Meskipun cuaca diluar sedang hujan deras, tetapi tak membuat hawa di dalam sebuah mobil akan terasa dingin. Sekalipun AC mobil telah di nyalakan tetap saja terasa panas.
Seorang pria hanya fokus mengemudikan mobilnya, sementara seorang sang wanita memilih menatap lurus ke depan kaca tanpa sepatah kata. Mereka adalah pasangan suami-istri yang sudah menikah setahun lalu.
Sesekali pria itu hanya melirik istrinya yang sedang marah kepadanya. Kejadian siang tadi membuat Aisyah membisu sampai saat ini.
Lima belas menit perjalanan serasa 1 jam lamanya. Suasana terasa mencekam saat tak ada kata yang terucap dari bibir mungil wanita yang memiliki gelar istri tersebut. Hingga mobil telah memasuki garasi rumah sang istri masih tak berniat untuk menegur suaminya.
“Nyebelin!" Akhirnya satu kata terdengar ditelinga Azam.
Saat itu juga Azam hanya menaikan kedua alisnya sambil membuang napas kasarnya. Ia tidak tahu apa yang menyebalkan darinya.
“Harusnya Mas itu peka dikit, napa! Ambil payung gitu kek, biar istrinya gak basah kayak gini!” gerutu Aisyah sambil mengusap pucuk kepalanya karena masih terkenal tetesan air hujan
“Iya, maaf ya, aku lupa.”
Azam memilih mengalah kemudian memayungkan tas kerjanya tepat diatas kepala sang istri agar tak terkena air tetesan air hujan. Dengan bibir yang masih mengerucut, Aisyah pun berjalan kesal masuk kedalam rumah. Anggap saja jika Azam tidak bisa peka dalam berbagi keadaan, karena tidak bisa menyiapkan payung sebelum hujan.
Hujan belum reda, begitu juga dengan kekesalan Aisyah kepada Azam yang masih memuncak.
Setelah membersihkan badan, kedua insan itu menikmati secangkir coffe moccachino yang telah diseduh oleh Azam untuk menghangatkan tubuh mereka yang baru saja terkena air hujan.
“Mas sengaja kan pindah ngajar ke kampus aku?” todong Aisyah kembali.
“Astaga Ais, aku kan sudah jelaskan dari tadi. Semua itu murni dari pimpinan pusat. Kamu lupa ya, yayasan dangan kampus kamu itu masih satu induk!” Sebisa mungkin Azam berucap dengan penuh perasaan.
“Kan bisa di tolak, Mas!”
“Gak bisalah Ais. Sama aja itu dengan aku ngundurin diri. Kamu mau punya suami pengangguran?”
Sejenak Aisyah terdiam sambil melirik kearah Azam.
“Bilang aja Mas seneng ngajar di kampus, kan banyak mahasiswi yang cantik dan bening. Sekalian cuci mata kan?" tuduh Aisyah lagi
Entah mengapa Azam merasa geli mendengar penuturan istrinya. Beginikah wanita jika sedang cemburu? pikir Azam.
“Aku baru tahu, ternyata menantu kesayangan mama Maya sedang cemburu ya,” goda Azam pada istri kecilnya. Saat itu juga wajah Aisyah mendadak langsung merona. Azam pun kian semakin mendekatkan wajahnya ke arah Aisyah, membuat degup jantung tidak bisa beraturan.
“Apa sih mas.” Aisyah menepiskan wajah Azam.
“Lucu juga mukanya kalau kayak gini. Kayak kepiting rebus." goda Azam lalu tertawa kembali. Seketika satu cubitan mendarat di pinggang Azam.
“Aw, sakit Ais. Ampun!!"
🌸🌸
Sekilas ....
Setelah Aisyah di nyatakan lulus dan melanjutkan sekolahnya salah satu Universitas ternama di kotanya, Azam langsung memboyong Ais ke sebuah rumah sederhana. Rumah yang beli dari jerih payahnya selama ini. Meskipun dengan kekayaan yang dimiliki oleh ayahnya ia bisa membeli rumah yang lebih besar, tetapi Azam memilih untuk mencukupi Istrinya dari jerih payahnya sendiri.
Tak ada yang berubah setelah menikah dengan Azam sat itu. Hanya saja setiap hari minggu Aisyah izin pulang. Pak Dzaki dan bu Nisa yang sudah mengetahui jika Aisyah telah menikah dengan Azam tidak merasa keberatan.
🌺 🌺 🌺
“Masih marah?” Azam mengecup kening istrinya dengan lembut.
