Mawar tersenyum bahagia saat Rega, pria yang menjadi kekasihnya semenjak di bangku SMA itu dengan lantang dan lancar mengucapkan ijab Kabul nya. Hari ini dirinya sah menjadi seorang istri dari Rega. Pria muda berusia 25 tahun, seorang pengusaha juga sangat tampan. Mawar merasa sangat beruntung sekali, tak hentinya dia mengucapkan kata syukur.
"Mawar, sekarang kamu bisa duduk di kursi pelaminan." Ujar Rena, ibunya.
Wanita berkebaya berwarna emas itu menuntun putri semata wayangnya keluar dari kamar pengantin.
Mawar menghela nafas panjang, gugup sekali. Apalagi di panggung sana sudah ada Rega dan kedua orangtuanya. Rasanya seperti mimpi saja, tak menyangka jika permintaannya dipenuhi secepat ini oleh Rega.
Padahal malam itu Mawar hanya bercanda saja, meminta Rega menikahinya karena memang usia mereka yang sudah pantas untuk berumah tangga. Tanpa di duga Rega setuju dan paginya langsung melakukan lamaran lalu hari ini pun tiba.
Rasa bahagia tak bisa di sembunyikan dari wajahnya. Mawar terus tersenyum dengan lebar.
"Waahh... cantik sekali istriku." Bisik Rega, begitu Mawar sudah duduk di sampingnya.
Mawar tersipu, menyikut lengan Rega pelan. Para tamu undangan pun mulai berdatangan. Mereka bersalaman satu persatu. Momen seperti ini sungguh tak akan pernah Mawar lupakan dalam hidupnya.
"Ini sudah jam 1 siang. Sebaiknya kami pulang." Kulsum, ibu Rega berdiri lalu segera meminta izin untuk pulang.
Punggungnya terasa panas duduk berjam-jam di kursi seperti itu. Maklum karena usianya yang memang sudah tua, hampir 50 tahunan.
Sebagai menantu, tentu saja Mawar langsung menyalami tangan kedua mertuanya yang kini bersiap untuk pulang. Sekitar jam 8 malam acara pun selesai.
Mawar dan Rega kini sudah berada di dalam kamar pengantin. Keduanya nampak lelah, bahkan Mawar hanya duduk di atas ranjang dengan baju pengantin yang masih melekat di tubuhnya.
Rega tersenyum. Menyentuh jemari lentik Mawar lalu menciumnya lembut. Perlakuannya membuat wanita itu tersipu.
"Kamu tak mau ganti baju, sayang?" Tanya Rega
Mawar merenggut. Tubuhnya sangat lelah seharian berdiri menerima tamu undangan, kakinya pegal dan bahkan lehernya terasa begitu sakit karena hiasan di kepalanya.
Rega mengelus pipi Mawar. Ini adalah malam pengantin bagi keduanya. Apa akan di lewati begitu saja. Dia seorang lelaki, tentu saja hasratnya untuk melakukan hal itu sangat besar. Apalagi selama berpacaran mereka tak pernah melakukan hal yang lebih jauh. Hanya sekedar mencium pipi dan kening saja.
Tangannya perlahan mengelus punggung tangan Mawar. Ingin meminta tapi ragu dan juga malu tentunya.
"Ada apa mas?" Tanya Mawar melihat wajah Rega yang sepertinya kebingungan.
"Ekhemm..." Rega berdeham untuk menghilangkan rasa gugupnya. "Apa kita tak akan melakukan itu?" Tanyanya.
Mawar langsung mengigit bibirnya. Tahu sekali maksud dari suaminya. Ia pun perlahan bangkit dari duduknya. Bagaimana pun ini sudah menjadi kewajibannya sekarang. Rega harus mendapatkan jatahnya meskipun dirinya merasa lelah.
"Aku akan mandi dulu. Mas tunggu di kasur saja." Cicit Mawar dengan suara malu-malu.
Rega langsung tersenyum kecil. Ia pun mengangguk penuh semangat. Ini akan menjadi pengalaman pertama bagi keduanya. Rega maupun Mawar pasti sama-sama gugup juga takut. Apalagi bagi seorang wanita, malam ini adalah hal yang paling berharga. Di mana kesucian yang selama ini di jaganya akan di serahkan seutuhnya pada Rega, sang suami.
