Pagi itu Usai sarapan,
"Pa, Rindu nebeng ya!" pintanya.
Pramana yang saat itu sedang menunggu istrinya menyiapkan bekal makan siang, hanya menanggapinya dengan anggukan.
"Kamu tuh Ri, udah dibeliin mobil tapi masih aja nebeng sama papa," sahut Kartika Ibu dari gadis itu.
Rindu meringis menunjukan giginya, bukan apa-apa, hanya saja ia malas mengemudi, lebih baik nebeng dengan papa, hitung-hitung mengurangi polusi ibukota yang semakin hari semakin parah.
Pramana menghadiahkan sebuah mobil saat putri semata wayangnya menginjak usia tujuh belas tahun, sudah satu tahun ini, Rindu memiliki mobil sendiri, bahkan surat izin mengemudi sudah ada dalam dompetnya, tak lama setelah kartu tanda penduduk nya jadi.
"Ribet ma, pulang sekolah nanti Rindu kan harus ke tempat les bareng Andini, jadi biar nebeng dia aja,"
Kartika hanya menggeleng, putrinya ada saja alasannya, sebenarnya ia tau jika Rindu tidak seperti remaja seusianya yang hobi pamer harta orang tuanya.
Lihat saja penampilannya, berkaca mata, padahal minusnya hanya seperempat, rambut yang dikepang satu, juga kemeja seragam kebesaran, juga rok yang panjangnya dibawah lutut, padahal teman sekolahnya kebanyakan memakai rok diatas lutut.
Dari segi fisik, Rindu mewarisi kecantikan Kartika, hanya saja gadis itu menutupinya dengan penampilan culunnya.
Wanita yang beberapa bulan lagi akan menginjak umur empat puluh tahun, hanya bisa menghela nafas melihat tingkah laku putri semata wayangnya, begitu juga dengan Pramana.
Rindu mengambil tangan sang mama, menyalaminya dan menciumnya, tak lupa meminta doa agar hari ini diberi kelancaran.
Sama halnya dengan Pramana, ia selalu minta didoakan pada sang istri agar pekerjaannya hari ini lancar.
Lelaki yang menginjak umur empat puluh lima tahun itu bekerja sebagai manajer disalah satu perusahaan yang bergerak di bidang kontruksi terkemuka di negeri ini.
Meskipun sudah memiliki jabatan tinggi, tapi gaya hidupnya, tetap sederhana, setiap harinya Pramana akan minta dibawakan bekal untuk makan siang di kantor, padahal dengan penghasilannya, bisa saja ia membeli makan siang di restoran.
"Ri, ujian kelulusan kamu kapan?" tanya Pramana sembari mengemudikan mobilnya.
"Dua pekan lagi pa, kenapa emang?" tanya balik gadis yang baru menginjak umur delapan belas tahun dua bulan yang lalu.
Pramana manggut-manggut, "Lalu mengenai kuliah, apa kamu sudah menentukan universitas mana yang dipilih?" tanyanya lagi.
"Masih bingung pa, sebenarnya Andini ngajakin Rindu kuliah di Singapura, tapi Rindu nggak mau jauh dari mama dan papa," jawabnya.
Pramana menggelengkan kepalanya, ia mengerti mengapa putri semata wayangnya seperti itu.
"Maafin papa ya, akhir-akhir ini sibuk banget, lagi ada proyek cukup besar di kantor,"
"Nggak apa-apa pa, yang penting papa jaga kesehatan, jangan capek-capek,"
Mobil berhenti tak jauh dari gerbang sekolah dimana Rindu menimba ilmu, gadis itu menyalami tangan sang papa dan mencium punggung tangannya.
Wajah ceria yang ditujukan pada keluarganya, berubah ketika keluar dari mobil.
Di sekolah Rindu sengaja menjadi murid yang pendiam, ia sengaja tak menonjol, ia hanya ingin masa SMA-nya berjalan lancar tak ada masalah apapun, termasuk soal percintaan.
Sama seperti remaja yang sedang mengalami pubertas, Rindu juga tertarik dengan lawan jenis, hanya saja ia memilih tak memprioritaskan hal seperti itu.
Berbeda dengan Rindu, Andini yang merupakan sahabat dekatnya, adalah gadis dengan penampilan modis, selain penampilan, pemikiran keduanya sangat bertolak belakang, termasuk tipe lelaki yang disukai.
