NovelToon NovelToon

Dijodohin Netizen

Main ke Rumah

__________________________________________________________________________________________________________________

"Za, yang kamu ajak main ke rumah kemarin, kenapa nggak diajak ke sini lagi sih?"

Gue langsung menaikkan sebelah alis gue heran saat mendengar pertanyaan dari nyokap. Pasalnya sekarang ini gue nggak paham siapa yang dimaksud sama beliau, gue aja udah hampir dua bulan lebih nggak kemari, gimana ceritanya gue ngajak orang ke sini? Kemarin lagi. Kan aneh. Ini nyokap gue mulai pikun apa gimana sih?

Mama langsung berdecak saat melihat ekspresi bingung gue.

"Itu loh, Za, pacar kamu. Yang waktu itu pernah kamu aja ke sini."

Pacar? Makin ngaco aja ini nyokap gue, sejak putus dari Tiara (read;diselingkuhi) gue kan belum pacaran lagi, masih agak trauma menjurus ke males ribet.

Kadang gue suka nggak habis pikir, salah dan kurang gue apa sih sampai harus diselingkuhi?

Maksud gue begini, jatuh cinta lagi saat lo ada pasangan menurut gue bukan dosa besar. Bentar, santai, calm down, jangan judge gue dulu! Ini pendapat gue. Menurut gue jatuh cinta itu kan kadang terjadi di luar kemampuan atau kemauan kita sendiri. Terkadang kita nggak bisa milih harus jatuh cinta kepada siapa atau dengan siapa? Jadi saat lo lagi punya pasangan tapi jatuh cinta sama orang lain, menurut gue mending lo jujur meski itu menyakitkan. Karena emang jujur kadang menyakitkan. Tapi seenggaknya itu lebih baik, daripada jalin hubungan sama yang lain di saat lo udah punya pasangan. Kan nggak sopan.

Pokoknya apapun alasannya perselingkuhan tetap nggak pernah dibenarkan. Jangan jadi pecundang! Kalau emang lo udah ngerasa nggak nyaman atau sejalan dengan pasangan lo, ya pisah, jangan sok mempertahanin hubungan tapi main di belakang. Kan kambing.

"Ezar!"

Gue langsung tersentak kaget, saat tiba-tiba Mama manggil nama gue. Gue langsung menoleh ke arah beliau, meski masih dengan raut ekspresi bingung.

"Ditanya bukannya jawab malah bengong, lagi mikirin apa sih?"

"Mantan."

"Hah?"

Gue langsung menggeleng cepat saat baru sadar dengan jawaban gue barusan. "Eh, anu, maksudnya ketan. Iya, Eza mendadak pengen bubur kacang ijo pake ketan," balas gue ngaco.

Gimana nggak ngaco, orang gue nggak bisa makan ketan, lambung gue suka lemah kalau abis makan ketan. Padahal sebenernya gue suka loh, enak, anjir, tapi sayang lambung gue nggak tahan. Menyedihkan banget kan gue? Abis keinget diselingkuhi mantan, eh, malah keinget nggak bisa makan ketan. Oh, sungguh sialan.

Gue kemudian melirik ekspresi Mama dengan ragu-ragu, dan sesuai tebakan gue, wajah beliau terlihat langsung curiga.

"Kamu itu kenapa sih? Kan kamu nggak bisa makan ketan, Za, mau kamu masuk IGD lagi kayak waktu kamu abis syuting di Bogor itu."

Gue langsung menyengir kayak orang bego karena salah tingkah. "Lupa, Ma."

"Lupa, lupa, giliran sama cewek cakep nggak lupa," sindir Mama tak lama setelahnya.

Sekali lagi gue menyengir, cuma bedanya kali ini gue nyengirnya nggak kayak orang bego lagi, tapi lebih kayak orang lagi malu-malu tai anjing.

Kok tai anjing?

Iya, soalnya gue kadang suka gigit kalau gemes. Enggak! Gue bercanda.

"Ya, gimana, Ma, kalau cewek cakep susah banget dilupain, sesusah ngelupain mantan."

Astagfirullah, kelihatan banget kan gue kayak laki-laki yang masih gagal move on.

"Kamu belum move on, Za, dari mantanmu?"

"Insha Allah udah, Ma," jawab gue sok yakin.

