Dalam kegelapan dia terus melangkah, sunyi sudah menjadi hal biasa, dia sudah biasa bertemankan sepi, tidak peduli lagi caci dan maki yang harus didengarnya setiap pulang kerja, Amira sudah merasa kebal dengan itu semua.
"Kamu pulang terlambat lagi hari ini?" wanita itu bertanya dengan suara tegasnya begitu melihat Mira masuk.
"Seperti biasa, Ma. Mira harus ngebantuin mbak Agnes," jawab gadis itu datar.
"Jadi orang jangan terlalu baik, lagian kan gaji kamu separuh dari gaji dia," sambung bu Diandra lagi.
"Mira naik ke atas dulu, Ma. Mira capek, mau istirahat." Mira berjalan lesu tanpa mempedulikan tatapan kesal mamanya.
Sejenak merenung mengenang masa lalu, tidak mengapa kan? Itulah yang kini tengah dilakukan Amira, setelah selesai mandi dan memakai piyama kesayangannya, dia menghempaskan tubuhnya yang masih terasa letih ke atas kasur, dan mulai membayangkan kembali hari yang membuatnya selalu menangis setiap kali mengingatnya, hari di mana awal penderitaannya dimulai.
FLASHBACK...
"Sekarang tinggal memilih, kamu lebih memilih tinggal bersama papa atau mama?"
Mendengar pertanyaan mamanya, Mira terdiam. Dalam keadaan seperti ini dia tidak tahu harus bagaimana, gadis kecil itu tidak bisa memilih, dia sayang keduanya.
"Kenapa harus memilih?" Mira balik bertanya, saat itu usianya masih enam tahun sulit sekali untuk membuat pilihan.
"Kami tidak ingin memperebutkan hak asuh kamu sayang, kami ingin kamu sendiri yang membuat pilihan," jawab pak Aryo, papanya Mira.
Jika memilih tinggal bersama papa, pasti papa akan nikah lagi, dan dia akan mempunyai ibu tiri. Mira tidak ingin punya ibu tiri, ibu tiri itu biasanya jahat, itulah yang dia pikirkan. Hingga akhirnya dia memilih tinggal bersama mamanya.
"Tidak mengapa kalau kamu mau tinggal sama mama, tapi kamu juga tidak boleh lupa, kapan pun kamu mau, kamu bisa bertemu dengan papa, kamu mengerti kan?" ucap lelaki itu sambil mencium penuh kasih pipi anaknya, "papa sangat menyayangi Amira," imbuhnya lagi.
"Iya, Amira juga sayang Papa." Amira kecil memeluk papanya, dia memeluk papanya dan itu adalah hari terakhir mereka bertemu. Setelah itu mamanya tidak pernah lagi mengizinkan dirinya untuk bertemu sang papa, dia sendiri masih belum tahu penyebab kedua orang tuanya bercerai, dan alasan mengapa mamanya tidak mau memberitahukan keberadaan papanya.
Tidak sampai di situ saja, setelah menikah dengan pak Andi Sudarso pengusaha sukses, bu Diandra semakin menjadi-jadi. Dia bahkan lebih menyayangi anak-anak pak Andi daripada putrinya sendiri, padahal apa salahnya bersikap adil tanpa melebih-lebihkan.
Dimas dan Aura dapat melanjutkan study ke luar negeri, sedangkan Mira? Ah... Dia sepertinya benar-benar menyesali pilihannya itu, kenapa dulu tidak mau tinggal dengan papanya, padahal dari kecil dia memang sudah lebih dekat dengan sang papa.
***•••°°°*****
Hari ini adalah hari libur, Mira tidak pergi kerja, jadi dia ingin menghabiskan waktunya untuk mencari alamat rumah papanya. Gadis itu menuruni tangga dengan sangat buru-buru
"Kamu mau ke mana?" tanya bu Diandra dengan sikapnya yang dingin.
"Keluar sebentar, Ma." jawab Mira tanpa menoleh ke arah mamanya.
"Hari ini kak Dimas dan kak Aura pulang dari london, kamu harus bantu mama masak di dapur. Harus tetap di rumah, kamu tidak boleh kemana-mana!"
Mendengar perintah ibunya Amira mulai kesal, mengapa selalu mereka yang disayang, dan disanjung-sanjung, bukankah yang anak kandung adalah dirinya.
"Kenapa masih bengong di situ, ayo ke dapur!" suruh bu Diandra sambil berlalu menuju dapur.
Saat melihat mamanya masuk ke dapur, Amira langsung mengambil kesempatan untuk keluar, dia tidak peduli kalau nanti saat pulang ke rumah harus mendengar omelan mamanya.
