Ini bukan kisah tentang anak orang kaya yang setiap bangun tidur selalu dimanja dan diucapkan selamat pagi, ini hanyalah cerita seorang gadis remaja biasa yang hidup berdua dengan ibunya yang sakit sakitan. Bekerja membanting tulang menggantikan ibunya di pasar. Bahkan rela putus sekolah demi merawat ibunya.
Namanya Lala Maharani Dwiyanti, putri dari seorang pedagai cabai yang bernama Siti. Setiap hari Lala selalu bangun pagi untuk membuatkan ibunya sarapan dan menyiapkan obatnya. Ia tidak pernah mengeluh meskipun terkadang suka iri dengan tetangganya yang masih bisa menikmati sekolah dan bermain bersama temannya. Di usianya yang masih 19 tahun, harusnya dia bisa menikmati semua itu. Tapi takdir tidak berpihak pada Lala.
Pagi ini, seperti biasa Lala menyiapkan bubur dan obat untuk ibunya. Lala keluar dari dapur dengan membawa nampan kemudian berjalan menuju kamar ibunya.
Setelah tiba di pintu kamar ibunya, Lala tidak segera masuk, ia menghela nafasnya sejenak sambil memandang pintu dengan raut wajah yang tidak dapat diartikan.
Sebenarnya ia selalu merasa tidak tega setiap kali masuk dan melihat kondisi ibunya. Ingin membawanya ke rumah sakit tapi ia tidak punya biaya. Andai almarhum ayahnya masih hidup, mungkin hidupnya tidak akan semenyedihkan ini.
“Astaghfirullah Lala, gak boleh ngeluh. Inget, harus semangat!” Lala berusaha menyemangati dirinya sendiri.
Lala langsung membuka kenop pintu sehingga terbuka sedikit demi sedikit. Setelah itu ia masuk ke dalam. Lala langsung berjalan menuju ranjang ibunya yang masih memejamkan matanya. Ia meletakkan nampan sarapannya di samping kasur ibunya. Lala berniat untuk membangunkannya.
“Ibu, bangun bu. Lala udah bawa sarapan buat ibu.”
Mata yang tadinya tertutup perlahan mulai terbangun, ibunya bangun sambil terbatuk batuk. Dengan sigap Lala langsung duduk memberikan air putih untuk ibunya dan membantunya untuk minum. Siti minum dengan pelan pelan, ia bahkan tidak bisa bangun untuk minum. Setelah selesai, Lala menjauhkan gelasnya kemudian menaruhnya kembali.
Siti tersenyum melihat ketulusan hati putrinya dalam merawatnya. “Makasih ya Nak, sudah merawat ibu. Ibu bersyukur di akhir hidup ibu, ibu punya anak yang berbakti sepertimu,” ucapnya dengan lembut.
Lala menggeleng. “Ibu ngomong apa sih, ibu jangan ngomong seperti itu. Lala hanya punya ibu, Lala gak mau kehilangan ibu,” jawabnya dengan suara yang serak karena menahan tangis. Inilah alasannya ia selalu merenung saat ingin masuk ke kamar ibunya. Ibunya selalu saja mengatakan hal hal yang tidak ingin ia dengar.
Siti mengambil tangan Lala dan mengelusnya, ia melihat Lala dengan tatapan yang begitu terharu. Sebenarnya ia tidak tega membiarkan putri satu satunya harus bekerja keras untuk menghidupinya. Ia menyalahkan dirinya atas semua ini. Siti bahkan sudah siap jika ia dijemput ajalnya. Ia tidak ingin menyusahkan putrinya terus menerus.
“Lala, maafkan ibu ya. Ibu belum bisa jadi ibu yang terbaik buat kamu. Selama ini ibu hanya menambah bebanmu. Kalau misalnya ibu tiba tiba pergi jauh kamu harus ikhlas ya nak. Kamu harus bahagia meskipun suatu saat tanpa ibu.”
Kali ini Lala tidak bisa menahan dirinya lagi, ia langsung menunduk dan memeluk ibunya dengan erat. Air matanya sudah melelh dengan sangat derasnya. Ia menangis dengan tersedu sedu. Lala bahkan sampai lupa untuk menyuruh ibunya sarapan dan minum obat. Pagi itu, hanya ada anak dan ibu yang saling berpelukan sama sama tidak mau kehilangan.