Padahal gue nggak tahu juga. Sebenernya kalau dibilang gue gagal move on, enggak juga deh gue rasa. Tapi di sisi lain, gue juga belum bisa sih dengan beraninya bilang kalau gue udah move on. Masih kayak dilema gitu ceritanya. Gue masih juga suka stalking sih kadang, sesekali, kalau lagi gabut nunggu syuting. Meski tahu dan sadar betul diselingkuhi, gue emang memilih untuk enggak unfollow sosmed dia, dia pun sebaliknya, kita emang udah nggak pernah saling like foto atau lainnya, tapi seenggaknya nomor gue pun masih dia simpen, nggak tahu sih apa faedahnya, tapi gue masih suka lihat status WhatsApp-nya, padahal gue tipe yang lumayan jarang lihat status di sana, sekalinya lihat, pasti nemu status dia. Kan kampret.

"Jujur sama Mama, kamu lagi deket sama perempuan nggak? Maksudnya deket yang berpotensi bisa jadi mantu Mama ya, Za."

Gue langsung menggeleng sebagai tanda jawaban atas pertanyaan Mama barusan. Karena memang untuk sekarang belum ada perempuan yang gue dekati berpotensi ke arah sana. Dibanding mendekati mereka gue masih lebih suka berteman dengan mereka saja.

"Kenapa tiba-tiba nanya gituan?"

"Ya, enggak, kamu itu udah hampir 29 tahun loh, masa nggak pengen gitu nikah?"

Ya, kalau masalah pengen atau belum sih sebenernya pengen. Apalagi kalau abis scroll sosmed nemu orang-orang pada bahagia banget menikah dengan pasangannya. Perasaan iri itu tak jarang timbul, tapi masalahnya kan gue nggak bisa langsung nikah cuma karena pengen kan? Kan nggak sesederhana itu juga.

Mama tiba-tiba menghela napas. "Sepupu kamu kebanyakan udah pada nikah loh, temen-temen kamu juga, kamu-nya terus kapan? Ya Mama tahu kamu cowok, lebih santai, Mama juga nggak ada maksud buat ngeburu-buru, cuma Mama mau kamu itu ya jangan terlalu santai juga. Usaha cari dong, Za, jangan keasikan sama karir terus, ah, kamu tahu kan menikah dan punya keturunan itu sunnah Rasul, kamu nggak mau menjalankan sunnah Rasul?"

Berat ya, kalau udah bawa-bawa ginian.

"Ya, bukan gitu, Ma, ini Eza juga lagi usaha cari kok, ya Mama bantu doa juga makanya."

"Cari yang bener dong, Za. Mama seneng kamu punya banyak temen, tapi apa nggak lebih baik kalau salah satunya dijadiin teman hidup?"

Gue langsung meringis sambil menggeleng tegas.

"Mama perlu bantuin nyari apa gimana, Za? Atau biar dicariin Papa-mu?"

Gue tersenyum ala kadarnya, gue kembali menggeleng. "Untuk sekarang kayaknya belum perlu deh, Ma."

Tidak ingin terlalu memaksa, Mama langsung mengangguk paham. "Ya udah, kalau dirasa udah perlu langsung bilang aja, kalau nggak mau Mama yang cariin, bisa lah minta tolong ke Kakak-kakak kamu. Biar mereka bantu cari."

"Siap laksanakan ibu negera!" Gue langsung menegakkan tubuh sambil memberi hormat.

Baiklah, gue bakal cerita sedikit tentang gue. Nama lengkap gue Ezar Fattan Al Shariq. Panjang ya? Gue anak bungsu dari 3 bersaudara. Iya, gue si bontot. Laki-laki bontot di rumah ini. Gue punya 2 Kakak perempuan yang dua-duanya sudah nikah dan punya anak. Kapan-kapan gue bakal ceritain mereka beserta anak dan suaminya. Tapi untuk sekarang fokus ke gue dulu.

Gue lebih dikenal dengan nama Eza Shariq. Ceritanya itu nama beken gue alias nama panggung, biar kayak artis-artis lain punya nama panggung, gue juga nggak mau kalah lah, ya meski pamor gue masih kalah jauh sih dari mereka, cuma ya nggak papa lah, seenggaknya ada lah yang pamornya bagusan gue dikit, ya meski dikit doang sih, tapi kan lumayan.

Kalau kalian tanya apa gue artis? Jawabannya mungkin iya, mungkin enggak juga. Tapi yang jelas, gue lebih suka disebut Actor sih ketimbang artis.