Rindu menyukai tipe lelaki yang cerdas dan kalem tak terlalu mementingkan fisik, sedangkan Andini menyukai lelaki tampan, populer dan sedikit nakal.
Keduanya bersahabat sejak bangku sekolah menengah pertama, dirasa nyaman akhirnya mereka bersahabat hingga sekarang.
Sesampainya di kelas, masih belum banyak yang datang, hanya beberapa murid teladan.
Rindu memutuskan membaca latihan soal untuk ujian yang diadakan dua pekan lagi.
"Dor....." Andini yang baru datang sengaja mengagetkan sahabatnya.
Sedikit terkejut, tapi Rindu mencoba terlihat biasa, ia melihat jam dinding diatas white board, "Tumben kesiangan?" tanyanya.
Andini yang duduk di belakangnya, baru saja meletakan tas ranselnya yang berwarna ungu muda, "Gue udah berangkat dari pagi Ri, gue lihat Lo diantar om Pram, tapi ada yang buat gue tertahan diparkiran," jawabnya.
Sebenarnya Rindu malas bertanya, tapi ia tau betul sifat sahabatnya yang akan ngambek jika tidak ditanya tentang alasannya, "Kenapa emang?" tanyanya.
Andini yang telah duduk menarik kursinya agar bisa lebih dekat dengan sahabatnya, "Sini gue bisikin," ujarnya, dan Rindu pun menurut, "Gue lihat Milano lagi ciuman sama Eva di mobil,"
Rindu memilih menghadap ke depan lagi, malas menanggapi kabar tentang salah satu siswa seangkatan yang dibencinya.
"Ri, ko gue dicuekin? Komentar apa kek, kan gue udah cerita," protes Andini.
Rindu memutar bola matanya malas, tapi tak mau membuat sahabatnya ngambek, lalu berbalik dan mengubah ekspresi wajahnya, "Wah.... Masa sih, gila ya, masa disekolah, kayak nggak ada tempat lain, nggak modal banget,"
Andini tertawa melihat akting yang ditujukan sahabatnya, "Mukanya biasa aja ,Ri."
"Serba salah gue Din, nggak gue tanggapi entar Lo ngambek, ujung-ujungnya ngadu ke nyonya Kartika, ditanggepin Lo malah gitu," sahut Rindu.
Andini berdecak, "Dah lah, Lo cukup dengerin apa yang mau gue omongin,"
"Dari tadi gue udah dengerin Andini Raharja,"
Gadis dengan rambut sebahu itu, meminta sahabatnya lebih mendekat, "Tapi masalahnya, Si Melly lagi pedekate sama Milano, lo tau kan? Bisa perang lagi deh,"terangnya.
Rindu kembali ke posisi duduknya, sejujurnya ia sama sekali tak peduli dengan lelaki yang katanya most wanted tempatnya bersekolah, tapi Andini sebagai salah satu fans berat Milano hanya bisa mendengar segala tentang lelaki itu.
"Ya biarin aja Din, lagian mereka yang berantem kenapa kita yang repot, kita cukup jadi penonton,"
"Ya bener sih, tapi kan..."
"Syut... Diem, udah bel, bentar lagi pak Budi masuk," Peringati Rindu pada sahabatnya, mengingat guru matematika sekaligus wali kelas XII IPA 1 yang terkenal galak selalu tepat waktu dalam mengajar.
Bel istirahat berbunyi, setelah murid-murid menyelesaikan pelatihan dadakan yang diberikan pak Budi.
Hembusan nafas lega keluar dari sebagian besar penghuni kelas begitu guru galak itu keluar.
Makian sempat Rindu dengar dari beberapa teman sekelasnya yang ditujukan pada pak Budi, sudah terbiasa bagi dirinya mendengar hal itu.
"Guys.... Malam Minggu besok datang ke acara party gue ya! Itung-itung hiburan menjelang ujian kelulusan, biar otak nggak tegang-tegang amat," Seru Melly memberikan pengumuman pada teman sekelasnya, dia adalah salah satu murid dengan segala kesempurnaannya, cantik, pintar, juara kelas, dan kaya raya.
"Kenapa nggak abis ujian aja sih Mel?" sahut salah satu siswa.
"Ultah gue nggak bisa diundur sayangnya, pokoknya kalian semua harus Dateng, semua tanpa terkecuali, termasuk Lo Rindu," Ucap Melly diakhiri dengan jadi telunjuknya yang tertuju pada salah satu gadis berkacamata dikelasnya.
