"Apa yang terjadi, Bu? Kenapa menangis?" Elnara terkejut melihat ibunya sesenggukan di ruang tamu.
Baru saja Elnara ingin menyampaikan kabar gembira bahwa ia ditunjuk sebagai ketua senat di kampus, namun urung. Begitu pulang kuliah, ia malah disambut dengan pemandangan tangis pilu.
Linol, ibunya Elnara tidak menjawab, masih sesenggukan. Pundaknya bergetar hebat. Dia tampak sangat frustasi.
"Ibu ingin menikahkan aku dengan duda beranak satu, cacat pula. Bahkan terkenal kejam," jawab Afsa, saudara kembar Elnara yang sejak tadi melipat tangan di dada dengan pandangan angkuh. "Tentu saja aku nggak mau. Dan ibu menangis karena frustasi atas penolakanku."
"Benar, Bu?" Elnara menghampiri Linol yang duduk di kursi. Ditatapnya wajah sendu ibunya dengan teduh.
"Hutang ibu pada keluarga Ghazanfar tidak bisa ibu lunasi. Perekonomian kita sulit. Ibu akan dituntut jika tidak bisa melunasinya." Linol menjelaskan perkara yang sama sekali tidak diketahui oleh para putrinya, perkara yang hanya diketahui oleh orang tua.
Bermula ketika Linol ingin membuka pabrik besar karena terobsesi ingin menjadi bos besar supaya menjadi kaya raya, namun malah bangkrut. Hutang dengan nilai fantastis tak sanggup dia lunasi.
"Apa ayah tahu soal ini sebelumnya?" lirih Elnara.
"Tidak. Ayahmu tidak tahu, bahkan sampai ayahmu meninggal seminggu yang lalu, hal ini tidak diketahui olehnya." Linol menghela napas. "Jalan satu-satunya untuk menyelesaikan masalah ini adalah menikahkan Afsa kepada Emir Ghazanfar. Itulah permintaan Emir supaya hutang dianggap lunas."
"Aku nggak mau. Suruh saja Elnara yang menikah dengan si duda cacat itu!" hardik Afsa dengan keras, menatap Elnara dengan muak.
Sejak dulu, segala sesuatu tentang Elnara selalu saja menjadi persaingan hebat bagi Afsa. Tak ada satu hal pun tentang Elnara yang terlewat dari pengawasan Afsa untuk dijadikan bahan rasa iri. Bahkan di kursi kuliah pun Afsa selalu menganggap Elnara sebagai saingan, bukan kembaran.
Mereka memiliki wajah yang serupa, hampir sulit membedakan jika bukan Linol sebagai ibu kandung yang membedakannya. Kembar identik. Namun sifat dan perangai keduanya jauh bertolak belakang.
"Enggak. Bukan aku yang seharusnya di posisi itu," tolak Elnara. Menikah? Haruskah ia melihat terong unik yang bisa saja membuatnya menjerit saat didekati? Tidak. Elnara belum siap untuk hal itu.
"Selama ini kamu yang selalu mendapat keunggulan, baik di mata ayah, di mata dekan, di hadapan teman- teman, lalu kenapa sekali saja kamu nggak mau merasakan bagaimana tersudutnya saat di posisi aku, kenapa kamu nggak mau menggantikan posisi aku yang sulit ini?" hardik Afsa dengan mata membelalak kesal.
Melihat Afsa yang keras kepala dan membantah habis- habisan akan perintah untuk menikah, Linol kehabisan akal. Ia pun berkata, "El, kamu saja yang menikah dengan Emir."
Sontak Elnara terkejut bak mendengar petir di siang bolong. Selalu saja begini, Elnara menjadi tong yang disiapkan untuk menampung sampah. Apa- apa saja yang tidak disukai oleh Afsa, pasti akan dibuang kepada Elnara.
