NovelToon NovelToon

Look At Me, Please

Dipta dan Natya

"Mulai sekarang, kemanapun kamu pergi dan dengan siapapun itu, kamu harus memberitahuku", Dipta menatap gadis manis yang sejak tadi memasang wajah masam di depannya, bahkan gadis itu membuang pandangannya dari hadapan Dipta.

"Apa kamu mendengarku?", tanya Dipta karena gadis itu tidak memberikan jawaban sama sekali.

Sudah satu jam mereka berdua ada di ruangan ini dan selama itu pula mereka tak menunjukkan keakraban sama sekali.

"Apa kamu mendengarku, Natya?", Dipta mengulang pertanyaannya dengan menyebut nama gadis itu sebagai penegasan.

Ya, gadis bernama Natya yang kini tengah duduk di depannya hanya melirik sejenak ke arah Dipta dengan tatapan mata yang sinis.

"Aku tidak mau!", tegas Natya.

"Kamu harus mau!", tegas Dipta tak mau kalah.

Natya menghembuskan nafas kasar lalu berbalik menatap lawan bicaranya dengan ekspresi yang tak bersahabat.

"Kamu pikir dirimu itu siapa, hah? ini hidupku dan kamu tidak berhak sedikitpun untuk mencampurinya!", Natya menunjukkan ekspresi kekesalannya pada Dipta yang kini tengah berdiri menatapnya dengan tajam.

Dipta tak bergeming, ekspresinya begitu datar melihat Natya yang justru sangat ekpresif, bahkan kali ini gadis itu menunjukkan kekesalannya dengan membanting beberapa barang yang ada di atas nakas.

"Aku mau keluar, jangan pernah melarangku atau mengatur hidupku. Ingat itu!", tegas Natya sambil lalu. Sekilas dia menatap sinis wajah Dipta yang dilaluinya.

"Jika kamu berani keluar tanpa izinku, akan aku pastikan saat ini juga kamu akan kehilangan segalanya!", ucap Dipta tenang namun kalimatnya terdengar begitu tegas. Kedua mata elangnya kini memandang Natya dengan tajam.

Langkah Natya terhenti, dia berbalik menatap pemilik sepasang mata elang itu.

"Kehilangan apa, hah? Kamu mengancamku? silahkan saja kalau kamu berani, aku tidak takut!", jawab Natya tak mau kalah. Kedua matanya justru tampak menantang lelaki itu.

Dipta menghela nafas kasar saat netra miliknya beradu tatap dengan Natya.

"Kenapa? kamu takut, hah? katanya aku akan kehilangan segalanya, mana?", tanya Natya mengejek.

Dipta terdiam namun dia masih tetap beradu tatap dengan gadis itu.

"Ingat, jangan pernah mencampuri atau mengatur hidupku, Tuan Dipta Narendra!", Natya tersenyum sinis ke arah Dipta dan bergegas menuju pintu untuk keluar dari ruangan itu.

Dipta menarik nafas dalam. Dia memijat dahinya yang sebetulnya tidak merasakan pening sama sekali.

Baru dua jam yang lalu Natya sah menjadi istrinya dan baru satu jam yang lalu keduanya ada di apartemen milik Dipta, tapi sikap Natya sudah membuat Dipta jengah.

"Istri macam apa dia? sangat tidak menghargai suami", keluh Dipta setelah dia bisa menguasai dirinya kembali.

Sementara itu, setelah Natya membersihkan diri di kamar tamu yang ada di lantai satu, dia pergi meninggalkan apartemen Dipta dengan menggunakan taksi online yang sudah dia pesan beberapa saat yang lalu. Tujuannya tentu saja ke club malam untuk menemui kedua sahabatnya, Ayu dan Caca yang sudah sejak lama menunggu kedatangannya di sana.

"Nat, lama banget sih jam segini baru datang. Kamu dari aman aja?", tanya Ayu setengah berteriak. Musik yang dimainkan DJ menggema dengan keras di dalam club.

"Iya nih, kita sampai jamuran nunggu kamu di sini", imbuh Caca yang sedang asyik menggoyangkan badannya tak jauh dari meja yang sengaja dibooking Ayu untuk mereka bertiga.

"Sorry deh, kalian tahu sendiri kan aku harus main kucing-kucingan di rumah biar bisa datang ke sini", terang Natya asal.