Mawar menanggalkan pakaian pengantinnya lalu segera mengguyur tubuhnya dengan air. Tak di pungkiri olehnya, jantungnya berdetak kencang karena gugup. Apa yang akan di lakukan pertama kali sebelum melakukan hubungan suami istri. Apa harus melakukan pemanasan dulu atau langsung ke intinya saja.
"Aah...kenapa aku jadi berpikir kotor begini sih." Mawar memukul kepalanya sendiri, merasa malu dengan pikirannya.
Setelah merasa bersih, Mawar pun segera keluar dari kamar mandi. Tubuhnya hanya di balut handuk saja sebatas lutut.
"Ma... mawar..." Rega menelan ludahnya. Ini pertama baginya melihat Mawar berpenampilan terbuka seperti ini.
Selama berpacaran, Mawar selalu memakai baju tertutup dan malam ini pundak, kaki juga lekukan tubuhnya sangat terlihat jelas. Di tambah lagi rambutnya yang basah membuat Rega menjadi kehilangan akalnya.
"Mas..." Mawar menundukkan kepalanya, malu sekali. Tak berani melangkah lagi dan berdiri di ambang pintu kamar mandi.
Rega langsung bangkit dari tempat tidur. Pria itu menarik pelan tangan Mawar. Matanya menyapu seluruh tubuh berbalut handuk itu.
"Langsung saja ya?" Pintanya dengan suara bergetar.
Rupanya Rega sudah tak bisa menahannya lagi.
Mawar mengangguk pelan. Ia akan pasrah saja, lagi pula sekarang Rega berhak akan tubuhnya dan dirinya.
Perlahan Rega melepaskan handuk yang membalut tubuh Mawar.
Mawar mengigit bibirnya, rasa aneh mulai menjalari seluruh tubuhnya. Matanya terpejam saat jantungnya berdetak tak karuan.
Malam pertama yang seharusnya di lakukan pengantin baru itu pun berlangsung. Mawar sungguh melepaskan masa gadisnya malam itu, dia telah menyerahkan segalanya pada Rega.
Dan mulai malam ini, Rega akan menjadi satu-satunya pria yang bisa menyentuh dirinya.
...*************...
Paginya Mawar bangun dengan tubuh yang terasa sakit semua. Terlebih di bagian bawahnya, jalannya pun nampak sedikit terseok-seok. Rupanya Rega terlalu ganas sehingga wanita itu harus menahan perih di waktu buang air kecil.
"Maafkan mas ya?" Seru Rega.
"Tak apa mas. Ayo kita keluar untuk makan. Ibu sudah menyiapkan sarapan."
Rega ragu untuk keluar dari kamar. Bagaimana caranya membuka obrolan dengan mertuanya. Pasti akan sangat canggung sekali.
"Mas, kok diam. Ayo..."
"Mm...mas malu. Ibu dan ayahmu..."
"Mas, kenapa malu sih. Sekarang ibu dan ayahku sudah menjadi ayah dan ibu mas juga kan. Ayo..."
Rega pun mengikuti Mawar. Langkahnya terhenti tepat di depan pintu masuk menuju ruang makan. Di sana sudah ada mertuanya.
"Kalian akhirnya keluar juga. Ayo makan dulu." Ajak Rena.
"Iya Bu." Dengan ragu Rega duduk tepat di hadapan Sanja, ayah mertuanya.
"Rega, sekarang mawar sudah jadi tanggung jawab mu. Ayah harap kamu bisa menjaga juga membimbingnya." Sanja tersenyum begitu tulus.
"Kalau begitu boleh siang ini aku membawa Mawar kerumah orangtuaku, ayah?"
Rena dan Sanja berpandangan lalu mengangguk. Mereka sudah tak berhak lagi atas hidup putrinya. Sekarang Rega lah yang memiliki hak itu. Mawar tersenyum bahagia, akhirnya keinginannya untuk tinggal bersama Rega pun terkabul.
"Ayo makanlah." Rena menyendokkan nasi untuk Rega. "Kamu juga mawar."
Mereka pun makan dengan khidmat. Rega merasa beruntung memiliki mertua sebaik Rena dan Sanja. Juga seorang istri yang begitu pengertian. Meski mahar yang di berikan tak banyak tapi mereka menerima dengan sangat baik. Tak mempermasalahkan jumlah ataupun seberapa banyak yang di berikan Rega untuk Mawar.
...*************...
Aku penulis pemula, harap maklum jika masih banyak yang salah dalam menyusun kata-kata.