"Enggak, Bu. El nggak mau. El belum ingin menikah." Elnara tentu saja menolak, mengingat usianya yang masih muda dan ia juga masih ingin melebarkan sayap untuk menggapai cita-cita. Selain itu, kuburan ayahnya juga belum kering. Baru seminggu Elnara ditinggal pergi oleh ayahnya dan bahkan masa berkabung itu belum hilang, ia sudah dihadapkan dengan masalah berat yang mengikis masa depannya.
Elnara menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri ketika sang ayah ditabrak dengan kencang oleh sebuah mobil sport. Elnara juga melihat wajah pelaku dengan jelas. Kesedihan itu masih jelas terasa, membekas dan tak akan hilang.
"Sudah! Jangan mendebat! Ibu tidak mau ada bantahan lagi. El, jadilah pengantin untuk Emir!" titah Linol yang kali ini dengan nada mendominasi.
Elnara hanya bisa membisu, menunduk sedih.
Linol sadar sepenuhnya, bahwa Afsa yang notabene terlahir tiga puluh menit lebih awal dari Elnara itu akan melakukan pembangkangan hebat saat dia menolak sesuatu, sedangkan Elnara pasti akan mengalah dan pasrah. Menghadapi Elnara akan jauh lebih baik dari pada berurusan dengan Afsa.
Elnara berpikir keras, mencari cara supaya bisa terlepas dari perintah pernikahan yang mungkin akan merenggut masa depannya dengan buruk. Menikah dengan seorang duda tak dikenal di usia yang masih sangat muda, itu adalah bayangan buruk bagi Elnara.
Sepertinya ia harus kabur dari rumah itu, melarikan diri entah kemana. Ya, itu ide bagus.
"Sini kamu!" Afsa menarik lengan Elnara, membuat bayangan di pikiran Elnara buyar entah kemana.
"Mau kemana?" Elnara memberontak, namun kalah kuat dengan semangat Afsa.
"Ikut saja!"
"Afsa, mau ngapain?" Elnara menoleh ke arah Linol, yang malah hanya diam dan tak melakukan apa pun.
Afsa menyeret Elnara memasuki sebuah kamar. Bukan kamar milik Elnara, tapi kamar tamu.
"Diam di sini sampai hari pernikahanmu tiba!" Afsa mengunci pintu dari luar.
"Afsa, jangan lakukan ini padaku! Aku nggak mau menikah! Afsa, keluarkan aku dari sini!" Elnara berteriak sambil memukuli pintu, tapi percuma, Afsa tak mempedulikannya. Bahkan Linol pun sama sekali tak muncul. Wanita itu memilih untuk mencari bagian yang aman.
***
Bersambung
Masih stay sama author Emma Shu gak nih? Yuk, ramaikan dan ajak temen baca yah. Pembaca Emma Shu ini mayoritas di usia berapa ya? Biar Emma bisa sesuaikan ceritanya, apakah kalian mayoritas suka rumah tangga, anak kuliahan, remaja SMA, atau apa? Salam buat semuanya 🥰🥰
Dengan wajah yang terus saja terlihat cemberut, Elnara mematung ketika tukang rias menggerakkan alat make up ke wajahnya.
Sejak tadi air mata terus menetes, tak henti berguguran di pipi halus Elnara. Bagaimana tidak? Rumah sudah dipenuhi oleh orang- orang yang tengah mempersiapkan pernikahannya.
“El, jangan menangis terus! Dandananmu rusak. Lihat tuh maskaranya jadi jelek begitu!” Linol mulai kesal melihat Elnara yang terus saja menangis.
Kalau boleh ditahan, Elnara pun ingin menahan air mata itu supaya tidak meleleh. Tapi apalah daya, hatinya kebas sekali di hari pernikahan dengan pria asing yang sama sekali tak dikenal. Masa depannya seakan runtuh.
