Sinar matahari pagi terlihat nampak menyinari. Bahkan jam alarm terus berdering, tetapi tidak mampu membangunkan seorang gadis berusia 18 tahun yang masih terlelap dengan selimut menutupi seluruh tubuhnya.
Sedangkan di dapur, seorang pria bertubuh gempal dengan rambut klimis celingukan mencari salah satu anaknya.
"Bu, dimana Viona? Ini sudah siang," tanya pria bernama Ronald Harrison. Pria itu pun perlahan menyeruput kopi yang terlihat masih mengeluarkan asap.
"Apa Ayah lupa jika anak itu selalu bangun siang? Hidupnya terlalu enak hanya numpang tidur, makan, sekolah, dan setelah keluar sekolah pun masih saja telat bangun," balas seorang wanita bernama Natalie, istri dari Ronald.
"Dia itu pemalas, Ayah. Selalu saja bangun siang," timpal gadis berambut sebahu yang tengah duduk seraya menikmati hidangan roti bertabur selai strawberry.
"Anak itu, bisa-bisanya jam segini masih enak-enakan tidur. Bangunkan dia, Bu!" pinta Ronald kepada Natalie.
Natalie pun mengangguk, ia beranjak dari duduknya berjalan ke arah kamar Viona. Natalie menggelengkan kepala mengingat kebiasaan Viona yang seringkali bangun siang, dan hal itu selalu membuatnya kesal dilanda kemarahan.
Ketika sudah berada di depan pintu, Natalie mendorong kasar pintu kamarnya Vinona. Dia melihat orang yang di dari masih berada di bawah selimut tebal. Lalu, dirinya menyibak selimut tebal itu dan menggoyang-goyangkan tubuh anaknya secara kasar. "Bangun, Viona! Ini udah jam berapa? Ayahmu sudah menunggu di bawah, kamu mau mendapatkan kemarahannya lagi, hah? Buruan bangun!"
Karena merasa terganggu oleh pergerakan tangan Natalie yang menggerakkan tubuhnya, perlahan mata Viona terbuka, tetapi gadis itu kembali memejamkan mata karena merasa sakit di bagian kepala.
"Bentar lagi, Bu! Sepuluh menit lagi! Kepala aku terasa sakit banget," balas Viona sambil menaikan kembali selimutnya keatas. Dia merasa kurang enak badan, jadi terus terbaring di atas kasur.
Melihat itu, Natalie menjadi geram. Dia kembali menyibak selimutnya lalu, menjewer telinga Viona. "Cepetan bangun, Viona! Kamu pikir ayahmu akan diam saja membiarkan kamu tidur terus menerus, hah? Kalau tidak bangun, Ibu guyur pakai air! Sudah besar masih dibangunin, menyusahkan saja." Natalie tanpa ampun menjewer telinga Viona hingga terlihat memerah.
Gadis itu memekik kesakitan seraya memegang tangan ibunya yang ada di telinga.
"Aw ... sakit, Bu. Ampun! Iya, ini aku udah bangun," ucap Viona kesal dan juga matanya sudah berkaca-kaca merasakan sakit di telinga.
"Buruan mandi dan kita tunggu di ruang makan!" ujar Natalie melepaskan tangannya dari telinga, bahkan sedikit mendorong kepala Viona. Viona meringis memegang kuping yang terasa panas. Ia menatap sedih punggung wanita yang sangat dirinya sayangi. Tak pernah sekalipun ia mendapatkan kasih sayang dari ibu yang seharusnya menyayangi. Namun, Viona tak pernah mengeluh meski terkadang ia merasa haus akan kasih sayang.
Viona punun segera berlari ke kamar mandi, jika ibunya ataupun ayahnya sudah teriak, habislah dia. Nanti yang ada dirinya di hukum dan di suruh membersihkan isi rumah seorang diri.
LAMUELA VIONA SAIRA, gadis manis berusia 18 tahun yang baru saja lulus sekolah menengah atas.
Gadis pemilik bulu mata lentik dengan bola mata yang sedikit besar, hidung mancung, serta bibir ranum tipis berwarna merah alami, dan jika tersenyum memperlihatkan lesung pipi di setiap pipi. Cantik, satu kata yang seringkali terdengar di telinga atas pujian setiap pria yang melihatnya. Sopan, perilaku yang dimiliki Viona ketika bertemu dengan orang-orang.
