NovelToon NovelToon

Cinta Menjemput Maut

Prakata

Assalamualaikum Wr. Wb.

Semangat berkativitas buat sahabat Luna semua, semoga sahabat semua diberikan kesehatan dan kemudahan. Luna mohon maaf jika cerita ini kurang berkenan dihati sahabat semua, cerita ini adalah fiktif belaka. Bukan ada unsur kesengajaan jika terdapat kesamaan nama, cerita ataupun lokasi yang didalam novel ini. Cinta Menjemput Maut adalah pengembangan cerita dari cerpen Luna Hanayuki dengan judul yang sama. Semoga sahabat semua menyukainya. Silakan tingkalkan jejak komen, like, vote dan ranking nya. Terima kasih atas doa dan dukungannya.

Bandar Lampung, 1 Juni 2020

Author

Luna Hanayuki

Senja Pertama

Semilir angin ikut membisu siang ini, menambah gagah matahari yang besinar. Rasa gerah membungkus seluruh tubuh. Seandainya bisa, ingin rasanya mereka memilih untuk duduk diam dibawah sejuknya pepohonan. Masa orientasi siswa memang benar-benar menyiksa bagi siswa baru. Melia, gadis lugu dari kampung yang terkenal culun diantara para siswa baru itu pun merasakan hal yang sama. Rambut panjangnya yang selalu diikat tinggi menjadi ciri khas nya. Meli, begitu dia biasa dipanggil, gadis mungil yang tingginya hanya 158 cm ini memiliki paras yang biasa saja, mungkin dia tak terbiasa berhias diri. Tapi sebenarnya dia gadis yang manis. Kacamata nya membuat dia terlihat culun, walaupun hanya minus seperempat dia selalu memakai kacamata antiknya itu.

"Meli," panggil Lily. Sahabat Meli sejak sekolah dasar. Tak pernah bosan mereka selalu satu sekolah dan satu bangku.

Hanya saja semua orang yang pernah melihat mereka berdua pasti kan melihat dua bilah sisi berbeda dari mereka. Sama-sama pintar, namun Lilyana adalah primadona sekolah. Wajah semi orientalnya berpadu dengan kulit putih gading yang halus. Mamanya peranakan Tionghoa sedangkan papanya lokal campuran, darah Indonesia-Australia melekat pada papanya.

"Ada apa, Ly?" tanya Meli yang menghentikan langkahnya saat Lily memanggilnya.

"Kamu sudah memutuskannya?" Lily mengikuti langkah sahabatnya menuju perpustakaan.

"Tentang apa?"

"Ekstrakulikuler yang kamu pilih? Kamu ikut apa, Mel?" tanya Lily penasaran.

Meli menarik kursi disudut belakang ruang perpustakaan. Mengambil sebuah buku yang ada dirak 102. Dia tersenyum menatap sahabatnya.

"Aku memilih ikut klub science. Kamu jadi memilih klub tari, Ly?"

"Ya, aku senang sekali sekolah ini ada klub tari. Jadi aku bisa menyalurkan hobi menariku disini"

"Bagus kalau begitu, Ly. Kamu memang dari dulu punya bakat. Aku kagum padamu. Semoga target go internasional mu tercapai ya."

"Terima kasih."

Mereka kembali asyik dengan buku-buku kesukaan mereka masing-masing, sampai tak terasa bel istirahat terakhir sudah berbunyi. Semua siswa berjalan menuju kelas masing-masing. Mengikuti tiga jam pelajaran terakhir.

******

Meli baru saja mengemas seluruh buku-bukunya. Dia terpaksa pulang paling akhir, Lily pamit pulang karena harus ikut les. Hari ini seperti biasanya dia dikerjai lagi oleh teman-temannya. Gadis berkacamata itu hanya mampu menghela nafas panjangnya saat dia diperlakukan tidak adil oleh teman-temannya, terpaksa dia harus piket kelas seorang diri.

"Hei, Culun ... " panggil seseorang dari depan pintu. Meli menoleh. Beberapa orang siswa laki-laki kelas dua berdiri didepan pintu.

"Rajin sekali kamu, Culun. Boleh aku bantu?" tanya salah seorang dari mereka. Dan Meli dengan polosnya mengangukkan kepalanya.

Braakk ...

Klontaakkk ....

Hahahhahaha ....

Mereka merobohkan beberapa kursi dan meja, menendang tempat sampah dan menaburkan isinya di atas kepala Meli. Lalu pergi meninggalkan perempuan malang itu menangis seorang diri. Meli membersihkan rambut dan pakaiannya dari sampah basah yang melekat dengan tangannya. Airmatanya tak berhenti mengalir. Sambil terus menyapu Meli pun menghapus buliran air yang mengalir dari matanya.