Gue mengawali karir gue sebagai actor film. Keren nggak tuh? Gue yang dua tahun lebih nyoba casting sana sini ditolak terus, eh, sekalinya diterima langsung main film, jadi pemeran utama lagi. Kurang hoki apa lagi gue? Tapi meski gue langsung dapet peran sebagai pemeran utama karir gue nggak langsung naik, bukan nggak laku, cuma ya biasa aja gitu. Dikenal ya, kadang-kadang doang, tapi kalau terkenal jelas enggak. Justru gue lebih dikenal setelah main film yang cuma jadi pemeran pendukung. Tapi ya nggak papa juga, kan setiap orang punya jalannya masing-masing. Gue sih bersyukur-bersyukur aja, karena gue menikmati pekerjaan gue sebagai pemeran. Karena menurut gue susah sih kerja sesuai passion tuh, nggak gampang, apalagi kalau passion lo menyimpang jauh dari apa yang diharapkan kedua orang tua lo. Berat banget, man!

Ya, contohnya gue ini. Gue lahir dari keluarga yang nggak ada darah seninya, tapi gue milih jadi seniman. Malah jadi actor. Bokap gue awalnya menentang, karena gue satu-satunya anak laki-laki yang beliau harapkan untuk meneruskan perusahaan beliau, eh, tapi gue malah terjun ke dunia seni peran. Hampir kayak sinetron, dulu gue beneran diusir dari rumah pas ketahuan ikut casting sana-sini--yang sialnya nggak pernah dapet itu--. Tapi beruntung Mbak gue yang pertama udah nikah dan udah punya rumah sendiri waktu itu, alhasil gue bisa numpang di sana. Dan beruntungnya gue dulu, kakak ipar gue nggak masalah gue numpang di sana. Tapi itu menurut gue sendiri sih, nggak tahu deh aslinya dia beneran nggak masalah atau cuma kepaksa nampung gue.

Yang jelas kalau sekarang gue udah punya rumah sendiri dan bokap gue pelan-pelan mau menerima pekerjaan gue. Meski nggak jarang beliau nanya kapan gue mau pensiun jadi actor. Kalau pertanyaan itu udah keluar, mendadak gue langsung sensi. Berasa kayak mau ngomong kasar dua jam.

"Nanti nginep di sini kan?"

Lamunan gue seketika langsung buyar. Gue menoleh ke arah Mama sambil memamerkan senyum terbaik gue dan menggeleng.

"Lain kali ya, Ma, Eza pulang sore nanti."

Sesuai tebakan. Ekspresi Mama langsung cemberut. "Kamu itu udah nggak sayang sama Mama ya, Za?"

Gue langsung menghela napas berat. Mama kalau udah mode begini susah dibujuknya. Gue langsung berdiri dan menghampiri beliau. Tanpa ragu gue langsung memeluk Mama dan mengecup pipi beliau. Biasanya kalau gue udah nempel-nempel begini ke nyokap, Mama langsung luluh.

"Mama cuma pengen kamu nginep malem ini aja, Za. Kakakmu yang sudah nikah saja masih suka nginep di sini kok, masa kamu yang belum nikah kalah? Emang udah nggak sayang kamu sama Mama?"

"Duh, Mama ini apaan sih? Masa ngomongnya gitu? Enggak gitu lah, Eza sayang banget sama Mama. Cuma malem ini Eza terlanjur ada janji sama temen-temen Eza, kalau kita mau kumpul bareng. Masa mau dibatalin gitu aja, nggak enak lah, Ma."

"Oh, jadi kamu lebih milih kumpul sama temen-temen kamu ketimbang sama Mama?"

Dengan sedikit berat hati, gue akhirnya langsung mengangguk. "Ya udah, Eza nginep di sini. Mama seneng?"

Mama langsung mengangguk penuh bahagia, yang mau tidak mau membuat gue ikut tersenyum. Kebahagiaan nyokap terkadang memang sesederhana ini ya. Duh, jadi sedih karena sekarang udah nggak punya banyak waktu buat beliau.

__________________________________________________________________________________________________________________

"Orang normal jam segini udah siap-siap ke kantor. Jam segini kok baru bangun."

Gue mendadak enggak berselera untuk sarapan saat mendengar sindiran bokap gue. Sekarang sudah jam 7 dan gue baru keluar dari kamar. Bukan tanpa alasan, semalem gue pulang pagi karena diajak bahas projek bareng temen-temen gue. Alhasil tadi habis subuh gue tidur lagi dan baru bangun setelah dibangunin nyokap gue.

