NovelToon NovelToon

Anak jeniusku mencari ayah

Bab.1 ~Hamil

Di suatu sekolah menengah kejuruan Surabaya, anak-anak kelas 12, tengah merayakan acara kelulusan mereka.

Salah satu dari siswa itu adalah Aliyha, di juga baru lulus dari kelas 12 di SMK itu. Aliyha menjalin hubungan dengan seorang pria bernama Daniel Pratama, namun beberapa hari ini Daniel sudah tak terlihat di sekolah bahkan dia pun tidak ikut di acara kelulusan mereka.

Aliyha berjalan menyusuri lorong menuju kelas Daniel, terlihat dua sahabat Daniel tengah berdiri di sana.

"Riko!" panggil Aliyha.

"Hai, Al," jawab Riko.

"Hai, Al," sapa seseorang yang bersama Riko, sahabat Daniel.

"Hai, Feri," jawab Aliyha juga.

"Boleh tanya nggak?" tanya Aliyha antusias.

"Ya, apa?" tanya Riko balik.

"Daniel ke mana, ya? Kok nggak keliatan," tanya Aliyha sambil melirik-lirik sekelilingnya.

"Daniel." Riko menatap Feri yang berada di sampingnya.

Aliyha mengangguk. "Kamu nggak tau, Al?" tanya Feri.

"Apa?" tanya Aliyha dengan jantung yang berdetak kencang.

"Kemarin, Daniel balik ke Jakarta. Kami mengantarnya dari apartement." ujar Feri.

"Apa?" Aliyha sangat shock mendengar ucapan Feri, matanya berkunang-kunang, dunia serasa berputar hingga akhirnya, Aliyha ambruk di tempat itu juga.

*

*

Di tempat lain, pria yang bernama Daniel tengah berada di bandara.

"Daniel, belajar yang rajin ya. Jangan nakal-nakal di sana," ujar seorang wanita paruh baya, yang tak lain adalah ibu Daniel.

"Iya, ibu tenang saja! Amsterdam kota yang kecil," ucap Daniel.

"Jaga diri, Daniel dan jagan kecewakan Ayah." ucap ayah Daniel.

"Iya, Yah." jawab Daniel seraya memeluk ayah dan ibunya.

*

*

"Pergi dari rumah ini!!" usir Rahman pada putrinya Aliyha.

"Pak... maafkan aku, Pak. Jangan usir aku..." Aliyha memohon pada ayahnya dengan bersimpuh.

Aliyha Sutesja, di ketahui sedang mengandung lantaran pingsan di saat pulang dari acara kelulusannya di SMK.

"Pak... ku mohon, maafkan aku, Pak," ucap Aliyha dengan masih bersimpuh di kaki Rahman.

"Pak, jangan usir Aliyha, pak. Hiks... Kemana dia akan pergi?" ucap Salma seraya menarik Aliyha dalam dekapannya.

"Dia sudah membuat malu keluarga! Siapa pria yang mau bertanggung jawab? Pria itu sudah melarikan diri, entah ke mana!"

"Pak, kita bisa mencari solusi untuk masalah ini. Jangan usir Aliyha, ke mana dia akan pergi? Dia tidak punya siapa-siapa di luar sana," bujuk Salma pada suaminya.

"Tidak! Dia bisa mencari pria yang menghamilinya, dia harus pergi sekarang juga!" Rahman meninggalkan Salma dan Aliyha di ruang tamu dan berlalu ke kamarnya.

"Bu, Aliyha harus ke mana, Bu..." tanyanya dengan terisak.

"Tenanglah, Nak. Ibu akan membujuk bapakmu, dia hanya sedang emosi."

"Hiks... Hiks..." Aliyha terus terisak di pelukan Salma, memikirkan nasibnya sekarang.

Salma meninggalkan Aliyha di ruang tamu dan menyusul Rahman yang berada dalam kamar.

Aliyha sangat bingung kini, apa yang harus dia lakukan. Sementara pria yang membuat keadaannya seperti sekarang, hilang entah ke mana. Saat dua hari sebelum acara kelulusan mereka, pria yang menjadi kekasihnya menghilang.