Rindu menunjuk ke dirinya sendiri, "Kwnapa mesti gue?" tanyanya heran.
Melly menghampirinya, "Karena selama tiga tahun kita sekelas Lo doang yang nggak pernah hadir di party gue,"
Rindu berdecak, semua mata teman sekelasnya tertuju padanya, seolah memintanya untuk hadir, ia sendiri heran kenapa dirinya harus hadir? Toh dirinya tak terlalu penting, "Oke gue dateng, tapi bentar,"
"Seenggaknya sebelum lulus Lo mesti ikut party gue untuk terakhir kalinya," sahut Melly.
Setelahnya, hampir seluruh siswa berbondong-bondong keluar dari kelas termasuk Andini yang tadi sempat mengajaknya ke kantin, namun Rindu menunjukkan kotak bekal yang dibawanya.
Berbeda dengan arah Kantin, Rindu berjalan menuju taman belakang sekolah, biasanya awal istirahat seperti ini, di sana sepi, karena baik teman seangkatan atau para juniornya memilih kantin sebagai tempat istirahat mereka.
Rindu mulai membuka kotak bekal yang tadi dibawakan oleh sang mama, ia tersenyum kecil, ada bentuk bento lucu, tak tega memakannya, tapi perutnya minta diisi.
"Seperti anak SD aja," gumamnya, meskipun sudah mendekati usia dewasa, Kartika sering kali berkreasi membuatkan bekal yang dihias lucu untuk putri semata wayangnya.
Namun baru beberapa suap kegiatannya terganggu dengan kedatangan langkah kaki yang semakin dekat kearahnya.
Rindu menghela nafas, ia tau beberapa kali makan siangnya terganggu oleh kedatangan beberapa siswa yang terkenal nakal disekolah.
Tempatnya saat ini biasanya dijadikan tempat berkumpul usai mereka makan di kantin, untuk sekedar merokok diam-diam atau mengobrol membahas hal random khas remaja.
"Belum lima menit ih, cepet banget pada," gumamnya, dengan terpaksa, Rindu menutup kembali kotak bekalnya.
Namun saat dirinya hendak bangun dan melangkah, ia harus melihat pemandangan yang seharusnya tak dilihatnya.
Dua sejoli sedang beradu bibir yang jaraknya tiga meter dari tempatnya berdiri, sial sekali rasanya.
Rindu menghela nafas, baru tadi pagi ia mendengar lelaki itu beradu bibir dengan gadis yang ia tau adalah adik kelasnya, dan sekarang dengan gadis berbeda, inilah yang membuatnya benci.
Sebenarnya bukan sekali dua kali ia melihat hal semacam ini, beberapa kali ia tak sengaja melihat yang katanya kumbang sekolah beradu bibir dengan perempuan berbeda, tapi masalahnya biasanya sehari hanya satu perempuan, kenapa sekarang hanya berbeda beberapa jam, sudah berbeda perempuan lagi?
"Dasar gila," gumamnya pelan,
Waktu terus berjalan, tak mungkin ia hanya berdiam diri melihat kegiatan itu, rasanya ingin muntah, tapi mengingat perut yang harus diisi, akhirnya dirinya memutuskan melewati kedua sejoli itu begitu saja, seolah tak terjadi apa-apa.
Rindu bisa mendengar umpatan yang keluar dari mulut lelaki itu, mungkin karena kegiatannya terganggu, tapi siapa peduli, perutnya lapar, ia berjalan menuju kelas, lebih baik ia menghabiskan bekalnya di kelas saja, sebelum jam istirahatnya habis.
Usai pulang dari tempat les, Andini mengajak Rindu mengunjungi salah satu pusat perbelanjaan, untuk membeli baju yang akan dikenakan saat menghadiri pesta ulang tahun Melly Sabtu malam.
Awalnya Rindu protes, tapi Andini setengah memaksa, sehingga mau tak mau ia menurut saja, bahkan saat sahabatnya memilihkan untuknya.
Dress hitam tanpa lengan dengan panjang diatas lutut, begitu pas ditubuh gadis berkepang satu itu.
"Din, apa nggak kelewat seksi? gue malu,"keluh Rindu begitu keluar dari bilik sembari menutupi dadanya.