Ayu dan Caca hanya menganggukkan sedikit kepala mereka. Ya, sudah bukan rahasia lagi, kedua orang tua Natya sangat protektif pada putrinya tunggalnya itu. Ayu dan Caca beberapa kali bahkan pernah kena semprot Mommy Dinda karena mengajak Natya jalan-jalan sampai lewat jam sembilan malam.

"Ya udah, sekarang kita happy-happy aja, yuk", ajak Ayu sambil menarik Natya untuk ikut menari di lantai dansa.

Semakin malam, pengunjung club semakin banyak. Musik yang dimainkan DJ pun semakin keras dan menarik para pengunjung untuk bergoyang.

"Girls, aku ke toilet dulu ya", ucap Natya setengah berteriak pada Ayu dan Caca yang dijawab dengan kode bulat antara jempol dan telunjuk.

Natya segera menerobos kerumunan para pengunjung club yang tengah asyik menikmati suasana.

"Permisi ... permisi", Natya berusaha membelah keramaian.

"Aduh ...", Natya mengaduh saat seorang pengunjung yang tengah asyik menari tanpa sengaja menyenggolnya hingga Natya hampir terjatuh. Tapi tangan seseorang berhasil menangkap tubuh mungilnya sebelum menyentuh lantai.

"Ayo kita pulang", suara lelaki yang sepertinya cukup akrab di telinga Natya.

Saat Natya melihat pemilik tangan dan suara itu, ia terkejut. Di hadapannya saat ini tampak wajah Dipta yang menatapnya tanpa ekspresi.

"Ka ... kamu", Natya berusaha melepaskan tangan Dipta dari pinggangnya.

"Ayo kita pulang", Dipta mengulang lagi ucapannya dan menarik tangan Natya dari keramaian.

"Aku gak mau, lepas!", Natya mencoba menarik tangan kanannya dari genggaman Dipta. Tapi sayang, Dipta lebih kuat menarik tangan gadis itu.

"Aku bilang lepas!", tegas Natya saat dirinya dan Dipta sudah sampai di parkiran.

"Diam dan masuklah", ucap Dipta dengan tenang.

"Aku gak mau. Kamu apa-apaan sih", Natya tetap bersikukuh menolak.

Dipta hanya menatap Natya dengan datar dan tanpa meminta persetujuan darinya, Dipta menggendong gadis itu lalu memasukkannya dengan paksa ke dalam mobil.

"Kamu kasar!", protes Natya.

Dipta tak memberikan respon apapun. Dia langsung menyalakan mesin mobil dan melajukannya, membelah jalanan malam yang tampak lengang.

Sementara itu Ayu dan Caca kebingungan karena mereka tidak menemukan keberadaan Natya di club.

"Wah gawat nih Ca, kita bisa mati kalau Natya sampai gak ada", ujar Ayu yang sudah membayangkan wajah horor Mommy Dinda kalau sampai benar Natya hilang dan tak kembali.

"Di toilet udah dicek? tadi kan dia bilang mau ke sana", Caca masih berusaha berpikir positif.

"Udah, Ca. Duh, Natya kemana sih? aku udah coba telepon dia tapi gak ada nada hubung coba Ca", Ayu semakin cemas.

"Ya udah, kita cari Natya lagi. Siapa tahu dia ada di luar atau mungkin udah pulang duluan", seloroh Caca.

"Mana mungkin dia balik duluan, Ca. Aku takut nih kalau sampai Natya kenapa-kenapa, Tante Dinda sama Om Wisnu pasti deh gantung kita di pohon mangga depan rumah mereka", lagi, pikiran horor Ayu kambuh.

"Ih mana ada mereka sejahat itu. Keep calm, Yu. Kita tunggu sampai besok di kampus, kalau benar Natya hilang, pasti dia gak akan masuk kuliah", Caca mencoba menenangkan.

Ayu hanya bisa mengangguk pasrah. Ya, setelah Natya tidak ditemukan dalam club, Ayu dan Caca memutuskan untuk pulang sambil terus sibuk mencoba menghubungi nomor Natya yang sudah disita oleh Dipta.

"Aku gak suka ya kamu kasar sama aku!", tegas Natya saat dirinya dan Dipta tiba di apartemen.