"Siapa prianya, ya?"

"Jangan-jangan sama om-om tuh!"

Gunjingan parah tetangga yang melewati rumah mereka pun terdengar hingga ke dalam rumah.

Aliyha semakin terisak, dia berlari masuk ke dalam kamarnya sendiri. Sementara di dalam kamar sebelahnya, Rahman dan Salma tengah berdebat tentang dirinya.

"Aku akan pergi," gumamnya.

Aliyha membuka lemari, mengambil koper dan mengisi sebagian pakaiannya. Tak lupa juga dia mengambil berkas yang mungkin di perlukan nanti.

Aliyha memutuskan untuk pergi dari rumah, karena tidak tahan dengan gunjingan orang serta ayahnya, yang sudah pasti tak mau menerima dia dan anaknya nanti.

"Aliyha... kamu mau ke mana, Nak?" tanya Salma yang melihat Aliya menarik koper keluar dari kamarnya.

"Aku pergi, Bu. Hiks..." ucap Aliyha seraya memeluk Salma dengan terisak.

"Tidak, Nak! Kamu mau ke mana?"

"Aku tidak tahu. Aku pamit, Bu. Doain Aliyha, ya." Aliyha melerai pelukan mereka seraya menyeka air matanya.

"Tunggu Aliyha! Jangan pergi, ibu a-akan bicara dengan bapakmu," ujar Salma sesegukan.

"Tidak, Bu. Aku akan pergi," Aliyha menarik kopernya menuju keluar rumah.

"Pak, Pak! Hentikan dia, Pak!" pekik Salma, saat Rahman keluar, tapi dia hanya diam saja.

"Pak!!" pekik Salma lagi.

"Biarkan dia pergi," ujar Rahman.

"Tapi itu anak kita, pak!" ucap Salma dengan menangis.

Rahman membiarkan Aliyha pergi tanpa menahannya sedikit pun, sedangkan Salma hanya bisa terisak di lantai.

*

*

Aliyha berjalan menyusuri trotoar jalan yang hanya di terangi lampu jalan, tanpa tujuan. Airmatanya tak henti-hentinya menguncur di pipinya.

"Ke mana aku harus pergi?" gumam Aliyha saat tengah duduk di sebuah halte.

Ditengah tangisnya, ia teringat akan Refika. Sahabat sebangkunya saat sekolah di SMK.

Aliyha kembali menyusuri jalan hinggadia sampai di sebuah rumah petakan.

Tok tok tok tok

"Aliyha!!" kejut seorang wanita, yang tak lain adalah Refika, sahabat Aliyha.

"Hiks...." Aliyha memeluk Refika dengan tangisnya yang memecah.

"Ada apa?" tanya Refika, bingung.

"Masuk dulu, nggak enak di luar." Refika membawah Aliyha masuk ke dalam rumah petak itu, tepatnya rumah kontrakan milik Refika. Tidak besar, hanya memiliki satu kamar dapur dan ruang tamu.

"Ada apa?" tanya Refika dengan mengusap kepala Aliyha.

"A-a-aku hamil..." ucap Aliyha dengan gemetar.

"Apa!" kejut Refika.

"Hiks..."

"Apa... dengan... Daniel?" tanya Refika pelan.

Refika tahu segalanya tentang Aliyha, karena dia adalah sahabat Aliyha sedari masih SMP.

Aliyha mengangguk, menandakan benar pertanyaan dari Refika.

"Lalu, apakah orangtuamu tau?" tanya Refika lagi.

"Aku diusir!" jawab Aliyha dengan tangis yang kembali pecah.

"Diusir dari rumah, maksudmu?" kejut Refika.

Aliyha kembali mengangguk.

"Ok. Ok. Ini sangat mengejutkan, aku sampai tak bisa berkata-kata." ujar Refika sambil menggeleng-gelengkan kepalanya pusing.

"Lalu, kau akan ke mana sekarang?" tanya Refika lagi dan hanya mendapat gelengan dari Aliyha.

"Ok. Aku mengerti. Minum dulu, supaya pikiranmu tenang," ucap Refika seraya menuangkan air dan menyuguhkannya pada Aliyha.

