Pita Merah Kematian
BAB 01
Author
Saya berjanji setelah membaca bab ini akan memberi like atau komen
Author
Nah loh udh janji, ditunggu ya hasil janjinya 😁
Malam itu teman teman ku mengirimkan ku sebuah pesan. Mereka mengajak ku untuk berkumpul di gedung sekolah, namun tak ada satu pun teman yang aku temui disana. Hanya ada suasana sunyi dan gelap.
Pada awalnya ku kira mereka semua berada didalam kelas, ternyata tak ada satu pun disana. Terpaksa aku beranikan diri untuk mencari mereka, dengan bekal pencahayaan dari ponsel untuk menerangi kegelapan.
Berkali kali ku lirik layar ponsel, membaca satu persatu pesan yang baru saja masuk kedalam ponselku. Ya, pertemuan kali ini digagalkan.
Aku benar benar kecewa, baru kali ini mereka bertindak ceroboh seperti ini. Entah kenapa aku berniat ingin segera keluar dari obrolan grup teman teman ku.
Aiko
Dasar sialan! Mereka kira ini sebuah lelucon!
Menelusuri koridor sekolah dengan seribu umpatan yang keluar dari mulut kotor ku. Hingga aku tak merasakan seseorang mengikuti ku dari belakang.
Sedikit terkejut, aku menoleh kebelakang mencari asal suara.
Awalnya aku beranggapan bahwa itu ulah si tikus, tetapi....
Langkah demi langkah terdengar oleh telinga ku, membuat bulu kudukku merinding.
Kini ku tak punya nyali, badan ku seketika mematung dan mulut terkunci.
Penjaga sekolah
Hai nak, kenapa bermain disini?
Penjaga sekolah menepuk pundak ku, aku menjadi kaget tak bisa berkutik.
Penjaga sekolah memperhatikan seisi ruangan, seperti mencari sesuatu.
Penjaga sekolah
Kau dengan siapa disini?
Penjaga sekolah seketika membuyarkan lamunanku. Aku merasa sudah lega dan berniat untuk segera keluar dari gedung sekolah ini.
Aiko
Cuman Aiko seorang pak, sebenarnya teman kelas Aiko janjian untuk kumpul disini, tapi ternyata ga jadi.
Penjaga sekolah
Oh begitu, untung saja karena saya juga harus keluar malam ini.
Penjaga sekolah
Bagaimana kalau kita segera keluar? Atau mungkin kamu masih mau disini dulu?
Baru saja aku ingin membuka mulut, tetapi langsung terhenti oleh ponsel ku yang berdering.
1 message from Lea :
Ai, apa kau masih ada disekolah? Apa kau bisa membantu ku untuk mengambil buku tulis di dalam laci?
Aiko
Pak, sepertinya bapak duluan saja. Saya akan menyusul segera mungkin.
Perlahan penjaga sekolah mulai menghilang dari pandangan ku. Segera aku kembali masuk kedalam kelas.
Ketakutan seakan menghilang dari diri ku, begitu santai aku mengambil setumpuk buku yang berada didalam laci meja Lea.
Awalnya tak ada yang aneh, tetapi suasana semakin dingin terasa.
Suara itu samar samar terdengar ditelinga ku. Menghentikan kegiatan yang sedang mencari buku.
Lagi dan lagi suara itu terdengar jelas. Perasaan ku mulai tak enak.
Aiko
Apa ada orang? Apa itu kau bapak penjaga?
Aku menyinari setiap sudut ruangan kelas, kebetulan saat itu aku tak kepikiran untuk menyalakan lampu.
Aku melangkah mundur untuk keluar. Namun pintu tiba tiba tertutup rapat, aku langsung menoleh dan kembali memperhatikan seisi ruangan.
Sudah tiga tahun aku sekolah disini, baru kali ini aku mengalami kejadian horor seperti ini.
Aiko
Keluarlah! Jika tidak aku akan teriak
Wajah pucat itu bercahaya mengagetkan ku. Tubuh ku terjatuh kelantai dengan tangan tak sengaja melempar ponsel kesembarang arah.
Terduduk dari tidur, untung saja hanyalah mimpi.
Aiko
Astaga! Untung saja itu hanyalah mimpi!
Cahaya matahari masuk kecelah jendela. Mata ku segera menyipit karena silaunya cahaya.
Aiko
Astaga! Aku telat bangun!
BAB 02
Berlari ditepi jalan raya, aku takut telat untuk masuk ke sekolah kali ini.
Aiko
Sial! Sekarang tersisa lima menit lagi!
Nama ku Aiko Rigozawa, termasuk anak kurang beruntung dikota ku karena menjadi generasi yang lahir pada sembilan belas bulan dua tahun dua ribu dua.
Masyarakat di kota ku mempunyai sebuah kepercayaan, bahwa generasi yang lahir pada delapan belas bulan dua dan tahun dua ribu dua dipercaya sebagai titisan kaesar.
Keyakinan ini berawal dari seorang pendeta meramalkan generasi ini pembawa keberuntungan dan akan meraih masa keemasan tiga puluh tahun kedepan.
Masyarakat seakan langsung percaya, ditambah sebuah organisasi kelas bangsawan membangun sekolah SMA yang terkenal akan kemewahannya.
Sekolah ini dikenal karena tarif yang mereka gunakan, bagaimana tidak mahasiswa disana langsung diangkat menjadi anggota penerus organisasi.