Gue berniat meninggalkan ruang makan karena malas, tapi nyokap gue dengan gesit menahan gue. Sambil tersenyum menenangkan gue, beliau mendorong tubuh gue dan menyuruh gue untuk duduk di kursi. Dengan penuh rasa kasih sayang Mama langsung mengambilkan nasi goreng untuk gue sarapan. Kalau bukan karena nyokap gue itu rasanya ogah pulang atau nginep di sini.

"Mau sampai kapan kamu hidup begini?"

"Sampai Eza bosan," jawab gue dengan nada menantang.

Ekspresi Papa terlihat kesal dengan jawaban gue. Beliau terlihat seperti hendak membuka suara dan memprotes. Namun, dengan cepat nyokap gue menyuruh bokap segera berangkat ke kantor.

Awalnya, Papa terlihat tidak setuju tapi setelah melirik jam tangannya. Beliau langsung berdiri dan pamit pergi ngantor. Gue langsung bernapas lega tak lama setelahnya. Namun, hal itu tidak berlangsung lama, karena nyokap gue tiba-tiba memukul pundak gue, saat gue hendak menyuap sarapan.

"Kamu itu lho, Za, kalau ditanya Papa-mu jangan jawab begitu kenapa sih?"

"Ya, abis Eza kesel, Ma. Masa tiap Eza pulang atau tiap Papa ketemu Eza, pasti pertanyaannya itu terus. Bosan kali, Ma."

Mama menghela napas lalu duduk di samping gue. "Ya, kan Papa-mu itu nggak banyak omongnya, Za. Wajar kalau pertanyaannya itu-itu terus. Kamu itu harusnya lebih maklum, sabar dong."

Gue meletakkan sendok gue. "Mama mau Eza sabar kayak gimana lagi? Di sini itu masalahnya Papa yang nggak terima sama pilihan Eza. Makanya Papa begitu."

Mama kembali menghela napas. Ekspresinya terlihat membenarkan ucapan gue. Ia kemudian berdiri sambil menepuk pundak gue dan menyuruh gue melanjutkan sarapan.

"Oh ya, nanti kamu mau pulang jam berapa?"

"Abis ini, kelar sarapan, mandi terus pulang. Kenapa?"

"Anterin Mama dulu bisa nggak?"

"Ke mana?"

"Rumah Tante Ratih."

Gue hanya mengangguk setuju sambil mengacungkan jempol. Karena mulut gue saat ini masih sibuk mengunyah.

"Ya sudah, kamu abisin sarapan kamu. Mama mau ke atas dulu siap-siap."

Tbc,

Nongkrong Bareng

__________________________________________________________________________________________________________________

Akhirnya setelah minggu lalu gagal ketemu teman-teman gue, hari ini gue bisa ketemu wajah-wajah kampret ini lagi. Entah sudah berapa lama kami tidak berkumpul karena kesibukan masing-masing. Gue dengan kesibukan gue, Barra dengan kantor agensinya dan Vero dengan radionya. Vero bukan penyiar radio, melainkan produser radio, meski demikian dia followernya lumayan. Maklum cowok ganteng, dan kebetulan dia aktif banget promoin acara radionya, alhasil ya followernya banyak lah. Coba kalau muka dia pas-pasan, ya followernya pasti... ya nggak tahu juga sih.

Barra juga nggak kalah ganteng dari Vero, apalagi ditambah isi dompetnya yang seolah nggak ada abisnya itu? Beuh, makin nambah kegantengannya. Selain jadi sahabat gue sejak SMA, Barra ini bisa dibilang bos gue. Karena gue kerja di bawah naungan agensi dia.

"Akhirnya setelah sekian purnama gue ketemu kalian juga. Kalian kangen gue nggak?"

"Enggak," jawab mereka kompak. Tanpa mengalihkan pandangan dari layar ponsel masing-masing, mereka langsung ber-high five-ria.

Gue langsung merengut dan mengumpat kesal. "****** lo berdua."

Gue kemudian mengambil tempat duduk di antara keduanya. Dengan tidak sopan gue langsung mengambil minuman yang entah punya siapa, gue nggak peduli dan langsung meminumnya.

"Btw, ini pawang bos gue lagi ke toilet apa gimana? Kok nggak keliatan?"

Gue meletakkan gelas kosong dan celingukan mencari keberadaan Emma, tunangan Barra.

Vero langsung menegakkan tubuhnya dan menoleh ke arah Barra, yang seolah males jawab pertanyaan gue barusan.