Andini menggeleng, "sekali-kali Lo mesti modis, toh kata Melly ini pesta topeng jadi mereka nggak ada yang sadar kalau itu elo,"
Karena bujuk rayu sahabatnya, akhirnya Rindu terpaksa membeli dress dengan model V neck itu.
Usai berbelanja, keduanya langsung menuju parkiran bawah tanah, dimana mobil milik Andini terparkir.
Namun sesuatu yang tadi dilihat kedua gadis itu di sekolah, kembali terpampang nyata, tepat di samping mobil.
Dua ekspresi berbeda ditujukan oleh mereka, Andini berbinar-binar melihat kegiatan dua sejoli yang sedang beradu bibir dan lidah, sedangkan Rindu terlihat hampir saja mual, untuk kedua kalinya dalam satu hari ia melihat secara live adegan yang diperankan oleh Milano dengan wanita yang berbeda.
"orang gila, sehari tiga kali ciuman dengan cewek beda-beda, benar-benar sakit jiwa,"gumamnya pelan lalu melirik sahabatnya,Rindu mengusap wajah Andini, "iler Lo netes tuh,"ejeknya.
Bodohnya Andini malah menyeka sisi bibirnya, nyatanya tak ada apapun, gadis itu memicingkan matanya, kesal kegiatan mengamati lelaki yang disukainya terganggu.
"balik yuk, udah mau magrib, entar nyonya Kartika ngambek sama gue,"ajak Rindu melihat jam dipergelangan tangannya.
Andini menahan tangan sahabatnya, "diem dulu sini Ri, ya kali kita gangguin mereka, gue denger, Milano paling nggak suka diganggu, dan gue juga nggak berani,"
"Cemen Lo,"ejek Rindu pada sahabatnya, "sini biar gue yang nyetir,"ujarnya sembari mengambil kunci mobil yang dipegang oleh sahabatnya, karena kedua sejoli itu berdiri tak jauh dari pintu kemudi bersandar di tembok.
Dengan santainya, Rindu melewati dua sejoli yang masih sibuk bercumbu tak tau tempat itu.
Rindu sengaja membanting pintu dan menyalakan klakson, hal itu sengaja ia lakukan untuk mengagetkan mereka, terbukti Milano melepaskan ciuman itu.
Rindu menyunggingkan senyumannya, melihat tatapan amarah dari Milano, tapi siapa peduli.
"gila Lo Ri, Milano marah banget kayaknya, kan gue bilang dia nggak suka diganggu kalau lagi sama cewek, mana pake mobil gue lagi, duh.... Mampus gue,"ungkap Andini khawatir.
Rindu cekikikan, bahagia rasanya mengganggu lelaki brengsek itu, "santai aja kali, emang dia kurang kerjaan apa hafalin mobil orang,"
"Ri, Lo nggak tau apa? Milano itu pendendam, dia paling nggak suka diganggu, gue denger gosip ada adik kelas kita yang nggak sengaja ganggu dia lagi berduaan sama salah satu ceweknya, itu adik kelas, dibikin babak belur sepulang sekolah,"
Tentu hal itu diketahui oleh Rindu, saat kejadian, secara tak sengaja ia lewat, ia tau bagaimana brutalnya Milano menghajar adik kelas tanpa ampun.
Dengan tanpa rasa bersalah, lelaki itu bersama teman-temannya meninggalkan begitu saja, sang adik kelas yang sudah terkapar tak berdaya.
Dan Rindu lah yang membawa korban ke rumah sakit tak jauh dari sekolah juga menghubungi pihak keluarga.
"kayaknya untuk sementara, gue nggak bisa bawa mobil ke sekolah deh, gue takut,"keluhnya.
Rindu hanya menaikan bahunya tak peduli, toh jika tak membawa mobil, Andini bisa meminta papa / kakaknya ke sekolah.
Keesokan harinya, lagi-lagi ia harus melihat hal yang sama, dengan perempuan yang berbeda.
Entah mengapa, Rindu merasa dirinya benar-benar tak beruntung, harus disuguhi pemandangan yang dibencinya.
Membayangkan berapa banyak kuman dan bakteri yang tertukar akibat kegiatan bertukar Saliva itu, membuatnya jijik.
Hari berikutnya tak mau melihat hal memuakan lagi, Rindu memutuskan untuk memakan bekalnya di kelas saja.