Selain tarif sangat banyak, sekolah ini sangat disiplin dan hanya diduduki oleh kelas atas.
Atas ramalan yang mereka percaya, sekolah ini terbuka gratis untuk generasi yang telah ditetapkan. Tentu saja membuat para orang tua berharap untuk melahirkan seorang anak pada tanggal, bulan dan tahun yang di tetapkan.
Namun, ramalan ini menuai pro dan kontra dari pendeta lain. Mereka beranggapan bahwa ramalan sebenarnya adalah akan terjadi peristiwa tumpahan darah pada generasi itu yang bertepatan pada umur mereka yang beranjak delapan belas keatas.
Banyak masyarakat mengacuhkan ramalan peristiwa tragis ini, mereka lebih percaya pada ramalan pertama. Termasuk kedua orang tua ku, sangat nekat untuk memalsukan data kelahiran ku.
Selain kedua orang tua ku, Bu Sinta juga mengetahui kebenarannya. Ia terpaksa berbohong hanya karena permohonan kedua orang tua ku.
Bernafas lega, untung saja kelas belum mulai kegiatan belajar.
Dengan langkah berat aku menghampiri meja ku. Terlihat kursi ku yang kosong, segera ku terduduk dan menyandarkan tubuh ku.
Lea
Aiko? akhirnya kau datang juga, selamat habede ya!
Aku memandang wajah Lea dengan tatapan lesu.
Kevin
Hmm, aku mencium aroma.. Aroma... aroma kemiskinan!
Reza
Hahahah! Kenapa kau terlalu jujur sekali.
Memutar bola mata kasar, aku sudah terbiasa menghadapi dua berandalan yang tengah duduk didepan meja ku.
Aiko
Ya, teruslah meledek.
Bayu
Bukan kah kita sama sama miskin? kenapa kau mudah tersindir ai?
Memutar tubuh kebelakang, berusaha mencari sumber suara. Ya, aku menemukan Bayu, si berandalan ketiga.
Aiko
Manusia mana yang mau diledek menjadi miskin Bay? Aku berpikir bahwa mereka mereka ini hanya karena keberuntungan bisa duduk dibangku ini.
Kevin
Iya iya, ya tuhan semoga hamba mu satu ini kau jadikan seorang konglomerat untuk tiga puluh tahun kedepan.
Bu Shio
Pagi semua! Sebelumnya, kami mengucapkan selamat hari peringatan kelahiran kalian semua.
Bu Shio tiba tiba masuk kedalam kelas. Seisi kelas langsung diam dibuatnya.
Bu Shio
Pagi ini Bu sin meminta sedikit waktu, untuk itu aku akan menggantikannya.
Bu Shio
Kepala sekolah meminta kita untuk mendatangi bahwa kalian sudah resmi menjadi generasi berumur delapan belas tahun, kalian bisa lihat melalui ponsel kalian masing masing.
Lea dan Trixi mendekat dan berbisik, sudah ku duga bahwa mereka tak akan mengerti.
Lea
Iya tanda tangan untuk memastikan umur kita sudah delapan tahun keatas, apa kau lupa bahwa hari ini adalah hari peringatan kelahiran kita? Ya, delapan belas tahun.
Tubuh ku bergetar hebat, berusaha memastikan apa yang mereka ucapkan.
Lea
Kenapa kaget? Bukankah hari ini hari peringatan kelahiran kita, apa kau lupa bahwa hari ini sudah delapan belas Februari?
Airin
Iya, delapan belas Februari.
Bisa bisanya aku melupakan hari ulang tahun palsu ku. Ya, hari ini tepat hari ulang tahun semua siswa kelas dua belas.
BAB 03
Bu Shio
Semuanya, hari ini kita ada sesi pemotretan untuk foto alumni.
Bu Shio
Tapi sebelum itu, kita foto pribadi dulu.
Bu Shio
Nama yang saya panggil, diharapkan langsung pergi ke aula.
Satu persatu nama sudah disebutkan. Siswa secara bergantian keluar masuk dari kelas.
Siswa lain tampak bercanda ria, berfoto bersama menikmati waktu luang ini.
Sedangkan aku diam memikirkan bagaimana cara untuk segera keluar dari sekolah ini.
Jika saja aku tahu, aku akan mengirim surat izin pada sekolah.
Meja ku dipukul kuat oleh Kevin. Menghasilkan suara besar dan membuyarkan lamunanku.
Membuang nafas kasar, memalingkan pandangan agar tak menatap Kevin.
Zehan
Jangan buat keributan disini Vin.
Zehan
Oh iya, Aiko kenapa wajah mu pucat? Apa kau baik baik saja?
Zehan serta Kevin menatap wajah ku dalam. Membuat ku salah tingkah.
Aiko
Kembalilah ke kursi kalian masing masing.
Aiko
Kalian membuat ku kesal saja
Zehan menjauh, kemudian berpaling menatap Airin yang sibuk menulis.
Kevin
Kenapa? Apa kau kagum dengan Airin?
Seketika aku mendongak, menatap ke arah Zehan dan Airin secara bergantian.
Zehan memukul bahu Kevin, kemudian kembali duduk ke kursinya.
Sebenarnya aku sedikit cemburu, karena bagaimanapun juga aku memiliki perasaan yang selama ini aku pendam terhadap Zehan.
Aiko
Huft.. Andaikan saja Airin itu adalah aku.
Menundukkan wajah, aku tak sadar mengucapkan kalimat bodoh itu dihadapan Kevin.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!