NovelToon NovelToon

The White Glove

Mistiness. Who Loves Drama?

"I do really love you" Dara memandang Harry tanpa mengedipkan mata.

Harry menatap wanita disisinya, kemudian tersenyum. Menawan. Eksekutif muda dengan postur tubuh tinggi dan warna pupil hazel sangat serasi dengan rambut dan pakaiannya. Ia bahkan masih belum membuka jasnya.

Perjalanan bisnis tengah malam yang menguras tenaga. Meninggalkan ibu kota untuk mendapatkan kesepakatan bisnis besar. Menembus malam yang sepi di setiap jalan baru yang harus dilewati. Rutinitas ini memang melelahkan, namun malam ini tidak bagi Dara. Rasa lelahnya bersedia mengalah demi perasaannya. Dara tak ingin menyembunyikannya lagi. Sebuah perasaan yang telah lama mengendap sejak Harry mulai menyita perhatiannya.

"You look tired Ms. Dara. That's fine. we'll take a rest for a minute here" jawab Harry dengan tenang. Ia mulai menyandarkan tubuhnya dan mengalihkan pandangan, kemudian memejamkan matanya.

Dara hanya terdiam dan masih menggenggam kemudi. Mobil bahkan telah ia hentikan mendadak di bahu jalan, hanya untuk menyampaikan kata-kata itu. Ia masih memandang Harry di sisinya.

"I'll go with the Bus" ucap Dara seraya menarik pelatuk pintu mobil.

Harry meraih tangan kanan Dara, kemudian menggenggam jemarinya erat. Harry masih memejamkan matanya.

"Kita bahkan belum pernah melakukan hal yang romantis Nona Dara. Kita selalu terjebak dalam pekerjaan yang berat dan sangat menguras waktu. Kita juga belum pernah membahas hal privasi. Bagaimana semua itu Nona sebut cinta?" Ucap Harry yang masih memejamkan matanya.

Dara melihat jemarinya yang tergenggam, kemudian mengalihkan pandangannya lagi kepada Harry.

"Anda memang benar tentang tak ada pembicaraan lain atau tentang pekerjaan yang selalu menguras waktu. Namun kali ini, anda mungkin salah tentang perasaan saya. Saya benar-benar mencintai anda dalam semua momen itu dan saya tidak bisa berputar arah". Ucap Dara masih tetap yakin dengan apa yang ia katakan.

Harry membuka matanya, dan menoleh kepada Dara dengan senyum yang sama.

"Kalau begitu, mari kita berbincang hal yang privasi" jawab Harry kemudian.

Kali ini Harry menggenggam jemari Dara dengan kedua tangannya.

"I do not love anyone or anything. This life such as a suck thing and I do really hate it with all of my heart" Harry masih melanjutkan ucapannya dengan senyum.

Dara masih menatap Harry *****-*****.

"Kita hanya sama-sama terjebak di waktu yang tidak bersalah Nona. Tapi bukan berarti semua itu cinta. Semua hanya kebiasaan yang mulai menyita perhatian. Sekarang lupakan, dan percakapan tentang hal ini berakhir. Sekarang saya yang mengemudi dan saya antar Nona pulang" jelas Harry.

Dara melepas genggaman Harry.

"Saya tidak akan melupakan ini, tapi saya yakin anda akan merubah pikiran anda". Jawab Dara.

Harry tersenyum, dan mulai memejamkan kedua matanya lagi.

"Ya, sure" ucap Harry dengan tenang.

Wajah pagi ibu kota tetap sama. Ia masih tertutup debu jalan dan asap kendaraan. Waktu pagi di Ibukota juga tak sabar mengganti rembulan menjadi mentari membiarkan aktivitas berjalan seperti biasanya.

Pada pagi buta ini, seperti biasanya Dara hanya bisa menatap Harry yang tertidur disisinya, di dalam sebuah mobil kantor yang sering mereka pakai untuk menghadiri berbagai kunjungan binis.

Tertidur pulas di parkiran VIP perusahaan besar bidang teknologi otomotif yang terus melambung. Ya, itu adalah kebiasaan rutin yang harus Dara lalui bersama Harry.

Tepat di jam 9 pagi tanpa alarm, Dara terbangun dan membuka tasnya untuk mengambil beberapa makeup. Ia akan memoleskan make up di wajahnya setelah membangunkan Harry.

"Kita sudah sampai di Kantor pak. Rapat akhir pekan akan dilaksanakan dalam 56 menit bersama dewan komisaris dan para akuntan di gedung lima" ucap Dara dengan tenang.

