NovelToon NovelToon

Kisah Yang Tertinggal

Kenyataan Pahit...REVISI

Sepasang anak manusia itu berjalan ke kasir setelah memilih baju tidur seksi tanpa menyadari jika Dewi yang merupakan istri dari Fadil dan sahabat baik Eva juga berada di sana. Dewi terus mengikuti kemana langkah Fadil dan Eva berakhir. Sesekali ia menyentuh lembut perutnya yang membuncit. Air mata tertahan dengan nafas naik turun tidak menyurutkan niatnya untuk melihat apa yang dilakukan oleh suami dan sahabatnya itu. lantai atas pasar raya tersebut adalah hotel bintang tiga, Dewi melihat suaminya sedang memesan sebuah kamar lalu setelah mendapat kunci, kedua manusia itu berlaalu saling merangkul mesra dan tepat di depan pintu kamar, Fadil dengan beringas mencium bibir Eva.

Dada Dewi semakin sesak melihat kenyataan pahit ini apalagi saat ini ia tengah hamil besar. Entah keberuntungan atau kesialan tapi saat Dewi sampai di depan pintu kamar hotel mereka, pintu itu tidak tertutup sempurna.

“Sayang, aku belum memakai lingeria yang kamu pilihkan.” Rengekan manja membuat Dewi semakin mual dan sesak.

“Aku sudah tidak sabar, Sayang. Sudah lama aku merindukan saat-saat panas seperti ini.” Ucap Fadil menggerayangi tubuh Eva.

“Kamu seperti tidak punya istri lain saja, Bang.”

“Dia itu sedang hamil, Sayang. Aku tidak pernah puas dengan pelayanannya. Belum apa-apa dia sudah mengaduh. Untungnya ada kamu yang selalu menemaniku keluar kota. Kalau tidak, entah apa jadinya nasibku.”

Air mata Dewi luruh tak tertahankan. Ia menggenggam erat hendle pintu menatap penuh marah pada pasangan di depannya saat ini.

“Jadi ini pekerjaanmu di luar kota?”

Deg…

Eva dan Fadil kompak melihat ke arah pintu dan betapa terkejutnya mereka karena Dewi sedang menatap mereka penuh marah.

“Sayang-“ Dewi mengambil seribu langkah meninggalkan kamar itu. Ia berjalan seraya menahan sakit karena kontraksi dan emosinya yang hendak meluap di dalam dada. Dewi berjalan tergesa-gesa hingga saat hendak mencapai eskalator menuju lantai bawai, kakinya tidak sengaja menginjak bagian depan gamisnya hingga ia terjungkang ke depan dan jatuh dari atas eskalator ke lantai bawah. Semua pengunjung pasar raya berteriak histeris lalu beberapa penjaga gedung segera memanggil ambulan untuk membawa Dewi. Sementara Fadil dan Eva yang tengah mengejar Dewi hanya berdiri mematung melihat ke lantai bawah tepat di mana Dewi terbujur dengan darah yang sudah membanjiri tubuhnya. Mata Dewi masih sempat melihat mereka di lantai atas sebelum akhirnya menutup sempurna.

“Sayang, ayo lanjutkan!” bisikan sensual terdengar di telinga Fadil.

“Tapi Dewi?”

“Biarkan saja. Satu ronde lagi setelah itu kita sama-sama ke rumah sakit, oke?” Fadil mengangguk cepat lalu mereka kembali ke kamar dan menikmati percintaan panas itu lagi. Fadil bahkan mengabaikan dering ponselnya.

 

Di rumah sakit…

Fadil langsung disodorkan surat-surat yang harus ditanda tangani sebelum melakukan operasi. “Tolong selamatkan istri dan anak saya, Dok!” pinta Fadil.

Fadil dan Eva langsung terbangun saat melihat dokter keluar dari ruang operasi. “Bagaimana, Dok?” tanya Fadil panik.