2 Jam kemudian.
Lala baru keluar dari kamar ibunya dengan wajah yang sembab, matanya sedikit bengkak karena terlalu lama menangis hingga berujung ketiduran. Lala melihat jam dinding yang sudah menunjuk ke angka sembilan. Dia mendesah pelan, ia harus segera cuci muka dan segera pergi ke pasar dengan membawa cabainya.
Setelah siap, Lala mengeluarkan motor bututnya peninggalan mendiang ayahnya. Tidak lupa ia mengangkat karung dari dalam rumahnya yang berisi cabai yang akan dijualnya hari ini. Lala menurunkannya di samping motornya. Ia mengusap keringat yang mulai membasahi wajahnya. Tiba tiba salah satu tetangganya lewat.
“Eh neng Lala, baru mau ke pasar ya neng?” sapanya dengan ramah.
Lala langsung berbalik dan tersenyum. “Eh iya bu, ini mau berangkat. Ibu sendiri teh mau kemana pagi pagi udah cantik segala,” balasnya dengan tidak kalah ramah.
“Ah neng Lala mah bisa aja, saya mau ke kondangan neng.”
“Siapa yang nikah, bu?”
“Itu loh neng, anaknya pak rt. Dengar dengar sih nikahnya sama duda.”
Lala hanya mengangguk mengerti. Kemudian tetangganya itu berpamitan. “Neng, ibu duluan ya. Kamu hati hati nanti bawa motornya kalau mau ke pasar.”
“Iya bu, terima kasih.”
Setelah tetangganya pergi, Lala melanjutkan kegiatannya. Ia mengangkat karung itu ke motornya dan mengikatnya dengan tali. Baru lah setelah itu ia naik ke motornya dan langsung pergi meninggalkan halaman rumahnya.
Sedangkan di tempat lain
Seorang pria tengah memeriksa berkas di dalam mobilnya, nampaknya dia sedang fokus. Sebenarnya hari ini dia ingin menyetir mobil sendiri, tapi karena ia harus mempelajari berkas terpaksa ia harus menggunakan supir. Saat sedang fokus fokusnya membaca berkas tiba tiba supirnya mengerem mendadak dan ia merasa seperti ditabrak sesuatu dari belakang. Supirnya pun langsung mematikan mesin mobilnya.
“Maaf pak tadi saya ngerem mendadak karena ada anak kucing lewat, dan juga sepertinya ada yang menabrak mobil kita. Saya coba periksa dulu.” Ucap supirnya.
“Tidak usah, kamu foto saja plat nomornya nanti saat dia lewat.” Jawab Devan, pria yang di dalam mobil itu.
Supirnya pun mengurungkan niatnya untuk turun, ia mengambil ponselnya untuk bersiap siap mengambil foto. Sedangkan Devan, ia membuka kaca matanya dan menoleh ke belakang. Devan terpaku melihat siapa yang menabrak mobilnya. Matanya tertuju pada gadis yang menabrak mobilnya tersebut.
“Mentang mentang mobil mewah malah ngerem mendadak! Pasti yang di dalam mobil om om perut buncit yang kekeyangan sampai gak bisa nyetir,” dumelnya dengan bibir yang dimonyong monyongkan.
Devan masih tetap pada posisinya, ia tetap tidak mengalihkan pandangannya dari gadis itu. Sampai akhirnya gadis yang ia lihat selesai dengan barangnya yang tadi berceceran. Devan tidak melihat apa itu yang berbeceran karena fokusnya hanya pada gadis tersebut.
“Cepat foto, sebentar lagi dia lewat.” Ucapnya pada sang supir.
“Baik pak,”
Gadis yang ia lihat adalah Lala yang dalam perjalanan menuju ke pasar. Lala memang sudah membereskan cabainya yang berceceran, tapi mulutnya tidak berhenti mendumel. Ia kembali menaiki motornya, biar saja mobil itu lecet, anggap saja itu karena kesalahannya sendiri karena ngerem mendadak. Lala tidak mau repot untuk menggantinya. Lala melajukan motornya dengan kecepatan sedang.
CKREK
Devan kembali melihat ke depan dan kembali melihat supirnya.
“Sudah saya foto pak.”
“Kirim ke ponsel saya,”ujarnya dengan nada suara yang berubah menjadi datar.
“Baik pak.”
“Akan aku cari tau siapa dia,” batinnya dalam hati.