"Kenapa sih Mommy sama Daddy harus maksa aku nikah sama laki-laki macam kamu?", Natya menunjuk wajah Dipta dengan telunjuknya.

Dipta diam tak bergeming. Dia membiarkan istrinya itu meluapkan segala kekesalan yang tengah ia rasakan.

Setelah hampir satu jam Dipta terdiam menyaksikan ocehan dan kemarahan Natya, kali ini dia bersuara.

"Sudah marahnya?", tanya Dipta datar.

Natya masih memandang Dipta dengan tatapan sinis tanda tak suka.

"Aku mau istirahat", Natya tak menjawab pertanyaan Dipta. Dia justru berlalu dari hadapan lelaki itu dan masuk ke kamar tamu yang ada di lantai satu.

Dipta lagi-lagi hanya bisa menarik nafas dalam. Sebetulnya dirinya juga belum siap untuk menikah, tapi desakan sang Mama dan Papa yang tiada henti pada akhirnya membuat Dipta memilih untuk memenuhi keinginan mereka.

Dipta bosan dengan pertanyaan yang setiap hari dia dengar dari sang Mama. Ya, pertanyaan tentang kapan dirinya akan menikah. Belum lagi ocehan sang Mama yang mempermasalahkan usia Dipta.

"Andai Mama dan Papa tahu, betapa menantunya ini sangat merepotkan", keluh Dipta sebelum dirinya berlalu menuju kamar utama.

Pembatalan

"Natya, kamu kemana sih semalam?", tanya Ayu histeris saat mata bulatnya menangkap bayangan sahabatnya itu di dalam kelas.

Natya tersenyum kikuk, "Sorry ya semalam aku pergi duluan. Mommy sama Daddy kirim orang ke club buat bawa aku pulang", jawab Natya asal.

Mata Ayu dan Caca terbelalak, "Wah serius, Nat? lama-lama ngeri juga ya Tante Dinda sama Om Wisnu sampai segitunya jaga putri kesayangan mereka", seloroh Caca tak habis pikir.

"Kita udah takut digantung di pohon mangga depan rumah kamu itu lho Nat kalau sampai kamu hilang beneran", imbuh Ayu. Jiwa horornya kambuh lagi.

Natya tertawa mendengar ocehan kedua sahabatnya itu.

"Eh, girls, bukannya hari ini kita ada kunjungan ke rumah sakit ya?", Natya tetiba teringat tugas kuliahnya.

"Oh iya. Hampir lupa padahal aku udah urus nih surat izin kunjungannya", Caca mengambil sebuah amplop putih dari sela-sela buku yang ada di pangkuannya.

"Ya udah yuk kita berangkat", ajak Natya semangat.

"Ok. Kali ini aku yang nyetir ya", ujar Ayu sambil menunjukkan kunci mobil miliknya.

"Sip", jawab Natya dan Caca bersamaan.

Di dalam mobil, mereka bertiga berkendara dengan bahagia. Seperti biasa Ayu akan memutar lagu-lagu kesukaan mereka selama perjalanan.

"Kita mau ke rumah sakit mana nih?", tanya Natya di sela-sela senandungnya.

"Ke Rumah Sakit Bintang", jawab Caca cepat.

Natya mengangguk-anggukkan kepalanya. Baru kali ini dia tahu tempat yang mereka tuju karena sejak dua minggu lalu Natya sibuk menolak pernikahannya dengan Dipta, bahkan dia sempat mengancam akan kabur dari rumah kalau sampai terus dipaksa menikah. Tapi apa daya, ancaman sang Mommy yang akan menarik semua fasilitas dan memblokir credit card unlimited miliknya akhirnya membuat Natya terpaksa memenuhi keinginan kedua orang tuanya. Belum lagi sang Daddy ikut mengintervensi Natya dengan mengatakan akan memberhentikan kuliah Natya yang saat ini sudah memasuki semester akhir di jurusan kedokteran.

"Kita sampai, girls", teriak Ayu saat mobil miliknya sudah terparkir rapi di area parkir Rumah Sakit Bintang.

"Ok. Kita turun yuk", ajak Caca yang sudah lebih dulu membuka pintu mobil.

Sebelum ketiga mahasiswi itu masuk ke dalam rumah sakit, mereka merapikan dulu penampilannya.