Harry terbangun dan mulai merenggangkan badannya.

"Ah oke. Open the baggage some stuff for you and don't forget anything for the meeting. I'll wait in the lobby 45 minutes from now. Thank you Ms. Dara" ucap Harry saat ia mulai membuka pintu mobil.

Dara menganggukkan kepalanya. Harry menutup pintu mobil kemudian.

Dara keluar dan membuka bagasi mobilnya.

"Exactly" singkat dara dengan spontan.

Barang yang sama persis dengan apa yang Dara bayangkan sebelumnya.

"New clothes and will wait for me?. See how he does?!" gerutu Dara seraya mulai menarik nafasnya. "Tapi sekarang rasanya sedikit berbeda ketika cinta sebelah tangan ini menjadi nyata" ucap Dara beberapa saat kemudian.

Kali ini Dara berencana tak memakai pakaian itu. Dara masih menyimpan beberapa pakaian lain di loker kerjanya.

Seperti biasa, ketika Dara sampai di meja kerjanya, beberapa memo rayuan cinta yang wangi telah tertata rapi di diatasnya. Seperti biasa juga Dara selalu membacanya dan tersenyum. Hanya rekan sekertaris pria di sudut ruangan yang bisa menjawabnya. Ia satu-satunya pegawai yang selalu berangkat lebih awal dan lebih pagi, pastilah ia tau siapa saja yang datang ke meja kerja Dara.

Dara tersenyum.

Setidaknya memo-memo ini bisa sedikit mengobati pupus harapnya setelah ditolak Harry. Setidaknya Dara masih cukup cantik untuk disukai oleh pria.

Dara menoleh saat seorang pria berhenti tiba-tiba.

"Surat dengan warna merah muda yang sama? Bagaimana bisa?" tanya Dara spontan seraya menunjuk amplop berwarna merah muda yang sembunyikan pria muda yang mulai menoleh.

Pria itu mengangguk.

"Apa kita sudah pernah bertemu sebelumnya?" tanya Dara spontan.

"Ya. Saya terpesona dengan kecantikan bu Dara" singkat pria itu seraya memberikan kertas merah muda itu.

Dara melihat amplopnya seraya tersenyum.

"Dika?" tanya Dara.

Pria itu mengangguk.

"Inisial nama bu Dara dengan saya pun sama. Semoga ini takdir yang baik" singkatnya.

"Sejujurnya saya tidak tertarik dengan rayuan, tapi ini surat pertama yang akan saya baca" ucap Dara spontan seraya tersenyum.

Pria itu tersenyum, lalu berlalu.

Dara mengubah gurat wajahnya dan justru membuka laci, lalu memasukkan suratnya.

Rekan kerja Dara yang datang dengan tumpukkan file kerjanya menoleh saat berpapasan dengan pria yang baru saja berbincang dengan Dara.

Merisa hanya menggelengkan kepalanya saat ia melihat Dara tetap menunjukkan ekspresi serius tanpa melirik siapapun yang datang dengan setiap tulisan dan nomor kontak penulis rayuan-rayuan.

"Choose one of them Dara.. As i always said... Just... remember your sweet productive age as women honey" ucap Merisa seraya berjalan kearah meja kerjanya.

Dara menoleh.

"Yes, thats why finally i told, how much i loved him last night" jawab Dara spontan

Merisa melotot.

"Who? Ah i mean, really?!" tanya Merisa spontan.

Dara hanya menarik bibirnya.

Beberapa pegawai yang berada di sekitar Dara mulai melirik berusaha mendengarkan. Hal ini benar-benar telah menjadi rahasia umum soal perasaan Dara kepada Harry.

"Oh finally! I've waiting for this in my life! So how his response?!" tanya merisa dengan antusias.

"Dia pikir saya gila" jawab Dara kemudian.

Semua pasang mata di ruangan itu kecewa.

Merisa terdiam.

"Imposible. You both born for this destiny" singkat Merisa.

"Our tale destiny" tegas Dara.

Merisa menghela nafasnya.

"yap. A tale!. Without Woman. Mysterious relationship. Biggest Company. A lot of money, and also his looking as hell, yeah it's human tale!" Merisa menghentikan ucapannya sejenak, lalu ia justru tersenyum lebar.

"Tapi... no matter how he is, no one but you, one step closer only for you! He's gonna fall. Trust me!" ucap Merisa mulai tersenyum.

"No one but me, me personaly decided to give up easily" ucap Dara tak tertarik dengan topik tentang Harry.