"Kamu kenapa?" lagi, seseorang muncul dibalik pintu. Pemuda bertubuh tinggi berisi dan berotot kuat. Matanya jeli memperhatikan Meli. Dia mendekat kearah Meli. Lalu mengeluarkan sapu tangannya.

"Ambilah," ucapnya pada Meli.

Perempuan berkacamata itu hanya menatap dengan pandangan takut. Dia tak mengenal laki-laki itu. Tapi yang jelas dari seragamnya pasti diapun murid satu sekolah dengan nya. Melihat Meli yang tak merespon perlakuannya, laki-laki itu makin mendekat. Dia membersihkan wajah Meli yang penuh kotoran dan bekas airmata dengan sapu tangannya. Lalu membersihkan rambut gadis muda itu, Meli yang tak pernah dekat dengan laki-laki manapun merasa canggung diperlukan seperti itu.

"Siapa yang melakukan ini padamu?" tanya laki-laki itu lagi. Kali ini Melia hanya menggelengkan kepalanya. Lalu tertunduk.

"Aku Vian. Melviano Migdad. Kelas tiga jurusan IPA," ucap laki-laki itu sambil mengulurkan tangannya.

"Me ... Meli. Melia Khairani Akbar. Kelas satu," jawab Meli menyambut uluran tangan Vian.

Pemuda jago taekwondo itu tersenyum. Tarikan dua garis manis diujung bibirnya itu membuat dia terlihat makin tampan untuk laki-laki seusianya. Pemuda yang tiga tahun lebih tua dari Melia itu mencuri perhatian Si gadis berkacamata itu. Melia menatap pada Vian, dari jarak sedekat itu mampu membuat denyut jantungnya makin kacau.

Meloncat-loncat kesana-kemari. Seperti hendak menembus keluar dari tubuhnya. Mendadak Meli sadar dan memalingkan wajahnya. Dia bergeser beberapa langkah. Takut Vian akan melihat semu wajahnya bahkan kacaunya irama jantungnya saat itu.

"Kenapa kamu piket sendirian? Mana temanmu yang lain?" tanya Vian.

"Tidak ada," jawab Meli singkat.

"Mereka mengerjaimu? Benarkan?" cecar Vian. Laki-laki itu mengambil sapu dan membantu Meli membersihkam kelasnya.

"Aaahh ... tidak usah. Kakak tak perlu repot membantuku. Biar aku saja yang mengerjakannya."

"Tidak apa-apa. Aku bantu. Aku tidak suka melihat mereka memperlakukan mu tidak adil begitu. Lagipula jika dikerjakan berdua akan cepat selesai," tambah Vian. Dia tak perduli dengan reaksi Meli. Dengan cekatan dia membantu Meli membersihkan kelas. Dan benar, dalam waktu singkat semua dapat selesai dengan baik. Kelas jadi besih dan terlihat rapi.

Vian menatap puas dengan hasil kerjanya. Dia menyusun kembali sapu dibalik pintu.

"Sudah selesai. Ayo, pulang!" ajak Vian. Meli mengangukkan kepalanya dan mengikuti langkah kaki Vian. Dari belakang Meli menatap punggung lebar Vian, bahunya yang kekar dan lebar. Bau tubuhnya yang disirami parfum khas laki-laki, membuat Meli menarik halus ujung bibirnya. Diam-diam ada rasa kagum untuk laki-laki yang baru dikenalnya itu.

"Aku duluan, Kak. Terima kasih sudah membantuku," pamit Meli.

"Kamu pulang sendirian?" tanya Vian lagi.

"Hmm ... "

"Kalau begitu aku antar. Biar lebih aman. Tak baik sore-sore begini perempuan pulang sendirian." Vian menarik tangan Meli dan menuntunnya keparkiran motor. Honda CBR650R, sepeda motor touring sport empat silinder seri CBR 650 cc, kuda besi kesayangan Vian siap mengantar mereka.

"Apa tidak apa-apa, Kak?" tanya Meli ragu.

"Memangnya kenapa? Takut pacarmu marah?"

"Tidak bukan begitu. Aku tak punya pacar. Aku takut merepotkan Kak Vian saja," ucap Meli sopan yang tak ingin menolak mentah-mentah ajakan Vian.

"Kalau begitu tunggu apalagi? Ayo ... " Vian memberikan helm pada Meli. Akhirnya perempuan muda itu menututi kata-kata Vian. Dia duduk diatas boncengan motor macho berwarna merah itu. Vian benar-benar terlihat gagah mengendarai motor itu.

Tak lama Meli sampai dirumah bibinya. Dia memang bukan penduduk situ. Dia berasal dari kampung. Satu kampung dengan Lily, namun beda kasta. Kedua orang tua Meli hanya petani biasa. Sedangkan Lily, saudagar sembako terkenal disana. Bahkan sekarang Lily mengikuti orang tuanya yang oindah kekota itu karena membuka bisnis waralaba keluarga disana.