**********
"Kamu yakin, Mir?"
"Iya aku yakin, aku yakin papa masih di kota ini," jawab Amira.
"Bisa aja kan papa kamu sudah tidak di sini lagi, ke luar kota barang kali, atau ke luar negeri," tambah Della sahabat Mira sejak kecil.
"Entahlah." Mira menarik nafas panjang, tiba-tiba saja keyakinannya pudar, harapannya seakan sirna.
"Kamu sudah nyerah?" tanya Della
"Aku mulai berfikir bisa jadi apa yang kamu bilang itu benar, apa lagi kalau papa aku sudah menikah lagi, iya kan?"
"Mira, kamu jangan sedih begitu dong, selama masih ada aku ya, aku bakal bantuin nyari papa kamu, meski ke ujung dunia sekali pun," ujar Della bersemangat, dia mengulurkan kedua tangannya hendak memeluk Amira.
"Ih... Geli tahu." Amira bergidik melihat tingkah Della, tapi dia juga bahagia. Setidaknya di saat-saat seperti ini masih ada orang yang betul-betul mempedulikan dirinya.
"Em.. by the way, bukannya mama kamu punya usaha sendiri ya? Dan lagi warisan yang ditinggalkan papa kamu untuk kamu, itu banyak loh, bisa untuk biayain kuliah kamu sekalipun keluar negeri. Nah, sekarang kamu kenapa tidak kuliah, malah lebih milih kerja di restorannya mbak Vira?" tanya Della merasa aneh dengan keputusan Amira.
"Kamu aja heran kan? Nah, apalagi aku yang anak kandungnya."
"Ah hidup kamu ribet banget, ayo kita cabut dari sini!" ajak Della sambil meminum habis es teh manisnya
"Ke mana?" tanya Amira bingung.
"Kemana lagi, kalau bukan nyari alamat rumah papa kamu."
Sudah capek mereka keliling dari pagi hari hingga sore hari, tapi tidak sedikit pun menemui titik terang, atau pun petunjuk tentang sang Papa.
"Dell, kalau aku pulang sekarang pasti mama akan marah lagi ni," ujar Amira, sambil menoleh ke luar jendela mobil milik Della.
"Bukankah kamu sudah terbiasa? Jadi nggak usah diambil pusing," hibur Della.
"Aku iri sama kamu, Dell."
"Kenapa?" Della bertanya bingung.
"Ya, hidup kamu itu nyaman, damai, nggak kayak aku. Ah, penuh dengan masalah, kedua orang tua kamu juga akur-akur aja, mereka orang tua yang baik. Kamu beruntung, kamu pasti sangat bahagia." Mira terlihat sedih saat mengatakannya.
"Mira, kamu masih ingat nggak ucapan mama sama papa aku? Apapun yang kamu ingin kan, kamu bisa minta sama mereka, lagian kamu juga sudah dianggap seperti anak mereka sendiri," hibur Della sambil terus fokus menyetir mobilnya.
-----
Saat Amira pulang, jam sudah menunjukkan pukul 17:30 Wib, dan dia masih bersikap santai saat melihat wajah kak Aura dan kak Dimas yang menatap sinis ke arahnya, saat itu mereka sedang duduk santai di sofa ruang tengah.
"Lihat! Dia bahkan tidak punya sopan santun sama sekali, main nyelonong masuk begitu saja," sindir Aura dengan nada bicara yang terdengar sinis. Pak Andi kemudian menatap Aura dengan tatapan yang sulit diartikan, sebelum akhirnya menanggapi ucapan Aura.
"Sudah, biarkan saja dia. Mungkin dia lelah karena sibuk menghabiskan waktu di luar bersama teman-temannya," ucap pak Andi.
Mendengar penuturan pak Andi, Amira sudah tahu kalau lelaki itu bukan membelanya, tapi menyudutkan dirinya.
"Mama di mana, Pa?" tanya Dimas mengalihkan topik pembicaraan.
"Ada tuh di kamar!" jawab papanya. Dimas langsung pergi dari sana, begitu juga dengan Amira dia langsung masuk ke kamarnya, tanpa mempedulikan ucapan sinis anak dan bapak itu.
Sesampainya di kamar, Amira hanya bisa merintih dalam diam.