“Kami minta maaf karena bayinya tidak bisa kami selamatkan dan kondisi ibu juga tidak baik. Pasien mengalami benturan di tulang belakang yang membuat pasien menderita lumpuh dan perlu waktu beberapa bulan untuk sembuh.” Dokter menghela nafasnya lalu menatap Fadil. “Pasien juga mengalami kesulitan bicara.” Fadil syok, ia mungusap kasar wajahnya. Sementara Eva, hati wanita itu justru sedang bergembira di dalam sana untuk menyambut kemenangannya.

Pihak rumah sakit menyerahkan jasad bayi laki-laki yang sangat tampan ke tangan Fadil setelah menyelesaikan semua administrasi.

“Kita kuburkan dulu bayinya setelah itu baru kemari untuk melihat Dewi. Saat ini dia masih di ruang evaluasi belum bisa kita jenguk.” Ucap Eva kemudian membawa mobil menuju rumah Fadil.

Sesampainya di rumah, Fadil langsung menyerahkan jasad bayinya pada Bik Eni. Sementara dirinya menghubungi ustad setempat untuk membantu menguburkan bayinya.

“Va, aku harus menghubungi keluargaku dan keluarga Dewi.”

“Jangan! Kamu mau disalahkan atas ini semua? Kamu suaminya, sudah sepantasnya kamu mengambil keputusan sendiri. Lagian, Dewi juga tidak kenapa-kenapa. Kita masih bisa mengobatinya dan soal anak, itu adalah kecelakaan karena Dewi yang tidak pandai menjaga diri. Sudah tahu hamil tua kenapa dia malah pergi ke pasar raya? Kenapa kamu yang harus menanggung kesalahannya? Sekarang, kuburkan saja bayi itu dulu setelah itu kita akan merawat Dewi bersama tanpa sepengetahuan keluargamu.” Fadil mencerna sesaat kemudian menyetujui perkataan Eva.

“Pak Fadil, nama bayinya siapa?” tanya pak ustad saat hendak menuliskan nama bayi tersebut di bayi nisan.

Fadil gelagapan, ia belum pernah membicarakan nama bayi itu dengan Dewi. “Muhammad Akbar!” semua orang menoleh pada Bik Eni. “Ibu pernah mengatakan jika bayinya lahir akan memberi nama itu, Pak.” Fadil mengangguk lalu Pak Ustad langsung menuliskan nama itu di batu nisan yang akan ditancapkan di atas kuburan sang bayi.

Hari berganti dan atas saran Eva, Fadil menjual rumah itu lalu memberhentikan Bik Eni yang selama ini menjaga istrinya. Hidup Dewi seperti sebuah neraka semenjak tinggal di rumah Eva karena setiap saat dia harus melihat adegan memuakkan antara Eva dan suaminya.

Keesokan harinya, hari ini adalah hari libur dan Dewi selalu sarapan pagi bersama Eva dan Fadil karena keduanya juga libur.

Dreet….

“Sayang, mertuaku menelepon!” Fadil panik melihat layar ponselnya.

“Angkat saja!”

“Lalu apa yang harus aku katakan? Mereka pasti bertanya tentang Dewi. Ini sudah waktunya Dewi melahirkan.”

“Katakan saja kalau Dewi mengalami kecelakaan lalu anaknya meninggal dan Dewi sekarang sedang menjalani terapi.”

“Sayang, kamu lupa kalau mereka tahunya aku sedang di luar negeri?” Dewi menatap tajam ke arah Fadil. Ia tidak menyangka jika pria berstatus suaminya itu sudah berbohong sedemikian jauh.

“Ayo, aku akan membantumu!”

Air mata Dewi kembali luruh menyaksikan bagaimana Fadil mengikuti Eva ke kamar hanya untuk mengelabui orang tuanya. Setelah berhasil mengelabui mertuanya, Fadil kembali turun menuju meja makan bergabung dengan Dewi dan Eva.

Fadil menerima suapan dari Eva tapi sesekali matanya melirik ke arah Dewi. “Sayang, jangan terlalu banyak meninggalkan jejak di dadaku. Aku kesulitan menghilangkannya.”