Ah, ia ingat bahwa pria itu duda cacat, artinya pria itu tidak memiliki kekuatan apa pun karena kekurangan fisik yang dia miliki. Kalau saja pria itu mendekatinya di malam pertama, maka ia akan menonjok pria itu dengan keras supaya jangan macam- macam.
“Ini kamu lakukan demi ibu, supaya ibumu tidak dituntut. Kamu tidak mau ibumu masuk penjara karena dianggap menipu kan?” Linol menekan- nekan kapas ke wajah Elnara dengan kuat supaya wajah sembab itu kering dari siraman air mata.
“Aku takut, Bu.”
“Takut kenapa? Kamu mau menikah dengan manusia, bukan dengan zombie, lalu kenapa takut?”
“Aku nggak kenal sama lelaki itu.”
“Nanti kalau sudah menikah kan pasti juga kenal. Sudah jangan menangis lagi! Orang- orang di luar sana sudah menunggu. Jangan bikin ibu malu!” Linol memaksa.
“Seharusnya Afsa yang menikah, bukan aku. Dia kan kakakku.”
“Sudah, jangan bahas itu lagi. Ayo berdiri!”
Elnara terpaksa bangkit berdiri mengikuti tarikan tangan ibunya. Ia melirik Afsa yang berdiri di sisi pintu, masih di dalam ruangan kamar. Dagu gadis itu mendongak, menatap angkuh dengan senyum skeptis.
Huh, dia terlihat senang sekali melihat kembarannya di posisi menderita begini. Seakan- akan kemenangan berpihak kepadanya. Kenapa Afsa malah jadi sperti musuh begini? Padahal dia adalah satu- satunya saudara bagi Elnara.
Afsa tidak mau keluar dari kamar itu. Ia bersembunyi di sana, takut keluarga Ghazanfar mengetahui bahwa Elnara memiliki saudara kembar yang sebenarnya adalah pengantin aslinya.
“Ingat, jangan menangis lagi! Jangan bikin malu di depan Emir dan di depan semua orang!” bisik Linol pada Elnara.
Pasrah, Elnara akhirnya melangkah melewati karpet merah menuju ke kursi yang sudah disediakan. Disaksikan oleh tamu yang telah menanti sejak tadi.
Untung saja ia dituntun Linol hingga menduduki kursinya. Kalau tidak dituntun, maka ia pasti sudah memilih untuk merangkak gaya kucing sambil garuk- garuk kepala supaya dikira gila. Tapi tatapan Linol di sisinya membuatnya seperti diancam dengan pisau belati hingga membuatnya patuh.
Elnara sudah duduk bersisian dengan pria yang tak tahu entah siapa, wajahnya seperti apa, sifatnya bagaimana, bahkan sedikit pun tentang pria itu, Elnara tak tahu apa- apa. Ia tak sudi menatap wajah calon suaminya, yang tega- teganya mempersunting gadis yang masih duduk di bangku kuliah hanya untuk merawat dirinya yang cacat.
Lelaki macam apa yang memaksa gadis muda untuk dinikahi dengan statusnya yang sudah duda? Huh!
Sedikit wejangan disampaikan oleh wali hakim untuk kedua mempelai. Hingga akhirnya tangan putih yang besar itu menjabat tangan wali hakim untuk mengucap ikatan janji suci pernikahan.
“Saya terima nikah…”
“Watsiiiy!” Elnara bersin, menghentikan ucapan Emir.
Gemuruh tawa kecil terdengar di sudut ruangan.
Elnara masih di posisi menunduk sambil memegangi tisu yang baru saja diberikan oleh Linol. Ibunya itu duduk di belakang kursi Elnara.
Kembali Emir melantangkan suara untuk acara sakral ini.
“Watsiiiy watsiiiy watsiiiy!” Elnara tak berhenti bersin. Dalam hati, ia berharap bersin pura- pura itu akan mengutuk semua orang yang ada di sana supaya tertidur. Tapi itu pasti hanya ada di dalam dongeng.