Tak banyak pula pria yang terang-terangan menyukainya, akan tetapi tidak ada satupun dari mereka yang Viona respon. Dia berprinsip tidak mau pacaran sebelum menikah, dan kalau di tanya soal jodoh, dia selalu berkata, biar Tuhan yang menentukan.
Namun, dirinya kurang beruntung mendapatkan keluarga. Karena apa? Karena keluarga yang ia impikan nyatanya selalu memperlakukan dirinya kurang baik. Seringkali membandingkan dia dengan sang kakak yang tujuh tahun lebih tua darinya.
*****
"Pagi, semuanya," sapa Viona ketika sudah berada di meja makan. Dia menatap silih berganti orang-orang yang ada di sana. Ronald Harrison, pria itu menatap dingin Viona. Tatapannya seakan menunjukkan kekesalan terhadap gadis remaja itu.
"Ck, pagi, pagi, ini sudah siang, Viona." Elsa, wanita berambut sebahu itu mencebik kesal seraya memutar bola matanya jengah. Viona tak menggubris ucapan Elsa. Dia diam tanpa mau membalas perkataan kakaknya. Karena ia cukup muak setiap hari harus mendengar kata sindiran sinis.
Dengan acuh, Viona menuangkan nasi goreng ke piring lalu, dengan santai duduk saling berhadapan dengan Elsa.
"Kenapa kamu selalu terlambat bangun dan selalu saja dibangunkan? Tidak bisakah kamu bangun sendiri dan tidak menyusahkan orang lain?" ujar Ronald menggerutu kesal. Kekesalan pun terlihat dari raut wajahnya seakan tidak menyukai Viona.
"Itu kebiasaannya dari dulu, dasar kebo." Natalie juga ikut kesal seraya menatap sinis Viona.
Gadis itu hanya diam tertunduk karena memang ini kebiasaannya. Dia memang sulit bangun pagi meski dirinya memasang alarm. Viona malas meladeni perkataan yang sama hampir di setiap pagi ia terima.
"Kamu selalu ngapain saja setiap malam, Viona? Setiap hari, setiap pagi selalu saja bangun kesiangan. Tidak bisakah kamu melihat kakak kamu, Elsa? Dia selalu rajin bangun pagi-pagi dan selalu menjadi kebanggaan orangtua. Tidak seperti kamu, bangun siang, di sekolah begitu bodoh, dan selalu membuat ayah malu dengan nilai-nilai kamu yang merah itu." Ronald begitu menggebu mengeluarkan ke-kesalahannya terhadap Viona.
Namun, ucapan ayahnya yang selalu membandingkan dia dengan kakaknya membuat Viona mendongak dan berkata, "Aku tidak ngapa-ngapain, Ayah. Hanya saja kepalaku pusing dan sakit, dan jangan samakan aku dengan Elsa. Kita dua orang yang berbeda," balas Viona membela diri. Karena itu kenyataannya, ia merasakan pusing dan tidak enak badan serta tidak mau dibanding-bandingkan. Itulah sebabnya Viona bangun kesiangan dan ingin berada di dalam kamar. Namun, ibunya membangunkan dia dan menyuruhnya turun untuk bergabung di meja makan.
"Kalian memang berbeda, tetapi Elsa jauh lebih bisa dibanggakan dan seringkali membuat ayah bangga dengan segala prestasinya. Tapi kamu, hanya bisa membuat ayah marah dengan segala kebodohan mu dan kemalasan yang kamu miliki. Ayah malu memiliki anak bodoh seperti mu, ayah malu."
"Kalau Ayah malu kenapa tidak membuang ku saja? Aku tidak ingin dilahirkan dari keluarga yang hanya bisa membandingkan anak-anaknya saja. Ayah pikir aku juga tidak sakit hati setiap hari terus dibandingkan dengan Elsa yang sempurna? Aku juga tidak mau, Ayah." Untuk pertama kalinya Viona membalas setiap ucapan ayahnya. Dia yang tadinya hendak diam saja menjadi kesal karena terus menerus dikaitkan dengan Elsa.
