1
"Cantas, aku hamil, lihat alat pendeteksi kehamilan ini, ada di garis merah disana," ucap Rara sambil memegang alat pendeteksi kehamilan itu untuk di perlihatkan kepada Cantas, pacarnya yang sudah dipacarinya selama atau tahun terakhir ini.
Cantas membelalakkan kedua matanya karena terkejut. Cantas baru saja bekerja di salah satu bank swasta sekitar satu bulan yang lalu setelah beberapa bulan menganggur karena kontrak kerja di perusahaan asuransi sudah selesai.
Selama ini, Cantas ikut menumpang hidup kepada Rara hingga akhirnya mendapatkan pekerjaan baru pun Cantas masih ikut tinggal di kontrakan Rara. Rara merasakan sudah terlambat datang bulan sejak dua bulan yang lalu, dan sering merasakan mual dan muntah bila mencium wangi ynag agak menohok di indera penciumannya.
"Aku belum siap menikahi kamu, Ra!! Apalagi menjadi seorang Ayah, kamu tahu, aku baru saja bekerja, tidak mungkin aku menikahinya," ucap Cantas dengan mudahnya mencari alasan tak pasti.
Ucapan Cantas sangat membuat Rara menjadi murka, lalu selama ini berhubungan untuk apa jika tidak ada keseriusan.
"Lalu!! Kamu mau lari dari tanggung jawab kamu!!" ucap Rara semakin galak.
Cantas tersenyum kecut. Kedua matanya membalas tatapan Rara.
"Lalu, kamu mau minta pertanggungjawaban aku? Maaf, aku tidak bisa dan aku tidak mau, Ra!!" ucap Cantas dengan santainya sambil mengambil koper besarnya dari atas lemari pakaian dan memasukkan semua pakaian dan barang-barang miliknya ke dalam koper besar itu.
Rara melihat itu langsung merampas koper besar itu dengan cepat.
"Mau kemana kamu!!" teriak Rara dengan suara keras.
"Aku mau pergi!! Aku sudah bosan hidup sama kamu, aku sudah jenuh sama kamu!! Kita itu banyak perbedaan!!" teriak Cantas dengan suara keras.
PLAK ...
Sebuah tamparan yang sangat keras mendarat di pipi Cantas. Rasanya mungkin sangat perih sekali, terlihat jelas cetakan tangan Rara dan wajah yang memerah karena marah.
"Kamu sudah gila, Cantas!! Ini anak kamu!!" teriak Rara semakin lantang.
"Kalau aku tidak mau bertanggung jawab, lalu kamu mau apa?!" tanya Cantas dengan ketus dengan tatapan bagaikan elang.
"Aku ingin kamu tanggung jawab Cantas. Bukankah kamu janji akan menikahi kau?!" ucap Rara kesal.
"Itu dulu Ra, sekarang sudah tidak lagi, masih banyak wanita yang mau denganku, hang lebih segalanya dari kamu!!" jawab Cantas ketus.
"Apa bedanya dulu dan sekarang!! Buktinya aku sudah hamil, kita sudah tidur bersama satu tahun ini!!" ucap Rara makin kesal dan keras.
"Lalu!!" tegas Cantas.
"Ya, kita harus menikah, aku sudah hamil, Cantas," ucap Rara melemah. Tindakan Cantas yang tidak peduli sudah membuat Rara kecewa dan menyesali semuanya.
Begitu bodohnya Rara dengan semua rayuan gombal Cantas yang hanya ingin menghisap madu Rara dan membutuhkan harta Rara untuk kehidupan Cantas selama menganggur kemarin.
"Kalau aku tidak mau, bagaimana?!" ucap Cantas mengejek.
"Oh, mudah seklai kamu bilang tidak mau. Sudah berapa habis uangku untuk membayar kebutuhanmu selama kamu menganggur!! Lalu sekarang aku dibuang dan dicampakkan begitu saja!!" teriak Rara frustasi.
"Terus!!" teriak Cantas keras mendekatkan wajahnya kepada Rara.
Cantas menatap tajam wajah Rara dengan sangat marah. Kedua tangan Cantas pun secara spontan mencekik leher Rara dengan sangat keras.
"Bunuh saja aku, Cantas kalau itu membuatmu bahagia. Bunuh aku!! Bunuh juga anakmu yang sedang aku kandung ini," ucap Rara menyentak dan tampak frustasi.