Suara bersin Elnara yang jauh lebih keras dibanding suaranya Emir, membuat pria itu menghentikan ucapannya.
“El, kenapa bersin terus?” bisik Linol sambil mencubit pinggang Elnara.
Duh! Sakit! Sepertinya usaha Elnara hanya akan sia- sia. Pernikahannya tak akan mungkin bisa batal. Apa lagi ibunya sudah mengancam begini. Bisa celaka kalau dia akhirnya malah digunduli dan dijungkir di kolam ikan belakang rumah.
“Mungkin ada upil yang mengganggu di hidung, apa bisa dibersihkan dulu?” ucap Emir dengan suara mendominasi dan penuh dengan ketegasan.
Elnara hanya diam dan masih menunduk. Tak mau menjawab. Enak saja dia membahas upil di saat begini. Tidak lucu!
“Ini mungkin efek grogi, jadi bawaannya dingin dan bersin- bersin terus. Maklumlah calon pengantin baru,” seloroh wali hakim dengan senyum simpul.
Membuat seisi ruangan menanggapi dengan tawa menggemuruh.
Kenapa mereka malah tertawa? Dipikir lucu? Elnara kesal sekali, namun tak berdaya untuk melawan keadaan.
Hingga akhirnya para saksi mengucapkan satu kata ‘sah’ untuk acara pernikahan itu.
Tubuh Elnara terasa lemas. Mendadak frustasi dalam hitungan detik. Pernikahan itu membuktikan bahwa ia sudah menyerahkan jiwa raganya untuk si duda cacat.
Rasa sedih bercampur frustasi membuatnya kehilangan kendali hingga kesadarannya hilang.
“Eeeeeh…”
Para ibu- ibu di bagian depan berteriak histeris melihat tubuh elnara yang terhuyung kemudian ambruk. Untungnya Emir cepat menangkap tubuh itu.
Para tamu pun bergegas membantu mengangkat tubuh Elnara.
***
Pertama yang tampak di depan Elnara adalah wajah sosok asing. Wajah bak malaikat di film- film holywood yang tampan dan bikin tak bisa tidur saat pertama melihatnya, hidung mancung, mata gelap, wajah eksotik dengan bulu kasar di sekitar rahang, serta tatapan yang tegas.
Apakah ini sudah di alam kubur? Kenapa ada malaikat setampan itu?
“Cepat bangun dan tukar pakaianmu!”
Elnara terkejut, sosok yang dia anggap malaikat itu berbicara. Artinya dia tidak sedang di alam kubur. Ia menatap ke sekeliling, yang ternyata sedang berada di kamar asing sekarang.
Tunggu dulu! Elnara mengingat- ingat sesuatu. Sepertinya ia pernah melihat wajah sosok pria tadi. Bukankah itu adalah wajah orang yang menabrak ayahnya hingga meninggal duni?
Elnara mengembalikan pandangannya pada wajah pria yang duduk di dekat ranjang tempat tidurnya. Benar, pria itu adalah penyebab ayahnya Elnara meninggal dunia.
Masih sangat jelas terekam di ingatannya bagaimana kejadian mencekam beberapa waktu lalu, ayahnya yang sedang berjalan di sisi jalan kemudian dihantam oleh mobil sport dengan sangat kencang. Elnara berlari mendekati sang ayah yang akhirnya menghembuskan napas terakhir di pangkuannya dengan bersimbah darah.
Dengan kedua mata kepalanya, jelas ia melihat si pelaku berada di dalam mobil memegangi setiran.
Tidak ada saksi mata, kecuali hanya dirinya. Elnara bingung, dia hanya memikirkan bagaimana ia bisa memakamkan ayahnya dengan tenang. Di tengah rasa frustasi dan kebingungan yang melanda, Elnara tak bisa menuntut apa pun pada si pelaku karena sudah ada tanda tangan basah di atas kertas yang menyatakan bahwa keluarga korban menyatakan damai dan tanpa ada tuntutan atas kecelakaan tersebut.