"Aliyha, kau bisa tinggal di sini selama yang kau mau..." ucap Refika lagi. "Tapi, kau tahukan, aku belum bekerja. Jadi hidupku, apa adanya sekarang," lanjutnya lirih.

"Boleh, aku tinggal di sini?" tanya Aliyha.

"Tentu saja. Tapi, ya itu... seperti yang ku katakan tadi," jawab Refika.

"Tidak apa, aku juga akan bekerja." Aliyha menggenggam tangan Refika.

"Tapi... dengan keadaanmu sekarang? Apa kau punya rencana lain?"

"Tidak," jawab Aliyha dengan tatapan nanar.

"Apa kau tak ingin mencari Daniel?" tanya Refika seperti menyarankan.

"Tidak. Dia sudah pergi. Selama ini aku juga tidak tahu dia tinggal di mana," ungkap Aliyha.

"Ya, sudah ku katakan padamu. Jika dia hanya mempermainkanmu."

"Maaf, aku tidak mendengarmu." Aliyha memeluk Refika.

"Tidak, apa. Lalu apa rencanamu setelah ini?"

"Aku akan bekerja, untukku dan untuk anak ini. Dia tidak salah, jadi aku akan melahirkannya." Aliyha sudah mempunyai tekad, dan tekadnya sudah bulat.

.

.

.

.

.

Hai-hai readers, jangan lupa dukungannya buat author😊

Jangan lupa Like, coment and Votenya buat Author

Giftnya juga ya🤗🤗🤗

Bab.2 ~Panggilan kerja

"Aku akan bekerja, untukku dan untuk anak ini. Dia tidak salah, jadi aku akan melahirkannya." Aliyha sudah mempunyai tekad, dan tekadnya sudah bulat.

"Kamar di sini cuma satu, kau mau tidur bersamaku?" tanya Refika dan mendapat anggukan dari Aliyha.

Refika membawah Aliyha masuk ke dalam kamarnya untuk tidur.

*

Matahari pagi telah menyinari, saat ini Refika tengah membuat nasi goreng untuk sarapan mereka berdua.

Aliyha tidur sangat larut, hingga dia tidak bisa bangun di pagi hari, hingga Refika harus membangunkannya untuk sarapan.

"Aliyha, Aliyha." Refika menguncang pelan tubuh Aliyha yang tengah tidur.

"Hm,"

"Ayo sarapan," ajak Refika.

"Maaf..., aku kesiangan," Aliyha segera beranjak dari kasur.

"Tenang saja, aku sudah buat sarapan. Ayo," ajak Refika dengan tersenyum.

"Trima kasih," ujar Aliyha dan langsung memeluknya.

Aliyha dan Refika sarapan bersama, setelah itu mereka pun bersiap-siap untuk mencari pekerjaan.

"Kita jalan ke mana, Fik?"

"Ke mana aja, yang penting ada lowongan pekerjaan untuk kita." Fika meraih lengan Aliyha.

*

*

Dari satu kantor ke kantor lainnya, Aliyha dan Refika mengunjungi setiap kantor yang membuka lowongan untuk, namun belum ada yang cocok dengan bidang mereka.

"Kita ke mana lagi, Fik?" tanya Aliyha yang sudah hampir putus asa.

"Sabar dan yakin. Pasti ada satu dari seribu, dan kita akan mendapatkannya." ucap Refika mengemangati.

"Enak saja! Seribu, banyak sekali." protes Aliyha.

"Iya, seumpamanya!" jelas Refika.

"Hm, ya! Semangat Aliyha!!" dia menyemangati dirinya sendiri dan kembali berjalan bersama Refika.

*

Hari sudah sore, Aliyha bersama Refika tengah kembali ke kontrakan. Aliyha telah meninggalkan berkas lamarannya di sebuah perusahaan yang tidak terlalu besar, tinggal menunggu panggilan.

"Capek banget," ucap Refika setelah terduduk di sofa, sepulang dari berputar-putar mencari pekerjaan.

"Iya, capek." Aliyha mengikuti Refika duduk bersama.