"Harus cantik, rapi, dan wangi. Siapa tahu ada dokter muda yang nyantol", ucap Ayu sambil bergaya genit di balik spion mobil.

Natya dan Caca tertawa kecil, "Mau banget ya Yu dapat suami dokter", seloroh Caca.

Ayu melirik dia sahabatnya itu, "Ya jelas mau dong. Secara nih ya Ca, dokter itu udah pasti kaya, pintar, dan ganteng".

Lagi, tawa Natya dan Caca meledak mendengar jawaban Ayu.

"Dih kalian gak percaya? ok, kita buktikan di dalam sana", Ayu menunjuk pintu rumah sakit yang dilalui banyak orang.

Tak butuh waktu lama, Natya, Caca, dan Ayu sudah ada di dalam Rumah Sakit Bintang. Mereka sudah menemui pihak manajemen rumah sakit dan mendapatkan izin untuk melakukan penelitian di sana.

"Ok, kita langsung dapat dokter pembimbing nih, girls", seru Caca sambil menunjukkan sebuah amplop yang diberikan pihak manajemen rumah sakit dan memberikan dua amplop lainnya pada Ayu dan Natya.

"Let's see, who is the doctor?", ucap Caca penuh semangat.

Dalam setiap amplop itu ada tiga nama dokter yang berbeda dan salah satu di antaranya membuat Natya tertegun.

"Yes, aku dapat dr. Dipta Narendra, Sp.PD", Ayu menyebut nama dokter pembimbingnya.

Deg

Natya terkejut mendengar nama itu. Nama yang sama persis dengan nama suaminya. Tapi Natya segera menepis keterkejutannya, "Ah, mungkin namanya saja yang sama. Mana mungkin lelaki banyak aturan itu seorang dokter di rumah sakit ini", batin Natya.

"Kamu dapat siapa, Nat?", tanya Ayu pada Natya.

"Eh, aku ... ini dapat dr. Refan Adiguna, Sp.A", jawab Natya tergagap.

"Kalau aku nih dapat dr. Alina, Sp.OG", Caca menyebutkan nama dokter pembimbingnya tanpa diminta.

"Ok, sekarang kita cari ruangan dokter itu masing-masing ya", ujar Ayu.

Natya dan Caca menganggukkan kepala. Mereka bertiga merapikan kembali penampilannya sebelum menyebar, mencari ruang dokter pembimbing masing-masing.

"Maaf Sus, saya mahasiswa yang sedang penelitian di sini. Saya sedang mencari ruang dr. Refan Adiguna, di sebuah mana ya, Sus?", tanya Natya pada seorang Suster yang berpapasan dengannya.

"Oh ruangan dr. Refan ada di ujung lorong ini. Nanti Mbak lurus, lalu belok kanan. Nah, pinuh kedua itu ruang kerja dr. Refan", terang Sang Suster.

"Ok. Terima kasih, Sus", jawab Natya ramah.

Dia kemudian melanjutkan kembali langkahnya. Tanpa disadari Natya, sepasang mata sejak tadi mengamati dirinya di rumah sakit ini.

Natya menarik nafas dalam sebelum mengetuk pintu ruang kerja dr. Refan.

Tok ... tok ... tok

"Ya, silahkan masuk", terdengar suara seseorang dari dalam.

"Permisi, Dok", Natya menyembulkan kepalanya dari balik pintu.

"Silahkan masuk", ajak Dokter Refan ramah.

Natya melangkahkan kakinya ke dalam ruangan itu dan dia duduk setelah Dokter Refan mempersilahkannya.

"Kamu mahasiswi yang sedang melakukan penelitian di sini ya?", tanya Dokter Refan.

"Iya, Dok".

"Natya Ekavira Hutomo", Dokter Refan membaca nama Natya yang tertera dalam surat yang ia terima.

"Nama yang cantik sama seperti orangnya", puji Dokter Refan.

Natya tersipu mendengar pujian itu.

"Ok, sebentar lagi kamu bisa ikut saya untuk memeriksa pasien di sini dan setelah itu kamu bisa presentasikan pada saya rencana penelitianmu, bagaimana?", tanya Dokter Refan.

"Siap, Dokter", jawab Natya cepat.