Kapan Elnara menandatangani surat itu? Dan ia baru ingat, ia menandatangani di rumah sakit. Surat itu nyelip diantara surat- surat yang dikeluarkan oleh pihak rumah sakit.
“Kenapa kamu ada di sini?” pekik Elnara menatap kesal pada pria itu.
“Ini rumahku.”
Elnara terkejut. Ia bangkit duduk.
“Cepatlah bangkit dan segera tukar pakaianmu!” ulang pria itu.
Elnara melihat ke arah tubuhnya sendiri yang masih mengenakan kebaya pengantin.
Melihat Elara yang masih tampak bingung dengan raut wajah masamnya, pria itu kemudian berkata, “Jangan membantah, istriku!”
Terkejut, Elnara hampir menjawab, namun pria itu sudah berlalu keluar dengan kursi rodanya yang bergerak secara elektrik.
Istriku?
***
Elnara sedang membuat ramuan di dapur, ramuan sesuai yang dicatat oleh Emir di kertas. Itulah minuman yang rutin diminum oleh Emir setiap hari.
Enak sekali pria jahat itu menyuruhnya menjadi babu, memperlakukan istri seperti pembantu, aku dijadikan istri hanya untuk merawat dirinya yang cacat. Padahal jelas- jelas dia adalah orang yang merugikan kehidupan ayahku, bahkan dengan kejam membuat surat pernyataan damai tanpa sepengetahuanku.
Elnara meracik bahan minuman dengan gerakan kasar. Sesekali menyentak barang apa saja yang dia letakkan ke meja. Sesekali pula mengusap air mata dengan lengan tangan.
Batinnya gondok sekali. Rasanya ia ingin membantah perintah Emir, namun tak kuasa. Dia paham bagaimana harus bersikap pada suami.
“Halo El! Sedang membuat minuman untuk Emir ya?”
Suara itu bersumber dari arah belakang.
Elnara menoleh sesaat setelah mengusap wajahnya dengan cepat supaya air matanya tidak kepergok.
Elnara mengangguk menatap wanita yang usianya sudah lima puluh Sembilan tahun namun wajahnya masih seperti usia empat puluh tahunan. Tampilannya sungguh fashionable, modern.
Ada wanita lain di sisi wanita itu yang tak kalah fashionable.
“El, aku adalah Yona, ibu mertuamu.” Wanita itu berkata dengan ramah.
“Oh. Aku kurang suka mengenali keluarga Emir,” sahut Elnara berusaha memberanikan diri untuk menunjukkan sikap tak senang. Siapa tahu Emir akan langsung menalaknya begitu ia menunjukkan sikap buruk.
“Aku suka gayamu!” Tak seperti yang diharapkan, Yona justru tersenyum dan menyentil lengan Elnara.
“Jeng, itu menantumu dari keturunan apa? Bapaknya pengusaha apa? Atau berasal dari pejabat ya?” tanya temannya Yona yang berhasil membuat Elnara mendelik. Keluarga Ghazanfar pasti tahu bahwa keluarga Elnara adalah keluarga yang baru saja bangkrut dan bahkan ia berada di rumah itu juga karena untuk menebus hutang.
Satu hal yang membuat Elnara tak habis pikir bahwa ia dijadikan taruhan oleh ibunya. Jika Elnara berhasil menjalani rumah tangga itu, maka imbalan yang Linol dapatkan adalah kebebasan dari tuntutan. Sedangkan jika Elnara malah kabur dari pernikahan itu, tentu Linol akan menanggung akibatnya.
“Ah, tidak masalah dari mana asal usul menantuku, yang penting dia baik.” Yona memperlihatkan senyum kepada Elnara. “Mama mau ke depan dulu. Kamu bebas di rumah ini. Semuanya milikmu. Selamat bersenang- senang! Ayo Jeng kita ke depan.”