Part 1 ini sudah beberapa kali di tolak. jadi maaf jika kalian langsung baca part 2.
Sekitar jam 11 siang Rega pun mengajak Mawar untuk pulang kerumahnya. Wanita itu hanya membawa beberapa potong baju saja karena Rega bilang tak perlu banyak-banyak, besok mereka akan membeli baju baru untuknya.
Mawar menarik nafas dalam-dalam. Ini akan menjadi pengalaman juga pelajaran baginya. Tinggal di rumah mertuanya. Bersama Rega juga dengan kakak iparnya yang belum menikah itu. Helena namanya, wanita berusia 28 tahun itu masih melajang hingga sekarang. Dengan alasan trauma berhubungan dengan seorang pria karena pernah di campakkan dan di tinggal menikah.
Hingga dirinya memutuskan untuk tetap sendiri sampai saat ini. Bahkan ketika Rega mengatakan ingin menikah, dirinya lah orang pertama yang mengizinkan itu.
"Mas, pakai mobil aku saja ya. Lagipula sekarang mas kan sudah jadi suamiku. Jadi mobil ini juga berhak mas pakai." Seru Mawar ketika akan Rega memesan taksi online.
Pria berperawakan tinggi itu pun meletakkan ponselnya. Ia tersenyum lalu segera menyentuh pipi Mawar. Wanita ini sungguh cantik juga baik hati, siapa yang tak akan tergila-gila padanya. Rega merasa beruntung bisa menikahinya.
Keluarga Rega memang tak sekaya keluarga Mawar. Tapi, Rega merupakan pemuda yang rajin bekerja juga pandai. Sehingga ia bisa mendapatkan jabatan di tempatnya bekerja. Mulai melanjutkan kuliah sampai sarjana. Rega bertekad ingin maju demi ibunya. Ia diangkat menjadi manager di perusahaannya, bulan lalu.
Memiliki rumah, mobil dan juga penghasilan yang cukup besar. Kekayaannya ia dapat dengan jerih payahnya sendiri sementara Mawar, orangtuanya lah yang memang sudah kaya dari awal. Wanita itu hanya tinggal minta lalu semua akan terpenuhi.
"Kita pakai taksi online saja, Dek. Lagian kan dirumah juga ada mobil mas. Nanti kalau kita bawa mobil ini bisa-bisa cuma jadi pajangan saja."
"Kan bisa di pakai di saat mas kerja. Aku bisa ke pasar sama kakak mas nanti, tak perlu repot-repot naik angkutan umum."
Rega pun memikirkan perkataan Mawar. Jika di pikir-pikir memang ada benarnya juga. Ibunya dan kakaknya nanti bisa kemana-mana menggunakan mobil Mawar di saat dirinya membawa mobil miliknya. Itu bisa memudahkan bagi mereka juga.
"Baiklah. Kamu sudah selesai berkemas?"
"Sudah mas. Tuh..." Mawar menunjukan koper nya yang berwarna merah muda. Hanya berukuran sedang, menandakan tak banyak baju yang di bawanya.
Rega pun segera memasukkannya kegarasi. Mereka pamit kepada Rena dan Sanja. Mawar bahkan sampai menangis di pelukan ibunya. Merasa sedih karena akan meninggalkan keduanya. Rumah Rega cukup jauh, butuh waktu 4 jam untuk kesana. Itu artinya Mawar mulai sekarang tak akan bisa sering bertemu dengan Rena.
"Ibu dan ayah jaga kesehatan ya. Mawar janji satu bulan sekali akan pulang kesini."
"Mawar, sekarang kamu sudah menjadi seorang istri. Minta izin suamimu setiap ingin keluar rumah." Nasihat Rena. "Rega jaga putri kami."
"Iya Bu. Ayo Dek."
Mawar dengan berat melangkahkan kakinya. Ia terus melihat kebelakang dimana ibu dan ayahnya berdiri. Tak tega rasanya meninggalkan orangtuanya yang sudah tua itu. Meski di rumah ada pembantu tetap saja Mawar berpikir jika ibunya pasti akan kesepian. Karena selama ini mereka selalu bersama.
Rega menyentuh tangan Mawar. Kini mereka sudah masuk kedalam mobil.
"Dek, jika tak ingin tinggal di rumah mas. Kita bisa tinggal di sini saja." Celetuk Rega membuat Mawar langsung menggelengkan kepalanya hebat.