Dara mulai berjalan kembali ke lokernya untuk mengambil peralatan mandi.

"Oh come on! Dia belum memiliki wanita lain di hidupnya, dan itu peluang besar untukmu" ucap Merisa lagi.

"But He doesn't need woman" ucap Dara.

"Then why he chooses you as his private secretary?" tanya Merisa.

"He didn't nor never choose me and he just needs an employe, atau ini hanya bagian dari memenuhi janji saja" jawab Dara.

Merisa menepuk keningnya sendiri.

"But tell me why he agreed? Thats mean he needs you silly. As always!!." Ucapnya kemudian.

"Well then why i rejected? ?" Singkat Dara.

"Oh come on, we talk about the day after this.?!. Jika manusia membutuhkan manusia lain, artinya keduanya tak akan rela melepaskan satu sama lain. So, you just need to hold out much longer under this war, and you will find a way to catch his heart!" ucap Merisa dengan berbisik.

"He rejected me, he really did!" ucap Dara lebih serius. "thats fine. I'll find someone better. Mungkin pria-pria dengan rayuan gombal seperti ini" ucap Dara lagi seraya melihat memo-memo di layar komputernya.

"Dan kamu tidak akan hidup karena hal itu" timpal Merisa.

"Ah, ucapan itu menjadi terasa berat, bahkan penolakan itu juga membuatku jadi tidak nyaman seperti ini. Aku ingin menghilang sebentar rasanya. Bagaimana aku menutup wajahku setelah ini?!" ucap Dara dengan lemas dan berjalan menuju toilet.

Merisa hanya tertawa kecil melihat tingkah Dara. Merisa tau, Dara tak akan menyerah semudah yang terlihat.

Setelah selesai membersihkan tubuhnya, Dara memandangi wajahnya di depan cermin toilet.

"Mungkin memang selama ini salah" Dara menghela nafasnya.

Setelah semua telah siap, Dara segera turun, kemudian keluar dari lift yang telah mengantarnya menuju Lobby.

Harry telah duduk di sofa seraya menyentuh tablet PC nya. Dara menghampiri Harry lalu tetap berdiri dihadapannya.

Harry justru terdiam sejenak melihat setelan pakaian yang Dara kenakan.

Dara juatru tersenyum jika Harry mulai memperhatikan hal lain tentang dirinya. Dengan mudah Dara mulai menebak bahwa Harry mulai mengingat pakaian ini yang pernah Dara pakai di pekan lalu.

"Maaf Pak, tanpa mengurangi rasa hormat. Maka saya pikir, saya sudah tidak lagi memiliki alasan untuk menerima barang pemberian dari anda, kecuali gaji dari pekerjaan saja" ucap Dara.

"Why? Is something wrong with those stuff Ms Dara?" singkat Harry.

"Tidak ada pak. Semua hal itu justru akan membuat saya selalu mengingat anda" tanggap Dara.

Harry mulai menoleh kearah lain.

"Baiklah Nona Dara. Tolong catatlah ini bahwa semua yang saya berikan adalah bentuk insentif, khususnya bagi pegawai yang telah bekerja dengan baik." ucap Harry.

"Baik pak, saya mengerti. Terimakasih" ucap Dara seraya tersenyum meski dengan rasa kecewa yang ia tutupi.

Bertepatan dengan itu, seorang wanita paru baya yang masih terlihat anggun dengan balutan pakaian formal-Casual masuk dan datang bersama seorang wanita muda yang tinggi semampai di sisinya.

Semua pegawai termasuk Dara tentu tak asing dengan wanita anggun itu, namun Dara justru terpaku dengam tamu cantik yang dibawa sang nyonya anggun.

Wanita itu berjalan cepat menghampiri Harry.

Harry memasukkan satu tangannya ke dalam saku, dan wanita muda yang berada disisi nyonya parubaya justru terkesima tak menolehkan pandangannya dari Harry.

"Apa yang membuat anda datang nyonya?" ucap Harry.

Nyonya Wijaya menatap tajam kedua mata Harry, kemudian sedikit melirik Dara.

"Harry perkenalkan ini Sarah dan dia akan menjadi istri dari putra tunggal Bramasta Wijaya" ucap nyonya Wijaya dengan senyum lebar.

Dara pun terkejut dengan ucapan nyonya Wijaya yang langsung pada intinya. Benak Dara pun tak bisa dusta tentang sosok Sarah dengan penampilannya yang sempurna. Jika Sarah disandingkan dengan Harry, semua orang pasti akan semakin yakin bahwa Dara hanya sebatas sekertaris Harry saja.