"Gimana? Kenapa kamu tidak memberikan berkasmu tadi?" tanya Aliyha.

"Aku nggak minat. Aku mau kerja yang lain," jawab Refika.

Sebenarnya yang ada di benak Refika, jika dia ingin Aliyha yang mendapatkan pekerjaan itu. Refika sengaja tak memberikan lamarannya, walau pekerjaannya cukup bagus.

*

*

Di rumah Rahman, Salma tak henti-hentinya menangis. Dia meratapi nasib putrinya, kini Aliyha pergi entah ke mana, dia tak dapat mencegah kepergian putrinya itu karena suaminya tak ingin menampung Aliyha lagi.

"Salma, berhentilah menangis!" ujar Rahman yang baru saja sampai di ruang tamu, tempat Salma sedang meratap saat ini.

"Pak! Aliyha anak kita pak! Bapak tega mengusirnya dari sini," ujar Salma dengan terisak.

"Di mana pun dia sekarang, setidaknya dia tidak mendengar gunjingan orang." Rahman kembali berdiri dari duduknya dan berlalu menuju dapur dan Salma terus saja menangis.

*

*

Seminggu kemudian, saat ini Refika sudah bekerja. Refika memilih bekerja di restoran sebelum mendapat pekerjaan yang lebih baik.

Aliyha, masih menunggu panggilan dari perusahaan yang telah menerima berkas lamarannya. Perusahaan itu tidak terlalu besar, tapi untuk saat ini dia akan bekerja apa saja, untuk menyambung hidupnya dan bayinya juga.

Aliyha sedang duduk di ruang tamu, memainkan ponselnya untuk mengusir kebosanan. Tiba-tiba saja ponselnya berdering, nomor tidak kenal masuk ke panggilan ponsel Aliyha.

"Halo," jawab Aliyha di ponselnya.

"...."

"Iya,"

"...."

"Benarkah?" Raut wajah Aliyha berubah, sudut bibirnya terangkat membuat sebuah senyuman.

"...."

"Baiklah. Besok aku akan ke sana," jawab Aliyha.

Tut tut tut tut

"Waaaww!" pekik Aliyha setelah selesai menerima panggilan di ponselnya.

"Refika. Ah, nggak asik banget, sih! Aku sendirian di sini, tidak ada yang bisa di ajak berbagi!" Seru Aliyha yang menyadari Refika sedang bekerja saat ini.

"Tidak apa. Aku akan memberitahunya nanti," Lanjutnya dengan bergumam.

*

Malam hari, kini Refika telah kembali ke rumah kontrakannya sedari bekerja.

"Waaaa!" pekik Aliyha seraya memeluk Refika, saat dia baru saja melangkah di pintu.

"Akh! Kesambet, ya!" kesal Refika.

"Refika-Refika-Refiiika!" pekik Aliyha sangat kencang, hingga para tetangga menegur mereka.

"Woy!!" teriak tetangga sebelah, menegur mereka.

Aliyha langsung menutup mulutnya rapat, sambil cekikikan.

"Ada apa, sih?" Refika kebingungan melihat Aliyha yang begitu gembira.

Aliyha tak menghiraukan Refika dengan kebingungannya, dia terus saja tertawa dengan pelan. Takut jika mendapat teguran lagi.

"Sinting kali!" kesal Refika yang tak mendapat jawaban dari Aliyha.

Refika melangkah masuk, meninggalkan Aliyha di depan pintu.

"Eh, tunggu." Aliyha meraih bahu Refika hingga berbalik padanya.

"Apa Aliyha? Kamu kenapa? Menang lotre, atau dapat gradprize?" tanya Refika, saat ini dia sangat lelah, tapi tidak mungkin dia menunjukan kekesalannya pada wanita yang sedang di rundung masalah itu.

"Fik...!!" Aliyha memeluk Refika dengan erat seraya melompat-lompat di pelukannya. "Fik, aku di terima kerja!!" seru Aliyha dengan girang.

"Haa, benarkah? Slamat, ya." Refika ikut bahagia mendengarnyar dan membalas pelukan Aliyha. "Jadi, kapan kerjanya?"