“Kamu juga, Sayang. Kamu tahu, banyak pegawaiku yang selalu tersenyum melihat bekas cintamu. Mereka bahkan menyebutmu liar!”

“Aku memang liar, apa kamu masih perlu bukti?” Eva menaruh piring kemudian langsung mencium dengan liar bibir Fadil di depan Bik Jum dan Dewi. Bik Jum sendiri memilih membuang muka sementara Dewi tidak bisa berbuat apa-apa. Posisi kursi rodanya menghadap mereka membuat Dewi hanya bisa mengurai air mata melihat tingkah sahabat dan suaminya.

“Sayang, jangan membuatku mandi lagi.” Eva tersenyum puas lalu melepas pungutannya.

“Aku telat! Aku harus pergi dulu.” Fadil mencium bibir Eva kemudian langsung pergi meninggalkan meja makan.

Eva tersenyum penuh kemenangan menatap Dewi. “Bik, gantikan seprei kamar sekarang ya! Biar saya yang mengurus sahabat saya!” Bik Jum mengangguk patuh lalu pergi ke kamar atas. Eva duduk di dekat Dewi lalu mengambil obat yang harus diminum Dewi.

“Obat untuk operasimu sudah habis dan luka jahitanmu sudah sembuh. Berarti ini obat untuk terapimu, bukan? Sudahlah! Kamu tidak perlu meminumnya. Akan lebih baik jika kamu terus begini dan lebih baik lagi kalau kamu mati tapi aku masih berbaik budi dengan tidak membuatmu mati karena akan menyenangkan buatku melihatmu cemburu. Ah…rasanya puas sekali.”

 

 

 

***

LIKE...KOMEN....TERIMA KASIH

Kembali Ke Tiga Tahun Silam...REVISI

Dewi mendorong kursi rodanya sampai ke jalan tanpa ada yang tahu. Air matanya luruh sederas hujan di malam itu, “Tuhan, pertemukan aku dengan putraku! Aku tidak mau lagi melihat mereka! Lebih baik aku menyusul putraku. Ambil nyawaku, Tuhan.” Kata demi kata Dewi ucapkan dalam hatinya seraya mendorong kursi roda lebih kuat lagi.

Di bawah hujan deras, kursi roda itu terus didorong ke arah jalan utama hingga sebuah truk melaju dalam keadaan kencang menabrak tubuh Dewi  yang sudah mencapai persimpangan jalan terpelanting jauh.

“Aaaaa…..”

Dewi membuka mata seraya berteriak namun saat hal yang membuat ia terkejut adalah suasana tempat ia terbangun. Dewi melihat sekitarnya dan terkejut saat menyadari jika saat ini ia berada di dalam kelas.

“Apa kamu selalu tidur saat jam pelajaran saya? Keluar!!!” suara bariton itu terdengar dan membuat Dewi tercekat.

Dewi kebingungan bahkan saat dosen yang terkenal garang itu menyuruhnya keluar dari kelas. “Apa ini mimpi? Tapi kenapa ke sini? Aku ingin bertemu anakku, Tuhan. Bukan bertemu sahabat palsu seperti si Eva itu.”

Dreettt…

“Assalamualaikum, Ukhti. Hari ini ada kuliah?” getaran dari dalam tas membuat Dewi terkejut.

“Akhi Fiqi?” gumamnya lalu melihat tanggal yang tertera di ponselnya.

“Tidak mungkin! Ti-tidak mungkin aku kembali ke masa lalu. Ini hanya mimpi tapi-“ Dewi mencoba mencubit pipinya, “Sakit!” Berkali-kali Dewi mengusap kasar wajahnya mencoba percaya dengan semua yang ada di depannya saat ini.

“Bagaimana mungkin?” gumamnya lalu mengambil ponsel membuat internet kemudian mencari artikel tentang reinkarnasi dan ternyata itu semua hanya fiksi semata. “Tidak ada yang mengalami ini. Lalu apa ini?” dadanya tiba-tiba sesak sampai getaran ponselnya kembali terasa.