"Bukan begitu mas. Aku mau kok, lagian mas nanti kejauhan ketempat kerja kalau tinggal di sini."
"Tapi..."
"Mas, bukankah aku sudah bilang. Sekarang aku istrimu jadi akan ikut kemanapun mas pergi."
"Mm...mas janji. Nanti kita beli rumah untuk kita sendiri. Sementara ini kita tinggal bersama ibu dulu ya?"
"Iya mas. Aku tahu kok, ibu kan tak mau di tinggal sama mas Rega."
"Iya."
Mobil berwarna pink dengan gambar hello kitty itu pun melaju sangat kencang. Rega beberapa kali menghentikan mobilnya di sebuah toko. Membeli beberapa baju untuk Mawar juga oleh-oleh untuk ibu dan kakaknya.
Keduanya nampak bahagia. Hari pertama sebagai seorang pasangan suami istri memang berbeda. Rega merasa bangga menjadi suami Mawar. Terus menggandeng tangan wanita itu seolah menunjukkan pada dunia jika dirinya tak akan membiarkan Mawar terlepas ataupun terluka.
...**************...
Helena mengutak-atik ponselnya. Sudah dua jam sejak dirinya menerima pesan dari Rega. Ia tak sabar menunggu kepulangan sang adik.
"elen, ibu mau jus tomat. Kamu buatkan ya."
"Lah, ibu." Seru Helena tak mau. "Aku lagi mager nih."
Kulsum pun menggelengkan kepalanya melihat tingkah anak perempuannya. Sudah tua tapi masih saja bertingkah seperti anak-anak. Kerjanya hanya tiduran dan bermain ponsel saja. Bahkan Helena di usianya yang sudah 28 tahun itu tak bisa masak sama sekali. Selama ini hanya memesan gofood atau mengandalkan Bi Minah saja, pekerja di rumah mereka yang hanya bekerja di saat siang hari saja. Tugasnya hanya masak dan membereskan rumah. Setelah itu Bi Minah akan pulang sekitar sore hari.
"Dasar malas. Bi Minah hari ini tak bekerja. Dia sakit katanya. Jadi, kamu cucilah itu baju dan piring." Seru Kulsum lagi.
Kulsum sudah tak bisa mengerjakan pekerjaan rumah karena gula darah yang di deritanya. Sudah dua tahun ini dia menderita penyakit itu, tak boleh kelelahan apalagi banyak pikiran. Itulah sebabnya, Arsad pun menuruti permintaannya untuk tetap tinggal di rumah ini meski sudah menikah.
"Santai kali Bu. Kan mantu ibu akan segera sampai. Biar dia yang lakukan semuanya. Itukan kewajibannya sebagai seorang istri. Mengurus rumah juga melakukan hal lainnya di rumah ini." Ucap Helena sembari bangkit dari acara rebahannya.
Kulsum menghela nafas panjang. Hendak menyela tapi tiba-tiba terdengar deru mobil di luar. Buru-buru keduanya pun keluar untuk menyambut kedatangan Rega dan Mawar.
"Akhirnya tiba juga. Mana Rega, pesanan Mbak." Helena bukannya menyambut Mawar dan Rega. Wanita itu malah langsung menagih apa yang di pesannya tadi melalui chat.
Rega pun segera menyerahkan paper bag berwarna biru muda kenapa Helena. Isinya banyak sekali makanan. Mawar yang hendak bersalaman dengan Helena pun hanya bisa diam ketika tangannya yang terjulur di abaikan oleh kakak iparnya itu. Hatinya mendadak resah seketika. Buru-buru dia tarik kembali tangannya lalu berjalan kearah Kulsum.
"Bu.!" Panggilnya lalu menyalami tangan wanita yang kini telah menjadi mertuanya itu.
"Betah ya di sini. Mulai sekarang kamu juga berhak atas rumah ini." Seru Kulsum. Memeluk tubuh Mawar lalu tersenyum hangat. Sungguh hal yang membahagiakan bagi Mawar, di terima baik oleh mertuanya.
"Bapak dimana Bu?" Tanya Rega yang tak melihat keberadaan ayahnya.
"Bapak di rumah pak RW. Biasa main catur." Seru Kulsum.
Mawar dan Rega pun masuk kedalam rumah. Mawar melihat kakak iparnya yang sedang duduk di kursi, menikmati makanannya yang di belikan Rega tadi.