"Beritanya belum nyebar, Bar?"

Gue menaikkan alis tak paham sambil mengangkat sebelah tangan untuk memanggil pelayan. "Berita apaan?"

Gue langsung menyenggol lengan Barra. "Ada apaan sih? Gue ketinggalan berita apa?"

"Enggak penting, mending sekarang lo pesen dulu, gue yang bayar."

"Bebas?"

"Terserah."

Sialan. Lemah banget gue kalau udah denger kata dibayarin. Barra sebenarnya bukan tipe bos yang pelit, dia lumayan sering mentraktir kami para artisnya, tapi kalau di tempat tongkrongan begini, pria ini lumayan jarang mentraktir. Biasanya gue yang kena, jadi gue jelas nggak mau kehilangan kesempatan ditraktir Barra. Alhasil, dibanding bertanya gue akhirnya langsung mulai memesan.

"Gue juga nggak?" Vero kemudian ikut menyahut, tak ingin kalah.

Lalu dengan ekspresi datarnya, Barra mengangguk dan mempersilahkan kami untuk memesan apapun yang kita mau. Buset, tumbenan bener ini bos gue. Abis kenapa ini orang? Berantem sama Emma kah? Soalnya nggak jarang Barra mentraktir kami sepuas-puasnya, kalau dia sedang bertengkar dengan sang tunangan. Itu pun sebagai sogokan biar kami tidak banyak tanya. Kebiasaan.

"Lagi berantem?" tebak gue.

Vero dengan cepat menyahut, "Putus."

"Oh."

"Kok oh?" protes Vero dengan ekspresi tidak percayanya.

Gue menaikkan sebelah alis gue heran. Kalau Vero dan pacarnya--yang masih kuliah itu emang lebih sering berantem, tapi mereka belum pernah mengikrarkan putus lalu balikan-- beda dengan Barra dan Emma, keduanya karena sudah terlalu lama pacaran, hampir 10 tahun, putus nyambungnya hampir 15 kali lebih. Jadi gue nggak heran kalau mereka putus, tapi kenapa reaksi Vero begitu banget?

"Ya, emang kenapa? Mereka udah biasa putus nyambung kan?"

"Ya, emang mereka udah biasa putus terus nyambung lagi. Tapi kali ini beda, Za."

"Bedanya?"

"Mereka batal kawin."

Gue terkekeh geli sambil merogoh saku celana gue untuk mengeluarkan ponsel. "Bukannya udah ya? Kok bisa batal." Gue kemudian menyenggol lengan Barra, "udah kan, Bar, waktu kita liburan di Bali, yang tahun lalu."

Barra hanya memasang wajah datar dan enggan membalas. Yang sensi justru Vero.

"Bukan kawin yang itu, Za. Tapi nikah. Batal nikah."

Pandangan gue kemudian beralih ke Barra. "Kenapa?"

"Lagi nggak mood bahas ini, lain kali aja gue ceritanya."

Gue menggeleng tidak setuju. Gue penasaran ceritanya sekarang, masa iya denger ceritanya lain kali. Keburu nggak penasaran ntar gue.

"Tapi Vero nggak serius kan soal batalnya pernikahan kalian?" tanya gue masih tidak ingin menyerah.

Barra langsung menghela napas panjang lalu mengangguk. "Serius. Dia bahkan udah balikin cincin pertunangan kita."

"Terus lo terima gitu aja?"

"Ya, menurut lo?" Barra berdecak sambil melirik gue dengan ekspresi sinisnya.

"Ya, harusnya jangan langsung lo terima lah, Bar. Kalau lo terima cincin yang dibalikin Emma, itu artinya lo setuju dong pernikahan kalian batal."

Bara mengangkat kedua bahunya acuh tak acuh. "Dia emang mau pernikahan ini batal, Za."

"Terus lo terima gitu aja? Lo sama Emma udah hampir 10 tahun, njir. Dan itu bukan waktu yang sebentar. Namanya mau nikah pasti ada aja godaannya, ada aja masalahnya, cuma masa lo mau nyerah gitu aja? Lo nggak mau memperjuangin gitu cinta kalian? Masalah sebenernya apa? Emang nggak bisa diomongin baik-baik?"

"Berisik lo, Za!"

Gue langsung menendang kaki Vero pelan. "Temen lo itu, kasih tahu!"