“Assalamualaikum, Ukhti. Akhi lihat pesannya sudah terbaca jadi Akhi pikir Ukhti lagi di rumah. Ukhti sibuk ya?”

“A-akhi?” panggilnya terbata-bata. Mata Dewi mendadak basah setelah berpisah lama penuh air mata.

“Em, Ukhti kenapa? Dari tadi diam saja, apa Ukhti lagi subuk?”

“Ti-tidak, Akhi. U-ukhti hanya sedikit pusing. U-ukhti tutup dulu ya!”

Tutt….

Dewi mengakhiri panggilannya tanpa menunggu jawaban Fiqi. Ia belum siap dengan semua yang terjadi saat ini. Gadis itu juga mulai mengingat-ingat rentetan kejadian yang pernah ia lalui dulu. “Dari tanggalnya berarti saat ini aku sudah berpacaran sama Bang Fiqi karena kami jadian pertama kali bulan satu dan ini sudah bulan enam. Sudah enam bulan kami pacaran jarak jauh dan tahun depan Ayah akan menjodohkanku dengan Fadil. Lalu Eva? Berarti saat ini dia sudah mengenal Fadil tanpa sepengetahuan kami.”

Puk…

“Kamu kenapa sih, Wi? Sakit?” Dewi menatap satu persatu sahabat masa kuliahnya.

Rani, Ayi dan yang terakhir Eva. Ingatan Dewi kembali ke masa depan di mana Eva yang selama ini dianggap sahabat telah menusuknya dari belakang. Pengkhianatannya dengan Fadil kembali melintas di pikiran Dewi.

“Kamu kenapa sih? Dari tadi diam saja. Kamu betulan sakit?” tanya Rani kembali melihat gelagat Dewi yang seperti orang kebingungan.

“Ayo makan! Supaya teman kita ini terbangun dari mimpinya.” Ucap Eva merangkul Dewi hingga ke kantin kampus.

Mendapat perlakukan hangat dari Eva membuat Dewi tidak nyaman. Berbanding dengan masa lalu sebelumnya di mana mereka berempat kompak ke mana-mana. Tapi kali ini berbeda, Dewi merasa membenci Eva dan ingin menjauh dari sahabat palsunya itu.

“Wi, sumpah. Loe aneh banget hari ini. Ada apa sih? Di rumah gak lagi ada masalah kan?” Dewi melirik sekilas ke arah Eva. Sahabat palsunya menunjukkan perhatian seperti sebelumnya di masa lalu dan Dewi selalu senang saat para sahabat memberi perhatian padanya tapi kali ini? Dia tidak akan tersentuh oleh perhatian Eva lagi.

“Kenapa aku kembali terjebak dengan sahabat palsu seperti dia. Oh tuhan, apa yang harus aku lakukan saat ini?”

Drettt…

Ponsel Eva bergetar, Dewi langsung melirik ke arah ponsel yang terletak di atas meja itu.

“Fadil!”

Deg…

“Benar dugaanku kalau dia sudah mengenal Fadil jauh-jauh hari sebelum kami dijodohkan.”

“Siapa Va?” tanya Dewi seraya tersenyum penuh arti. 

“Mungkin ini kesempatan kedua yang tuhan berikan untukku. Baiklah, aku akan mempergunakan kesempatan ini dengan baik.” Batin Dewi seraya tersenyum penuh arti.

“Oh, biasa! Kenalan baru.”

“Orang mana?” tanya Dewi kembali.

“Kalian tidak kenal. Dia bukan anak kampus kita.”

Dewi mengangguk, “Kalau kamu lagi dekat dengan cowo, kenalin ke kita. Jangan sampai nanti kita terlibat cinta segitiga. Kan gak lucu.” Ucap Dewi membuat mereka menatap Dewi dengan tatapan aneh.

“Kenapa? Benar kan yang aku bilang? Misalnya gini, si Eva pacaran sama cowo di luar kampus terus tahu-tahunya cowo itu juga jadian sama salah satu dari kita. Menurut kalian, kalau sudah begitu siapa yang salah?”