Lala baru saja tiba di pasar, dan setibanya di sana ia melihat banyak orang yang sudah menunggunya di tempatnya berjualan. Lala yakin itu semua adalah pelanggan ibunya yang ingin membeli cabe. Beberapa di antaranya sudah Lala kenali, begitu pun sebaliknya. Pelanggan ibunya sudah mengetahui bahwa ia adalah putri dari dan menggantikan ibunya untuk berjualan cabai. Lala segera mencabut kunci motornya kemudian mengangkat karung cabainya itu dengan tangannya.
“Permisi ibu ibu, ini teh pada mau beli cabai ya?” tanyanya sambil meletakkan karungnya di samping tempat berjualannya..
Salah satu ibu ibu itu menjawab. “Iya atuh neng, dari tadi ditungguin eh neng-nya baru datang ternyata.”
“Iya neng, tumben hari ini neng kesiangan. Biasanya jam delapan juga udah di pasar.” sahut yang lainnya.
Lala hanya tersenyum sambil mengeluarkan satu bungkus plastik besar yang berisi cabai dari dalam karung tersebut kemudian menuangkannya di mejanya. Tidak lupa ia juga menyiapkan timbangannya untuk menimbang cabainya.
“Aduh maafin Lala ya bu, tadi Lala sempat mau ketabrak di jalan. Untungnya cabainya tidak berceceran.”
“Waduh, lain kali hati hati yang neng, kalau pagi kadang suka rawan kecelakaan karena ramai banget jalannya.”
“Iya bu, siap. Eh ini pada mau beli berapa cabainya?” Lala menatap mereka sambil mengambil plastik untuk membungkusnya.
“Satu kilo aja neng,”
“Iya neng, saya juga.”
“Ibu seperti biasa yang neng, dua kilo aja,”
Lala terkekeh mendengar mereka yang sangat antusias sekali untuk membeli cabainya. Ia benar benar bersyukur untuk hari ini, kecuali pada insiden tadi di jalan. Sungguh, siapapun pemilik mobil itu harusnya ia segera turun dan meminta maaf padanya. Tapi sepertinya pemilik mobil itu sangat angkuh hingga membuatnya tak mau turun dan membiarkannya memungut cabainya sendirian di tengah jalan.
Lala menggelengkan kepalanya berusaha mengeyahkan pikirannya dari kejadian tadi pagi. Ia segera membungkuskan cabainya untuk ibu ibu yang sedari tadi menunggunya. Selesai membungkusnya, Lala langsung menimbangnya. Ia tidak ingin ada yang lebih atau pun kurang. Lala selalu menjual cabainya dengan jujur, itulah yang membuatnya disukai oleh ibu ibu yang lain.
“Ini bu, cabainya sudah saya bungkusin.” Lala menyerahkannya setiap bungkusan cabai tersebut.
“Ini harganya masih sama kan neng?” tanya salah satunya sambil mengeluarkan uang dari dalam dompetnya.
“Iya bu, masih sama. Untuk yang dua kilo juga masih sama ya bu.”
Mereka langsung menyerahkan uangnya pada Lala dan mengambil cabainya. Setelah berterima kasih, mereka langsung berpamitan pada Lala yang dibalas dengan senyum ramahnya. Lala langsung menghitung uangnya kemudian memasukkannya ke dalam tas-nya.
Setelah keluar dari ruang rapat, Devan langsung memanggil orang kepercayaannya untuk segera mendatangi ruangannya. Sambil menunggu ia melihat plat nomor yang di foto supirnya tadi pagi. Gara gara gadis itu, Devan jadi tidak fokus saat di ruang rapat tadi. Sehingga bawahannya kebingungan karena tak biasanya atasannya melamun seperti itu. Itulah sebabnya Devan membubarkan rapatnya dengan cepat, karena percuma saja dilanjutkan jika pikirannya sedang tidak fokus.
Tok tok tok
Suara ketukan pintu sudah terdengar, Devan berdeham kemudian meletakkan ponselnya di atas meja sambil memperbaiki posisi duduknya.
“Masuk,” titahnya sambil menatap lurus ke arah pintu.
Pintu pun terbuka, seorang pria yang menggunakan pakaian serba hitam masuk ke dalam ruangannya. Dia menutup pintunya kembali kemudian berbalik dan melangkah semakin mendekat pada meja kerja Devan. Pria itu yang tak lain dan tak bukan adalah Aris, orang kepercayaannya yang sekaligus merangkap sebagai detektif pribadinya.