Aliyha melepas pelukan mereka, seraya mengajak Refika duduk di sofa.

"Besok. Besok aku disuruh ke sana, membicarakan tentang pekerjaanku. Akhirnya, aku dapat kerja juga." jawab Aliyha dengan bahagia.

"Iya, slamat ya. Semoga sukses, besok." ucap Refika tulus.

"Iya, makasih! Nanti aku juga bisa bantuin kamu, kalau udah gajian. Bayar kontrakan dan buat sehari-hari kita." ujar Aliyha.

"Sudah, nggak usah mikirin itu. Kamu juga butuh tabungan, buat si kecil kamu. Nggak usah mikirin yang lain, pikirin aja kesehatan kamu dan si kecil, dan biayanya nanti," ucap Refika seraya memegang perut rata Aliyha.

"Iya, kamu benar. Aku pasti banyak nyusahin kamu, nanti." Aliyha menjadi lesuh saat mengingat dirinya yang sedang mengandung saat ini.

"Sudah, sudah, jangan mewek, nanti jelek. Ayo, kamu sudah makan? Aku bawah makanan," ujar Refika menenangkan Aliyha dan mendapat anggukan dari Aliyha.

*

*

Pagi hari, Aliyha telah siap untuk berangkat menerima panggilan kerjanya.

"Selesai?" tanya Refika yang masuk ke dalam kamar.

"Gimana?" tanya Aliyha balik, memperlihatkan penampilannya.

"Ok." Refika membulatkan jari telunjuk dan jempolnya menghadap Aliyha. "Ayo, berangkat."

*

*

Aliyha tengah duduk berhadapan dengan bagian HRD di kantor yang telah memanggilnya bekerja.

"Baik, Nona Aliyha. Apa anda siap bekerja?" tanya pria di hadapan Aliyha.

"Iya, Pak," jawab Aliyha mantap.

"Apa kamu siap, untuk pindah kota?" tanyanya lagi.

"Apa, Pak? Pindah kota, maksudnya bagaimana, ya?"

"Iya, kami sudah melihat berkasmu dan di kantor pusat Jakarta, memerlukan kepala gudang dan kami rasa kamu cocok untuk itu," jelasnya pada Aliyha.

"Jakarta, tapi saya tidak punya sodara di sana, Pak." jelas Aliyha.

"Tidak apa, di sana kami punya mes untuk para karyawan seperti kalian. Maksud saya, seperti kamu yang dari jauh." jelasnya lagi.

"Baik, Pak. Nanti saya bicara dulu dengan keluarga saya." ucap Aliyha.

"Baiklah, kau bisa konfirmasi dua hari lagi." ujar Pria itu dan Aliyha hanya mengangguk.

Aliyha keluar dari kantor itu, namun perasaannya sangat bimbang. Bagaimana bisa dia pergi ke ibukota dengan keadaannya seperti sekarang, tapi menghilangkan kesempatan yang sudah di depan mata, sangat di sayangkan sama sekali.

Aliyha melangkah keluar kantor itu, menuju jalan kembali ke rumah kontrakan milik Refika. Dia akan memikirkannya nanti, soal pekerjaan itu. Di terima atau mencari pekerjaan lain.

.

.

.

.

Hai, readersku. Dukung author ya...

Dengan Like, Coment and Vote😊

Kembang sama kopinya juga, ya🤗🤗🤗

Bab.3 ~Berangkat ke Jakarta

Aliyha melangkah keluar kantor itu, menuju jalan kembali ke rumah kontrakan milik Refika. Dia akan memikirkannya nanti, soal pekerjaan itu. Di terima atau mencari pekerjaan lain.

Di jalan, Aliyha memikirkan tawaran untuknya bekerja. Apakah dia harus pergi dengan keadaannya sekarang? Atau mencari pekerjaan lain di kota itu. Aliyha sangat bingung, dia mengalami dilema antara memilih pekerjaan itu atau mencari pekerjaan lain.

"Bagaimana bisa, aku meninggalkan Refika yang sudah membantuku? Dan, lagipula aku tidak mengenal siapapun di sana." batin Aliyha.