Hanya ada beberapa murid yang berada di kelas, sekadar bercerita, mengerjakan tugas atau sama seperti dirinya yang membawa bekal dari rumah.
Usai mengosongkan kotak bekalnya, Rindu memutuskan ke toilet, tapi ia harus disuguhi pertengkaran dua sejoli tepat didepan toilet yang sepi.
Itu Milano dan Rachel, menurut informasi yang pernah ia dengar dari Andini, Rachel yang merupakan siswi kelas XII IPA 3 merupakan salah satu mantan pacar Milano tiga bulan yang lalu.
Dari yang ia dengar, ia mengambil kesimpulan, jika Rachel meminta mereka menjalin hubungan kembali.
Namun Milano sialan itu menolak mentah-mentah bahkan mengatai salah satu perempuan tercantik di sekolah, dengan kata-kata yang tidak pantas.
"kalau kamu nggak mau balikan, aku mau lompat aja,"ancam Rachel, saat ini mereka berada di lantai tiga gedung sekolah.
"silahkan, itu bukan urusan gue b*tch," Milano dengan santai melenggang meninggalkan Rachel yang terduduk dilantai sambil menangis tersedu-sedu.
Ingin rasanya, Rindu menenangkan wanita itu, tapi ia tak berani mendekat, ia tau betul, Rachel memiliki harga diri tinggi.
Akhirnya Rindu memutuskan turun menggunakan toilet lantai dua, sungguh ia tak ingin jadi pahlawan kesiangan.
Baru saja keluar dari toilet, kehebohan terjadi di luar, ia bingung mengapa adik kelasnya berlarian turun.
"apa gempa?"gumamnya pelan, "tapi kok gue nggak berasa,"
Rindu menghentikan langkah salah satu teman sekelasnya yang hendak naik ke atas, "Kasih, ada apaan sih?"tanyanya.
"ada yang mau bunuh diri Ri, di atap,"jawab kasih.
Rindu diam mencerna apa yang dimaksud Kasih, ia jadi teringat pertengkaran lelaki brengsek itu dengan Rachel beberapa saat yang lalu, "Apa dia ya?"tanyanya sendiri.
Andini datang tergopoh-gopoh, "Ri, Rachel mau bunuh diri, ikut gue yuk nenangin dia,"setelah mengatakannya, Rindu diseret agar mengikuti sahabatnya.
Sepanjang jalan menaiki tangga, Rindu menolak, tapi Andini tetap kekeh mengajaknya, "entar kalau ada yang bunuh diri, sekolah kita jadi angker gimana?"
"bentar lagi kita lulus, mau angker atau nggak, bukan urusan kita,"
"tapi kita belum ujian Ri,"
Malas menanggapi, Rindu memilih diam, tapi tetap mengikuti sahabatnya menuju atap sekolah.
Sesampainya di sana, sudah banyak murid kelas XII dan guru serta sekuriti sekolah.
Sedangkan Rachel berdiri tepat di pagar pembatas, Bu Rahma wali kelas XII IPA 3 mencoba menenangkan anak didiknya.
"turun Rachel, sini sama ibu, kita omongin baik-baik, bunuh diri itu dosa, Tuhan akan marah jika hambanya seperti ini,"bujuk Bu Rahma.
Dengan linangan air mata Rachel menggeleng, "nggak ada yang menginginkan aku, jadi buat apa aku hidup,"teriaknya.
Beberapa bujukan juga dilontarkan oleh teman sekelas dan guru-guru lainnya, tapi tak kunjung membuat gadis cantik itu mengurungkan niatnya.
beberapa menit berlalu, lelaki yang menjadi sumber kegalauan Rachel datang bersama kedua temannya.
Bu Rahma yang baru mengetahui alasan anak didiknya melakukan hal nekad itu sampai memohon pada Milano, agar bisa membujuk Rachel.
Tapi jawaban lelaki yang katanya tampan itu membuat mereka tercengang, "biarin aja sih Bu, dia mau mati atau nggak, toh dia yang rugi, udah ya, nggak usah panggil saya lagi,"ucapnya santai sembari meninggalkan tempat itu.
Rachel yang mendengar langsung penolakan terang-terangan dari mantan pacarnya semakin histeris, mungkin gadis itu tak menyangka, akan seperti ini.
Saat itulah, pak Budi dan sekuriti, berhasil menarik tubuh Rachel agar turun dari pagar pembatas itu.