Dan apa yang Viona katakan membuat Ronald geram. "Viona!" sentaknya merasa tidak dihargai sebagai seorang ayah.
Namun, atensi mereka teralihkan oleh gedoran dan teriakan seseorang dari depan rumahnya.
Dug ... dug ... dug ....
"Ronald, keluar kau! Buka pintunya, Ronald!"
Dug ... dug ... dug ....
"Buka pintunya, Ronald! Saya tahu kau ada didalam sana. Keluar kau! Bayar utang-utang mu, Ronald!"
Ronald mengenali siapa pemilik suara itu. Dia yang tadinya marah-marah kini berubah panik dan takut. Raut wajahnya pun menjadi gelisah penuh keterkejutan. Dia langsung berdiri memikirkan cara untuk menghindari kejaran Louis.
"Tuan Louis, dia datang lagi. Pasti akan menagih janji, tapi dari mana dia tahu kediamanku ini?" gumam Ronald dalam hati merasa dirinya tidak memberitahukan alamat rumahnya.
"Yah, siapa mereka? Tidak sopan sekali bertamu ke rumah orang pagi-pagi begini." Natalie maupun Viona dan Elsa tidak tahu sama sekali siapa yang bertamu.
"Ah, bukan siapa-siapa." Balas Ronald tetapi terlihat jelas kepanikannya.
"Aku harus pergi dari sini, aku tidak mau tertangkap olehnya. Sekarang tidak ada uang untuk bayar utang."
"Bu, bilang pada orang-orang yang ada di depan sana kalau ayah sedang bekerja. Jangan kasih tahu mereka jika ayah ada di rumah!" ujar Ronald memberikan instruksi kepada istrinya sekaligus kepada kedua anaknya untuk tidak memberitahukan keberadaan dia.
"Tapi kenapa? Siapa mereka?" Natalie kebingungan melihat kepanikan suaminya.
"Iya, Yah. Siapa mereka? Kenapa Ayah kelihatan panik sekali? Dan kenapa juga Ayah harus berbohong tentang keberadaan Ayah," kata Viona menatap heran ayahnya.
"Halah, anak kecil seperti dirimu jangan ikut campur! Pokoknya kalian harus bilang kalau ayah sedang bekerja! Jangan ada yang membocorkan keberadaan ayah!" sahut Ronald penuh penegasan.
Ronald pun segera melangkah tergesa meninggalkan meja makan menuju pintu dapur.
"Ayah, mau kemana? Itu di depan hampiri dulu, Yah!" pekik Natalie ikut berdiri dari duduknya dan mencoba mengejar suaminya.
"Kalian saja yang menemui!" balas Ronald sudah membuka pintu dapur.
Dug ... dug ... dug ....
Gedoran pintu pun semakin bertambah kencang sampai mengagetkan ketiga wanita yang ada di dalam sana. Viona merasa penasaran kenapa ayahnya menghindari orang itu, dan dia pun berdiri melangkahkan kaki menuju pintu.
"Viona kau mau kemana?" tanya Elsa saat melihat pergerakan Viona.
"Membuka pintunya." Elsa yang mendengarnya pun ikut menyusul Viona dan juga tentunya sama-sama merasa penasaran.
*****
"Ronald buka! Kalau dalam hitungan ketiga tidak di buka, maka saya tidak akan segan-segan mendobrak pintu ini!" pekik Louis seraya menendang-nendang pintu dan tangan menggedor nya. "Satu ... dua ..."
Baru saja hitungan dua, pintu sudah terbuka, dan nampaklah Viona memperhatikan ketiga pria yang ada di depan pintu rumah mereka.
"Dimana Ronald? Suruh dia keluar sekarang juga!" tanya pria bertubuh tinggi, tetapi sudah sangat jelas terlihat tua.
"Ayah ..."
"Orang yang kalian cari tidak ada di sini, dia sedang bekerja. Ada apa kalian mencari suamiku?" sahut Natalie dari dalam dan ikut memperhatikan orang-orang yang baru saja ia lihat. Karena sebelumnya, mereka tidak mengenali siapa pria itu dan darimana mereka berasal.
"Jangan bohong kalian? Ronald, keluar!" pekiknya lagi tidak mempercayai bahwa orang yang di cari tidak.