"Terima kasih sudah mengantarkanku, Kak. Maaf merepotkan Kak Vian," ucap Melia.

Vian hanya tersenyum sambil mengelus kepala Meli dengan lembut. Membuat gadis muda itu tersipu malu. Vian lalu memacu motornya membelah jalanan beraspal sore itu menuju rumahnya. Dan senja menyapa dunia yang mulai menikmati sendunya hari ini.

******

Perasaan Apa Ini?

Entah apa yang dirasakan Melia kini, semua jadi serba salah setelah pertemuannya dengan Vian beberapa hari lalu. Dia merasa resah, gelisah dan tak tenang. Wajah pemuda gagah itu tak lekang dari hati dan pikirannya. Setiap hari dia selalu bertemu dengan Vian disekolah, degup jantungnya selalu berposisi diluar kodratnya. Berdetak overdosis.

"Hi, Mel. Sendirian?" tanya Vian menghampiri Meli yang duduk seorang diri dikantin. Lily yang biasa bersamanya hari ini sedang ikut latihan tari di aula sekolah, dia dan tim tarinya akan ikut lomba tari antar kecamatan.

"Ya, Kak," jawab Meli singkat.

"Boleh aku duduk disini?"

"Hmm,"

Vian membawa mangkuk baksonya duduk disebelah Meli. Otomatis Meli jadi salah tingkah dibuatnya. Senang bercampur malu dirasakannya saat itu.

"Kak Vian juga sendirian?" Meli mencoba membuka obrolan dengan Vian yang sedang asyik melahap bulatan bakso kemulutnya.

"Iya, aku tidak sempat sarapan tadi pagi. Waktu istirahat pertama ada pertemuan dengan member baru. Lapar sekali," ucapnya dengan wajah memelas.

"Kasian sekali kamu, Kak. Sampai kelaparan begitu. Sepertinya Kak Vian sibuk sekali sampai lupa makan." Senyum Meli pada laki-laki disebelahnya.

"Ya, aku kan sudah kelas tiga. Jadi harus ada regenerasi kepemimpinan klub. Aku mau fokus dengan ujian akhir. Targetku bisa masuk perguruan tinggi favorit."

"Aamiin, aku doakan deh. Semoga harapan dan cita-cita Kak Vian tercapai."

"Aamiin, terima kasih ya, Cantik," ucap Vian lepas tanpa menoleh pada Meli. Perempuan itu terkejut bukan kepalang di panggil cantik oleh laki-laki yang dia sukai.

Suatu hal yang baru dia rasakan seumur hidupnya, entah apa namannya itu, yang jelas sekarang dia yakin kalau Melviano Migdadd adalah laki-laki yang dia selalu rindukan. Yang sangat dia sayangi. Konsentrasi hidupnya beralih dan berfokus pada Vian. Bahkan saat belajarpun.

"Mel ... Mel ... Hei ... " panggil Lily setengah berbisik membuyarkan lamunan sahabatnya itu. Meli hanya bengong saat tersadar dari lamunannya itu.

"Kamu kenapa sih belakangan ini sering melamun?" lanjut Lily.

Meli hanya tersenyum. Dia tak tahu harus berkata apa pada Lilyana sahabat karibnya itu. Dia hanya mengambil secarik kertas yang disobeknya dari buku pelajarannya.

"Nanti pulang sekolah aku ceritakan semuanya padamu, Ly."

Lilyana hanya mengerutkan kedua alisnya saat membaca memo dari gadis berkacamata itu. Lalu dia kembali fokus pada konsep logaritma yang dijelaskan oleh guru dipapan tulis. Dua jam terakhir mereka lalui dengan berpikir berat melawan konsep dasar matematika itu. Sampai akhirnya bel panjang berbunyi, semua siswa berlarian keluar kelas. Kali ini Lily sengaja pulang bersama Meli dengan berjalan kaki, dia meminta abudemen langganannya untuk tidak menjemputnya sepulang sekolah. Angin semilir yang menemani jejak langkah kaki mereka di tepi jalan setapak itu, menambah seru obrolan mereka.

"Ada apa sih, Mel? Jangan bikin aku makin penasaran deh, Mel. Ayo cerita!" pinta Lily sambil berjalan.

"Aku ... Aku jatuh, Ly ... Jatuh cinta," ucap Meli senang.

"Haaah!" Lily menghentikan langkah kakinya. Matanya terbelalak mendengarkan ucapan sahabatnya itu. Lily masih menatap Meli, menembus manik mata gadis berkacamata itu, mencari pembenaran dari ucapan Meli tadi.

"Kamu yakin, Mel?" tanya Lily lagi.

"Iya, aku yakin seratus persen."