Helaan nafas lega terdengar dari mereka yang menyaksikan drama percintaan itu.
Bu Rahma segera memeluk Rachel yang terus menangis meratapi kisahnya.
Semenjak sore Andini telah tiba di rumah Rindu, gadis berambut sebahu itu meminta tolong pada Kartika untuk mendandaninya.
"apa nggak apa-apa kalian pakai baju kayak gitu?"tanya perempuan berusia empat puluh tahun melihat dua gadis yang mengenakan dress cukup terbuka di bagian dada.
"tenang Tan, Dini udah siapin ini,"Andini mengeluarkan kotak berisi dua scarf motif abstrak hanya berbeda warna.
Kartika memasang scarf dimasing-masing gadis dihadapannya, mundur beberapa langkah untuk menilai, "kok nggak met cing ya!"
Rindu memandang dirinya sendiri, "Din, kita ganti aja ya, ini kependekan deh, gue nggak nyaman,"ujarnya sembari menurunkan dress yang dipakainya.
Andini menggeleng, "sekali-kali boleh kan Tante, kan udah punya KTP,"ucapnya memperlihatkan wajah imutnya.
Rindu menggeleng begitu Kartika menatapnya seolah meminta pendapatnya,
"pake cardigan aja gimana? Tapi nanti dilepas saat ditempat pesta,"usul Kartika pada akhirnya.
Dua ekspresi berbeda ditujukan dari gadis itu, Andini berbinar karena ia dan sahabatnya memakai dress pilihannya sedangkan Rindu hanya bisa menghela nafas pasrah.
"tapi ngomong-ngomong tempat pestanya di ballroom hotel kan?"tanya Kartika memastikan.
"di undangan sih gitu, kenapa emang ma?"tanya balik Rindu.
Kartika terdiam sejenak, sedikit ragu, tapi ia segera menepis pikiran buruk yang sempat melintas, "nggak apa-apa kok, tapi nggak ada minuman alkohol kan?"tanyanya lagi.
Andini melambaikan kedua tangannya, "ya nggak lah Tante,"jawabnya sedikit gugup, beberapa kali ia mengikuti pesta yang diadakan teman sekolahnya tanpa Rindu.
Meski ada sesuatu yang mengganjal, akhirnya Kartika melepas kepergian putri semata wayangnya untuk pertama kalinya pergi ke pesta diluar rumah.
Andini mengemudikan mobil merah miliknya, "pokoknya Lo nggak boleh jauh-jauh dari gue Ri, terus jangan sembarang minum yang disodorkan ke elo, tanya gue dulu kalau sekiranya mencurigakan, terus satu lagi, lepas kaca mata Lo, khusus malam ini,"
"mata gue rabun,"
"gue udah bawain Lo softlens sesuai sama minus seperempat Lo, pokoknya malam ini kita harus tampil beda,"ujarnya sembari menyodorkan Sling bag cokelat miliknya, "sekalian ambil topeng disitu,"tunjuknya dengan dagu ke arah dashboard tepat didepan sahabatnya.
Mobil berwarna merah itu memasuki parkiran bawah tanah salah satu hotel ternama di ibukota.
"ingat semua pesan gue, ngerti Lo!"
Rindu hanya mengangguk, sembari melepaskan cardigan yang dikenakannya.
Andini mengajak sahabatnya menuju toilet terlebih dahulu, untuk mengecek make up dan penampilannya.
Sejujurnya Rindu sedikit gugup, tapi berusaha menyembunyikannya, ia tak ingin sahabatnya mengomel.
Namun gadis yang malam ini mengurai rambut sepunggungnya, terkejut dengan fakta, bahwa pesta yang kata Andini diadakan di ballroom nyatanya berada di club' malam.
Hampir saja Rindu berbalik, namun Andini malah menyeretnya kedalam setelah menunjukkan undangannya pada petugas yang berjaga di pintu masuk club'.
Dentuman musik memekakkan telinga, Rindu benar-benar tak nyaman, dirinya benci suasana berisik ini, ingin protes tapi percuma, Andini tak melepaskan tangannya.
Kini keduanya duduk di salah satu table yang disediakan khusus untuk teman-teman Melly.
"Ri, turun yuk,"ajak Andini dengan suara meninggi, mengingat suara berisik musik yang dimainkan Disc jockey.