“Sudahlah! Nanti kalau sudah jadian akan kukenalkan ke kalian. Untuk sekarang masih sebatas kenal saja. Kamu sendiri gimana sama Akhi Fiqi? Udah yakin sama si Akhi?”

“Em, kita lihat nanti!” jawab Dewi diplomatis seraya melirik ke arah Eva.

“Seberapa jauh hubungan mereka? Aku penasaran kenapa dia merahasiakan hubungannya dengan Fadil. Ada apa ini?” Dewi bertanya-tanya dalam hati.

Dewi tiba di rumahnya setelah diantar oleh Ricki. “Assalamualaikum,” ucapnya pada sang ayah dan ibu yang sedang duduk di teras rumah. Dewi langsung berlari memeluk ibunya, antara sedih dan bahagia bisa kembali bertemu dengan orang tuanya.

“Ada apa ini tiba-tiba pulang langsung peluk-peluk Ibu?”

“Kangen.” Balas Dewi tanpa melepas pelukannya.

Suami istri itu terkekeh mendengar jawaban sang anak. “Memangnya kamu habis dari mana sampai kangen begini? Kamu hanya keluar saat ada kuliah selebihnya cuma di rumah. Kenapa tiba-tiba bilang kangen? Kalau ke luar negeri baru boleh bilang kangen”

Kalimat terakhir dari sang ibu menyadarkan Dewi tentang Fadil yang saat itu telah membohongi keluarganya dengan mengatakan jika mereka pindah ke Turki. “Bu, Pak, kangen sama orang tua tidak ada salahnya kan?”

“Kamu ini ada-ada saja.” Dewi mendekati ayahnya lalu melakukan hal yang sama.

“Yah, apa Ayah percaya kalau manusia itu bisa kembali ke masa lalu?”

“Wi, Ayah memang tidak sekolah tinggi tapi tidak ada yang namanya kembali ke masa lalu. Waktu adalah salah satu yang tidak pernah bisa kita ulang. Jadi manfaatkan waktu sebaik mungkin dalam hidup supaya kamu tidak menyesalinya nanti.”

“Iya, Ayah. Kali ini, aku tidak akan menyia-nyiakan waktu.”

“Kali ini? Memangnya kamu sudah pernah mengulang waktu? Masuk sana, lama-lama kamu membuat bingung saja.”

Dewi mencium pipi ayahnya kemudian masuk ke kamar. “Aku tidak boleh membenci mereka karena mereka  juga tidak tahu seperti apa pria itu. Kali ini aku sendiri yang akan memperlihatkan pada mereka seperti apa pria itu.” Tekad Dewi seraya membuka laptop.

***

Rencana Licik...REVISI

Dewi memencet beberapa angka di ponselnya, “Kenapa tidak mau ya?” gumam Dewi setelah beberapa kali mencoba menghubungi Fadil melalui nomer yang diingatnya.

“Apa dia memakai nomor lain saat menikah denganku ya?”

Tiba-tiba Dewi teringat sesuatu, “Bukannya dia pernah kehilangan ponsel? Oh, iya. Dia kehilangan ponselnya saat hari pernikahan kami. Dan setelah itu dia mengganti ponsel baru sekaligus nomer baru.”

“Tidak ada cara lain selain mengambilnya diam-diam dari ponsel Eva.” Gumam Dewi.

Ting…

Sebuah pesan masuk dari ponsel Dewi, “Assalamualaikum, Ukhti. Sudah tidur?”

“Walaikumsalam, Akhi. Sebentar lagi. Akhi lagi ngapain?”

“Lagi mikirin Ukhti. Bagaimana caranya supaya bisa kembali secepatnya ke Indonesia untuk melamar Ukhti.” Dewi mulai memikirkan kembali rentetan kejadian.

“Dua bulan sebelum perjodohan, Bang Fiqi sudah melamarku dan memintaku menunggunya. Berarti tidak lama lagi ini akan terjadi dan saat itu aku sudah menerimanya. Apa yang harus aku katakan pada Bang Fiqi ya?” gumam Dewi.