"Kenapa ya? Kenapa harus aku yang selalu mengalah, aku selalu merasa tersisihkan, dan kenapa juga mama lebih sayang kak Aura dan kak Dimas? Papa Andi juga tidak pernah menyayangi aku. Ma, aku hanya ingin mama adil dalam membagi kasih sayang, apa salahnya jika aku ingin juga ingin dimanja seperti mereka," monolog Amira, ia bertanya pada diri sendiri. Sekarang dia hanya bisa menerima keadaan ini dengan hati lapang.
-----
-----
"Kamu ngapain di sini?" tanya bu Diandra saat melihat Mira hendak duduk di kursi yang ada di samping Dimas.
"Mau makan lah, Ma. Ngapain lagi coba?" jawab Mira merasa aneh dengan pertanyaan mamanya.
"Kamu sudah bangun telat, tidak bantuin masak, lalu sekarang mau makan!? ucap wanita itu setengah membentak.
"Ma, ini masih pagi lho, Mira nggak pengen ribut," jawab Amira.
"Kamu itu bisanya cuma ngejawab ya?" tambah Aura, berusaha memanas-manasi keadaan.
"Terus, Kak Aura sendirikan sama, apa bedanya coba?" Mira nggak mau kalah, Mira melantangkan suaranya, dan dia bangun dari duduknya sambil menatap tajam ke arah Aura, hingga membuat pak Andi dan Dimas yang berada disampingnya itu kaget.
"Kamu lupa ini rumah siapa?" tanya Aura mengeraskan suaranya
"Aku tahu ini rumah siapa, dan siapa ratunya di sini."
"Mira, Aura! Kalian ini sudah sama-sama dewasa, kenapa juga masih bertengkar kayak anak kecil?" Dimas mencoba melerai, sebenarnya dia sudah muak dengan tingkah kedua adik perempuannya itu. Setiap kali bertemu pasti bertengkar, Dimas pikir lima tahun tidak bertemu sudah membuat sikap Aura jadi lebih dewasa, ternyata masih saja sama.
"Papa sudah kenyang, Ma. Papa ke kantor dulu!" ucap pak Andi, beliau merasa bosan melihat drama yang dipertontonkan mereka. Bu Diandra juga ikut bangun untuk mengantarkan suaminya hingga pintu depan.
Mira juga langsung bangun dan mengikuti dari belakang, sebab dia tidak mau ketinggalan angkot, dia pergi dan meninggalkan Aura yang terus mengomel tidak jelas.
-----
-----
"Mira, tolong antarkan pesanan ini ke meja no 15 ya!" suruh Icha, manager restoran.
"Baik, Mbak." Mira langsung membawa makanan dan minuman itu ke meja no 15, perasaannya tiba-tiba saja menjadi tak tenang.
"Mas, ini pesanannya." Dia menaruh makanan itu dengan hati-hati tanpa melihat siapa pemesan makanan itu sendiri.
"Mira? Kamu Amira kan?" lelaki itu bertanya penuh keheranan sekaligus kaget.
"Rang--- Rangga?" Amira pun tidak kalah kagetnya begitu mengetahui siapa orang di depannya itu.
"Jadi, selama ini kamu bohongin aku? kamu bilang kuliah di jerman, puas aku nungguin kamu seperti orang bodoh, ternyata kamu nipu aku," ucap Rangga, dia terlihat kecewa.
Mira benar-benar tidak menyangka kalau hal seperti ini bakal terjadi, dan yang paling membuat dia malu adalah orang yang duduk di depan Rangga, ternyata adalah kakak lelakinya, Dimas.
"Ga, gue pergi dulu. Sepertinya kalian juga harus menyelesaikan masalah kalian dulu, kita bisa membahas ini lain kali," ucap Dimas, tanpa menunggu jawaban dari Rangga, Dimas langsung pergi, sepertinya dia cukup mengerti dengan keadaan temannya.m saat ini.
Rangga langsung mengajak Mira keluar dari restoran itu sebentar, dan pergi ke taman belakang.
"Sekarang kamu jelasin semuanya, jelasin sama aku kenapa kamu berbohong?" pinta Rangga, dia tidak bisa menyembunyikan kekesalan di hatinya.
"Bukankah kamu memang sudah tahu kalau aku tidak pergi ke luar negeri?" ucap Amira dengan pandangan masih menunduk, dia masih belum berani menatap kekasihnya itu. Tatapan Rangga sangat menakutkan, seolah ingin menelannya hidup-hidup.
"Kamu ini sebenarnya bodoh atau apa sih? Aku bisa tahu dari mana coba, kalau kamu sendiri tidak bilang sama aku?"
"Kamu kan temannya kak Dimas juga," jawab Mira mencoba membela diri.