Setelah memberikan ibunya oleh-oleh juga, Rega pun mengajak Mawar untuk masuk kedalam kamarnya.
"Mas, Mbak mu itu kok kaya anak kecil ya?" Seru Mawar begitu sudah tiba di dalam kamar.
Rega terkekeh, duduk di samping Mawar yang tengah merebahkan tubuhnya. Ia usap kepala istrinya lembut.
"Mbak elen memang begitu. Tapi dia baik kok."
Mawar tahu sedikit tentang Helena, karena Rega yang menceritakannya. Hanya saja tak tahu jika sikap Helena seperti tadi, wanita itu sangat acuh bahkan terkesan tak peduli sama sekali dengan kehadirannya.
"Sudah jangan banyak pikiran. Ini hari pertama kamu dirumah ini. Jangan ngumpet di kamar terus. Mengobrollah sama Mbak dan ibu di luar."
Mawar pun mengangguk. Ia berganti pakaian terlebih dahulu lalu segera keluar dari kamar. Sementara Rega merebahkan tubuhnya. Ia berharap istrinya akan betah tinggal di rumahnya ini.
"Bu, mobil itu milik istrinya Rega kayaknya. Bagus ya? Kalau aku pinta bakal di kasih ga ya?" Helena memasukan keripik kentang ke mulutnya.
"Husss, kamu ini. Itu barang mahal, jangan main minta-minta saja."
"Lah, kan sebagai pelangkah Bu. Rega hanya memberiku uang 10 juta. Itu belum seberapa dibandingkan aku yang dilangkahi nikah Bu. Malu aku Bu sama tetangga." Celotehnya.
Kulsum menggelengkan kepalanya mendengar penuturan Helena. Mawar pun terdiam di tempatnya. Ia jadi merasa bersalah sekarang telah melangkahi kakaknya Rega. Perasaannya pasti hancur.
"Mbak elen mau mobil itu?" Serunya membuat Helena dan kulsum langsung berbalik melihat kearahnya.
Helena berdiri lalu mendekati Mawar.
"Iya, sebagai pelangkah aku minta mobil itu." Tegasnya tanpa rasa sungkan juga malu sama sekali.
Kulsum hanya diam, melihat itu. Menatap Mawar dengan pandangan sulit di artikan. Mawar menarik nafas panjang, jika mobil itu rasanya berat untuk di berikan. Mobil itu kado ulangtahunnya dari sang ayah.
"Bagaimana kalau aku belikan yang baru saja Mbak."
Kening Kulsum dan Helena berkerut.
"Iya, aku akan belikan mobil baru untuk mbak. Kalau mobil itu kan..."
"Mobil apa? Kalian sedang membicarakan apa?" Tanya Rega. Dia merasa tak enak berada didalam kamar terus sementara Mawar di luar bersama keluarganya.
Tanpa sengaja dia mendengar percakapan mereka.
"Ini loh. Mbak mu minta mobil istri mu sebagai pelangkah karena uang dari mu itu belum cukup." Jawab Kulsum dengan tenang seolah permintaan Helena bukanlah masalah besar baginya.
Rega menatap Mawar. Melihat istrinya yang terdiam membuat Rega jadi tak enak hati.
"Aku akan bicarakan dulu dengan Mawar. Ayo Dek, ikut mas." Ajak Rega. Mengajak Mawar kembali masuk kedalam kamar.
Mawar pun melangkah dengan pelan. Entah kenapa, hatinya menjadi resah tanpa sebab. Bayangan kebahagiaan di dalam keluarga suaminya tiba-tiba luntur. Melihat tingkah Helena membuat Mawar jadi ragu untuk tinggal di tempat ini.
...***************...
TBC
Mawar berkali-kali menolak apa yang di katakan Rega. Ia lebih baik membelikan mobil baru dan kehilangan uang tabungannya selama ini daripada harus memberikan mobil kesayangannya itu. Mobil itu barang berharga baginya karena ayahnya yang membelinya.
Kenapa kakak iparnya bisa melakukan hal itu. Meminta barang miliknya semudah itu dengan alasan sebagai pelangkah. Rega pun anehnya malah berpihak pada kakaknya dan merasa itu hal yang wajar, tak memikirkan apa Mawar akan sedih atau tidak. Rega menghembuskan nafas kasar.
"Mawar, kita bisa beli yang baru untuk mu. Tapi mbak itu orangnya..."
"Mas, mobil itu kado ulangtahun dari ayah. Aku tak bisa berikan." Sela Mawar.