“Bapak memanggil saya?” tanyanya sambil menatap ke arah Devan.
“Silakan duduk lebih dulu,” perintahnya.
Aris langsung menarik kursi dan duduk sesuai dengan perintah atasannya tersebut. Aris sangat mengenal Devan, tiga tahun bekerja dengannya membuatnya bisa memahami karakter Devan yang tidak suka ditolak dengan alasan apapun. Biasanya ia dipanggil jika ada hal yang benar benar penting. Seperti sekarang ini, ia dipanggil lagi, ia yakin ada sesuatu hal yang mengusik pikiran atasannya tersebut sehingga membuatnya memanggilnya.
“Aku butuh kemampuanmu lagi,” ujar Devan tanpa basa basi. Matanya menatap lurus ke arah Aris seolah olah sedang mengintimidasinya.
“Maksud bapak?”tanya Aris dengan penuh tanda tanya di kepalanya.
Devan menghela nafasnya lalu membuka ponselnya mencari sesuatu, kemudian didorongnya ponsel tersebut sampai ada di meja dekat Aris. “Aku ingin kamu mencari tau tentang plat nomor itu beserta gadis itu. Kamu cari tau semua tentangnya, jangan sampai ada yang terlewat sedikit pun”
Aris mengambil ponsel tersebut dan memeriksa fotonya. Ingin rasanya ia menghela nafas, tapi Aris tidak seberani itu. Ia masih menyayangi gajinya yang tinggi. Ia tidak mau hanya gara gara dia mengeluh Devan mengurangi gajinya. Devan yang sedari tadi memperhatikan Aris terus menatapnya dengan raut wajah yang datar. “Kenapa? Kamu tidak sanggup?” tanyanya bertubi tubi.
Aris langsung mengangkat kepalanya dan menggeleng secara spontan karena terkejut.
“Kamu menolak perintahku?” lagi lagi Devan memberinya serangan telak.
“B-bukan begitu pak, saya tidak bermaksud begitu. Saya hanya ingin bertanya, apa ada hal lainnya yang bisa memudahkan pencarian saya,” ucapnya dengan terbata bata.
Devan langsung menggebrak mejanya dengan kuat sehingga Aris terkejut. Gawat, sepertinya ia salah bicara. Pria berumur 25 tahun itu merutuki dirinya sendiri yang selalu bicara dengan ceplas ceplos.
Devan menatap Aris sepertin ingin mengulitinya hidup hidup. Entah kenapa emosinya tiba tiba terpancing hanya karena pertanyaan dari orang kepercayaan tersebut. Devan memlih untuk menyandarkan tubuhnya dengan tetap menatap tajam Aris.
“Tidak ada pekerjaan yang mudah di dunia ini, jadi jika kamu mau mengeluh hanya karena tidak ada hal lainnya yang bisa membantu pencarianmu aku rasa pekerjaanmu sebagai detektif perlu dipertanyakan lagi.”
“Maaf pak,” Aris tertunduk malu.
“Aku tidak butuh kata maaf darimu Aris. Aku hanya ingin kamu tidak mengecewakanku. Aku memberikanmu pekerjaan ini bukan karena ingin membebankanmu. Tapi aku berpikir kamu bisa. Jika kamu saja tidak menjamin dengan hasil kerjamu lalu bagaimana dengan orang lain.”
“Sekarang lebih baik kamu segera cari tau semua itu, kalau perlu aku akan menambahkan gajimu dua kali lipat untuk bulan ini.”
Mendengar kata gaji disebut semangat Aris yang merosot kini berkobar lagi. Aris menatap wajah Devan dengan penuh percaya diri sekarang. Tidak ada lagi rasa ketakutan dalam dirinya. “Baik pak, kalau begitu akan saya kerjakan sekarang juga. Saya pastikan besok pagi datanya sudah ada di meja bapak,” ucapnya dengan penuh semangat.
Devan mengangguk. Setelah itu Aris berpamitan untuk mengerjakan pekerjaannya. Devan mengizinkannya. Kini ia kembali sendirian di ruang kerjanya. Devan tiba tiba terkekeh pelan.
“Sebentar lagi kita ketemu, cantik.” Gumamnya sambil melihat foto itu kembali.