Wanita itu berlalu pergi bersama dengan temannya.
Elnara meletakkan gelas berisi racikan minumannya ke nampan. Bersiap membawanya kepada Emir.
Baru selangkah ia meninggalkan dapur, langkahnya itu terhenti ketika berpapasan dengan seorang gadis remaja yang usianya kisaran tiga belas tahun. Setinggi dada Elnara. Rambutnya diikat satu di ubun- ubun, mengenakan seragam SMP. Jam segini ia baru pulang karena mengikuti kegiatan les.
Semasam- masamnya muka cemberut yang tampil di wajah Elnara, ternyata lebih masam lagi muka yang ditampilkan oleh gadis kecil itu.
“Oh… kau yang bernama Elnara? Mama baruku ya?” ketus gadis itu.
Rupanya dia adalah anaknya Emir. Dan anaknya itu sudah sebesar ini? Artinya Elnara memiliki anak tiri sebesar itu? Judes lagi.
“Aku nggak sudi punya mama baru. Jangan harap kau bisa mendapatkan papaku! Huh!” Gadis itu mengangkat dagu dengan angkuh. Lalu dengan gesit menyambar gelas di nampan dengan sekali ayunan tangannya.
Prang!
Gelas jatuh ke lantai. Pecah.
Ya ampuuun… minuman racikan yang susah payah sudah dibikin oleh Elnara pun tumpah begitu saja. Elnara menatap tajam pada gadis itu.
“Hei, kamu!” Belum selesai Elnara bicara, gadis kecil itu sudah berlari pergi.
Tak lama kemudian Yona muncul.
“Ada apa, El?” Yona menatap pecahan gelas beserta ramuan yang juga tumpah ke lantai berwarna kekuningan.
“Minuman yang aku racik tumpah,” jawab Elnara dingin.
“Ya sudah. Kamu istirahat saja ke kamar gih. Tidak apa- apa. Biar mama membuat yang baru.”
Elnara sebenarnya ingin menunjukkan sikap jutek, tapi keramahan mama mertua membuatnya tak ingin durhaka. Ia pun berlalu pergi tanpa harus menunjukkan sikap tak menyenangkan.
Malam ini Elnara tidak tahu harus tidur dimana, sejak tadi ia tidak sudi memasuki kamar yang katanya adalah kamar pengantin, tentu kamar untuknya dan untuk Emir.
Setelah beberapa menit ia menghabiskan waktu di samping rumah hanya untuk menghirup udara segar, angin malam yang dingin menusuk kulit membuatnya beranjak masuk.
Kini Elnara berdiri tegak di depan pintu kamar, tangannya menjulur memegang knop, namun kembali dia tarik tangannya mundur.
Di dalam mungkin sudah ada Emir. Apa jadinya saat ia harus bertemu pria yang merasa tanpa dosa itu lagi? Rasanya Elnara ingin menggulai pria itu.
Bingung, akhirnya Elnara malah mondar- mandir di depan kamar Emir.
"Halo, El. Hayooo…masih gugup kan untuk malam pertama?" Yona datang dengan segala sikap ramah tamah dan keceriaannya yang tak luntur. Senyumnya lebar sekali.
Elnara diam mematung. Masih enggan untuk membalas senyum. Keluarga Ghazanfar rasanya seperti membawa petaka baginya hingga ia merasa kesal.
"Jangan grogi. Rileks saja ya. Bawa santai, anggap saja kamu mau masuk wc, bukan mau masuk kamar," sambung Yona masih dengan senyum lebar. "Kalau Emir nakal, kamu bisa cubit ketiaknya. Wajarlah gugup, pengantin baru memang begitu."
Elnara tidak menanggapi.
"Nah, ini minuman racikan untuk Emir." Yona menyodorkan gelas berisi air hangat kuku berwarna kekuningan.
Elnara menerimanya.