"Sepertinya anda keliru, karena saya belum berniat menikah" ucap Harry serius.

"Saya telah mengenal Sarah dan sekarang kalian sudah saling mengenal. Saya tidak menerima penolakan, dan Harry Wijaya harus menikah. Siang ini undangan akan dicetak" jawab nyonya Wijaya tak kalah tegas.

"Why are you bet everything in this business?" singkat Harry spontan.

Nyonya Wijaya menghentikan langkahnya dengan spontan.

"Excuse me?!" singkat nyonya Wijaya.

"Anda tidak berhak menentukan hal apapun dalam hidup saya Nyonya!" singkat Harry dengan spontan.

"Sayangnya saya tidak memutuskan sesuatu hanya karena memiliki hak atau tidak" singkat nyonya Wijaya.

"Nona Sarah, apa yang nyonya Wijaya tawarkan padamu untuk melakukan ini?" singkat Harry pada Sarah.

Sarah melirik kecil kearah nyonya Wijaya, lalu terdiam.

"Hutang. Mudah di tebak, dan itu cara yang paling buruk untuk mempertaruhkan hidup seseorang, nyonya" jawab Harry lagi.

"Memang, dan setidaknya saya mempunyai kekuasaan untuk memaksakan kehendak siapapun. Maka akan saya kirimkan alamat nona Sarah. Kita bicarakan acara pernikahan dan saya tunggu disana sebelum jam makan siang" ucap nyonya Wijaya lagi dengan tegas.

Seisi ruangan terdiam mendengar suara lantang nyonya Wijaya. Dara terkejut dengan apa yang dikatakan oleh nyonya Wijaya, hati Dara pun benar-benar hancur kali ini.

Kesepakatan sepihak selalu terjadi dalam sebuah bisnis besar. Harry tetap mengepalkan tangannya, dan kedua matanya justru tak bisa menyembunyikan luapan emosinya.

"Justru saya yang akan menunggu anda di kediaman nona Dara sebelum jam makan siang" singkat Harry lagi.

Dara melotot.

Dara menoleh kearah Harry.

Nyonya Wijaya hanya mengangkat satu alisnya.

Announcement

"Justru saya yang akan menunggu anda di kediaman nona Dara sebelum jam makan siang" singkat Harry lagi.

Dara melotot.

Dara menoleh kearah Harry.

Nyonya Wijaya hanya mengangkat satu alisnya.

"Wah, lihatlah siapa yang dengan seenaknya memutuskan hal besar dan mempertaruhkan hidup seseorang?" singkat nyonya Wijaya.

"Perlu saya tegaskan saya berbeda dengan anda, dan Nona Dara sudah menyampaikan isi hatinya lebih dulu. Maka kami akan menikah dalam waktu dekat" ucap Harry dengan tetap memandang nyonya Wijaya.

Nyonya Wijaya justru menatap tajam, seraya berjalan kearah Dara dengan cepat.

"Benarkah nona Dara?" tanya nyonya Wijaya spontan

Tubuh Dara justru terasa kaku dengan semua hal yang terjadi tiba-tiba. Dara justru memikirkan dua hal dilematis yang membingungkan. Bodohnya Dara tidak memikirkan ini saat ia mengungkapkan isi hatinya.

Pilihan hidupnya pasti hanya akan ada dalam kata "di pecat". Kalau tidak oleh ibu pemilik perusahaan yang tidak merestui, pasti oleh anak pemilik perusahaan yang angkuh dengan semua perintah wajibnya.

"Hmm. Benar, tetapi mungkin akan lebih baik jika saya menelan kembali ucapan saya setelah pak Harry menolak saya, nyonya" ucap Dara dengan spontan seraya mencoba menutupi detakkan jantungnya yang tidak karuan.

"Sayangnya, kita tidak akan membahas penolakan kecuali tanggal pernikahan nona Dara dengan Harry. Asisten tolong antarkan nyonya Sarah pulang, dan lunasi setengah jatuh tempo pembayarannya perusahaan ayahnya" ucap nyonya Wijaya seraya tersenyum lebar.

Semua mata terdiam, dan Dara justru terkejut. Nyonya Wijaya justru mulai duduk lalu mendongak dan meminta Dara duduk disisinya. Harry justru melirik.

"Duduklah nona, oh atau perbincangan privasi kita akan terasa lebih baik jika Harry pergi dari tempat ini?" tanya nyonya Wijaya.