Aisyah yang baru membuka matanya menatap Azam yang telah memakai sarung dan baju koko.
“Jam berapa? Tumben udah bangun?”
“Heii?! Lihat sebentar lagi subuh. Cepat mandi. Aku mau ke masjid.”
Aisyah hanya mengangguk pelan. Sekilas bayangan malam panas yang telah terlewatkan tadi malam membuat pipi Aisyah kembali merona. Akibat pergulatan malam panas membuat Aisyah merasa sangat kelelahan hingga terlelap sampai subuh tiba.
Begitulah Azam jika sudah berpuasa satu minggu, maka setelah ia berbuka langsung menghajar istrinya tanpa kenal lelah. Aisyah tertawa geli mengingat kegiatan berakhir pada pukul dua dini hari.
Seperti biasa, setiap pagi Aisyah selalu memasak dan menyiapkan bekal untuk suaminya. Namun kali ini tak ada bekal untuk suaminya.
“Mas, kita makan siang di luar aja ya. Ada kafe baru buka di sebelah kampus,” ujar Aisyah sambil membereskan sisa sarapan mereka. Karena bangun kesiangan, Aisyah hanya menyiapkan sepotong roti dan segelas susu untuk mengganjal perut mereka sebelum mengawali hari mereka.
“Oke.”
Di sudut ruangan, kehadiran Aisyah telah di nanti oleh temannya.
“Lama banget sih kamu Ais?” Sisil menggerutu.
Belum juga Aisyah duduk di mejanya terdengar lagi sahutan dari yang lainnya “Ngapain aja sih tadi malam? Bergadang terus?” Omel Nabila yang sudah tahu seluk beluk sahabatnya itu.
Aisyah hanya menyunggingkan senyum dibibirnyanya. Lain dengan Sisil, gadis berkacamata tebal yang sering di juluki kutu buku oleh teman lainnya sama sekali tidak mengetahui bahwa Aisyah telah menikah.
“Udah kamu kerjakan tugas dari dosen Alif minggu lalu?” tanya Sisil sambil membenarkan kacamata tebalnya.
Seketika Aisyah menepuk jidatnya. Dan teringat jika tugasnya tertinggal di meja makan.
“Matilah aku Sil.” Seperti ingin menjerit, setelah mengerjakan tugas sampai mengabaikan suaminya harus pupus begitu saja. Tak mungkin ia kembali ke rumah hanya untuk mengambil tugasnya mengingat jam kuliahnya hampir di mulai.
“Kenapa? Lupa gak mengerjakan lagi?” ejek Sisil.
“Udah di kerjakan Sil, suer! Tapi ketinggalan di rumah.” ujar Aisyah terasa lesu. Aisyah hanya bisa merutuki kecerobohannya yang sering kali lupa.
“Kok bisa sih, Ais?” tanya Nabila juga ikut khawatir.
Aisyah memilih meletakkan kepalanya di meja. Sungguh ia ingin menangis sekuatnya, untuk merutuki kecerobohannya.
“Ais, handphonenya bunyi tuh!” seru Nabila.
Aisyah segera mengambil ponsel yang berada di dalam tas dengan malas. Namun, saat mengambang nama Mr Husband, dengan semangat ia pun menekan tombol hijau untuk mengangkat panggilan telepon tersebut.
“Apa?” ketus Aisyah.
“(...)”
“Serius mas? Iya. Makasih ya.” Wajah Aisyah berubah berseri kembali setelah menerima telepon dari Mr Husband
.
.
Halo Assalamualaikum, teh ijo membawa novel baru. Semoga menghibur. Tap bintang lima, like dan Favoritkan ya 😊 Jan lupa tinggalin komen-nya juga ya 💋
Aisyah bernapas lega saat lembar tugas sudah berada di tangannya, meskipun ia harus ke ruang dosen untuk mengambil kertas tersebut.
beruntung saja tadi Azam melihat tugas Aisyah dan membawanya. Jika tidak, mungkin saat ini ia akan melihat istri kecilnya dijemur di lapangan basket, seperti beberapa hari yang lalu.
"Nasib baik masih berpihak padamu Ais," bisik Nabila.
"Suamiku memang suami siaga tau," bisik Aisyah pelan.
"Hai calon bidadari surga, bolehkah babang tamvan ikut gabung?" Alex, seorang mahasiswa satu jurusan dengan Aisyah menarik meja di depannya dan langsung menghadap kearah Aisyah.