"Emir itu orangnya memang agak kaku dan dingin, tapi lama lama dia pasti bakalan santai kok. Aslinya Emir itu asik. Ya sudah, kamu masuk sana." Yona masih berdiri di situ.
Melihat Yona yang tak kunjung pergi, terpaksa Elnara memasuki kamar.
Emir sudah ada di kamar itu, duduk di kursi roda, menatap kedatangan Elnara dengan sorot matanya yang gelap.
Elnara meletakkan minuman itu ke meja dengan ekspresi yang kaku dan dingin. "Ini untukmu," ucap Elnara tanpa menatap Emir.
"Berikan padaku!" Emir menyorongkan telapak tangannya.
Elnara kembali mengangkat gelas itu dan menyodorkannya kepada Emir.
Pria itu meneguk sampai habis. "Lain kali berikan minuman itu sebelum jam delapan."
"Sebenarnya sebelum jam delapan minumannya sudah selesai dibuat, tapi gelasnya dipecahkan oleh anakmu."
"Cindy?" Emir menyebut nama putri semata wayangnya.
Elnara tidak menjawab. Tak peduli siapa nama bocah menyebalkan yang galak itu.
"Dan kamu membuat minuman itu lagi?" tanya Emir.
"Enggak. Mama yang membuatnya lagi."
"Bisakah kamu menatapku saat bicara denganku?"
Elnara diam. Masih menunduk. Batinnya sedang menahan rasa yang berkecamuk, pria itu adalah pelaku yang telah melenyapkan ayahnya. Dan sekarang seakan tanpa dosa malah menindas hidupnya. Bagaimana Elnara tidak merasa jauh lebih marah?
"Aku bicara denganmu, kamu masih bisa mendengar kan?" sambung Emir.
Elnara akhirnya mengangkat wajah, bersitatap dengan mata gelap Emir.
"Apakah masih pantas kamu melihat tatapan mataku? Orang yang sudah melenyapkan ayahku dan bahkan mengelabui aku supaya aku bisa menandatangi surat damai." Gigi Elnara menggemeletuk. "Selain ibuku memiliki hutang padamu, apakah ini alasanmu memaksa aku menjadi istrimu? Dengan aku menjadi istrimu, maka kamu merasa bisa menjadi pengganti ayah yang menafkahi aku? Kamu juga merasa bahwa kasus akan selesai dengan aku menjadi istrimu, begitu?"
"Kurasa kau tumbuh di keluarga yang paham dengan ilmu agama. Dan pastinya tahu bahwa sejak ruh dihembuskan ke rahim, maka di sana Tuhan sudah menentukan garis jodoh, rejeki dan maut. Lalu kenapa masih mengumpat pada ketetapan itu?"
"Kematian ayah memang sudah takdir. Tapi perilakumu yang mengelabui aku itu tidak benar."
"Apa pun yang akan kamu lakukan tidak akan mengembalikan ayahmu ke pelukanmu." Emir mendengus. "Siapkan air hangat untukku!"
Tanpa membantah, Elnara bergegas ke kamar mandi untuk menyiapkan keperluan Emir.
Malam itu, Elnara lelah sekali karena mendapat tugas yang tak putus dari Emir. Mulai dari mencuci kaki Emir dengan air hangat, mengelapi tubuh pria itu, membantu buang air, menggantikan pakaian, juga membantu pria itu naik ke kasur untuk tidur.
Tepat ketika membantu buang air, Elnara harus memalingkan wajah supaya tidak melihat benda yang bisa saja membuatnya menjerit hebat.
Kini Emir sudah berbaring di kasur dan diselimuti.
"Pijiti kakiku!" titah Emir.
Elnara terpaksa menaiki kasur, memijiti kaki Emir meski dengan perasaan jengkel. Entah sudah berapa jam Elnara memijiti kaki pria itu hingga tanpa sadar ia tertidur di sisi Emir.
***
Bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!