Cekikan pada lehernya pun semakin keras dan semakin mencekik hingga Rara pun tidak bisa berteriak dan mengeluarkan suara.
"Jangan suka mengatur aku!! PAHAM!! Aku paling benci diatur oleh orang. Gugurkan kandungan kamu, karena sampai kapan pun aku tidak akan mau bertanggung jawab atas anak yang kamu kandung!! Bisa saja itu bukan anakku tapi anak dengan lelaki lain!!" ucap Cantas dengan suara pelan yang begitu tajam dan ketus.
Rara hanya bisa menitikkan air matanya hingga jatuh ke pipi. Cekikan itu sudah tak terasa lagi sakitnya dibandingkan dengan sakit hati yang dirasakan oleh Rara saat ini. Rara merasa dirinya sudah tidak berguna, dianggap sebagai wanita murahan yang mau tidur dengan siapa saja.
"Cuma nangis, bisanya hanya begitu, wanita itu!!" teriak Cantas keras sambil melepaskan cekikan itu dari leher Rara.
Tubuh Rara sudah lemas dan luruh begitu saja dilantai kamar kontrakannya sambil menangis tersedu-sedu.
"Ke ... na ... pa ka ... mu ti ... dak per ... ca ... ya," ucap Rara lirih dan terbata-bata.
Sakit sekali saat Rara harus mengugurkan kandungan kandungannya dari orang yang selama ini dicintainya, dan lelaki itu tidak peduli bahkan tidak mau bertanggung jawab. Ucapan Rara pun hanya dianggap angin lalu dan seolah tidak ada sama sekali.
Cantas kembali merapikan bajunya ke dalam koper dan menutup koper itu dan di letakkan di bawah. Koper itu sudah siap di tarik untuk dibawa pergi. Cantas mengambil jaket dari belakang lintu dan memakainya llau mengambil kunci mobil di atas nakas dekat ranjang tidurnya.
Kakinya sudah melangkah, lalu tubuhnya berputar menatap kedua mata Rara yang menatap nanar kepergian Cantas.
"Jangan pernah hubungi aku lagi!! Anggap tidak pernah mengenal aku!! Lupakan aku untuk selamanya!! Gugurkan dia!!" teriak Cantas keras dan tegas menunjuk ke arah perut Rara.
Cantas berlalu begitu saja, bagaikan meninggalkan sampah yang sudah tidak berguna lagi bagi kehidupannya, bagaikan lebah yang meninggalkan bunganya karena hisapan madu itu telah habis.
BRAK!!
Suara pintu depan di tutup dengan cara dibanting dengan sangat keras.
Rara ingin berteriak dengan keras mencegah lelaki yang dicintainya itu pergi dari kehidupannya, namun semua itu sia-sia lelaki itu bahkan tidak punya hati untuk mengasihani Rara yang benar-benar terpuruk saat itu. Lelaki yang dianggap baik dan sayang kepadanya itu, ternyata hanya penuh kemodusan dan kepalsuan.
Suara mobil Cantas terdengar sudah menjauh, lelaki itu benar-benar pergi dan meninggalkan Rara sendirian dengan sejuta masalah yang harus dihadapinya sendiri. Lelaki itu tidak akan mungkin kembali lagi untuk dirinya.
Hanya menangis dan menangis saja yang bisa dilakukan dengan merasakan rasa sakit di sekita leher yang ternyata terlihat bekas jari-jari disana.
'Kenapa kamu seperti ini, kenapa aku harus dipertemukan dengan lelaki buaya seperti dia,' lirih Rara dalam isak tangisnya.
Hidupnya seolah berhenti, impiannya untuk menikah dan berumah tangga pun seolah sudah tidak bisa digapai lagi. Tubuhnya kini sudah berbadan dua oleh lelaki yang hanya ingin menikmati kesenangan bersamanya hingga semua itu hanya bisa disesali dan ditangisi saja tanpa tahu solusi apa yang harus dilakukan oleh Rara.
Tubuhnya terasa sakit semua, Rara mencoba berdiri dan menggapai ranjang tidur yang ada di sebelahnya lalu merebahkan tubuhnya di atas kasur empuknya itu. Selimut tebal itu ditarik untuk menutupi tubuhnya yang sudah tidak suci lagi bahkan ada malaikat kecil yang harus di jaganya.