"Dia tidak pernah ngomongin tentang kamu sama aku, begitu pula sebaliknya, dan satu hal lagi, kami tidak pernah bertemu lagi setelah lulus dari SMA. Nah, hari ini hari pertama aku dan Dimas bertemu kembali setelah lima tahun berlalu, dia itu rekan bisnis aku," ungkap Rangga kesal. "Dan aku benar-benar kecewa sama kamu, aku tidak menyangka kamu tega membohongi aku selama bertahun-tahun, aku kecewa sama kamu Amira."
Rangga pergi dengan penuh emosi, Mira hanya terdiam di tempatnya berdiri, taman belakang restoran itu kembali hening. Mira benar-benar menyesali hal bodoh yang dilakukannya.
----
----
Setelah pulang kerja, Mira tidak langsung pulang ke rumah, dia pergi menemui Della di cafe tempat biasa mereka nongkrong.
"Jadi kamu bertemu Rangga? Terus kamu sudah jelasin alasan kenapa kamu berbohong?"
"Kamu pikir dia bakal percaya gitu aja dengan omongan aku? Dia itu kan temannya kak Dimas dari SMA. Mereka juga satu kelas, dan lagi, dia juga kenal baik sama papa aku. Mana mungkin aku bilang kalau mereka tidak mengizinkan aku kuliah, kan aneh. Nanti malah aku yang dikira mengada-ngada cerita," tutur mira panjang lebar. Della mengangguk-anggukkan kepalanya tanda mengerti.
"Ya, kamu benar juga, lalu sekarang kamu mau ngapain?" tanya Della penasaran.
"Aku mau... Ah, entahlah. Aku sendiri juga pusing mikirnya Della, mau gimana ngejelasin sama dia. Aku tidak yakin dia percaya sama omongan aku."
"Assalammualaikum," ucap Mira lesu, saat itu keluarganya tengah berkumpul di ruang tengah dan sepertinya ada hal serius yang mereka tengah bicarakan.
"Waalaikumussalam..." mereka menjawab serempak.
"Anak gadis jam segini kok baru pulang," tegur bu Diandra, saat melihat jarum jam sudah menunjukkan pukul 21:00.
"Tadi Mira ketemu sama Della, Ma," jawab Mira cepat. Bu Diandra langsung terdiam begitu mendengar nama Della disebut. Wajar saja karena selama ini keluarga Della sudah banyak membantu mereka.
Mira tidak langsung ke kamarnya, dia pergi ke dapur sebentar untuk mengambil segelas air.
"Bagaimana pertemuan pertama dengan Rangga, cukup mengejutkan bukan?" tanya Aura sinis, tiba-tiba saja gadis itu sudah berdiri di belakangnya.
Amira membalikkan badannya dan menatap tajam ke arah kakaknya, sejenak dia terdiam. sebenarnya Mira cukup terkesan dengan perubahan penampilan kakaknya itu, dia terlihat lebih cantik dari pada dulu. Ya, semua orang yang melihatnya pasti akan mengatakan hal yang sama, tapi sayang omongan yang keluar dari mulutnya itu masih saja, menyakitkan, nyebelin, dan tak enak didengar.
"Biasa aja," jawabnya singkat sambil meneguk air mineral yang tadi diambilnya dari dalam kulkas.
"Rangga bilang, kamu membohonginya dengan mengatakan kalau kamu kuliah di luar negeri," tambah Aura sengaja memanas-manasi Mira, dia tersenyum sinis.
"Kamu dekat dengan dia kan?" Mira mulai curiga.
"Tentu dong, temannya kak Dimas kan teman aku juga, ngapain sih kamu pakek bohongin dia segala? Owh, aku tahu. Biar terlihat keren gitu kan?" ejek Aura.
Mendengar ejekan Aura benar-benar membuat Amira ingin menyumbat mulutnya itu, tapi ya sudah lah dibiarkan saja, lagi pula Amira sedang tidak ingin ribut dengan kakak tirinya yang ngeselin itu. Jadinya dia lebih memilih pergi ke kamarnya, dan meninggalkan gadis itu sendirian di sana.
Hari-hari terus berlalu, tidak ada yang berubah, bahkan keadaan menjadi lebih parah. Apalagi semenjak Della mengatakan padanya, kalau dia akan pindah ke bandung. Mira benar-benar akan kehilangan sahabat tercintanya, dia harus menjalani hari-harinya tanpa Della.
Hari ini Mira pulang lebih awal sebab dia sedang tidak enak badan.
"Ya, sepertinya kamu memang harus pulang lebih dulu deh, Ra," ucap mbak Agnes.