"Saya bilang tidak ada. Dia sedang bekerja."
Pria itu menatap lekat wajah Natalie. "Geledah rumah ini dan cari pria itu di penjuru tempat! Bawa dia kehadapan saya!" Louis memerintahkan kedua orang yang diyakini sebagai anak buahnya.
"Baik, Bos." Dan kedua orang itu masuk begitu saja, tetapi di cegah oleh Viona, Elsa dan Natalie.
"Kalian jangan sembarang masuk! Ini rumah kami," ucap Viona mencoba mencegah.
"Keluar kalian! Kami tidak ada urusan dengan kalian!" ujar Natalie.
"Jangan halangi kita, minggir kalian!" sentak Louis menatap tajam silih berganti ketiga wanita itu.
Namun, kedua orang itu mendorong tubuh Viona dan Natalie ke samping dan masuk kedalam rumah guna mencari Ronald.
"Tuan, ada apa dengan ayahku? Kenapa kalian mencari ayahku? Kesalahan apa yang ayah lakukan sampai kalian mencoba menggeledah rumah kamu?" tanya Viona memberanikan diri menanyakan kesalahan ayahnya. Tadi, ia melihat Ronald ketakutan dan panik. Itu artinya sang ayah memiliki masalah yang cukup rumit.
"Bos, dia tidak ada di rumah. Sepertinya dia kabur, Bos." Salah satu dari kedua anak buah Louis memberikan laporan yang membuat Louis naik darah.
"Brengsek! Berani-beraninya dia kabur dariku. Cari dia sampai ketemu dan seret dia kehadapan ku!"
"Tapi ..." Louis memperhatikan keadaan rumah Ronald. "Ambil barang-barang berharga milik tua bangka itu!"
"Baik, Bos."
"Hei, apa yang kalian lakukan, hah? Jangan ada satupun dari kalian mengambil barang-barang dari rumah ini!" Natalie, Viona dan Elsa terkejut melihat barang-barang berharga mereka ingin diambil.
"Jangan halangi kita, suamimu memiliki utang banyak jadi dia harus membayarnya."
"Apa? Utang? Utang bekas apa?" Natalie di buat terkejut dengan kabar yang barusan ia dengar. Setahunya Ronald tidak pernah memiliki utang apapun.
"Tuan, jangan ambil barang-barang kami!" Viona mencoba mencegah anak buah Louis saat hendak mengambil televisi.
"Minggir kau anak kecil!" sentaknya mendorong tubuh Viona hingga tersungkur ke lantai.
"Ronald kalah judi, dia mempunyai utang sebanyak satu milyar kepadaku. Ini sudah jatuh tempo dan saya tidak akan lagi memberikan dia kesehatan berkeliaran bebas."
Deg ....
Natalie maupun kedua anaknya terkejut, mereka tahunya Ronald tidak pernah judi dan seringkali terlihat pria pekerja keras. Namun, rupanya Ronald juga suka berjudi.
"Ayahku tidak mungkin memiliki utang kepada kalian. Kembalikan barang-barang kami! Jangan bawa!" pekik Viona mencoba kembali mencegah para anak buah Louis membawa barang berharga mereka.
"Ini tidak ada apa-apanya dengan utang pria itu. Semua barang-barang ini hanyalah bunganya saja." Louis membalas ucapan Viona dan memperhatikan anak buahnya mengeluarkan lemari es, televisi, kipas angin, dan beberapa alat rumah yang dirasa menghasilkan uang. Sedangkan Viona, Natalie, dan Elsa sedang mencoba mencegah, tetapi tidak bisa di cegah karena anak buah Louis tidak bisa di hentikan.
Sedangkan orang yang di cari, tengah mengendap-endap mencoba keluar gerbang untuk menghindari Louis. Dia sama sekali tidak menghiraukan kekacauan yang ia ciptakan di dalam rumah. Terpenting baginya saat ini adalah kabur dari Louis. Mau membayar utang darimana jika ia tidak memiliki uang sebanyak itu? Bekerja saja tidak, baru di pecat.
Di saat langkahnya hendak keluar gerbang, ia tak sengaja menabrak vas bunga hingga pecah.
Bruk!
Prang!
Louis yang kebetulan berada di ambang pintu menoleh ku asal suara. "Ronald, kau mau pergi kemana, hah?"