Dara mulai duduk dengan canggung. Harry tetap berdiri ditempatnya.

"Baiklah sepertinya Harry ingin tau sudah sampai sejauh mana ia melakukan hubungan ini denganmu. Jadi, Nona Dara, apakah Harry pernah bertemu dengan orang tua nona Dara lagi sejak saat itu?” tanya nyonya Wijaya dengan tenang.

"Cukup! Silahkan kembali lain waktu! Saya tunggu di ruang rapat, nona Dara!" singkat Harry spontan.

"Batalkan semua agenda Harry hari ini sekarang juga!" singkat nyonya Wijaya.

Dara melirik sejenak kearah Harry.

"Pak Harry sudah sering berkunjung dan menemui mereka, nyonya. Terakhir kali mereka bertemu tadi malam" jawab Dara dengan tetap menatap wajah nyonya Wijaya.

"Oh. Really?" ucap nyonya Wijaya yang mulai tersenyum kecil.

Harry melirik.

"Itu pertemuan biasa hanya untuk sebuah pekerjaan. Sekarang cukup dan kita bahas ini lain kali!" tegas Harry.

"Jadi pekerjaan seperti apa yang sering dilakukan di malam hari? Saya yakin nona Dara cukup pandai menolak semua perbuatan tidak menyenangkan dari atasannya selama ini" ucap nyonya Wijaya.

"Benar tidak pernah terjadi hal yang lebih nyonya. Pak Harry memang hanya meminta izin ketika kami mendapat jadwal pekerjaan penting di malam hari. Keluarga saya sudah mengenal sikap profesionalitas pak Harry atas pekerjaannyanya Nyonya" jawab Dara.

Nyonya Wijaya justru tersenyum lebar.

"Nona Dara, saya tidak pernah berharap banyak dengan pilihan hidup Harry, tapi kali ini saya terkesan dengan sesuatu yang baru ia dapatkan dalam hidupnya" ucap nyonya Wijaya.

Nyonya Wijaya justru terdiam, lalu berdiri dan berjalan ke arah resepsionis.

Dara melirik Harry. Harry mulai memberikan ekspresi dinginnya.

"Tolong sambungkan ke seluruh staff dan pegawai, bahwa lusa, Harry Wijaya akan menikah dan semua karyawan akan mendapatkan undangan!". ucap nyonya Wijaya seraya tersenyum lebar.

Dara hanya diam tak menyangka.

Harry melotot saat mendengar semua saluran suara di perusahaannya menyebut namanya dengan Dara.

Dara menoleh mengartikan sikap Harry yang tak terlihat menginginkan semua ini terjadi.

Semua tangan bertepuk dan bersorak "Congratulations boss".

"Hubungi orang tuamu Nona Dara, dan kalau bisa, buat mereka mengambil cuti hari ini" ucap nyonya Wijaya yakin.

"Kedua orang tua saya pedagang nyonya" ucap Dara lagi.

"Itu bagus. Apa makanan favorit keluarga nona Dara?" singkat nyonya Wijaya lagi.

***

..."Tidak pernah berhenti berkarya dan selalu memberikan banyak nilai positif, seperti ini lah sosok wanita yang selalu tampak cantik tak lekang oleh zaman. Kini ia pun yang telah sering menghiasi layar kaca, menjadi motivator paling berpengaruh di negeri tercinta. 'Menurut saya, kesabaran adalah rahasia terbesar dalam menerima hidup ini dengan baik'. Benar. Waktulah yang akhirya membuktikan setiap masa kelam dari tuduhan miring beberapa masa silam perlahan luntur, dan kebaikan bagaikan kilauan perhiasan yang tetap menampakan keindahannya"...

Seperti biasa dengan kondisi rumah telah rapi dan pakaian-pakaian yang telah melambai di halaman belakang, orang tua Dara pasti sedang menikmati acara talkShow pagi favorit mereka seraya menjaga toko yang sudah dibuka

"Yang namanya orang cantik ya pak? Sudah masuk penjara puluhan tahun saja tetap cantik" ucap bu Sono seraya mengomentari bintang tamu dalam acara televisi.

"Hmm, konglomerat tidak ada yang benar-benar dipenjara" ucap pak Sono dengan terus memakan cemilan di atas meja.

Berbeda dengan Karisa, adik Dara. Ia masih duduk di bangku kuliah memasuki semester lima dan ia justru sedang sibuk mencari kaos kaki futsalnya yang telah di cuci bu Sono.