Rindu menggeleng, tapi pada akhirnya ia hanya bisa pasrah ketika sahabatnya menyeret ke dance floor bergabung dengan pengunjung pesta yang lain.
Rindu yang baru pertama kalinya terlihat kaku, berbeda dengan Andini yang seolah sudah terbiasa.
Suasana semakin meriah saat disc jockey mengucapkan selamat ulang tahun pada ratu pesta malam ini.
Masih dengan gerakan yang kaku, Rindu mendongak ke arah panggung dimana disc jockey tampil berdampingan dengan Melly dan sahabatnya.
Disela-sela musik dimainkan sekali lagi disc jockey itu memberikan selamat karena Melly baru saja meresmikan hubungan percintaannya dengan lelaki berinisial sama dengan huruf depannya.
"menurut Lo siapa Ri?"tanya Andini sembari menggerakkan tubuhnya.
Rindu menaikan bahu tak peduli, masa bodoh bukan urusannya.
"kayaknya Milano deh,"ucap gadis yang mengenakan topeng hitam bermotif kupu-kupu berwarna ungu tua.
Lagi-lagi Rindu menaikan bahunya tak peduli, "Din, gue haus, minum yuk,"ajaknya.
Andini mengangguk dan keduanya berjalan menuju meja bartender untuk memesan minuman.
Seolah terbiasa, gadis dengan potongan rambut sebahu itu mengajak sahabatnya duduk di stoll berhadapan dengan bartender yang sedang sibuk meracik minuman.
Andini menepuk bahu sahabatnya, "lihat tuh,"tunjuknya pada sekumpulan lelaki yang tak mengenakan topeng disalah satu table tak jauh dari tempatnya.
Rindu menoleh, di sana ia melihat Milano dan para sahabatnya yang sedang minum-minum ditemani beberapa wanita.
"kapan ya gue bisa jadi salah satu dari mereka?tanya Andini.
"maksudnya?"tanya Rindu bingung.
"gue pengen punya pacar salah satu cowok itu, syukur-syukur jadi pacarnya Milano,"jawab Andini dengan tatapan penuh harap.
Rindu menggeleng, sama sekali tak ada keinginan untuk dekat dengan brandal sekolah yang sehari-hari hanya berbuat onar.
Minuman disajikan, Rindu mengamati sahabatnya menyesap gelas berkaki dengan minuman berwarna merah itu.
Sedikit takut tapi Rindu tetap mencobanya, ia sedikit penasaran, rasanya manis sedikit asam tapi segar, entah apa nama minuman itu, ia malas bertanya.
Andini Kembali berceloteh tentang kekagumannya pada kumpulan lelaki brandal sekolah, satu persatu sahabat Milano disebutnya.
Dimulai dari lelaki yang katanya tertampan di kumpulan itu, siapa lagi kalau bukan Milano, remaja dengan tinggi lebih dari seratus delapan puluh itu, memiliki tatapan mata yang tajam, dengan bola mata cokelat terang, berhidung mancung, jago basket dan berenang tapi brengsek suka bergonta-ganti pacar layaknya baju.
David, berperawakan hampir sama dengan Milano, hanya saja berkulit eksotis dan memiliki Mata berwarna hitam.
Vino, lelaki yang lebih pendek, beberapa centi, berwajah oriental khas keturunan Cin-do.
Dan penjelasan lainnya yang malas didengar oleh Rindu, tanpa dijelaskan ia tau semua remaja nakal itu, karena Andini berkali-kali menceritakan hal yang sama.
Belum lagi omongan yang sering ia dengar tentang mereka baik dari teman sekelas, seangkatan ataupun adik kelas.
Sampai muak rasanya jika mendengarnya, hanya saja untuk menjaga hubungan persahabatan yang sudah terjalin hampir enam tahun itu tak ada pilihan lain selain mendengarkan dan menanggapi sekenanya.
Entah berapa lama Rindu hanya menjadi pendengar dari cerita-cerita yang dilontarkan oleh Andini, semakin lama rasanya ia mulai mengantuk, meskipun suasana disekitarnya bising.
Menyadari hal itu, Andini menepuk paha sahabatnya, dan mengajaknya ke toilet, sekedar merapihkan make up mereka.
Sayangnya pemandangan tak mengenakan terpampang nyata di sepanjang lorong menuju toilet.