2
Satu bulan berlalu, Rara masih saja bekerja di Perusahaan Jasa, dimana Rara susah menjadi seorang manajer berkat kegigihannya dalam bekerja.
Selama satu bulan itu, Rara sering mengalami mual-mual dan pusing di kepalanya akibat kehamilan mudanya itu. Rara bersikeras untuk tetap menjaga janin itu dan melahirkan malaikat kecil itu ke dunia. Walaupun tanpa Suami disampingnya ataupun tanpa seorang Ayah untuk makanya nanti.
Rara duduk di kursi kerjanya sambil menikmati rujak mangga muda yang dibelinya tadi saat istirahat makan siang. Selama ini kehamilannya masih bisa di tutupi tapi tidak untuk beberapa bulan ke depan yang tentu perutnya akan membuncit dan membesar seiring perkembangan janinnya yang tumbuh di dalam perutnya dengan sehat.
Satu bulan ini, Rara sudah mengunjungi Bidan untuk mengontrol kehamilannya yang Alhamdulillah baik-baik saja.
"Mbak Rara?" panggil Dyah pelan saat masuk ke dalam ruangan Rara yang terlihat sepi tanpa aktivitas.
Akhir-akhir ini Rara memang senang sekali menyendiri di dalam ruangannya. Dari mengerjakan tugas kantor, sarapan, makan siang dan mengemil atau sekedar bertelepon dengan keluarga pun di lakukan di ruangannya.
Rara terkejut dan menatap Dyah yang sudah ada di depannya hanya terhalang oleh meja kerja. Kunyahan mangga muda yang ada di mulutnya pun terhenti.
"Ada apa Dy?" tanya Rara yang menegakkan duduknya dan membereskan rujak mangga muda itu ke nakas kecil yang ada di samping meja komputer di bagian samping.
Dyah menatap rujak mangga muda itu lalu menatap lekat ke arah Rara. Mereka berdua adalah sahabat baik sejak masuk ke perusahaan itu sepuluh tahun silam. Hanya saja, keberuntungan ada Rara yang lebih dulu mendapatkan promosi jabatan sebagai Manajer dan Dyah, sahabatnya masih menjadi kepala bagian divisi keuangan di perusahaan yang sama.
"Gue perhatiin, loe makin gemuk? Pipi loe makin chubby," ucap Dyah yang memperhatikan Rara dengan seksama.
Rara pun membalas tatapan mata Dyah dan melotot ke arah Dyah. Rara pun mengalihkan perhatian dengan mengambil satu berkas kemudian membuka berkas itu dan membacanya.
"Rara!!" panggil Dyah dengan suara agak keras. Dyah meletakkan berkas yang di bawanya di meja untuk mendapatkan otorisasi dari Rara sebagai Manajer. Rara duduk di kursi menatap tajam ke arah Rara yang menunduk dan berpura-pura membaca berkas tanpa menjawab dan mengabaikan Dyah.
Dyah itu sahabat terbaik Rara yang cukup cerdas dan tidak mudah dibohongi. Kebetulan sahabatnya itu sudah menikah enam tahun yang lalu dan kini sudah memiliki anak satu yang berusia empat setengah tahun.
Rara mendongakkan kepalanya dan menatap Dyah yang masih menunggu jawaban Rara.
"Biasa aja, masih seksi kan?" jawab Rara pelan dengan nada yang tidak bersemangat seperti biasanya.
"Loe kenapa Ra? Gue lihat, akhir-akhir ini, loe beda. Loe makan di ruangan, kalau gue ajak selalu loe tolak. Terus ...." ucapan Dyah pun terhenti.
"Terus apa?!" tanya Rara dengan ketus.
"Maaf ya, Gue lihat, loe itu kelihatan pucat banget, dan loe sering banget makan rujak, kayak orang lagi ngidam aja," ucap Dyah menjelaskan.
Rara hanya terdiam saat menyimak ucapan panjang lebar Dyah yang semuanya itu benar.
Hembusan napas kasar Rara terdengar sangat keras.
"Kenapa kok loe kelihatan cemas dan gelisah gitu? Loe ada masalah? Coba Loe cerita sama Gue, Ra?" tanya Dyah pelan saat melihat Rara yang nampak sedikit frustasi dengan keadaannya saat ini.