Ponsel berdering. Karisa justru tersenyum lebar.

"Tidak biasanya menelpon pagi-pagi. Ada berkas yang tertinggal ya?" ucap Bu Sono dengan spontan.

Setelah mendengar kabar, bu Sono hanya terdiam dan sejak tadi menjawab.

"Iya.. Iyaa sekarang ya. Sekarang" ucap bu Sono.

Pak Sono menoleh, bertanya berulang kali sambil berbisik. Bu sono segera menutup ponselnya.

Bu sono justru menoleh kearah Karisa.

"Karisa itu baru di jemur!" ucap bu Sono dengan spontan.

Karisa justru berlari setelah mendapatkan kaos kakinya. Bu Sono justru berdiri dan berjalan cepat kearah Karisa seraya mengambil kaos kaki Karisa lagi.

"Aku ada sparing futsal bu!" singkat Karisa lagi.

"Keluar saja dari grup futsal!!" Ucap bu Sono ketus.

"Lah?! Eh. Mba Dara, tadi apa kata mba Dara bu?" singkat Karisa sponfan

"oh iya.. Pak!! Pak ayo cepat pesan hidangan spesial sekarang juga. Itu di langganan ibu itu!" ucap Bu sono sangat antusias.

"Memangnya kenapa? ada apa?!" tanya pak Sono dengan spontan

"Pak Harry Wijaya akan datang bersama orang tuanya, kataya Dara akan menikah!" ucap bu Sono antusias.

Karisa melotot tak percaya.

"Akhirnya mba Dara hamil bu?" singkat Karisa spontan.

Ibu segera melotot, lalu melayangkan tangannya keudara dan Karisa berlari menjauh.

Ayah segera menarik tas Karisa, lalu berkata, "Karisa setrika pakaian ayah! Baju Ayah yang label harganya belum di lepas di lemari ya" ucap pak Sono tak kalah antusias.

"Loh, ko disambut? Ayah, ini pasti terjadi karena ada sesuatu! Mba Dara sudah putus asa" singkat Dara.

"Hush! Ampun anak ini! Cepat!" ucap ibu Sono seraya melotot.

Karisa menghela nafasnya, lalu berjalan perlahan dan melirik.

"Tidak bisa. Hari ini aku ada kelas pengganti dan sparing, ayaah... Tolong bantu aku..." protes Karisa dengan serius, dan memelas memandang ayahnya, saat bu Sono meraih handuk yang tergantung di halaman belakang.

"Ayah janji bertanggung jawab dengan masa depan futsalmu setelah ini" ucap pak Sono dengan spontnan.

"Yang benar?!" tanya Karisa spontan.

"Ya, nanti ayah juga yang tanggung jawab kalau kamu dihukum" ucap Ayah seraya mengambil kunci motornya.

Karisa mulai menyetrika pakaian seraya tersenyum lebar.

Pintu pun terketuk setelah 45 menit Dara menelpon. Bu Sono membuka pintu dengan senyuman. Bu Ani bersama putranya telah berdiri di depan pintu rumah Dara dan tersenyum.

Bu Sono spontan mengubah gurat wajahnya setelah melihat putra bu Ani.

"Bang Adit!" ucap Karisa seketika.

Adit tersenyum hangat.

Bu Ani menanyakan keberadaan Dara, maka Bu Sono menyampaikan maksud kunjungan nyonya Wijaya dan Harry yang akan datang melamar Dara.

Seyuman Adit justru menipis, dan Karisa tak sengaja mengartikannya.

Kedatangan

Suara mobil pun terdengar.

Setelah Dara turun dari mobil Harry, Dara justru terdiam saat ia melihat Adit di pelataran rumahnya.

Dara mempersilahkan nyonya Wijaya berjalan lebih dulu, sedangkan kedua mata Dara tak sanggup menutupi rasa terkejutnya dengan kedatangan Adit. Dara menoleh dan dengan spontan memeluk erat lengan Harry.

Harry menoleh.

Bu Sono justru melotot melihat sikap Dara yang berlebihan.

"Maaf kami datang di saat yang kurang tepat. Kalau begitu kami langsung permisi ya? Mungkin lain kali kami mampir, berkunjunglah juga lain waktu bu Sono" ucap bu Ani dengan spontan dan tersenyum pada nyonya Wijaya.

Bu Sono tersenyum lebar menyampaikan permintaan maafnya juga.

"Selamat ya, Dara" singkat Adit.

Dara tersenyum kecil, lalu terdiam setelah Adit berlalu.