"Sadar diri dong Al ! Aisyah itu udah ada yang punya!" ketus Nabila penuh rasa tidak suka pada pria yang mempunyai nama lengkap Alexander Bright Gell.
"Biar saja. Aku tidak peduli! Selama janur kuning belum melengkung, aku siap menikung." Canda Alex dengan tawanya.
Aisyah hanya tersenyum mendengar ucapan Alex. Andai saja dia tahu jika saat ini ia sudah menikah dan suaminya adalah salah satu dosen di kampusnya, mungkin nyali Alex akan langsung menciut.
"Tuh si eneng cantik aja kagak keberatan tersenyum. Berarti Aisyah gak keberatan kan?" goda Alex kembali
Nabila hanya membuang napas beratnya. Jika diteruskan, tak akan ada habisnya untuk menanggapi orang seperti Alex yang mempunyai selera humor tinggi.
"Meskipun Ais tidak merasa keberatan, tetapi aku sangat keberatan karena merasa sangat muak dengan wajahmu!" cibir Nabila yang belum puas berdebat dengan Alex.
"Bil, udah! Gak usah diladenin!" tegur Aisyah.
Nabila pun mendesah dengan kasar sambil mengerucutkan bibirnya saat menatap wajah Alex yang sok imut.
Satu Jam kemudian ....
Tak terasa sesi jam pertama telah usai. Aisyah segera mengemas tas, tujuan utama adalah cafe yang berada di samping kampusnya. Tak dihiraukan lagi panggilan dari Nabila dan Sisil yang terus memanggil namanya. Karena saat ini dirinya harus segera tiba di cafe sebelum ada yang mengikutinya.
Setelah sampai di cafe ia pun langsung memesan sebuah minuman untuk melepaskan dahaganya. Tiga puluh menit berlalu, perut Aisyah sudah berdemo. Sementara sampai detik ini yang ditunggu belum juga menampakkan batang hidungnya.
Beberapa kali Aisyah mencoba menelepon suaminya, namun tak ada jawaban.
"Huh!"
Akhirnya Aisyah memutuskan memesan makanan tanpa peduli lagi dengan Azam yang tak kunjung datang.
Mungkin dia sedang sibuk. Sisi positif Nuri meredamkan emosinya. Namun, hatinya terasa sangat panas ketika sang suami tidak memberikan kabar. Jika tahu tidak bisa datang, Aisyah tidak akan membiarkan dirinya seperti orang linglung tanpa seseorang yang menemaninya makan.
Untuk meredakan rasa panas di dalam dada, sepulang kuliah Aisyah memutuskan untuk jalan ke Mall untuk menghibur diri. Mungkin dengan cara seperti itu ia bisa melupakan rasa kesalnya kepada sang suami.
Setelah gagal makan siang bersama suaminya, Aisyah mengajak Nabila untuk mengelilingi Mall sambil cuci mata melihat yang bening-bening
"Wah, gamisnya bagus banget," gumam Nabila dengan kagum.
Aisyah pun meneliti setiap helainya. "Iya. Sesuai harga. Harganya juga bagus banget," tawa Aisyah.
Keduanya sudah beberapa kali mengelilingi toko baju, namun tak ada satu baju pun yang mereka beli.
"Ini bagus gak Ais?" tanya Nabila seraya menunjukkan sebuah kepada Aisyah.
"Bagus," jawab Aisyah cepat.
Namun, mendadak Nabila meletakkan kembali gamis setelah melihat bandrolnya. Aisyah menakutkan alisnya.
"Kenapa?" tanya Aisyah
"Gak sesuai kantong Ais." Nabila melangkah pergi meninggalkan gamis yang tergantung kembali di tempatnya.
Aisyah yang mengetahui keadaan tersebut segera mengambil gamis yang di letakkan Nabila, kemudian mengambil dua buah gamis dengan warna yang berbeda.
Nabila memilih keluar lebih awal, sementara Aisyah masih menunggu antrian di depan kasir untuk membayar belanjaannya. setelah berhasil melewati antriannya, Aisyah pun langsung menyusul ke arah Nabila yang sudah menemui di luar.
"Bil, cari minum dulu yuk, haus!" ajak Aisyah. Nabila langsung mengiyakan dan mengikuti setiap langkah Aisyah hingga langkahnya terhenti di depan sebuah restoran ala korea.
"Yakin cuma mau minum doang?" Nabila menautkan kedua alisnya. "Yang ada ngisi perut juga kan?" lanjut Nabila lagi.
Aisyah hanya tertawa pelan mengingat hobinya yang doyan makan.