Rara menatap lekat Dyah lalu menundukkan kepalanya lagi. Dyah malah menatap iba kepada sahabatnya itu dan berdiri menuju arah tempat duduk Rara dan memeluk Rara dengan sangat erat. Tangisan Rara pun malah pecah, tubuhnya bergetar hebat menahan isak tangisnya sejak tadi yang akhirnya luruh turun juga ke bagian pipinya.
"Apa yang terjadi Ra? Masalah Cantas? Beberapa hari ini, Gue lihat juga Loe bawa mobil sendiri, tumben Cantas gak antar jemput Loe?" tanya Dyah dengan rasa penasarannya.
Rara semakin membalas pelukan Dyah dengan sangat erat. Rara masih saja menangis dan mencari kenyamanan di ceruk leher Dyah.
"Ngomong dong Ra? Ada apa sebenarnya? Jangan diam saja, dan hanya bisa menangis saja. Gue kan gak ngerti, apa yang Loe rasain saat ini. Selama ini, Loe tertutup sama hubungan Loe dan Cantas. Gue sendiri sibuk sama keluarga Gue," ucap Dyah sedikit mendesah dengan keadaannya saat ini.
Dyah berusaha melepaskan pelukan erat Rara dan ingin mengajak sahabatnya itu bicara baik-baik. Dyah berharap Rara bisa mengeluarkan semua uneg-uneg dan semua yang terjadi pada dirinya.
"Apa sih yang sebenarnya terjadi!! Loe cerita dong Ra, jangan nangis terus!!" ucap Dyah dengan suara keras. Dengan cepat Dyah melepaskan pelukan itu dan menatap tajam Rara.
Rara hanya menangis dengan pasrah. Satu bulan ini, Rara seperti sendiri dan tidak ada teman yang menyemangatinya. Semua terasa menjauh dan semua seolah tidak peduli pada Rara yang sedang tidak baik-baik saja.
"Dy, Gue hamil," ucap Rara lirih dengan jujur.
Kedua mata Dyah menatap lekat dan tajam pada dua bola mata Rara yang terlihat lemah itu. Ucapan Rara sangat mengejutkan Dyah siang itu, tubuhnya seperti tersengat aliran listrik dan rasa terkejutnya bagai terkena sambaran petir di tengah hari siang bolong ini. Tidak ada mendung dan tidak ada hujan, kejujuran Rara membuat Dyah tersentak kaget.
"Loe ... serius Ra? Loe lagi gak nge-prank Gue kan?" tanya Dyah pelan dengan wajah yang teramat bingung.
Rara menganggukkan kepalanya pelan, dirinya juga sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi kecuali hanya menangis dan menyesali semuanya yang telah terjadi.
Hubungannya dengan Cantas selama ini baik-baik saja, tapi Dyah adalah orang terdekat Rara yang tidak menyukai Cantas, karena menurut Dyah, Cantas itu tidak baik untuk Rara yang terlalu polos dan tulus itu.
"Gue hamil, ini udah satu bulan usia kandungan Gue. Gue takut, Dy," ucap Rara pelan sambil memeluk Dyah kembali dengan sangat erat. Matanya sudah basah lagi, wajah Rara pun sudah sangat sembab dan sedikit membengkak di bagian matanya.
"Suruh Cantas tanggung jawab!! Biar Gue yang bilang, secara Cantas itu sahabat Mas Hendra," ucap Dyah pelan berusaha menenangkan Rara yang terlihat bingung dengan keadaannya.
"Dia sudah pergi Dy. Cantas tidak akan kembali, bahkan Cantas menyuruh Gue untuk menggugurkan kandungan ini," ucap Rara lirih. Rara berusaha menguatkan hatinya dan menatap Dyah yang masih tidak percaya dengan pengakuan Rara, sahabatnya itu.
"Apa!! Loe cuma diam, Ra?! Loe cuma pasrah?!" teriak Dyah tak beraturan sambil memukul meja kerja Rara dengan sangat keras.
Rara tidak berkutik dan tidak mampu menjawab semua kebenaran itu. Dirinya kini seperti orang bodoh yang terlalu mudah untuk di bodohi. Ternyata memang benar, antara tulus dan bodoh itu beda tipis, yang membedakan keduanya adalah pola pikir dan masalah perasaan dan hati.
3
"Gue udah cegah Dy!! Tapi Cantas ninggalin Gue gitu aja, bahkan tidak mengakui janin ini adalah darah dagingnya," ucap Rara mengadu.
