan  bungkusan makanan yang berada dalam kantong kresek yang ia bawa. "Dan, ini ada sedikit buah," ucapnya lagi dengan meletakkan salah satu kantong kresek ke atas meja di samping ranjang Kanaya berbaring.

"Maaf banget lo, Nak. Kami jadi merepotkan  kamu," ujar Dewi. "Kalau begitu, ibu makan dulu ya. Kalian mengobrol saja dulu," ucap Dewi berjalan keluar untuk mengisi perutnya.

Setelah sang ibu keluar, kini tinggal ia dan Doni yang berada di ruang rawat inap tempatnya di rawat. Ia memilih untuk diam, ia masih belum memiliki tenaga untuk berdebat atau pun kabur jika Doni melakukan kekerasan padanya lagi. Namun, ia tak bisa berbohong dengan hatinya sendiri. Terlalu sakit untuk menjalani semua ini, apa lagi orang tuanya tak pernah mendengarkan ucapnya. Bahkan orang tuanya tetap dengan keputusannya untuk menikah ia dengan Doni padahal Doni bukanlah orang yang baik.

"Sayang aku benar-benar minta maaf. Tolong maafkan aku," ucap Doni seraya meraihi tangan Kanaya yang dari tadi memalingkan wajah darinya.

Kanaya langsung menghapus air matanya dengan salah satu tangannya yang tak disentuh oleh Doni.

"Don, aku ingin mengakhiri semua ini. Aku lelah," lirih Kanaya. Dengan cepat ia melepaskan tangannya dari genggaman Doni.

"Sayang, jangan katakan itu! Kalau kamu meninggalkanku, aku bisa mati tanpa kamu," ucap Doni dengan memasang wajah melasnya.

"Tidak, Don. Aku tak bisa, keputusanku sudah bulat. Aku tak mau bertahan lagi," ucap Kanaya. "Sebaiknya kamu pulang, aku ingin istirahat, aku ingin berpikir dengan tenang," lanjutnya lagi.

"Baiklah aku akan pulang, dan membiarkan kamu berpikir dengan tenang. Tetapi, aku mohon jangan putuskan aku. Aku tahu kamu saat ini sedang emosi karena sikapku kemarin yang terlalu egois. Aku tahu kamu masih sayang dan cinta denganku, aku pun juga begitu," ucap Doni. "Sayang, jangan buat kecewa orang tua kamu," ucapnya lagi setelah itu keluar meninggalkan Kanaya sendiri.

***

Setelah dua hari di rawat di rumah sakit, Kanaya telah di izinkan pulang. Kini ia sedang berada di ruang tamu rumahnya bersama kedua orang tuanya.

"Yah, Buk, ada yang ingin Naya katakan  pada kalian," ucap Kanaya dengan menatap kedua orang tuanya secara bergantian. Bagaimanapun ia harus  menjelaskan pada orang tuanya. Ia tak mau lagi melanjutkan hubungannya dengan Doni, apa lagi sebuah pernikahan sudah mereka atur dan tinggal beberapa minggu.

"Katakan apa itu!" Ibunya menyahut dengan cepat.

"Aku tak ingin menikah dengan Doni. Aku ingin membatalkan pernikahan ini sebelum semuanya terlanjur," ujar Kanaya dengan menundukkan wajahnya tanpa berani menatap kedua orang tuanya.

"Kamu tidak bisa membatalkan begitu saja, semua telah disiapkan dengan matang. Jangan buat malu!" teriak Ayah Kanaya dengan menggebrak meja kaca hingga kaca itu retak.

"Ayah, dia itu yang membuat aku berbaring di rumah sakit dua hari. Kalau aku masih melanjutkannya, entah apa yang akan terjadi padaku suatu saat nanti," jelas Kanaya. Kanaya pun mulai terisak saat ia mengingat perlakuan kasar Doni.

"Justru dia yang menyelamatkan kamu. Kalau saja kamu terlambat dibawa ke rumah sakit pasti nyawa kamu sudah berakhir," teriak Adi, ayah Kanaya.

Kanaya menggelengkan kepalanya, jika semua itu tak benar. Namun, ia mendapatkan tatapan tajam dari sang ayah.

"Perlu kamu ketahui, Kanaya. Sejak aku menikahi ibumu, aku merawatmu, membiarkanmu tinggal di rumahku, kamu harusnya memiliki hati balas budi. Aku telah membesarkan anak  haram seperti kamu seharusnya kamu itu sadar diri," ucap Andi melototkan kedua matanya dengan bibir melengkung mengancam pada putri yang telah ia besar, tetapi tak tahu bagaimana  berterima kasih.

Deg! Apa kah ada namanya balas budi jika seorang orang tua membesarkan anaknya. Seharusnya tidak bukan?! 

"Naya, dengarkan ayah kamu!" pintu Dewi. Ia berjalan ke arah putrinya. "Ayah kamu tak bermaksud begitu, tapi ini semua demi kebaikan kamu juga," ucapnya lagi sambil menghibur dan membujuk Kanaya agar tetap melanjutkan hubungannya dengan Doni.