"Lalu Mbak Agnes gimana? Masa aku tinggalin sendiri." Amira tampak khawatir, sebab mbak Agnes sedang mengandung, dan usia kandungannya sudah hampir genap 8 bulan.
"Itu soal gampang, nanti kan juga ada Jessy sama Intan yang bantuin mbak, kamu sendiri juga terlihat kurang sehat."
"Kalau begitu aku pulang duluan ya, Mbak," pamit Amira.
"Iya, hati-hati di jalan," pesan Agnes, dia terus memandangi kepergian Amira dari jauh, dalam pikirannya tidak berhenti untuk memikirkan tentang gadis itu. Dia selalu penasaran dengan kehidupan Mira yang menurutnya aneh, punya orang tua kaya kok mau aja bekerja sebagai pelayan restoran. Setiap kali dia bertanya tentang alasannya pada Amira, gadis itu selalu saja mengelak dengan mengalihkan pembicaraan ke hal lain.
..........
"Mira, Mira buka pintunya!" seru mama Mira dari luar kamar, Amira enggan sekali untuk bangun, kepalanya terasa sakit, wajahnya juga mulai pucat, dan badannya semakin panas.
"Mira," panggil wanita itu sekali lagi.
"Iya, Ma..." Mira turun dari ranjangnya, dan kemudian membuka pintu, melihat mamanya sudah berdiri dengan tegak di sana sambil memegang sebuah kotak, yang entah apa isi di dalamnya.
"Ada apa, Ma?" tanya Amira dengan ekspresi datarnya.
"Kamu sakit? Kalau sakit cepat minum obat! Jangan menyusahkan orang lain nantinya."
Mendengar ucapan mamanya, sebenarnya membuat hati Mira sangat senang sekaligus heran, sebenarnya ini perhatian atau peringatan?
"Mira cuma tidak enak badan doang kok, entar juga sembuh sendiri," jawabnya kemudian.
"Ini." Bu Diandra menyerahkan kotak yang sedari tadi dipegangnya." Della dan keluarganya tadi ke sini, kamu pasti sudah tahu kan, jadi mama tidak perlu menjelaskannya lagi," ucap mamanya.
Mira menghela nafas panjang, dadanya terasa sesak. Akhirnya Della benar-benar pergi, bahkan dia tidak menemui dirinya barang sebentar saja untuk yang terakhir kalinya, satu per satu orang yang menyayanginya pergi menjauh.
^••••••^
Mira menatap hampa kalung permata pemberian Della, bisa jadi itu hadiah terakhir yang diberikan Della untuknya, begitulah yang dipikirkannya saat ini.
Tak terasa air matanya jatuh berlinangan, bagaimana tidak, dia dan Della sudah seperti saudara kembar saja. Dari kecil hingga dewasa seperti sekarang ini, mereka selalu bersama, padahal Della sudah berjanji untuk membantunya mencari keberadaan papanya, tapi sekarang dia malah pergi, dan Amira harus berusaha sendiri.
Saat Amira sibuk memikirkan Della, tiba-tiba handphonenya berbunyi, sontak saja membuyarkan lamunan masa kecilnya bersama Della.
"Rangga, ada apa?" tanya Amira, dia sangat senang begitu tahu siapa yang menelponnya.
Sebelumnya dia sempat berpikir, bahwa hubungannya dengan sang kekasih sudah putus setelah pertemuan mereka beberapa waktu lalu.
"Kamu di mana?" tanya Rangga.
"Aku di rumah, baru aja mau tidur, kenapa?"
"Kamu tidak lupa kan besok hari apa?" tanya Rangga memastikan.
"Iya, aku ingat kok," jawab Mira cepat, bagaimana mungkin dia melupakan hari ulang tahun kekasihnya.
"Oke, aku tunggu ya di tempat biasa. Aku tidak buat pesta, hanya ada kamu dan aku ,jangan lupa! Di restoran tempat pertama kali kita bertemu."
"Iya, tapi kamu beneran sudah memaafkan aku kan?" tanya Mira memastikan.
"Iya," jawab Rangga, jawaban yang sangat singkat, dan cowok itu langsung mematikan ponselnya.
"Mungkin dia belum ikhlas memaafkan aku," batin Amira. Dia sudah merencanakan semuanya, dia akan jujur kepada Rangga, alasan mengapa dia berbohong dan bagaimana keadaannya semenjak mamanya menikah lagi. Karena selama ini Rangga tidak pernah tahu kehidupan sebenarnya Amira, meski mereka sudah menjalin hubungan selama 4 tahun lebih.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!