Sementara itu, Caca dan Ayu yang sebelumnya sudah menemui dokter pembimbing mereka terpaksa harus menelan kekecewaan karena ternyata di Rumah Sakit Bintang hanya menerima satu orang mahasiswi saja untuk melakukan penelitian akhir di sana.

"Ck, sedih deh baru juga ketemu eh harus pisah sama dr. Dipta", keluh Ayu pada Caca.

"Sama, Yu. Aku juga baru ketemu sama Dokter Alina. Dia cantik banget, sekarang penelitian belum dimulai harus cari rumah sakit lain", ucap Caca naas.

Meski mendadak dan tidak tahu pasti alasan manajemen rumah sakit tiba-tiba membatalkan izin untuk Caca dan Ayu, tapi kedua mahasiswi ini berusaha untuk berlapang hati menerima keputusan itu.

"Natya mana ya, Ca? dari tadi kita gak lihat dia", Ayu menengok ke kanan dan kiri mencari-cari sosok Natya.

"Coba aku telepon ya", Caca sudah sibuk mencari nomor kontak Natya.

Tak sampai lima menit, dari jauh Caca dan Ayu melihat kedatangan Natya. Saat mereka sudah berkumpul bertiga, Caca mengajak kedua sahabatnya itu ke kantin rumah sakit untuk menceritakan pembatalan penelitian yang sudah diterima oleh dirinya dan Ayu.

"Lho, kok bisa gitu sih? bukannya tadi mereka nerima-nerima aja kan, Ca, Yu", Natya menatap sahabatnya bergantian.

Dia terkejut sekaligus merasa sedih karena pembatalan sepihak dan tiba-tiba seperti ini.

"Sini, biar aku coba tanya lagi ke pihak manajemen rumah sakit. Siapa tahu ada kesalahan", Natya mengambil secarik kertas yang tergeletak di atas meja.

"Nat, keep calm. Tadi pihak kampus juga udah kontak kita kok. Mereka udah dapat rumah sakit pengganti buat kita berdua", Ayu menahan pergerakan Natya.

"Gak bisa gitu dong. Kalian harusnya kan di sini sama aku", Natya masih tak terima.

"Nat, kita gak apa-apa kok kalau harus pindah rumah sakit. Lagi pula lokasi rumah sakitnya juga gak jauh dari sini, ya Yu", terang Caca.

Ayu menganggukkan kepalanya dan kembali menatap Natya. Dia meminta sahabatnya itu agar tidak emosi.

"Ya udah deh kalau gitu. Tetap jaga komunikasi ya, girls", Natya menatap Caca dan Ayu bergantian.

"Sure", jawab Caca.

"Sekarang kita selfie aja yuk. Ya anggap aja kenang-kenangan buat aku sama Caca di rumah sakit ini", Ayu sudah mengeluarkan gawai kesayangannya.

Akhirnya ketiga sahabat itu melepas kecewa dengan foto dan tertawa bersama.

Credit Card

Tak terasa rumah tangga Dipta dan Natya sudah berjalan selama tiga bulan dan selama itu pula mereka masih hidup layaknya Tom and Jerry.

"Kamu dari mana saja jam segini baru pulang?", Dipta langsung menginterogasi Natya saat gadis itu baru saja mendudukkan dirinya di sofa.

"Bukan urusan kamu", jawab Natya malas. Dia segera beranjak dari sofa dan masuk ke kamar tamu yang sejak tiga bulan lalu sudah menjadi kamar pribadinya.

"Ck, masih saja seperti itu", keluh Dipta melihat Natya hilang di balik pintu.

Jam menunjukkan pukul sebelas malam saat gawai Dipta berdering.

"Hallo, Ma".

"Hallo, sayang. Gimana kabar kamu dan Natya? apa Natya sudah hamil sekarang?", berondong Mama Nita.

Dipta menarik nafas. Dia malas meladeni Mamanya yang suka seperti ini.

"Mama telepon Dipta selarut ini hanya untuk menanyakan hal aneh macam itu?".

"Lho, aneh gimana sih, sayang. Pertanyaan Mama serius. Kamu sama Natya kan sudah menikah sejak tiga bulan yang lalu, masa iya sih belum ada tanda-tanda kehamilan? tangan Mama sama Papa udah gatal lho mau nimang cucu", celoteh Mama Nita.