"Udah sore, perutku udah pada demo lagi," cengir Aisyah tanpa malu.
Tak butuh waktu, keduanya langsung masuk ke sebuah restoran ala Korea yang berada di dalam mall. Tak berapa lama menunggu lama pesanan keduanya pun telah terjadi di atas meja.
Namun, saat Aisyah ingin menyuapkan makanan ke dalam mulut gerakannya terhenti di udara dengan bola mata yang membuat lebar.
Tatapan tajam seolah memastikan pandangannya salah atau tidak. Dan ternyata tidak salah.
Aisyah meletakkan kembali sendok di mangkoknya.
"Dasar!" kesalnya sambil dengan kasar.
Nabila tak mengerti dengan perubahan sahabatnya pun bertanya, "Kenapa?"
Aisyah mengerucutkan bibirnya sambil menunjuk ke sebuah bangku yang ada di belakang Nabila.
"Astaga!" Nabila langsung menutup mulutnya dengan rasa terkejut. Namun, dengan cepat ia menghibur Aisyah agar tetap berpikir positif.
"Mungkin itu hanya mahasiswa bimbingannya saja." Nabila mencoba menenangkan Aisyah yang tengah dilanda panas kuadrat didalam dadanya.
Ya, di bangku belakang Nabila ada seorang wanita tanpa hijab dan berpakaian sedikit membentuk lekuk tubuhnya sedang berbincang dengan Azam—suami Aisyah.
"Pantas saja panggilanku tak di jawab ternyata dia sedang sibuk disini!" Kini wajah Aisyah berubah lesu.
"Jangan suudzon! Siapa tau dia memang tak mendengar panggilan telepon mu, Ais."
"Ok, kita coba telepon lagi ya!" Aisyah segera menekan layar ponselnya dengan mata tetap tertuju kearah Azam
Benar saja ponsel Azam berdering, pria itu hanya menatap layar ponselnya lalu membiarkan sampai nada itu mati sendiri.
"Tuh kan, kamu liat sendiri, Bil. Mas Azam sengaja mengabaikan panggilanku." gerutu Aisyah sudah merasa geram. Ingin sekali rasanya untuk menghampiri Azam dan berteriak di depan pria itu mengapa dia mengatakan panggilan teleponnya. Namun, Aisyah masih bisa menahan diri untuk tidak emosi berlebihan.
Aisyah menarik napas dalam lalu mengeluarkan dengan kasar. Ini tidak bisa di biarkan! Mas Azam harus diberi pelajaran! Lihat nanti ya, Mas! Ancam Aisyah dalam hati.
Setelah menghabiskan semua pesanan, Nabila dan Aisyah segera meninggalkan restoran tersebut dengan perasaan campur aduk.
.
.
...To Be Continue...
...🌸🌸🌸...
Semakin lama mata Aisyah tidak kuat untuk melihat suaminya yang terlihat sangat akrab pada seorang wanita, tapi wanita itu tidak mengenakan hijab seperti dirinya. Api kecemburuan tentu saja menurut hatinya, hingga Aisyah sudah tidak bisa menahan panasnya api di dalam dadanya. Namun, lagi-lagi Nabila mencegah dan menasehati Aisyah agar dirinya tidak ke Ka'bah untuk mengambil sebuah tindakan.
"Apa kamu sudah gila? Aku hanya ingin tahu sedang apa mereka berduaan disini, Bil!." Emosi Aisyah meningkatkan setelah keluar dari restoran tersebut.
"Bukan begitu Ais, aku yakin kamu gak akan bisa nahan emosi kamu!" Nabila menatap sendu kearah sahabatnya. Dia tahu bagaimana perasaan Aisyah saat ini, tapi dia juga tidak ingin membuat Asiyah malu. Siapa tahu wanita itu hanyalah mahasiswa bimbingannya saja.
"Gimana kalau kita ikuti mereka?"
Bukan Aisyah jika tak ingin menyerah. Kali ini Nabila pasrah untuk mengikuti ide gila dari Aisyah.
"Kita tunggu sampai mereka keluar. Oke?!" Perintah Aisyah.
Meski sebenarnya malas, Nabila tetap mengikuti Aisyah. Mereka bersembunyi dibalik mobil milik orang demi mengintai targetnya keluar. Kini keberadaan keduanya bagaikan seorang mata-mata yang tengah mengintai seorang musuh.
"Bil ... itu mereka!" Tunjuk Aisyah kearah Azam yang sudah menuju mobilnya.