Pak Sono dan Istrinya pun segera mempersilahkan Harry dan nyonya Wijaya masuk ke rumahnya.

"Siapa pria tadi nona Dara?" tanya Harry dengan sengaja setelah ia menyadari ekapresi yang terlalu berlebihan dari Dara.

"Harry!" ucap Nyonya Wijaya dengan spontan untuk menghentikan sikap Harry.

"Tidak apa nyonya. Pak Harry dan nyonya memang berhak mengetahuinya" ucap Dara mulai menghela nafasnya. "Sebenarnya, saya dan pria tadi sempat akan menikah tujuh tahun yang lalu" singkat Dara.

Dara justru terdiam sejenak, mencoba menyembunyikan perasaan kacaunya setelah melihat Adit kembali dalam situasi membingungkan seperti ini.

"Maaf saya yang melanjutkan nyonya" ucap pak Sono dengan spontan. "Apa yang dikatakan Dara memang benar, tapi kemudian semua dibatalkan karena pria itu mengalami kecelakaan yang parah. Beberapa pekan kemudian setelah kecelakan itu, keluarganya yang meminta keluarga kami benar-benar membatalkan acara pernikahan Dara" ucap Dara dengan serius.

Nonya Wijaya mengangguk.

“Jadi apakah artinya setelah pria itu kembali, semua hal yang tertunda dahulu akan di lanjutkan kembali?” tanya nyonya Wijaya.

"Tidak bu. Kami tidak pernah berkomunikasi lagi sejak saat itu, dan saya tau Dara pun begitu" singkat pak Sono dengan serius.

Nyonya Wijaya terdiam.

"Maaf, tapi sepertinya hal ini memang harus di bicarakan lagi lain waktu. Bukan begitu?" tanggap Harry lagi pada nyonya Wijaya.

"Tidak. Saya tidak akan mengubah keputusan saya. Jadi dengan hormat tuan dan nyonya Sono, apakah rencana pernikahan ini bisa terus kami lanjutkan?" tukas nyonya Wijaya.

"Maaf sebelumnya nyonya, apakah kami tidak keliru dengan keputusan pak Harry meminang anak kami? Sebenarnya kami tidak keberatan jika ingin dipertimbangkan lagi" ucap pak Sono.

"Harry sendiri yang sudah mengumumkan rencananya menikahi Dara. Keputusan saya pun tetap sama. Lebih cepat lebih baik" singkat Nyonya wijaya.

Pak Sono dan Istrinya tersenyum lebar. Mengiyakan.

"Baiklah. Dengan begitu maksud kedatangan saya tidak lain karena saya berencana menikahkan putra saya dengan nona Dara, dua hari sejak pertemuan ini. Bagaimana menurut anda pak Sono?" ucap nyonya Wijaya kemudian.

"Lusa nyonya?" Pak Sono terkejut.

Nyonya Wijaya hanya mengangguk meyakinkan ucapannya.

Tak banyak percakapan lain setelah itu, dan Dara merasa sedang membuka lembar kehidupan barunya bersama jalan cerita ajaibnya dengan Harry.

Semua ini benar-benar keajaiban bagi Dara.

Dara memang mencoba tak lagi mengungkit bahkan menyebut nama Adit di dalam hatinya.

Hanya Harry, ya untuk sekarang dan selamanya, hanya Harry.

Namun, sayangnya sejak hari kunjungan Harry itu, Dara tidak lagi mendapat sedikitpun pesan singkat dari Harry. Bahkan Harry tak menghubungi Dara sedikitpun hingga hari pernikahan. Mereka tak berkata sepatah kata pun sejak saat itu, dan Dara mulai menebak-nebak isi hati Harry sejak hari kunjungannya bersama nyonya Wijaya.

"Mba" singkat Karisa spontan ketika ia melihat Dara yang terlihat sangat sibuk mempersiapkan pernikahan tak masuk akal dengan atasannya.

Rasanya ini masih menjadi hal yang tidak mungkin. Tidak ada lamaran, dan langsung menikah. Bukankah ini cukup aneh? Apakah Dara diancam untuk hal ini?

Karisa menghela nafas. Keluarga Wijaya, khususnya Harry bahkan sudah sangat baik sebelum ini.

"Apa? Mau ikut menikah ya?" ucap Dara seraya tersenyum lebar melihat Karisa yang terdiam dibelakang Dara yang sedang memakai gaun perikahannya.

"Selamanya tidak akan ibu terima jika Karisa menikah dengan teman dari grup futsal!" celetuk bu Sono spontan.