Dipta memijat dahinya, Mamanya kembali berulah.

"Ma, Dipta capek, mau tidur. Teleponnya dilanjut lain waktu ya", tanpa pikir panjang Dipta memutus panggilan sang Mama.

"Ih dasar anak tidak tahu diri, Mamanya telepon malah dimatikan sepihak", Mama Nita menggerutu di depan layar gawai yang tampak gelap.

"Mama kenapa sih jam segini ngomel-ngomel?", tanya Papa Narendra yang baru saja keluar dari kamar mandi.

"Ini lho Pa, anak kamu. Dia keterlaluan banget, masa telepon Mama dimatikan gitu aja, gak tahu sopan santun", omelan Mama Nita masih berlanjut.

Papa Narendra menatap istrinya dengan lembut, "Dipta tidak mungkin bersikap seperti itu kalau Mama tidak bicara macam-macam".

"Pa, Mama gak macam-macam kok. Mama cuma tanya Natya sudah hamil atau belum? kita kan mau nimang cucu, Pa", terang Mama Nita berapi-api.

Papa Narendra tersenyum tipis, dia paham kenapa putra semata wayangnya langsung menutup panggilan dari istrinya itu.

"Ya sudah, Mama jangan ngomel lagi. Tadi kan baru maskeran, nanti kerutan tuanya bermunculan lagi lho", goda Papa Narendra.

"Iiihh Papa", Mama Nita melemparkan bantal kecil yang ada di pangkuannya ke arah sang suami.

Ya, meskipun Mama Nita dan Papa Narendra sudah cukup berumur, tapi tingkah keduanya kadang masih seperti anak kecil.

Selepas menerima telepon dari sang Mama, Dipta kesulitan untuk memejamkan kedua matanya. Meski tak suka, tapi pertanyaan Mama Nita cukup mengganggu pikirannya.

"Masa iya sih orang menikah harus punya anak?", batin Dipta. Apalagi jika dia mengingat hubungannya dengan Natya yang selama ini jauh dari kata harmonis. Tentu saja hal itu membuat Dipta tidak pernah berpikir untuk memiliki anak dengan gadis itu.

Diusianya saat ini yang menginjak 28 tahun, Dipta masih ingin fokus pada pekerjaannya. Kariernya sebagai dokter di Rumah Sakit Bintang harus dijalani dengan baik karena cepat atau lambat, rumah sakit itu akan diwariskan sang Papa padanya.

"No no no, jangan sampai terpikir hal bodoh macam itu", ucap Dipta pada dirinya sendiri. Entah mengapa bayangan Natya tiba-tiba hadir dalam pikirannya.

Jam sudah menunjukkan pukul dua dini hari dan Dipta baru bisa memejamkan kedua matanya dengan sempurna.

Hari ini Natya bangun lebih pagi dari biasanya dan dirinya sudah tampak rapi. Sesekali dia bergaya di depan cermin dan merapikan riasan natural di wajahnya.

"Ok Natya, kamu pasti bisa menyelesaikan tugas akhir ini", Natya berusaha menyemangati dirinya sendiri.

Natya keluar dari kamar, tak lupa dia menyiapkan sarapan untuk dirinya dan juga Dipta. Ya, meskipun Natya belum bisa menerima kehadiran Dipta dan juga belum bisa menerima status mereka sebagai sepasang suami dan istri, tapi Natya cukup tahu diri, dia tinggal di apartemen Dipta dan menyiapkan sarapan hanya sebagai bentuk rasa terima kasihnya saja karena diperbolehkan tinggal di apartemen itu.

Natya ingat, di hari pernikahannya, Daddy Wisnu bilang kalau tidak ada lagi tempat untuk Natya di rumah mereka. Jadi, suka atau tidak Natya harus ikut dengan Dipta pindah ke apartemen ini.

Meskipun Natya lahir dari keluarga berada, tapi Mommy Dinda dan Daddy Wisnu tidak pernah memanjakannya. Natya justru merasa lebih banyak mendapat banyak tekanan dari kedua orang tuanya itu.

"Selesai", gumam Natya saat dia sudah membuat dua buah sandwich dan dua gelas susu yang kini tersaji di meja makan.

"Kamu mau kemana pagi-pagi begini sudah rapi?", Dipta yang baru saja turun dari lantai atas heran melihat penampilan rapi Natya.