“Ukhti tidur?” karena tidak dibalas, Fiqi kembali mengirim pesan.

“Belum, Akhi. Ukhti hanya lagi memikirkan sesuatu. Nanti Ukhti bicarakan dengan Akhi ya! Pokoknya Akhi fokus saja sama ujian akhir.”

“Ada apa Ukhti? Kenapa jadi mencurigakan begini?”

“Nanti Ukhti cerita sama Akhi. Doakan Ukhti semoga berhasil ya!”

Dewi sampai tertidur memikirkan rencana selanjutnya. Keesokan harinya, Dewi kembali ke kampus karena hari ini adalah misi pertamanya untuk membalaskan dendam pada Eva.

“Guys, kita dapat undangan debat. Kita harus mengirim perwakilan sebanyak tiga orang. Siapa yang mau?” tanya komisaris unit bernama Ricki.

“Kita!” Eva, Ayi dan Rani mengangkat tangan.

Ting…

Ponsel Ricki berbunyi, “Eh, sorry-sorry. Dedi kirim pesan katanya nama yang akan maju untuk debat Dewi, Ayi dan Rani. Sorry, Va. Aku tidak tahu kalau Dedi sudah kasih nama lebih dulu.” Ricki terlihat tidak enak tapi wajah penuh kepalsuan milik Eva mampu menutupi rasa kesalnya karena ditikung Dewi.

Di balik pintu, Dewi sengaja menunda untuk masuk. Ia tersenyum penuh kemenangan saat berhasil menikung sahabat palsunya. Dewi mengingat-ingat rentetan kejadian semalaman sampai sebuah foto mengingatkannya tentang debat yang dilakukan lima hari lagi. Dan tanggal yang tertera di sana langsung membuat Dewi melancarkan aksi pertamanya yaitu menikung Eva di ruang debat.

“Kita belajar di tempat kosku aja ya?” ajak Ayi. Mereka berempat pulang ke kos Ayi. Dewi mengingat apa saja yang akan mereka perdebatkan nanti. Di masa lalu, dia hadir untuk menyemangati ketiga sahabatnya yang saat itu meraih gelar juara dua. Dewi juga mengingat dengan jelas isu-isu yang diperdebatkan.

“Aku yakin isu itu lagi yang akan mereka bahas.” Batin Dewi.

Di sela-sela belajar, mata Dewi sesekali melirik ke arah Eva yang tengah asik dengan ponselnya. “Bagaimana caraku mengambil ponselnya tanpa ketahuan?”

“Eh, foto dulu ya!” ajak Dewi tiba-tiba.

“Wi, kita mau belajar serius kenapa jadi foto-foto? Jangan sampai kita malu-maluin unit nanti.” Protes Ayi.

“Tenang, aku pastikan kita akan menang.”

“Sotoy…” ucap Eva. Dewi menanggapinya dengan senyum.

Setelah lelah bergelut dengan persiapan debat, Ayi dan Rani ke belakang untuk mengambil piring. Sementara Dewi menunggu pesanan makanan dari Ricki. “Ke mana, Va?” tanya Dewi.

“Kamar mandi.”

Selepas kepergian Eva, Dewi langsung mengambil ponsel Eva dan mencari kontak Fadil ternyata tidak ada. Dewi tidak kehilangan akal, ia mencari di aplikasi perpesanan dan –

Taraaaa…

Dewi tersenyum kecil kemudian dengan cepat menyalin nomer Fadil ke ponselnya.

Hari yang ditunggu datang juga. Ruang aula utama tempat diselenggarakannya debat bahasa inggris sudah dipenuhi oleh para mahasiswa baik yang mewakili unit untuk mendukung teman mereka maupun para mahasiswa di luar jurusan yang sekedar ingin menonton.

Babak penyisihan dimulai hingga meninggalkan tiga tim yang akan melanjutkan debat ke babak selanjutnya. Sejauh ini Unit D masih bertahan dengan skor hampir sama dengan perwakilan dari kelompok lain.