Dara terkekeh, namun Karisa justru tetap memandang serius kearah Dara.

"Sebenarnya dari tadi aku justru memikirkan bang Adit yang kemarin datang. Aku sudah bertemu dengannya juga di Kampus. Sekarang dia melatih unit kegiatan mahasiswa di kampusku" singkat Karisa spontan.

Bu Sono justru berjalan menjauh dengan perlahan untuk menghindari percakapan Dara dan Karisa tentang Adit.

Dara mengubah senyumannya.

"Lain kali akan mba jelaskan padanya" singkat Dara.

"Sebaiknya sebelum mba menikah" ucap Karisa lagi.

"Mba mengerti apa yang sedang kamu pikirkan, tapi sekarang mba sudah tidak bisa merubah keputusan apapun" singkat Dara seraya berjalan kearah bu Sono dan pak Sono.

"Tapi kasihan bang Adit mba" singkat Karisa.

"Tidak ada yang salah dengan takdir" singkat Dara.

"Tapi ini juga takdir, saat bang Adit datang lagi sebelum mba Dara menikah. Benar kan?" singkat Karisa.

"Karisa!" bentak Dara dengan spontan.

Karisa terdiam, lalu berbalik.

"Mba egois! Buuuu! aku pulang malam!" singkat Karisa seraya mengambil kunci motor dan helmnya lalu pergi.

Dara hanya menghela nafas, lalu mengusap wajahnya sendiri.

Karisa justru berencana menemui Adit saat itu juga untuk membahas tentang Dara.

Sejak awal Karisa sengaja meminta ketua umum grup futsalnya untuk mengundang Adit melatih tim futsal di kampusnya. Adit adalah alumni dari universitas yang Karisa duduki sekarang, dan ia juga alumni grup futsal legendaris yang selalu memenangkan kejuaraan nasional. Harapan satu-satunya bagi Karisa tetap bermain futsal, agar ia mendapat kesempatan seperti hari ini untuk bisa bertemu dengan Adit.

"Aku mungkin akan mencari wanita yang pandai bermain futsal. Mungkin akan sangat menyenangkan jika bisa memiliki klub futsal sendiri" ucap Adit mengakhiri ucapannya.

Karisa mengerti, telah banyak kisah yang Adit sedang adit tutupi dihadapan siapapun. Adit justru berjanji akan sering datang melatih futsal sejak saat itu. Karisa justru sulit menyembunyikan detak jantungnya sendiri soal Adit. Apakah Adit serius dengan ucapannya?

Sejak hari itu, Karisa tidak sedikitpun membahas masalah Adit dengan Dara, maka hari pun berganti.

Hari pernikahan pun datang dengan cepat, secepat acara persiapannya. Akad dilakukan dengan khidmat di sebuah gedung mewah yang di desain seperti dalam negeri dongeng. Ribuan tamu diundang dengan dua malam perayaan yang megah.

Menakjubkan.

Sayangnya, sejak awal prosesi akad, Harry sama sekali tak menatap Dara, dan Dara pun mudah mengenal tatapan Harry yang berbeda dari biasanya. Kali ini Harry tak sedang merasakan apapun. Tak merasakan perasaan apapun selain menjadi boneka dalam drama kehidupannya.

Harry memang seperti itu.

Dara mencium punggung tangan Harry setelah janji di ikrarkan dan cincin telah ditukar.

Harry mengangkat dagu Dara dan membelai lembut pipi Dara, lalu mengecup bibirnya. Dara terkejut, namun ia mulai mencoba menutup matanya seperti Harry, dan membiarkan nafas itu mengatur waktunya.

Semua mata tertuju dengan terkejut.

Pak Sono mendehem.

"Maaf. Nak Harry, kecupannya di kening saja sudah cukup. Maaf soalnya saya mengundang anak-anak dari panti juga" ucap pak Sono seraya berbisik.

Harry segera menghentikan kecupan itu dan menggantinya dengan kecupan di kening.

"Kenapa tidak ada yang memberi tahu sebelumnya?" ucap Harry lirih. Itulah ucapan pertama dari Harry kepada Dara.

Namun Dara masih terlalu canggung menjawab pertanyaan dari Harry.

"Oke. 3.2.1 yap. Camera Shoot!" ucap fotografer setelah Harry dan Dara menunjukkan buku nikah kepada hadirin.

Pada pemotretan yang kedua, Harry mendekap Dara dengan senyum dan Dara tersipu malu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!