"Za, selow! Yang mau nikah itu mereka, bukan kita. Kita sebagai temen ya cuma bisa kasih dukungan yang terbaik lah. Ya, kalau mereka memilih mundur dari pernikahannya ya biarin, mungkin itu emang yang terbaik buat mereka. Kenapa lo yang sewot?" Vero kemudian menepuk pundak gue seraya berkata, "mereka udah cukup besar dan dewasa untuk menentukan pilihan hidup mereka sendiri, Za. Percaya sama temen lo, kalau emang mereka jodoh ntar juga balikan lagi. Selow, kayak nggak tahu mereka aja sih lo."

"Udah lah, Za, dari pada lo ngurusin hidup gue. Mending lo urusin hidup sendiri. Gue jelas sih, baru gagal nikah, Vero tinggal nunggu Anya lulus kuliah terus nikah. Lah, lo?"

"Gue kenapa?"

"Lo kelamaan menjomblonya, Za," sahut Vero cepat, "coba deh lo inget-inget, setelah putus dari Tiara. Lo pernah sama siapa lagi? Enggak ada kan? Ya, emang deket sama beberapa cewek, tapi semua itu, nggak ada yang lo seriusin kan?"

Gue merengut kesal. "Ya, bukan nggak mau gue seriusin, Ver, cuma emang belum jodoh aja."

"Lo belum move on?" tanya Barra tiba-tiba.

Gue langsung memutar kedua bola mata gue malas. Tersinggung tentu saja. "Udah," balas gue cepat.

"Terus kenapa nggak nyari yang baru?"

"Bukan gue nggak nyari yang baru, cuma emang belum nemu aja kali. Udah lah, ganti topik!"

"Gue kemarin ketemu nyokap lo pas nemenin nyokap gue belanja."

"Terus?"

Bukan, itu bukan gue yang nanya. Karena tanpa gue tanya pun, gue bisa menebak apa yang mereka bahas. Yang tanya sudah jelas Vero.

"Nyokap Eza nanyain dia lagi deket sama siapa."

Kan, udah ketebak banget arahnya pasti ke arah sana. Emang mau ke mana lagi? Udah jelas.

"Terus lo jawab apa?"

Lagi-lagi Vero yang bertanya. Ini produser satu emang kepoan sih, jadi jangan heran.

Dengan ekspresi datarnya Barra menggeleng. "Ya, gue jawab nggak tahu lah, Ver. Karena emang gue lagi nggak tahu siapa yang lagi dideketi sama temen lo."

Vero langsung menyenggol lengan gue. "Serius nggak ada, bro?"

Gue menggeleng. "Belum." Karena memang belum ada yang gue deketi untuk menjurus ke arah hubungan serius. Gue lagi males ribet.

"Udah setahun lo putus sama Tiara, man. Emang masih belum sembuh lukanya?"

"Enggak gitu."

"Terus?"

Gue berdecak kesal. Kenapa jadi gue yang kena? Kan harusnya kita tadi bahas Barra dan Emma.

"Ya, emang belum nemu yang cocok aja kali. Gue juga lagi males ribet pacar-pacaran."

"Coba aja dulu deketin cewek yang dijodohin fans lo. Gue rasa oke juga, Za, tipe lo banget deh."

Gue langsung menatap Vero dengan tatapan horor gue. Apa dia bilang? Deketin cewek yang dijodohin fans? Udah gila apa? Enggak. Big no!

Gue langsung menggeleng tegas sebagai jawaban. "Bercanda lo sama sekali nggak lucu, Ver. Lo jangan gila! Gue masih bisa nyari sendiri tanpa dijodohin mereka. Oke?"

"Bukannya lo sendiri yang bilang nggak masalah dijodohin kalau ngerasa emang cocok," sahut Barra.

Anjir, kenapa Barra jadi ikut-ikutan sih?

"Coba aja kali, siapa tahu emang cocok," imbuhnya tak lama setelahnya.

Gue menghela napas panjang sambil menoleh ke arah Barra dan Vero secara bergantian. Ini dua kampret pada kenapa sih?

"Ini lihat dulu akunnya. Lo bisa stalking dulu sebelum mepet. Tipe lo banget ini, Za, berjilbab, baik juga kok insha Allah akhlaknya."

Vero langsung menyodorkan ponselnya, tapi tanpa berniat melirik ke arah layar, gue mendorong ponsel itu agar menjauh.