“Wi, kamu gak main curang kan?” bisik Rani. Dewi mengernyit kening bingung.

“Maksudnya?”

“Semua yang kita pelajari kemarin itu dari kamu dan kenapa bisa benar semua? Itu tidak masuk akal.”

“Iya, sangat tidak masuk akal.” Timpal Ayi.

“Eh, dengar ya! Aku hanya memprediksi dan mengikuti anjuran dari Akhi Fiqi. Akhi Fiqi itu sudah pengalaman hal-hal beginian. Jadi, you know lah!” sahut Dewi enteng.

Babak final pun di mulai. Unit D melawan Unit A. Kedua perwakilan ini terkenal cakap dalam hal berdebat. Di masa lalu, Unit A yang menjadi juara tapi kali ini berbeda. Unit D lah yang menjadi juara dan selama sebulan, nama mereka terus mencuat ke seantero kampus serta para dosen. Eva berusaha sekuat tenaga untuk menampilkan wajah bahagia walaupun Dewi tahu jika sahabat palsunya itu sedang memendam iri yang sangat dalam.

“Hai…” Dewi mengirim pesan ke nomer fadil. Dewi tidak bodoh, ia membeli nomer baru untuk menyembunyikan identitasnya.

“Siapa ya?”

“Saya kagum dengan kemandirian Abang dan ingin sekali bertemu hanya untuk sekedar berkenalan dan meminta berbagai pengarahan. Siapa tahu dari pengalaman Abang, saya ikut sukses mengikuti jejak Abang.” Pernah menjadi istri Fadil membuat Dewi sangat paham watak pria itu.

Fadil tipikal pria yang menyukai penghargaan karena setiap usaha yang ia bangun selalu menjadi kebanggaannya.

Ting…

“Musuh terpancing!” batin Dewi saat Fadil membalas pesannya.

“Apa kamu pernah mengikuti seminar saya sebelumnya?” Dewi berpikir sejenak.

“Pernah, Bang. Dari sana saya tahu Abang.”

“Em, kamu tinggal di mana?”

“Di kota Paru, Bang.”

“Oh pas sekali. Saya ada urusan di Paru hari Sabtu. Kita ketemu di sana saja.”

“Terima kasih banyak, Bang.”

“Sama-sama.”

“Bang, tapi tidak masalah kan kalau saya mengajak Abang bertemu? Kalau bisa Abang ajak istri ya. Biar tidak salah paham.”

“Wkwkwkwk…sekilas info. Saya masih lajang.”

“Pacar? Saya tidak mau dilabrak tiba-tiba lalu dituduh merebut pacar orang.”

“Tenang. Saya juga belum punya pacar. Kamu sendiri?”

“Saya masih muda banget, Bang. Belum siap pacaran apalagi menikah.”

“Wkwkwk…ya sudah, sampai ketemu hari Sabtu. Tempat dan waktunya nanti saya kabari ya!”

“Oke, Bang. Makasih….”

Dewi tersenyum penuh kemenangan lalu kembali mengambil membuka ponselnya.

“Va, ngapain?” Dewi mengirim pesan untuk Eva.

“Nonton. Kenapa?”

“Hari Sabtu jalan yok!”

“Tidak bisa. Aku ada urusan.”

“Urusan apa? tumben?”

“Adalah! Emangnya mau kemana?”

“Muter-muter makan angin aja. Suntuk!”

“Ajak yang lain aja.”

“Yang lain juga diajak, Evaaa. Maksud aku berempat seperti biasa.”

“Tidak bisa, Wi. Aku ada keperluan Sabtu ini.”

“Memangnya keperluan kamu jam berapa? Gak mungkin sampai seharian kan?”

“Belum tahu. Nanti aku kabari deh.”

“Okay…

Lagi-lagi Dewi tersenyum. “Aku harus mendapatkan bukti kedekatan kalian secepatnya sebelum acara pertunanganku digelar. Tuhan, kali ini bantu aku lagi!”

***

REVISI ULANG GUYS....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!