Ronald segera lari dari sana menghindarinya.
"Hei, jangan lari, kau!" pekik Louis mengejar Ronald.
Seorang pria berperawakan tinggi, bertubuh gempal berlari tergesa menghindari kejaran dua orang pria bertubuh tinggi, berwajah seram, dan banyak tato di sekujur lengannya.
Pria itu terus menghindari kejaran dua orang itu berharap mampu lolos dari mereka. Dia yang sedang dilanda masalah kebingungan harus berbuat apa. Sehingga orang suruhan selalu mengejarnya.
"RONALD HARRISON, kau jangan lari dari kita. Kemari kau Ronald!" pekik salah satu dari kedua pria yang mengejar pria bernama Ronald Harrison.
"Saya tidak akan ikut dengan kalian," jawab Ronald menghindari kejaran.
Tubuh gempal nya seakan menghalangi dia untuk berlari cepat. Napasnya pun sudah sangat memburu dikarenakan lelah terus berlari.
Dia berhenti sejenak mengatur nafas yang sudah terasa sesak, di saat itu pula kedua orang yang mengejarnya menangkap lengan Ronald.
"Mau kemana kau, hah? Ayo ikut! Kau harus berhadapan dengan bos kami."
"Kau tidak bisa kabur lagi dari kejaran kami, Ronald," ujar yang satunya lagi sama-sama mencekal lengan Donald.
"Lepaskan! Saya bisa jalan sendiri tanpa harus kalian giring secara paksa," ujar Ronald menghempaskan tangan kedua pria itu dan mendorongnya lalu ia berlari lagi.
Tapi, baru saja berlari tiga langkah, dari depan sudah ada yang mencegatnya.
"Mau lari kemana lagi kau, Tuan Ronald? Sudah cukup bagiku membiarkan kau berkeliaran tenang di luaran sana. Sekarang tidak akan lagi saya biarkan kau berkeliaran. Bayar utang mu, Tuan Ronald!" ujar pria berusia 60 tahunan tapi masih terlihat muda. Pria itu sedang menghisap sebatang rokok, mengenakan baju serba hitam dan topi koboi yang selalu ada di atas kepalanya, serta kacamata hitam bertengger manis di hidungnya.
"Louis, beri saya waktu untuk membayar semua utang saya. Saya janji akan membayarnya secepatnya."
"Janji, janji, janji terus yang kau katakan, Tuan. Dirimu hanya bisa bicara omong kosong tapi nyatanya kau tidak mampu membayar seluruh utang yang kau miliki. Saya tidak bisa lagi memberikan Anda kebijakan dan saya ingin hari ini juga Anda membayar utang mu itu, 1 milyar beserta bunganya," ucap Louis sembari menghisap rokok dan mengeluarkan asapnya lewat hidung maupun mulut.
Ronald bingung harus mencari uang sebanyak itu dari mana? Dia saja baru gagal dapat proyek pekerjaan dan sekarang harus di hadapkan oleh seorang rentenir. Satu Milyar bukanlah uang sedikit tetapi cukup banyak bagi orang biasa sepertinya.
"Tolong kau beri saya waktu lagi, Louis. Beri saya waktu 1 bulan untuk mengumpulkan uang sebanyak itu." Ronald berharap pria itu memberikan dia jangka waktu lagi untuk mencari uang nya.
"Halah, waktu terus yang Anda pinta. Ini saja sudah ketiga kalinya Anda meminta waktu tapi kau tidak bisa membayarnya juga. Pokoknya saya tidak mau tahu, hari ini juga saya akan menjebloskan Anda ke penjara. Anak buah, bawa Tuan Ronald!" ujar Louis tak lagi memberikan kesempatan untuk Ronald. Dia sudah cukup bersabar membiarkan pria gemuk itu berkeliaran tenang tanpa mau menagih utang yang di milikinya. Namun, karena Louis ingin mereka membayar utang, maka dia menagih setiap orang yang memiliki utang padanya.
"Siap, Bos." Kedua pria itu kembali menyeret lengan Ronald dan akan membawanya ke penjara.
"Hei, lepaskan saya! Louis, saya tidak ingin di penjara. Lepaskan saya, Louis!" Ronald memberontak tidak ingin masuk ke dalam mobil dan tidak mau di penjara.