Natya melirik malas ke arah suaminya itu, "Sudah aku bilang, semua hal yang aku lakukan itu bukan urusan kamu. Ingat itu dengan baik!", tegas Natya diiringi gigitan rakus di roti sandwichnya.

Entah untuk pagi keberapa, Dipta hanya bisa menarik nafas dengan sikap Natya.

"Mulai hari ini credit card kamu off. Jadi, kalau kamu membutuhkan uang, mintalah padaku", ujar Dipta santai sambil menikmati sarapan pagi yang dibuatkan Natya.

Natya mengerutkan dahinya. Dia terkejut, bingung, sekaligus kesal mendengar ucapan Dipta.

"Kenapa bisa begitu? kamu jangan seenaknya ya menonaktifkan credit cardku", Natya tak terima. Paginya yang indah berubah buruk karena masalah credit card.

"Bukan aku yang melakukannya. Coba kamu tanya Om Wisnu", Dipta menyebut nama Daddy-nya Natya.

Dalam kondisi kesal, Natya menelepon Sang Daddy dan memang benar, Daddy Wisnu yang membekukan credit card unlimited milik Natya.

"Daddy kok gitu sih? Daddy tahu kan hidup aku tergantung sama credit card itu. Terus kalau credit cardnya off begini, apa kabar hidupku besok dan besoknya lagi, Dad?", protes Natya panjang lebar.

Di ujung telepon terdengar suara tawa Sang Daddy, "Sayang, kamu sudah menikah dan urusan seperti itu adalah tanggung jawab suamimu. Daddy sudah membahas hal ini dengan Dipta beberapa hari yang lalu dan Dipta setuju karena memang itu tanggung jawabnya", terang Daddy Wisnu tak kalah panjang lebar.

Natya melirik sinis ke arah Dipta yang masih tenang menikmati sarapan paginya.

"Tapi, Dad ...".

"Tidak ada kata tapi, Natya Ekavira Hutomo. Kamu harus belajar menerima dan menghormati suamimu. Sudah ya, Daddy lagi buru-buru, mau ada meeting pagi ini", ucap Daddy Wisnu beralasan dan dia langsung memutus teleponnya.

"Daddy jahat", keluh Natya dengan mata berkaca-kaca.

Dipta yang berlagak tidak mendengar perdebatan Natya dengan ayahnya di telepon, kini mengalihkan pandangannya pada gadis itu. Melihat Natya yang hampir menangis karena urusan credit card, Dipta akhirnya angkat bicara.

"Mulai hari ini kamu bisa pakai ini", Dipta menyodorkan sebuah credit card yang sama persis dimiliki Natya sebelumnya.

"Aku tidak mau. Aku bisa mencari uang untuk hidupku sendiri!", tegas Natya. Gadis itu beranjak dari tempat duduknya dan pergi meninggalkan Dipta yang masih menikmati segelas susu yang tersisa.

"Masih saja keras kepala", gumam Dipta tenang.

Sesampainya di rumah sakit, Natya segera menemui Dokter Refan. Pagi ini mereka sudah membuat janji untuk mendiskusikan hasil penelitian Natya.

"Saya rasa ini bagus. Kamu sudah memahami gejala dan juga sudah tahu bagaimana menangani penyakit itu", Dokter Refan memuji hasil kerja Natya.

"Terima kasih, Dok. Setelah ini saya bisa menyusun hasil penelitiannya dengan baik sesuai ketentuan", jawab Natya senang.

Dokter Refan tersenyum menatap gadis di depannya itu. Kebersamaan mereka memang belum lama, baru tiga bulan terhitung sejak Natya memulai penelitiannya di Rumah Sakit Bintang.

Tapi selama membimbing dan bekerja sama dengan Natya, Dokter Refan kagum karena Natya memiliki kepribadian yang ramah dan hangat pada pasien anak-anak. Selain itu, Natya juga cekatan, cerdas, dan memiliki inisiatif yang tinggi dalam bekerja.

"Boleh saya tanya sesuatu?", tanya Dokter Refan.

"Silahkan, Dok".

"Kenapa kamu mau menjadi seorang dokter? tepatnya dokter spesialis anak".