Rega memijat pelipisnya. Dia tak ingin mengecewakan kakaknya. Selama ini apapun yang di inginkan Helena selalu dia penuhi.
"Mas mengerti. Sudahlah, mas akan jelaskan pada Mbak elen."
Mawar mengigit bibirnya melihat raut kecewa Rega. Pria itu hendak membuka pintu tapi dengan cepat Mawar menahannya.
"Mas..." Panggilnya cepat. "Apa harus aku memberikan mobil itu?" Pertanyaan Mawar membuat Rega langsung mengurungkan niatnya untuk keluar dari kamar.
"Iya, Dek. Karena Mbak elen itu sangat berarti bagi mas. Dia mbak mas dan nasibnya begitu buruk, mas tak ingin membuatnya sedih lagi."
Mawar terdiam. Ini merupakan permintaan pertama Rega padanya. Dengan berat hati Mawar pun menyerahkan kunci mobilnya kepada Rega.
"Baiklah jika itu keinginan mas."
"Kamu setuju Mawar?"
Anggukan kepalanya menandakan jika Mawar sebenarnya merasa tak rela. Dia sedih karena harus kehilangan barang berharganya. Apa yang harus dia katakan nanti jika ayah atau ibunya bertanya soal mobil itu.
Rega langsung mengambil kuncinya lalu bergegas keluar meninggalkan Mawar begitu saja.
"Mbak, ini kuncinya. Istriku memang pengertian. Dia berikan mobil itu untuk mbak." Seru Rega dengan nada bangga, merasa bangga karena memiliki istri sebaik Mawar.
Kulsum tersenyum melihat Helena yang berjingkrak kesenangan. Wanita itu langsung menyambar kuncinya dari tangan Rega lalu bergegas keluar untuk mencoba mobil pink itu.
"Rega, coba kamu minta istri mu untuk masak juga. Apa dia bisa?" Tanya Kulsum.
"Mawar sih jago masak Bu. Dia kan jurusan tata boga dulu." Jawab Rega. "Tapi kenapa harus Mawar Bu, Bi Minah kemana?"
"Bi Minah sakit. Ibu belum makan dari pagi. Tahu sendiri kan Mbak mu tak bisa masak apalagi ngurus rumah."
Rega mengerti lalu tanpa berpikir panjang dia pun segera menemui Mawar. Entah dimana perasaannya, seharusnya dia berpikir jika Mawar pasti lelah setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang. Wanita itu butuh istirahat bukan bekerja. Bukanya di sambut malah di sambit jika seperti ini. Tapi, karena merasa itu hal wajar apalagi sang ibu yang meminta maka Rega pun tak memikirkan apa Mawar lelah atau tidak.
Mawar hendak memejamkan matanya yang terasa mengantuk ketika pintu kamarnya kembali di buka. Dia segera bangkit lalu mengerutkan keningnya ketika melihat Rega tiba-tiba menyentuh kedua tangannya.
"Mm... Mawar, boleh mas minta tolong lagi?"
"Minta tolong apa mas?"
"Ibu belum makan katanya. Bi Minah pun tak bekerja hari ini karena sakit. Jadi, kamu bisakan masakin buat ibu?"
Mawar terdiam. Ini baru satu jam dia tinggal di rumah ini. Belum berhari-hari, tapi kenapa rasanya begitu berat. Seharusnya dia di sambut oleh mereka bukan malah seperti ini. Tubuhnya lelah, dia butuh istirahat. Tapi sekali lagi Mawar tak bisa menolak permintaan Rega.
Maka dengan malas dia pun segera keluar. Berjalan gontai menuju dapur mengikuti langkah kaki suaminya. Di dalam kulkas sudah tersedia berbagai macam bahan masakan, bahkan ada daging juga. Semuanya begitu lengkap.
"Ibu suka pedas apa tidak mas?" Tanya Mawar.
"Ibu itu tak suka kalau mbak suka."
"Mbak? Jadi aku masak buat Mbak juga?" Mawar menghentikan tangannya yang sedang mencuci daging.
"Iya dong. Kamu masak untuk mas juga. Kita makan bersama malam ini." Jawab Rega dengan tanpa merasa bersalah sama sekali.
Dia merasa itu hal wajar. Seorang istri masak untuk semua keluarganya.
"Dan ayah sepertinya akan segera pulang, kamu buatkan teh untuknya juga. Jangan kemanisan ya." Setelah mengatakan itu, Rega pun meninggalkan Mawar di dapur.