"Gue nggak tertarik. Lagian tipe gue itu nggak harus yang berjilbab, kalau dapet yang berjilbab ya gue bersyukur, alhamdulillah, cuma kalau enggak dapet ya nggak papa juga kali. Dan satu lagi, kita nggak bisa menilai akhlak orang hanya dari sosial medianya. Oke, bisa dimengerti dan dipahami sampai sekarang Pak Produser dan Pak Bos?"

Keduanya langsung bungkam, itu tandanya mereka setuju dengan apa yang gue katakan.

Nah, kan, macem-macem sama gue sih. Langsung pada kincep kan? Gue kok dilawan?

Tbc,

Mama Nggak Percaya

__________________________________________________________________________________________________________________

"Mama pengen kamu jujur," ucap nyokap gue sambil mendorong maju ponsel miliknya di atas meja mendekat ke arah gue yang duduk di hadapan beliau.

Gue nggak tahu ada angin apa, atau abis mimpi apa, pagi-pagi nyokap gue sudah berada di rumah gue terus bikinin gue sarapan. Tapi yang jelas sepertinya bukan hal yang bagus, karena kalau gue perhatikan ekspresi beliau tidak begitu bersahabat. Maka dengan perasaan was-was gue meraih ponsel itu dan melihat apa yang sedang coba Mama tunjukkan pada gue. Dan betapa terkejutnya gue saat melihat foto yang ada di sana.

Itu gue dengan entah siapa gue nggak tahu. Perempuan. Harus gue akui cantik dan juga manis. Poin plusnya perempuan ini berjilbab. Kalian tahu kan kalau lihat perempuan cantik berjilbab tuh auranya beda, kayak adem gitu? Nah, lihat foto perempuan itu tersenyum tuh rasanya begitu.

"Siapa perempuan itu? Mama tahu kamu belum pernah kenalin perempuan itu ke Mama dan kalian belum pernah terlihat projek bareng, jadi sekarang kasih tahu Mama siapa dia. Pacar baru kamu?"

Gue menggeleng dan kembali melanjutkan sarapan gue. "Enggak kenal."

"Nggak kenal gimana? Foto tersebar di mana-mana dan itu banyak, Za, kamu jangan coba tipu Mama kamu ya. Mama nggak segampang itu dibohongi ya, Za. Mama mau kamu jujur!"

"Ya emang nggak kenal, Ma. Eza nggak kenal siapa perempuan itu, ketemu aja belum pernah loh."

Mama berdecak sambil menyilangkan kedua lengannya di depan dada. "Sekarang kamu udah pinter ya bohong sama Mama?"

Secara terpaksa gue menghentikan kegiatan sarapan. Gue letakkan sendok dan garpu lalu menatap Mama serius. "Astagfirullah, Mama ini itu editan, Eza nggak kenal siapa perempuan ini. Sumpah demi Allah, Ma. Eza nggak bohong," ucap gue jujur.

"Editan gimana sih? Orang ini kelihatan begini kok, gimana bisa kamu bilang ini editan? Kamu jangan coba-coba bodohi Mama ya, Za."

Gue menarik napas dalam, sebelum akhirnya harus mencoba menjelaskan lebih detail. "Mama-ku tersayang, Eza beneran nggak kenal sama perempuan ini. Dan ini itu cuma editan, zaman sekarang orang-orang emang sejago itu dalam urusan edit-mengedit, makanya kadang suka keliatan real gitu. Tapi coba Mama perhatikan lebih detail, pake kacamata baca Mama," ucap gue kemudian. Gue celingukan mencari kacamata baca nyokap yang ternyata masih berada di dalam wadahnya.

Gue kemudian membuka wadah itu, mengeluarkan benda itu dari dalam sana dan langsung membantu memakaikan pada beliau. Setelah dirasa pas dan nyokap mulai terasa nyaman, baru lah gue menyuruh nyokap kembali melihat ke arah layar.

"Sekarang coba dilihat baik-baik!"

"Yang beginian editan?" tanya Mama.

Gue mengangguk dan mengiyakan lalu mulai melanjutkan sarapan gue tadi yang sempat tertunda.

Nyokap terlihat tidak percaya dan tidak puas dengan jawaban gue. Diamati layar ponsel itu dengan serius dan seksama.

"Tapi cantik juga, Za, Mama sih nggak nolak kalau emang beneran dia pacar kamu."

Suapan gue mendadak susah tertelan, padahal menurut gue, gue sudah mengunyahnya dengan baik. Namun, mendengar kalimat nyokap barusan membuat nafsu makan gue menguap entah kemana. Untung saja sarapan gue tinggal dikit, jadi gue tidak terlalu merasa terbebani, karena nggak menghabiskan jatah sarapan.