"Dasar buaya!!" teriak Dyah semakin keras dan nampak sekali kekecewaan dan kekesalannya pada Cantas. Apa yang dilakukan Cantas benar-benar sudah tidak bisa dimaafkan lagi. Mengambil kesempatan dalam kesempitan dan merusak semuanya dengan alasan cinta.
"Sudah Dy," ucap Rara lirih. Rara sangat tahu persis bagaimana sifat Dyah yang sesungguhnya. Dyah, sahabatnya itu bukan tipe perempuan lemah dan menurut seperti Rara. Dyah, wanita kuat dan tegar karena kemandiriannya. Dyah tidak segan-segan melabrak dana mendatangi siapapun yang mengganggu dirinya, keluarganya, sahabatnya serta teman-teman dekatnya.
"Gue bingung sama Loe, Ra!! Loe itu bodoh apa pura-pura bodoh?!" ucap Dyah dengan nada tinggi.
Rara menghembuskan napasnya, lalu duduk di kursi kerjanya.
"Gue sayang sama Cantas, Loe tahu kan Dy, apapun Gue lakukan semua dia. Apapun Gue turutin permintaan dia untuk membeli ini dan itu, karena Gue pikir, hubungan kita sudah sejauh itu, dan kita sudah tinggal bersama. Cantas pun sudah datang ke rumah orang tua Gue," ucap Rara pelan dan terhenti saat Dyah menyela ucapannya.
"Cantas minta Loe ke orang tua Loe, Ra?!" tanya Dyah ketus dan penasaran.
Rara menggelengkan kepalanya pelan.
"Enggak Dy, cuma main saja," ucap Rara pelan dan menundukkan kepalanya kembali.
"Ra?! Terus untuk apa Cantas ke rumah Loe? Gue pikir dia mau lamar Loe?" ucap Dyah semakin kesal.
"Waktu itu dia belum siap, karena masih menganggur," bela Rara pelan. Rara yang sudah hanyut dalam cinta suci kepada Cantas pun sudah tidak bisa digoyahkan lagi.
Kesalahan Cantas seperti tidak berarti apa-apa bagi Rara. Malah Rara yang harus meminta maaf karena kekesalan atau kematian Cantas selama ini. Itu semua Rara lakukan demi keutuhan hubungannya dengan Cantas. Usia Rara sudah tidak muda lagi, ditinggalkan orang yang di sayangi adalah suatu ketakutan tersendiri bagi Rara, dan kini semuanya itu menjadi nyata setelah semua pengorbanan yang dilakukan Rara untuk Cantas dan berakhir dengan kesia-siaan saja.
"Bukannya sekarang dia sudah bekerja!! Lalu, dengan mudahnya dia ninggalin Loe gitu aja Ra!! Bodohnya, Loe cuma pasrah dan diam?!! Loe kayak gak ada harga diri tahu gak?!!" teriak Dyah semakin kesal.
Dyah ingin rasanya cepat pulang dan menemui Mas Hendra, suaminya dan meminta untuk mengantarkan ke rumah orang tua Cantas, mungkin dengan cara itu, Cantas mau bertanggungjawab dan tidak lari dari kenyataan hidup dengan masalah yang sedang mengujinya.
"Gue gak mau debat Dy, biarkan saja semua ini berakhir. Gue cuma minta bantuan Loe, bantu sembunyikan kehamilan Gue dari orang-orang kantor. Gue lagi cari solusi terbaik, apakah Gue harus resign dan membesarkan anak Gue dengan segala kemampuan Gue," ucap Rara pelan dengan sangat pasrah.
Mau marah sudah tidak ada gunanya lagi, mau kecewa juga untuk apa lagi, mau menangis, hal itu sudah dilakukan Rara hampir setiap hari bahkan setiap malam saat mau tidur.
Dyah memeluk erat kembali Rara, membawa kepala Rara dalam bahunya yang cukup bidang itu.
"Maafkan Gue, Ra. Jujur Gue begini, karena Gue peduli sama masalah sahabat Gue. Gue gak terima dengan perilaku Cantas ke Loe, itu juga membuat Gue, kesel, kecewa dan marah," ucap Dyah yang teramat kecewa. Amarahnya hanya bisa dipendam, saat melihat ketegaran dan keikhlasan Rara yang benar-benar sudah pasrah dengan keadaannya.