Dia terus berjalan, hingga sampai halte. Menunggu angkutan umum untuk kembali ke rumah Refika.

*

Malam hari, di kontrakan Refika. Aliyah dan Refika sedang memasak makan malam untuk mereka berdua.

"Al, gimana sama kerjaanmu?" tanya Refika.

"Oh, iya. Nanti aku mau ngomong sama kamu..."

"Apa?" tanya Refika penasaran.

"Nanti, deh. Selesai makan," Aliyha pikir, dia harus bicara baik-baik dengan Refika. Jangan sampai Refika berpikir jika dia akan meninggalkannya setelah mendapatkan pekerjaan.

*

Selesai makan malam, Aliyha mengajak Refika mengobrol di ruang tamu.

"Kamu mau ngomong apa, Al? Kayaknya serius banget," ucap Refika.

"Aku mau ngomong soal pekerjaan," jawab Aliyha.

"Iya, ngomong aja. Emang ada apa dengan pekerjaanmu? Kamu tidak suka?" Refika sangat penasaran.

"Aku belum menerima pekerjaan itu. Aku mau minta saran, sama kamu. Mereka suruh aku balik dua hari lagi," ujar Aliyha.

"Trus, kenapa? Kamu nggak suka? Menurutku, ya. Selagi pekerjaan itu baik buat kamu, kamu terima aja. Cari kerjaan itu susah, loh. Kapan lagi ada kesempatan!" Jelas Refika panjang lebar.

"Iya, sih. Kerjaannya bagus, malahan bagus banget. Aku di terima sebagai kepala gudang, tapi..." Aliyha menjeda ucapannya.

"Tapi, tapi apa?" tanya Refika bingung.

"Bukan di sini, tapi di Jakarta."

"What! Jakarta!" kejut Refika.

"Itulah yang buat aku dilema. Gimana, ya? Aku rasanya tidak bisa..."

"Kalau belum di coba, gimana kamu tau bisa apa nggaknya! Aliyha..., itu kesempatan yang jarang yah, didapat. Ke Jakarta dan langsung kerja. Kapan lagi, ada kesempatan itu!" ucap Refika, menjelaskan lagi.

"Trus kamu bagaimana? Masa kamu, aku tinggalin. Setelah bantuin aku, saat susah. Nanti di kira aku nggak tau diri lagi," jelas Aliyha.

"Hei, ngomong itu yang bener. Siapa yang bilang kamu tidak tahu diri? Kamu tau, Aliyha. Kamu itu sahabat terbaik. Dulu waktu aku susah, kamu juga yang bantuin aku. Dan terus terang, ya. Aku khawatir, jika belum ada pekerjaan antara aku atau kamu. Biaya melahirkan dan mengurus anak itu besar, dan aku hanya kerja restoran sebagai waiters, nggak mungkin membiayai kelahiran anak kamu nanti." Jelas Refika dan Aliyha hanya menjadi pendengar yang baik.

"Aku, bukannya nggak suka kamu di sini. Tapi, kehidupan kita tidak memadai. Aku hanya ingin yang terbaik, untuk kamu dan anak kamu nanti," lanjut Refika.

"Hiks..."

"Loh, kok nangis sih?" Refika bingung, mungkin dia, ada salah dengan kata-katanya yang membuat Aliyha menangis tiba-tiba. Refika merengkuh kepala Aliyha dan menyandarkan di pundaknya sambil mengelus lembut.

"Tapi..., aku nggak punya siapa-siapa di sana. Dan... keadaanku yang seperti ini," ujar Aliyha dalam tangisnya.

"Cup-cup, walau tidak kenal siapapun, tapi tidak semua orang di sana itu jahat. Mereka pasti akan mengerti dengan keadaan kamu, dan nanti kalau sudah dekat dengan hari kelahiran, hubungi aku aja. Kalau aku nggak ada kerjaan, aku akan pergi untuk nemenin kamu..."

"Kalau kamu ada kerjaan, berarti nggak pergi dong?" Rengek Aliyha.