Kebaikan?! Apa akan ada kebaikan kalau ada kekerasan dalam rumah tangga? Itu lah yang kini Kanaya pikirkan. Ia pun dengan cepat menggelengkan kepalanya. Keputusan yang ia ambil adalah yang paling tepat, dan tak bisa diganggu gugat lagi. 

"Kanaya, apa kamu mau hidup miskin seperti ini terus? Hidup miskin itu akan selalu dipandang rendah oleh orang lain, kalau kamu menikah dengan Doni hidupmu akan berbeda," jelas Dewi. Ia tak mau selamanya hidup seperti ini, kekurangan.

"Buk," ucap Kanaya dengan nada tinggi.

"Berani kau membantah dan membentak ibumu! Pergi kamu anak haram," teriak Adi.

Kanaya pun yang merasakan sesak di dadanya, ia berlari keluar rumah. Ia memang tahu, jika ayahnya bukan ayah kandungnya. Ia pun sudah berusaha untuk mendapatkan  cintanya, tetapi rasanya sia-sia. Pengorbanannya selama ini tak pernah dipandang. 

Ia terus berlari, ia tak berhenti berlari, ia tidak tahu akan ke mana. Yang ia pikirkan saat ini pergi  meninggalkan tempat yang menyesatkan ini, tempat di mana tidak ada kebahagiaan, tempat di mana ia tidak bisa berkata apa-apa. Ia harus berlari lebih cepat lagi dari rasa sakit yang kini ia rasakan. Ia harus berlari lebih cepat dari kekecewaan dan mimpi yang hancur. Hingga kini ia terengah-engah setelah lari cukup jauh. Ia pun duduk di bawah pohon yang cukup besar, ia menyandarkan tubuhnya sambil mengeluarkan air mata yang kini membasahi kedua pipinya. Ia tak tahu berapa jam ia berlari sambil  menangis.

Kanaya yang tenggelam dengan pemikirannya, ia tak sadar jika sedari tadi ada seseorang yang memperhatikan dirinya.

"Hai cantik, kenapa kamu duduk sendirian sambil menangis?" sapanya dengan memberikan sapu tangan miliknya.

Kanaya menerima sapu tangan itu, dengan cepat ia mengusap air matanya dengan sapu tangan itu. 

"Terima kasih," ucap Kanaya.

"Tak perlu mengucapkan terima kasih, karena sapu tangan itu pasti sangat bahagia bisa menghapus air mata wanita yang sangat cantik seperti kamu. Jadi jangan kotori wajah cantiknya dengan air mata," ucapnya.

Kanaya melirik orang yang berdiri di sampingnya dengan wajah yang tampan, dengan mata biru yang sedang tertawa menyeringai hingga menunjukkan satu set lesung pipit.

"Maaf, ini sapu tangan kamu," ucap Kanaya dengan mengembalikan  sapu tangan milik laki-laki itu. Bagaimanapun ia harus mengambil apa yang bukan miliknya walaupun itu hanya sekedar sapu tangan.

"Itu untuk kamu, simpanlah setiap kali kamu sedih dan ingin menangis lihat saja sapu tangan yang akan selalu ada untuk menghapus air mata kamu," ucap laki-laki itu dengan membalikkan tubuhnya untuk pergi.

Kanaya merasa sangat nyaman saat berada di dekat orang asing itu, sehingga ia lupa tak menanyakan siapa namanya. 

"Tunggu!" teriak Kanaya saat melihat laki-laki itu yang semakin jauh dari pandangannya. "Namaku Kanaya, anda siapa?" lanjutnya memperkenalkan diri dengan sedikit berteriak sehingga laki-laki itu menoleh ke arahnya. Ia juga bisa mendengarkan dengan samar-samar dia berucap jika senang bertemu dengannya.

Kanaya, akhirnya memutuskan untuk pulang karena hari sudah gelap. Ia juga tidak bisa pisah dengan ibunya, walaupun hatinya sangat kesal pada beliau. Bagaimanapun beliau tetap ibunya, yang melahirkan dirinya, ia begitu menyayanginya. Saat ia berada melangkah ke arah rumahnya, ia melihat ibunya yang sedang mondar-mandir dengan raut wajah cemas, ia segera menghampirinya. Ia senang ibunya cemas itu karena khawatir dengan dirinya. 

"Ibu," ucap Kanaya sambil memeluk sang ibu bahagia, setidaknya ibunya masih peduli dengannya.

Ibu Dewi pun melepas paksa pelukan Kanaya dan memberikan sebuah tamparan pada putrinya. 

"Bu, kenapa menampar Kanaya? Apa salah Kanaya?" cecar Kanaya dengan dua pertanyaan. Ia pun mengusap pipinya yang terasa begitu sakit.

"Kamu masih tanya?! Karena ulah kamu ayah kamu …," ucap Dewi yang menangis tak mampu melanjutkan kata-katanya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!