Hari sudah semakin sore, Lala memutuskan untuk segera beres beres dari pasar. Hari ini semua cabainya sudah terjual habis tanpa ada sisa. Lala harus segera pulang karena sebelum petang nanti dia harus mengambil cabai lagi yang akan dijual untuk hari esok.
Setelah membereskan semuanya, ia membawa karungnya kembali dan melipatnya, kemudian ia menyimpannya di jok motornya. Baru setelah itu ia naik ke atas motornya dan pulang.
Dalam perjalanan pulang Lala tiba tiba teringat dengan ibunya yang obatnya sudah habis. Pada akhirnya dia memilih untuk berhenti di apotik dulu untuk membeli obat. Setelah selesai ia kembali melanjutkan perjalanan pulangnya.
Tidak butuh waktu lama, kini Lala telah sampai di rumahnya. Jarak antara rumahnya dengan pasar tidak terlalu jauh sehingga ia bisa sampai dengan tepak waktu.
“Ibu harus minum obat dulu, sebaiknya aku masak dulu sebelum pergi ke kebun,” batin Lala. Lala mengambil plastik yang berisi obat ibunya di motornya kemudian masuk ke dalam rumah.
“Assalamu’alaikum ibu, Lala pulang.”
Meski ia tau tidak akan ada jawaban, Lala selalu mengucap salam ketika pulang. Dengan begitu setidaknya ibunya tau dirinya sudah pulang. Lala sebenarnya ingin mandi terlebih dahulu untuk menyegarkan badannya, tapi hari sudah semakin sore, ia harus segera masak dan menyiapkan obat ibunya. Apalagi nanti ia harus ke kebun. Tentu akan buang buang waktu jika ia harus mandi.
Alhasil Lala langsung ke dapur tanpa istirahat terlebih dahulu. Begitulah kegiatan sehari hari, hanya berjualan di pasar dan merawat ibunya. Ia tidak pernah mengeluh meskipun terkadang ia merasa lelah.
Lala khawatir jika ia mengeluh ibunya pasti akan merasa bersalah padanya sehingga kesehatannya menurun lagi. Lala tidak mau hal itu sampai terjadi. Ia selalu memasang wajah yang ceria agar ibunya bisa tersenyum.
“Yah berasnya tinggal sedikit, ini hanya cukup untuk ibu.” ucapnya saat ingin mengambil beras.
Lala mendesah pelan, terpaksa ia harus menahan lapar lagi, ia akan membeli makanan nanti. Yang penting saat ini ia harus memasak untuk ibunya. Lala langsung mengambil wadah kemudian dituangkannya berasnya ke dalamnya setelah itu barulah ia mencucinya.
ia melakukan semuanya dengan sendirian. Tidak ada yang tau bagaimana gadis sepertinya bisa sekuat itu dalam menghadapi semuanya. Umurnya memang masih muda, tapi pikirannya tidak sekecil umurnya.
Lala dipaksa kuat oleh keadaan, ia tidak punya tempat untuk mengeluh kecuali setiap selesai shalat. Saat ini yang ia punya hanyalah ibunya, Lala tidak ingin apapun lagi selain ibunya ada bersamanya.
Setelah selesai memasak nasi Lala langsung mengambil dua butir telur untuk ia goreng. Ia menghidupkan kompornya dan mulai memecahkan telurnya di wajan, Lala hanya membuatkan telur ceplok untuk hari ini.
Setelah semuanya selesai, ia mengambil obatnya kemudian membawa berserta hasil makannya. Lala mengetuk pintu terlebih dahulu sebelum masuk, kemudian masuk ke dalamnya.
Saat Lala masuk pandangannya langsung tertuju pada ibunya yang duduk menyandar sambil melihat ke jendela. Angin sepoi sepoi yang masuk melalui jendela berhasil menerbangkan sedikit rambut ibunya yang kusut. Lala tersenyum dan melangkah semakin mendekat.
Ibunya tiba tiba menyadari keberadaannya langsung menoleh. “Kamu sudah pulang sayang?” tanyanya dengan senyum teduhnya.
Lala membalas senyuman ibunya kemudian duduk di samping ibunya. “Iya bu, Alhamdulillah hari ini cabai kita habis terjual semua. Ini semua berkat ibu yang selalu mendoakan Lala.”
Siti mengangkat tangannya untuk mengelus rambut Lala. “Syukurlah kalau gitu, Nak. Gunakan uang itu dengan baik, itu adalah hasil kerja kerasmu.”