Natya terdiam sejenak sebelum memberikan jawaban, "Pertama, sejak kecil dokter itu adalah cita-cita saya, Dok. Saya kagum setiap kali melihat para dokter yang bekerja membantu banyak orang. Kedua, saya menyukai anak-anak, Dok. Saya terlahir sebagai anak tunggal, saya merasa kesepian karena tidak memiliki saudara, tapi setiap kali saya melihat atau berinteraksi dengan anak-anak di luar sana, entah kenapa saya merasa senang", jawab Natya jujur.

Dokter Refan mengangguk-anggukkan kepalanya tanda mengerti jawaban Natya.

"Semoga kamu bisa menjadi dokter anak yang hebat, ya", harap Dokter Refan.

"Terima kasih, Dok", ucap Natya dengan senyum manis terulas di wajahnya.

Selama tiga bulan terakhir Natya ada di Rumah Sakit Bintang, selama itu pula Dipta mengawasi setiap gerak-gerik istrinya tanpa diketahui.

"Mereka semakin akrab saja", gumam Dipta saat kedua matanya menangkap bayangan Natya dan Dokter Refan yang tengah asyik berbincang di kantin rumah sakit.

"Maaf Dokter, satu jam lagi ada pasien anak yang membutuhkan operasi", seorang perawat menghampiri Dipta.

"Oh iya, saya segera ke sana", jawab Dipta cepat.

Sebelum pergi, Dipta masih sempat melihat Natya tertawa lepas bersama Dokter Refan.

Di depan ruang operasi, Dipta sudah siap bersama beberapa rekan dokter lainnya termasuk Dokter Refan.

"Dok, saya mohon izin mengajak seseorang untuk masuk", ucap Dokter Refan sebelum mereka masuk ke ruang operasi.

"Siapa?".

"Mahasiswi kedokteran yang sedang melakukan penelitian di sini, Dok", jawab Dokter Refan.

Dipta terdiam sejenak, "Pastikan dia steril dan tidak mengganggu jalannya operasi", ucap Dipta sebelum dirinya masuk lebih dulu ke ruang operasi itu.

"Baik, Dok. Terima kasih", Dokter Refan mengangguk dan tak lama dia sudah datang bersama Natya.

Setelah mensterilkan diri dan mengenakan pakaian operasi, semua dokter, perawat, termasuk Natya masuk ke ruang operasi itu.

"Pisau", Dipta menerima sebuah pisau dari tangan perawat di sampingnya.

"Tolong pastikan tekanan darah pasien tetap stabil, Dok", Dipta menatap Dokter Refan yang ada di depannya.

Dokter Refan menganggukkan kepala.

"Gunting", pinta Dipta lagi.

Operasi itu berjalan cukup lama dan Natya yang ada di sana sedari awal begitu fokus memperhatikan bagaimana para dokter bekerja saat operasi.

Rasa mual mulai menjalari perut Natya saat aroma darah menyeruak tajam. Tapi dia menahannya karena baginya ini adalah kesempatan bagus untuk belajar.

Dipta sesekali melirik ke arah Natya. Gadis itu sama sekali tidak menyadari jika dokter bedah yang tengah beraksi di depannya adalah suaminya sendiri.

Setelah dua jam operasi itu pun berakhir. Natya bernafas lega, kini dia bisa menghirup udara segar.

"Bagaimana operasi tadi?", tanya Dokter Refan saat keduanya sudah berada di luar ruangan.

"Luar biasa, Dok. Ini kali pertama saya melihat langsung kegiatan operasi. Terima kasih karena dokter sudah memberi kesempatan pada saya untuk langsung belajar dan mengamati".

Dokter Refan tersenyum, "Syukurlah kalau kamu belajar banyak dari operasi tadi".

"Iya, Dok. Oh ya Dok, kalau dokter yang tadi memimpin operasi itu siapa? luar biasa sekali caranya bekerja. Cepat, rapi, fokus, dan sangat hati-hati", puji Natya pada sosok dokter yang ia tanyakan.

"Oh, tadi itu Dokter Dipta. Selain seorang internist, dia juga ahli dalam pembedahan", jawab Dokter Refan.

"Dokter Dipta", gumam Natya. Pikirannya langsung tertuju pada sosok suaminya yang juga memiliki nama yang sama.

"Tidak, itu pasti bukan dia", batin Natya yakin.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!