Louis tidak menghiraukan ocehan Ronald, tetapi ia tiba-tiba terdiam saat Ronald menawarkan sesuatu.
"Saya akan membayar seluruh utang saya menggunakan salah satu anak saya, asalkan kau tidak memenjarakan saja, Louis!" pekik Ronald mengeluarkan sebuah kata yang tidak seharusnya terucap dari bibir sang ayah.
Louis menoleh dan meminta anak buahnya melepaskan Ronald. "Tunggu sebentar, lepaskan dia dulu!" pinta Louis pada kedua anak buahnya. Dan mereka melepaskan Ronald sesuai perintah. Ronald menggerakkan tangannya yang terasa sakit di tarik.
"Kau tadi bicara apa? Kau akan membayar utang mu menggunakan anak gadismu itu? Hahaha kau gila, Tuan Ronald. Anakmu sendiri kau jadikan jaminan penebus utang? Sungguh ayah yang biadab."
"Saya tidak peduli dengan omongan, mu. Tapi jika kau mau maka kau bisa menjualnya lagi, bukan? Saya memberikan anak saya tidak cuma-cuma melainkan tukar tambah." Sungguh pikiran Ronald dimana? Anak sendiri malah di jadikan penebus utang tanpa memikirkan perasaan sang anak.
"Maksud Anda?" Louis mulai tertarik pada penawaran Ronald, dia mendekati Ronald dan merangkul pria gemuk itu. "Kita bicara di cafe saja." Louis mengajak Ronald masuk ke dalam salah satu cafe agar mereka lebih enak buat berbicara.
Dan sekarang keduanya sudah duduk saling berhadapan.
"Coba Anda jelaskan perkataan kau tadi, Tuan. Maksudnya bagaimana?" Louis serius dan masih menyesap sebatang rokok yang tidak pernah lepas dari jari tangannya.
"Utang saya 1 milyar, dan saya menyerahkan anak saya seharga 5 milyar. Anak saya itu masih gadis dan pastinya jika kau kembali menjual dia atau kau jadikan istri, kau tidak akan rugi. Bagaimana? Kau bersedia bukan? Utang saya yang satu Milyar lunas, dan kau menambahkan saya 4 milyar lagi." Ide gila Ronald tidak bisa di hentikan. Hanya karena uang dirinya sampai tega menawarkan sang anak pada orang lain.
"Hmmm, kau sungguh ingin menjual salah satu anak mu itu, Tuan?" tanya Louis memastikan lagi. Dia cukup tertarik dengan penawaran Ronald. Dan Louis sudah merencanakan sesuatu jika anak gadis Ronald beneran ada di tangannya.
"Iya, saya sungguh serius dalam berucap."
Louis mengangguk dan tersenyum menyeringai. "Ok, deal. Saya terima tawaranmu. Tiga hari lagi kau harus membawa anakmu kehadapan saya dan sisa pembayarannya berbarengan dengan anakmu."
Ronald mengangguk tanpa rasa bersalah sedikitpun. Dia yang hanya seorang bandar judi harus mengalami kerugian besar saat ada seorang pria mengalahkannya. Dan karena rasa penasaran ingin mengalahkan pria itu, Ronald sampai meminjam uang kepada Louis, salah satu rentenir kaya. Tetapi, sampai saat ini, Ronald belum bisa membayar utangnya sebab setiap kali ia judi selalu kalah dan kalah.
Sampai puncaknya saat ini, karena tidak mau terus menerus di kejar anak buah Louis, Ronald sampai bertekad menjual salah satu anaknya tanpa memikirkan nanti perasaan anaknya.
Entah dimana perasaannya sebagai ayah? Entah seberapa besar kasih sayangnya kepada putrinya sampai tega menjadikan anaknya penebus utang? Entah dirasuki setan apa sampai dia melakukan transaksi tukar tambah anak kandungnya hanya demi uang dan utang yang ia miliki. Sungguh pikiran ayah yang beda dari yang lainnya.
"Setidaknya utang saya lunas dan saya punya uang lagi. Mau tidak mau dia harus menjadi gadis penebus utang," gumam Ronald dalam hati.
******
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!