"Kok sarapannya nggak diabisin?" protes beliau. Yang kebetulan baru menyadari kalau nasi gue masih sisa sedikit, "nggak boleh gitu, Za, di luar sana masih banyak orang nggak bisa makan. Kamu harusnya beruntung, jangan mubazir begini lah. Ayo dihabisin!"

Mama meraih sendok, menyendok nasi dan langsung menyuapkannya pada mulut gue. Yang dengan terpaksa harus gue kunyah, karena nggak mungkin juga kan gue muntahin?

"Ngomong-ngomong, Mama serius soal yang tadi."

Gue menerjap kaget. "Yang mana, Ma?"

"Nggak usah pura-pura nggak ngerti deh! Mama tahu kamu pasti paham kok." Mama kemudian meraih ponselnya kembali dan menunjukkan layar ponsel beliau ke arah gue, "Mama nggak nolak kalau dikasih mantu begini. Keliatan cantik, anggun, sopan, berjilbab lagi. Nggak kayak mantan kamu."

"Ma," tegur gue dengan nada tersinggung.

"Iya, iya, Mama tahu."

"Kalau tahu kenapa dibahas lagi?"

Mama tidak membalas. Beliau memilih menghindar dengan meraih piring kotor gue dan berdiri. "Mending kamu mandi sana, terus anterin Mama pulang. Kamu ada syuting nggak hari ini? Kalau ada biar Mama minta jemput si Tarjo."

Gue menggeleng. "Adanya nanti sore. Pagi sama siang ini Eza free. Rencananya mau main ke rumah Kakak sih tadinya."

"Ide yang bagus tuh, yuk, buruan kamu mandi. Mama tungguin."

Dengan gerakan tidak sabar, Mama langsung menyuruh gue bangun dan segera mandi. Gue hanya mampu terkekeh sambil geleng-geleng kepala lalu segera bergegas menuju lantai atas untuk mandi.

Gue merasa jauh lebih segar setelah mandi. Di saat gue masih sibuk mengeringkan rambut, tiba-tiba suara Mama terdengar berteriak.

"Za, udah belum? Buruan! Dandannya nggak usah lama-lama!" teriak beliau.

Gue langsung menggerutu. Baru juga selesai mandi, belum selesai mengeringkan rambut, belum pakai baju, masih lilitan handuk, udah diburu-buru aja. Dasar Mama.

"Iya, Ma, bentar lagi!" balas gue ikut berteriak.

Samar-samar gue mendengar nyokap menggerutu. "Lama banget sih, Mama udah kayak nungguin anak gadis mandi sama dandan, Za," teriaknya tiba-tiba.

Gue kemudian menarik kaos dan celana pendek secara asal. Lalu memakainya dengan gerakan terburu-buru. Setelahnya, gue langsung menyisir rambut tak kalah asal. Meraih parfum favorit dan menyemprotkannya ke seluruh tubuh. Setelah dirasa oke, gue kemudian keluar dari kamar sambil membawa hand bag yang gue kalungkan pada pergelangan tangan gue.

"Pantesan lama banget, ternyata mandi parfum dulu," sambut Mama saat melihat gue keluar dari kamar, "pake parfum secukupnya aja deh, Za, selain biar nggak pemborosan, biar orang lain, yang kurang suka sama wangi parfum kamu nggak terlalu pusing pas nyium secara nggak sengaja. Kan kasian, udah nggak suka, tapi kamu pakainya berlebih."

Gue mematung sesaat. Perasaan gue tadi cuma nyemprot dua kali doang deh, masa iya dibilang berlebihan. Spontan gue membaui badan gue sendiri. Wangi kok. menurut gue juga nggak berlebih.

"Mama nggak suka? Mau Eza ganti parfum baju lain aja?" tawar gue kemudian.

Ribet juga kalau semisal ntar Mama ngomel sepanjang jalan. Karena nggak suka sama bau parfum gue.

"Kan Mama nggak bilang nggak suka, cuma semisal orang lain yang nggak suka, Za. Kamu itu kalau dikasih tahu Mama suka nggak merhatiin bener-bener sama apa yang diomongin deh, kebiasaan."

"Oalah. Kirain Mama yang nggak suka." Gue mengangguk paham lalu segera mengajak Mama berangkat.

Tbc,

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!