Begitu juga dengan wanita tersebut yang juga ikut naik kedalam mobil Azam.
"Tuh kan... mereka satu mobil! Mau kemana mereka?" Panik Aisyah.
Istri mana pun yang tak akan merasa khawatir ketika seorang suami pergi berdua dengan wanita lain. Mengingat pelakor tak mengenal mangsa, main sikat dan embat.
Dengan cepat Aisyah menyetop sebuah taksi untuk mengikuti mobil suaminya.
"Pak, ikuti mobil itu ya!" perintahnya pada pak sopir.
Sang sopir mengangguk. "Baik, Mbak."
Sepanjang perjalanan Aisyah merasa gelisah. Berharap suaminya tidak mempunyai hubungan terlarang dengan wanita tersebut. Pikiran Aisyah semakin kacau saat membayangkan yang tidak tidak tentang Azam dan wanita tersebut.
"Sudah, kamu tenang dulu. Aku percaya Pak Azam tidak akan melakukan hal yang tidak senonoh," hibur Nabila.
"Semoga saja," sambung Aisyah dengan gelisah.
Mobil yang mereka ikuti kini telah berhenti didepan sebuah kantor. Terlihat wanita itu keluar dari dalam mobil lalu melambaikan tangan kepada Azam sebelum mobil berlalu.
Aisyah yang bisa melihat dengan jelas merasa sangat terbakar. Istri mana yang tidak akan terasa panas saat ada wanita lain yang sedang bertingkah lebih kepada suaminya.
Tak selang berapa lama ponsel Aisyah berdering. Terlihat nama suaminya memangil. Kali ini Aisyah balas dendam dengan tak mengangkat panggilan tersebut.
Beberapa pesan diabaikan, tanpa ingin membacanya. Perasaan Aisyah semakin tertuju kesebuah pikiran yang negatif tentang suaminya.
Kenapa setelah wanita itu pergi, suaminya baru sibuk menghubungi dirinya?
Bebagai pikiran memenuhi isi kepala Aisyah.
Saat ini dirinya benar benar ingin menenangkan pikiran dan tak ingin pulang kerumah terlebih dahulu.
Sepanjang perjalanan Aisyah hanya memejamkan mata, namun tidak tidur.
"Ais, sudah sampai." Tak terasa taksi telah berhenti di depan rumah Aisyah.
"Lho, kok kesini?" protes Aisyah.
"Jadi mau kemana? Ini kan rumah kamu. Sudah turun sana! Selesaikan secara hati dingin." pesan Nabila yang sudah membukakan pintu untuk Aisyah.
"Aku gak mau!" rajuk Aisyah.
Nabila merasa geram melihat ulah Aisyah yang seperti anak kecil. "Masalah itu harus di hadapi, bukan di hindari! Sudah sana! Tadi ngotot pengen penjelasan dari Pak Dosen. Sekarang kok malah nyuit!" ledek Nabila.
"Iya-iya, bawel!" Dengan segudang rasa kesal Aisyah pun turun dari taksi. Langkahnya tertahan saat hendak membuka pintu. Namun sebelum turun, Aisyah memberikan satu paper bag kepada Nabila.
"Apa ini, Ais?" tanya Nabilah heran.
"Udah ambil aja! Kapan-kapan kita pakai barengan ya!"
Tangan Nabila pun langsung menerima paper bag dari tangan Aisyah. Saat dilihat apa isinya, Nabila langsung terbelalak dengan lebar.
"Astaga ini kan ... "
Belum sempat mengucapkan kata terima kasih kepada Aisyah, perempuan itu sudah berjalan masuk ke dalam rumahnya.
"Ais kamu baik sekali sih. Makasih ya," ucap Nabila meskipun tak bisa didengar oleh Aisyah.
Beruntung, satu kata untuk Aisyah. Ia berhasil mengedap-endap bak maling di rumahnya sendiri. Saat ini tak terlihat sosok Azam di ruang tengah maupun dapur, itu artinya dia sedang mandi.
Aisyah langsung merebahkan tubuhnya di sofa depan televisi dengan hati yang masih terasa panas.
Mendadak saja bibirnya kelu saat ingin memaki suaminya. Selama ini suaminya selalu menepati janjinya jika Aisyah ingin bertemu. Ini adalah kali pertama suaminya mengabaikan telepon darinya dan jalan berdua dengan wanita lain tanpa sepengetahuan dirinya setelah mereka menikah.
"Dari mana? Kok baru pulang?" Sosok Azam sudah berada tepat didepan Aisyah dengan melipat kedua tangannya.