Mawar merasa seperti di manfaatkan, kenapa Rega bisa melakukan hal ini kepadanya. Padahal jelas pria itu tahu kalau dirinya sangat lelah dan ingin sekali istirahat. Berpikir jika kehidupannya di rumah ini akan seperti dirumahnya sendiri. Tapi nyatanya baru beberapa jam saja menginjakkan kaki di sini, Rega sudah memintanya untuk melakukan ini dan itu.
Bahkan dengan santainya Rega pun meminta Mawar memasak untuk Helena, kakaknya. Jika hanya untuk mertuanya, mungkin Mawar tak akan sekesal ini. Karena itu sudah jadi kewajibannya. Tapi, Helena. Dia bukan anak kecil lagi. Usianya bahkan lebih tua di banding dirinya. Seharusnya wanita itu bisa melakukan segalanya.
"Bu, mana menantu kita?"
"Di dapur. Bapak mau apa?"
Mawar menajamkan pendengarannya ketika mendengar suara ayah mertua dan ibu mertuanya di luar dapur. Derap langkah keduanya semakin terdengar jelas. Dengan cepat Mawar pun membasuh tangannya lalu menyalami Bapak mertuanya begitu pria tua itu tiba di dapur.
"Loh...loh, belum sehari di sini sudah megang kerjaan dapur. Kemana elen, Bu?" Tanya ayah Rega, Marja.
Kulsum mendelik tajam lalu duduk di kursi.
"Pak, ini sudah jadi kewajibannya. Jangan memanjakan mantu, bisa ngelunjak nanti." Serunya sembari menatap Mawar.
Mawar menggigit bibirnya mendengar perkataan ibu mertuanya. Kenapa bisa begitu, ibu Rega terlihat begitu baik tapi ucapannya sangat pedas. Marja menggelengkan kepalanya, tak setuju dengan perkataan istrinya.
"Bu, tak baiklah berkata begitu. Mawar itu istri Rega, dia anak kita juga. Panggil elen, bantu Mawar cuci piring." Marja ikut duduk di depan Kulsum. Pria itu mengambil piring lalu segera makan dengan lahap.
Kulsum berdecak tak suka. Sementara Mawar langsung berkata untuk menengahi pembicaraan kedua mertuanya.
"Tak apa, Pak. Mawar bisa kerjakan semuanya."
"Nah, denger itu Pak." Seru Kulsum sambil menikmati makanannya.
Mawar pun meninggalkan keduanya yang tengah makan. Ia bergegas mencari Rega.
"Mas, ayo makan. Ibu dan Bapak sudah makan." Mawar langsung menghampiri Rega yang sedang duduk di tepi kolam renang.
Pria itu tersenyum lalu menepuk tempat kosong di sebelahnya.
"Ada apa mas? Belum lapar ya?" Tanya Mawar lagi.
"Iya. Kita makan nanti saja, bareng mbak. Tak apa kan?"
Mawar mengangguk, mesti sebenarnya dia merasa kecewa. Sebenarnya perutnya sudah lapar, tapi jika Rega berkata begitu mau bagaimana. Mawar pun duduk di sampingnya.
"Dek, kamu jangan merasa aneh atau cemburu ya nanti."
"Maksudnya?"
Rega meraih kedua tangan Mawar.
"Mbak elen itu sudah sering di sakiti pria, di khianati, di tinggal nikah bahkan hanya di manfaatkan saja. Mbak tak pernah bahagia dengan percintaan. Aku sebagai adiknya tentu saja merasakan rasa sakit itu." Rega terdiam sejenak untuk mengatur nafasnya. Mawar masih diam menunggu kelanjutannya.
"Jadi...aku selalu mementingkan mbak. Apapun yang dia mau, aku belikan. Jadi...kamu pasti mengerti maksud mas kan?" Lanjut Rega.
Mawar menarik nafas dalam-dalam. Hatinya sebenarnya merasa berat. Itu artinya, dirinya bukan yang pertama di hati Rega. Tapi Helena lah, sang kakak yang ada di posisi itu.
Meski Helena merupakan kakaknya tapi tetap saja ada rasa tak suka di hatinya. Setelah terdiam cukup lama Mawar pun mengangguk dengan pelan. Lagi-lagi semua karena permintaan Rega dan dia tak mampu menolak.
...*************...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!