"Gue tahu Dy, Loe emang sahabat terbaik. Cuma Loe yang selalu peduli dengan keadaan Gue," ucap Rara pelan sambil mengendurkan pelukannya kepada Dyah.
"Langkah Loe apa sekarang Ra?" tanya Dyah pelan menyandarkan tubuhnya di meja kerja itu dan berdiri menghadap Rara yang sudah duduk di kursi kebesarannya.
Rara menggelengkan kepalanya, "Gue juga belum tahu."
Dyah ikut iba dengan keadaan Rara sekarang. Tentu jika masalah ini sampai ke blow up, pasti semuanya akan mencibir dan mengghibahkan Rara sebagai leremouan bodoh dan tidak benar.
"Perut Loe itu makin lama pasti makin membesar. Loe harus punya planning, mungkin Loe harus menikah atau yang lainnya," ucap Dyah pelan sambil mengusap pelan perut Rara yang masih rata.
Ada makhluk kecil yang tumbuh disana, malaikat kecil tanpa dosa atas kesalahan dan dosa besar kedua orang tuanya.
"Gue bertahan dulu, Gue mau cari usaha dan Gue mau mengajukan resign," ucap Rara pelan, namun terdengar dengan tegas dan mantap.
"Loe yakin mau resign?! Karir Loe disini sudah bagus, cari solusi lain, mungkin menikah dengan yang lain, yang mau terima Loe apa adanya?" tanya Dyah denagn sedikit memberikan saran dan nasihat kepada Rara untuk memikirkan kembali dan tidak mengambil keputusan dengan cepat dan tergesa-gesa.
"Membuka hati yang masih sakit dan kecewa itu gak semudah itu Dy," ucap Rara pelan sambil menghapus sisa air matanya dengan tissue.
"Apa Loe masih berharap dengan Cantas? Berharap dia datang lagi, dan mengakui anak itu sebagai darah dagingnya, dan Loe mau luluh gitu aja dengan semua itu?" tanya Dyah semakin kesal kepada Rara yang tidak bisa melupakan Cantas.
Rara hanya mengangguk pasrah. Satu bulan ini, Rara memang masih berharap Cantas untuk kembali dalam kehidupannya dan menikahinya seperti janjinya dahulu.
"Loe gila Ra!! Lupakan Cantas!! Loe harus bangkit, Gue bakal bantu Loe, asal Loe lupakan Cantas!! Laki-laki itu tidak pantas untuk ditangisi, tidak lantas untuk ditunggu kembali lagi, tidak pantas untuk di maafkan jika kembali, dan tidak pantas untuk dikasihani untuk kamu ambil menjadi berharga kembali," ucap Dyah dengan tegas.
Bagi Dyah semua sudah cukup, pengorbanan Rara pun dirasa sudah twrlalu banyak untuk Cantas. Kinj tiba saatnya Rara harus bahagia bersama anaknya atau dengan lelaki yang mencintai dia sepenuhnya dengan tulus dan menerima apa adanya Rara.
"Bantu Gue melupakan Cantas, Dy. Gue siap melupakan Cantas tapi tidak membuka hati kembali, karena Gue gak mau sakit hati dan kecewa lagi, Gue gak mau kepahitan itu terulang kembali," ucap Rara sendu dan menatap nanar ke arah Dyah.
Dyah tersenyum lebar dan menganggukkan kepalanya lalu memegang pundak Rara.
"Sebagai sahabat Gue pasti bantu Loe, Ra," ucap Dyah pelan dan memeluk erat tubuh Rara kembali dengan penuh kasih sayang.
"Terima kasih Dy. Gue gak mau terpuruk lagi, dan Gue gak mau hancur lagi. Cukup sekali Gue ngerasain hal yang begitu menyakitkan," ucap Rara pelan setengah berbisik kepada Dyah.
Dyah bisa bernapas dengan lega, Dyah sangat tahu dengan sikap dan sifat Rara. Mereka bersama sejak masuk ke perusahaan jasa tersebut, saling menjaga dan saling menghargai serta saling berbagi satu sama lain.
Penyesalan Dyah adalah mengenalkan Cantas pada Rara yang berakhir pada kekecewaan dan sakit hati pada Rara. Dyah benar-benar menyesal dengan semua ini, Dyah merasa tidak bisa menjaga Rara dengan baik.
Setelah banyak hal kejadian yang dialami Rara dalam hal kisah percintaan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!