Dengan pencahayaan remang-remang, Kedua gadis itu bisa melihat beberapa sejoli sedang bercumbu, ada yang mereka kenal sebagai teman seangkatan.
Rindu memilih masuk ke salah satu bilik toilet, entah mengapa tiba-tiba perutnya mulas, "Din, kayaknya gue agak lama deh, nggak apa-apa kan? Perut gue nggak enak,"
Andini yang sedang mencuci tangan mengiyakannya,
Lima menit berlalu, Rindu tak kunjung keluar dari bilik toilet,
"Ri, Kasih nyariin, gue pergi bentar ya, Lo jangan keluar sebelum gue jemput, Lo jangan sampai sendiri, ngerti Lo!"peringati Andini mewanti-wanti.
"Iya Andini, perut gue juga masih mules nih, kayaknya nggak cocok sama minuman tadi deh,"
"Ingat ya Ri, Lo jangan keluar sebelum gue dateng, bahaya,"sekali lagi Andini mengingatkan sahabatnya.
Tak lama Andini pergi, segerombolan wanita masuk, yang jelas Rindu bisa dengan jelas mendengar pembicaraan diantara mereka, sepertinya ia mengenali suara itu.
"udah Lo pastiin kan Milano minum?"tanya salah satu perempuan.
"tenang aja Mel, tinggal nunggu reaksi aja, terus yang lain juga udah pada masuk kamar,"
"mending sekarang Lo siap-siap di kamar,"
"akhirnya Malam ini Milano jadi milik gue sepenuhnya, makasih banyak ya,"
"apa sih yang nggak buat Lo,"sahut beberapa wanita secara bersamaan.
Rindu terdiam, sejujurnya ia sedikit bingung apa yang mereka bicarakan, tapi sepertinya sesuatu yang tidak baik,
Ia tak menyangka Melly yang terlihat bak malaikat melakukan hal curang untuk mendapatkan Milano, apa teman sekelasnya lupa apa yang terjadi dengan Rachel beberapa hari lalu.
Padahal secara fisik Rachel jauh lebih cantik dibanding Melly, karena Rachel dinobatkan sebagai ratu sekolah tahun lalu disandingkan dengan Milano.
Masa bodoh, bukan urusannya, karena urusan hajatnya sudah selesai, Rindu keluar dari bilik, ia menggerutu, sembari mencuci tangannya, tak habis pikir dengan wanita yang menggilai lelaki brandal seperti Milano, padahal harusnya mereka tau akhir kisahnya.
Dengan mudah akan dicampakkan begitu saja oleh lelaki yang katanya tampan itu.
Seolah lupa dengan peringatan sahabatnya, Rindu keluar dari toilet dan menyusuri lorong, yang seingatnya jalan menuju tempat pesta.
Beberapa saat kemudian barulah Rindu tersadar, sepertinya dirinya tersesat, karena sedari tadi ia menundukkan kepalanya, malas melihat pemandangan tak pantas.
Ia celingak-celinguk, lorong sepi yang di kanan kirinya terdapat banyak pintu yang masing-masing tertempel nomor.
Ia memutuskan mencari keberadaan lift, sayangnya saat kotak besi terbuka, dua pasang sejoli sedang bercumbu, membuatnya mengurungkan niatnya.
"turun lewat tangga darurat aja kali ya,"gumamnya.
Rindu membuka pintu tangga darurat, lebih baik menunggu Andini di parkir bawah saja, langkahnya terhenti sejenak, untuk mengirimi pesan pada pada sahabatnya.
Baru melawati satu lantai, ia dikejutkan dengan seseorang yang tengah duduk dibelakang pintu tangga dilantai bawahnya.
Meski sedikit takut, tapi Rindu mencoba memberanikan diri melewati lelaki berkaos hitam, dengan jas warna senada yang diletakan begitu saja dilantai.
Namun sayangnya, dress miliknya ditahan oleh lelaki itu saat ia melintas,
Keduanya bertemu pandang, Rindu melebarkan matanya terkejut, itu Milano dengan wajah memerah dan berkeringat,
"bantuin gue please,"pinta lelaki itu memohon.
Kenapa dari sekian tempat, ia harus bertatap muka dengan lelaki sialan itu?
Rindu mencoba melepaskan tangan yang memegang dress-nya, "lepasin, gue mau turun,"
"please bantuin gue,"pinta Milano lagi yang terlihat semakin gelisah.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!