“Enggak bu, ini bukan uang Lala saja. Ini uang kita bersama.”
Siti terenyuh, ia terus memandangi wajah Lala, matanya selalu berkaca kaca setiap melihat Lala. Wajah Lala selalu membuatnya teringat dengan almarhum suaminya yang sudah lama tiada. Bohong jika ia tidak merindukan suaminya, selama ini orang yang paling berjasa dalam hidupnya adalah suaminya. Tanpa ia sadari air matanya menetes dengan sendirinya. Lala dengan sigap langsung menghapus air mata itu.
“Jangan nangis, bu.”
“Enggak La, ibu hanya rindu sama bapak saja. Sudah lama kita tidak ziarah ke makam bapak. Ibu pengen kesana lagi.”
Lala tidak akan menangis lagi, sudah cukup tadi pagi ia menghabiskan air matanya. Sekarang waktunya untuk menguatkan ibunya.
“kalau ibu udah sembuh kita kesana bareng bareng ya. Sekarang ibu makan dulu terus minum obat. Maaf Lala gak bisa nemanin ibu, Lala harus ke kebun untuk ngambil cabai yang mau dijual besok,” ujarnya seraya memberikan nampan yang sudah ia siapkan untuk ibunya.
“Kamu sudah makan?” tanya Siti khawatir putrinya belum makan.
“Sudah kok bu,” jawab Lala dengan berbohong.
Lala tidak mungkin mengatakan jika dirinya belum makan. Lala tidak mau membuat ibunya khawatir. Biarlah ia menahan lapar lebih dulu. Ia bisa makan nanti malam saja selesai mengambil cabai.
“Kalau gitu Lala pamit dulu ya bu. Lala mau pergi ke kebun takut keburu malam.” Pamit Lala sambil menyalami dan mencium tangan ibunya. Belum sempat ibunya berkata, Lala langsung pergi dengan terburu buru.
.
.
Seorang pria baru saja keluar dari kamar mandi dengan rambutnya yang masih basah dan air yang menetes dari tubuhnya. Perut s*x pa*k nya terpampang dengan jelas karena ia hanya memakai handuk yang melilit di pinggangnya. Dia adalah Devan.
Ia baru saja pulang dari kantor dan langsung mandi untuk menyegarkan tubuhnya. Seharian ini Devan sangat sibuk di kantor, ia harus menandatangani beberapa berkas dan memeriksa laporan keuangan yang dibuat oleh karyawannya.
Tidak hanya itu saja, Devan bahkan masih sempat sempatnya memikirkan plat nomor tersebut.
Devan berjalan ke arah kasurnya lalu mengambil ponselnya yang tergeletak begitu saja di ranjangnya. Dengan cepat ia menggeser layarnya mencari notif yang diinginkannya. Namun sayang, ia masih belum mendapatkannya. Devan melempar ponselnya kembali.
“Awas saja kalau sampai besok dia masih gak dapat,” dumelnya.
Devan Praditya Revanuel, pria dewasa yang sudah memasuki umur tiga puluh tahun, ia juga merupakan seorang Ceo di perusahaan milik Ayahnya, akan tetapi, jabatan itu hanya berlaku untuk sementara. Karena ia melakukan perjanjian dengan sang ayah.
Jika ia berhasil mendapat istri baru lagi maka jabatan Direktur akan diserahkan padanya. Statusnya merupakan duda, ia sudah pernah menikah dan berakhir dengan sidang cerai karena perselingkuhan yang dilakukan istrinya dulu.
Sejak saat itu Devan sudah tidak pernah memikirkan wanita lagi, ia sudah cukup muak karena ulah mantan istrinya itu. Devan tidak ingin mencari wanita lagi karena takut terulang.
Bukannya ia pesimis dan menyerah tapi Devan hanya malas saja berurusan dengan wanita lagi. Sudah dua tahun ia menjadi duda, tidak ada wanita yang berhasil menarik perhatiannya meskipun banyak yang menyukainya.
Tapi sekarang, Devan malah penasaran dengan gadis yang menabrak mobilnya pada waktu itu. Ia memang tidak melihat dari jarak dekat pada waktu itu, tapi Devan tau jika gadis itu mempunyai wajah yang cukup cantik.
Devan menghentikan lamunannya, daripada ia terus melamin lebih baik ia segera berpakaian saja. Ia sudah tidak sabar untuk hari esok. Semoga saja besok ia mendapat kabar baik.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!