"Ya, elah, Neng. Nanti kita cari solusi, kan bisa minta izin. Pikirin yang skarang dulu, kali. Rejekinya mau kabur, tuh... lama-lama mikirinnya," canda Refika membuat Aliyha tersenyum kecil.

"Gimana sekarang? Trima aja, yah, kerjaannya." Refika menatap Aliyha dengan mengangkat kepalanya.

Aliyha mengangguk setuju, tapi wajahnya masih dengan kecemasan.

"Udah, jangan takut. Yang semangat, dong. Kalau gajian jangan lupa transfer, ya..." canda Refika. "Eh, jangan. Entar di kira aku minta ganti rugi lagi... dan jangan pikir aku ngusir kamu, ya."

"Iya, Mak. Aku tau kok, maksud kamu."

"Eh, maksudnya apa, tuh?" Refika menyelingkan matanya pada Aliyha.

"Maksud kamu itu... baik, buat aku." Aliyha mendekap pundak Refika lagi dan mereka tersenyum bersama.

*

*

Aliyha telah menerima pekerjaannya, dan hari ini adalah hari di mana, dia akan berangkat ke Jakarta.

"Refika, doain aku, ya. Sebenarnya aku masih takut untuk pergi," ujar Aliyha dengan menggenggam tangan Refika.

"Iya, aku slalu doain kamu, kok. Jaga ponakan aku baik-baik, ya. Kamu juga, kesehatan. Jangan capek-capek dan..., semoga sukses." ucap Refika tulus.

"Iya, makasih ya." Aliyha meraih tubuh Refika dan mereka saling berpelukan.

"Jangan lupa, hubungin aku kalau sudah sampai," sambung Refika.

"Pasti. Kamu yang terbaik." Aliyha menarik kopernya, menaiki bis menuju Jakarta seraya melambaikan tangannya pada Refika dan mendapatkan balasan juga.

Aliyha memilih jalan darat dari pada menaiki pesawat, itu atas saran Refika. Selain Aliyha yang takut untuk naik pesawat, dia juga khawatir dengan kandungannya.

*

*

Refika kembali ke rumahnya kontrakannya. Hari ini dia meminta izin pada bosnya untuk tidak masuk bekerja, alasannya untuk mengantarkan adiknya berangkat ke Jakarta.

Refika sedang berbaring di sofanya sambil bbermain ponsel, dan tiba-tiba bunyi ketukan pintu terdengar di telinganya.

"Ibu...," sapa Refika saat membuka pintu.

"Refika..." sapa Salma yang berdiri di depan pintu.

"Bu, mari masuk, Bu. Maaf, kontrakan saya hanya begini, Bu. Tidak Besar. Silahkan duduk, Bu." Refika mempersilakan Salma duduk di sofa.

"Tidak apa. Kita sama... Besar atau kecilnya rumah, yang penting nyaman untuk di tinggali."

Refika beranjak ke dapur, mengambil air pitih untuk Salma, karena saat ini memang hanya itu yang ada di rumahnya. Refika meminta kasbon dari tempat kerja barunya, namun bukan untuk kebutuhannya, melainkan hanya untuk memberikan aliyha uang pegangan, padahal saat ini dia juga sangat membutuhkan uang untuk sehari-hari.

"Maaf, Bu. Hanya ada air putih, tidak ada yang lain." Refika duduk seraya memberikan gelas yang berisi air.

"Tidak apa... Ibu ke sini, mau bertanya sama kamu," ujar Salma memulai percakapan.

"Apa ya, Bu?" tanya Refika.

"Apa Aliyha tinggal sama kamu?" tanya Salma sambil melirik ke sekitarnya, seperti mencari sesuatu.

"Aliyha... Sebenarnya, iya Bu. Tapi..., sekarang Aliyha sudah pergi, Bu." jawab Refika.

"Pergi! Pergi ke mana?" kejut Salma sambil bertanya.

"Aliyha pergi ke kota, Bu. Dia dapat kerjaan di sana," jelas Refika. Salma begitu tegang mendengar jawaban Refika.

.

.

.

.

Jangan lupa, Like, Coment and Votenya...

Hadiahnya juga, ya😊

By... By...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!