"Mas Azam sendiri darimana?" Bukannya menjawab, Aisyah malah balik tanya dengan nada kesal.
"Kamu ini kebiasaan ya, di tanya malah balik nanya." Azam mencubit batang hidung mancungnya Aisyah
"Aww, sakit tau!" Aisyah segera mengusap bekas cubitannya.
"Maaf ya tadi sibuk, gak sempet ngangkat teleponnya. Kamu gak marah kan?"
"Kenapa mesti marah kalau suamiku ini sibuk kerja, kecuali kalau sibuk berduaan dengan wanita cantik dan seksi. Aku baru akan marah!" ketus Aisyah sambil mendengus kasar.
Azam yang mendengar ucapan Aisyah seperti sedang mendapatkan tamparan keras. Wajahnya mendadak tegang dan terasa panas.
"Mas kenapa?" Aisyah menempelkan telapak tangannya di dahi suaminya. "Mas mendadak keringatnya ngucur? Mas sakit?"
"Ga-gak kok. Emang cuacanya panas," elak Azam dengan gugup.
Teruskan saja mas kmu berbohong padaku. Kamu pikir aku tak tahu jika kamu habis jalan berdua dengan perempuan lain. Kata tersebut hanya mampu tertahan di kerongkongan Aisyah saja.
Entah bagaimana bisa, rasa emosinya mendadak hilang begitu saja. Kata-kata umpatan dan amukan yang sudah ia persiapkan sejak tadi luluh lantah setelah mendapat perlakuan hangat dari suaminya.
Lelaki memang susah dipercaya!
🌸🌸
Kemerlap lampu hias menyambut sepasang pengantin yang sudah tak bisa di katakan pengantin baru lagi. Aisyah menggenggam erat tangan Azam untuk mengikuti langkahnya hingga kesebuah tempat duduk panjang. Terlihat banyak muda-mudi menikmati pemandangan malam.
Malam ini Azam mengajak Aisyah ke Bukit Bintang di kawasan patuk Gunungkidul. Disana mereka akan melihat dengan jelas bintang yang bertaburan di angkasa dan di bawah sana kemerlap lampu kota seperti bintang yang tengah bersinar.
Aisyah masih terpaku memandang ke bawah. Matanya sangat takjub akan keindahan malam yang ia lihat saat ini.
"Kamu suka?" Azam memeluk pinggang Aisyah dari belakang.
Aisyah mengangguk. "Ih, lepas! Malu Mas!" Aisyah berusaha melepaskan tangan Azam. Namun, pria itu semakin erat merengkuh tubuh istrinya.
"Kenapa mesti malu? Toh kita ini pasangan halal. Bahkan jika aku meminta atas hak ku di sini tidak ada yang keberatan."
"Ngomong apa sih?" Aisyah merasa sangat malu jika ucapan Azam ada yang mendengar. Itu adalah masalah privasi dan tidak boleh ada yang mendengar dan melihatnya.
Kali ini Aisyah pasrah. Sejujurnya ia juga sangat menikmati pelukan Azam yang selalu menenangkan hatinya. Namun, ia merasa jika kemesraan mereka dilihat oleh orang lain.
"Kamu udah gak marah lagi kan?"
Aisyah mengerutkan dahinya. "Siap yang marah?"
"Masih aja ngeles!" Azam melepaskan pelukannya.
Cekrek.
Satu foto telah tersimpan di galeri foto. Rasa bahagia yang luar biasa. Azam memang sangat pandai mengambil hati Aisyah. Meluluhkan hati Aisyah menurutnya tidaklah sulit.
Gadis yang berhati lembut itu tak akan bisa marah berlama-lama pada dirinya. Meskipun Azam mengakui bahwa dirinya telah bersalah namun, ia masih bungkam tentang siapa wanita yang ia jumpai siang tadi.
Setelah puas menikmati secangkir kopi jahe, sepasang suami istri itu memilih segera pulang sebab esok Aisyah harus kuliah lagi.
Menikmati lagu sholawat mata Aisyah kian lama kian menutup hingga tertidur. Lagu tersebut mengiringi perjalanan Azam malam ini.
"Ais, maaf. Aku tahu pasti kamu masih marah denganku karena kejadian siang tadi. Tapi percayalah, kamulah satu-satunya bidadari dalam hati ini," ucap Azam sambil mengelus kepala Aisyah yang dibalut dengan hijab.
.
.
...TO BE CONTINUE...
...🌸🌸🌸...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!