"Siapa dia, Mel?" kali ini Lily makin penasaran dibuatnya.

"Laki-laki hebat. Gagah dan tampan. Juga baik hati. Dia beberapa kali menolongku dari bully-an anak-anak jahil. Sejak aku pertama bertemu dengannya aku sudah kagum pada kharismanya, Ly. Dia lembut sekali, baik hati. Ya, Tuhan ... Aku pun baru menyadari itu. Aku baru menyadari kalau aku jatuh cinta padanya, Ly. Pada laki-laki itu," paparnya.

"Baiklah, dia tampan, gagah, baik hati dan suka menolong. Tapi, Mel. Yang jadi masalahnya adalah dia. Dia ... Dia ... Siapakah dia yang kamu maksud itu? Kamu hanua menyebutkan dia. Aku tak tahu siapa dia," protes Lily.

"Kak Vian," jawab Meli menghentikan langkahnya. Lily menoleh pada sahabatnya.

"Kak Vian?" tanyanya.

"Melviano Migdad. Ketua klub taekwondo. Aku sayang pada Kak Vian. Tapi aku cukup tahu diri dengan siapa aku ini. Si itik buruk rupa yang tak pantas untuk bahagia," rutuk Meli lirih.

"Siapa bilang kamu itu itik buruk rupa, kamu itu seperti seekor angsa yang anggun. Abaikan mereka. Tak semua orang membencimu, Meli. Yakinlah, suatu saat kamu pasti akan mendapatkan kebahagianmu. Jangan merutuki dirimu sendiri, Mel. Aku mohon. Aku tak tahan melihatmu seperti itu," pinta Lilyana.

"Ly ... Aku tahu aku ini anak pembawa sial dalam keluargaku, aku tidak berbakat, tidak cantik dan aku tidak bergaul. Sejak kecil mereka selalu mengucikan aku. Hanya kamu yang masih mau berteman denganku, Ly. Aku ini sungguh anak yang tidak beruntung," isak tangis gadis muda itu membuat senyap semilir angin. Hening dan sepi menyelimuti suasana sore itu.

Lilyana memeluk Melia yang mulai deras mengalirkan airmatanya. Dia paham benar apa yang dirasakan sahabat kecilnya itu. Meli yang sedari kecil selalu dianggap anak pembawa sial dalam keluarga, terkucilkan dan punya rasa minder yang sangat akut. Dia lebih senang menutup diri dari dunia luar, lebih memilih kesunyian dalam diamnya. Tak jarang dia juga selalu jadi korban keisengan orang-orang disekitarnya. Bullying.

Saat dalam kandungan ayah Meli meninggal dunia karena sakit aneh yang dideritanya, setelah lahir kedunia Meli menyandang status yatim piatu. Dia dibesarkan oleh kakek dan neneknya dikampung. Pada saat kelas tiga sekolah dasar neneknya meninggal dunia. Semua orang beranggapan bahwa kehadirannya adalah anak pembawa sial dalam keluarga. Dia tidak begitu pintar, prestasinya disekolah biasa-biasa saja dan tidak menonjol. Jarang bergaul dan lebih suka menyendiri. Baginya Lilyana adalah saudaranya. Lily yang terlahir dari keluarga berada mau menerima dia sebagai sahabatnya sejak mereka duduk dibangku sekolah dasar. Lily yang merupakan anak tunggal juga merasa senang mendapatkan sahabat sekaligus saudara seperti Meli.

Kedua orang tua Lily tak pernah mempermasalahkan hal itu. Mereka sangat mendukung persahabatan kedua perempuan muda itu.

"Mel, Jika kamu menyukai laki-laki itu, ungkapkan perasanmu padanya. Jangan kamu sembunyikan. Itu akan menyiksamu, Meli."

"Aku tidak berani, Ly. Aku takut. Aku malu. Aku cukup tahu diri dengan siapa sebenarnya aku ini. Sudahlah biarkan saja seperti ini," ucap Meli pasrah pada parasaan mindernya itu. Dia tak berani melakukan apa yang dikatakan sahabatnya itu. Baginya mencintai dalam diam adalah hal yang terbaik saat ini.

"Kamu yakin dengan apa yang kamu jalani ini, Meli?" tanya Lily perlahan.

"Ya, biarlah saja seperti ini, Ly. Aku ingin seperti ini. Cukup dengan seperti ini saja sudah pantas bagiku."

"Kamu berhak mendapatkan yang lebih baik dari semua ini, Meli. Hargai dirimu sendiri. Kamu pantas bahagia. Kamu berhak bahagia." Lilyana menyakinkan sahabatnya, namun Meli bukanlah tipe anak yang pemberani. Hatinya akan langsung ciut mendapati masalah seperti ini. Mentalnya tak cukup kuat untuk bertarung.

******

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!