[Note: Baca karya ini butuh ketegaran hati dan sabar, biar apa yang ingin disampaikan di karya ini sampai pada logika. Bukan kisah remaja bucin atau cowok penguasa, kalau bacaan kamu suka yang manis-manis penuh kebucinan, bukan karya ini tempatnya. Tinggalkan tanpa memberi rate buruk sebelum membaca.
Tulisan ini murni fiksi/karangan penulis. Sila ambil yang baik, dan buang buruknya. Makasih]
***
“Woi! Cari mati lo?”
Hujan deras yang mengaburkan pandangan, memaksa sesosok pemuda turun dari kendaraan saat nyaris menabrak seseorang. Standart motor yang dikendarai diturunkan, lalu dia menghampiri satu gadis berjibab hitam yang tengah menyembunyikan wajah di balik tas yang dibawa.
“Bisa nggak kalau bosan hidup jangan nabrakin diri ke motor gue?” tanya pemuda itu penuh emosi. Kaca helm yang menutup matanya sampai dinaikkan karena geram. Namun, semarah apa pun dia, bukan jawaban yang didapat, melainkan hanya kebisuan dari sang gadis.
Suasana hujan bercampur sedikit angin menjadi pendukung kesabaran pemuda berjas hujan dan helm hitam itu sangat tipis bahkan nyaris habis. Dia ganti berdiri lalu hendak menyeret sang gadis. Akan tetapi, belum sampai tangan pemuda itu mengeluarkan tenaga, gadis di depannya mendongak hingga membuat dua pasang mata mereka bertemu.
“Myria!” teriak pemuda itu secara spontan saat melihat gadis yang hampir ditabrak tadi adalah orang yang dikenal.
“Angkasa ….” Bibir pucat gadis itu menyahut saat tahu siapa yang baru saja memarahinya. Dia mengusap wajah dan berkata lirih, “Ma−maaf, aku enggak sengaja kepleset tadi.”
“Ngapain lo di sini? Bukannya tadi ….”
“Aku ….” Myria menunduk. “Aku baru saja diusir dari kontrakan karena nunggak uang sewa beberapa bulan.”
Dua mata hitam Angkasa melebar mendengar jawaban Myria. Dia kembali membungkuk dengan tangan menumpu lutut. “Yang punya kontrakan enggak tahu apa kalau lo lagi berduka? Nyokap lo, kan ….”
Myria menggeleng. Dia memeluk erat-erat tasnya. “Orangnya bilang sudah beberapa kali ngasih tenggat waktu buat almarhum Ibu. Dan sekarang sudah enggak bisa kasih keringanan lagi. Ditambah kondisiku sebatang kara dan masih sekolah, beliau enggak yakin kalau aku bisa bayar.”
Dari balik helm yang menutup wajah, Angkasa membuang napas. Hujan masih setia mengguyur Bumi, tetapi Angkasa lupa jika butuh berteduh daripada mengobrol.
“Sekarang lo mau ke mana?” Akhirnya Angkasa sadar dan bertanya sembari membawa Myria ke bawah pohon yang daunnya cukup rimbun. Meski tidak sepenuhnya dedaunan itu melindungi mereka dari air, paling tidak sedikit mengurangi intesitas tetesan yang mengenai badan.
Sampai bawah pohon, keduanya berhenti. Angkasa menanti jawaban, sementara Myria masih berpikir. Gadis itu tidak banyak tempat untuk menjadi tujuan.
“Kasa, aku mau coba ke rumah Friska dan tinggal di sana sementara waktu. Besok atau lusa baru cari kos buat aku tinggali.”
Tidak ingin kehujanan terus menerus, Angkasa menarik Myria lagi menuju motor. “Naik! Gue antar lo sampai tempat Friska.”
Bukannya menurut, Myria justru memperhatikan tangan yang dipengangi Angkasa terus menerus. Ketika kesadaran kembali utuh, buru-buru dia menyentak tangan pemuda sekelasnya itu.
“Oh, sorry.” Angkasa turut menyadari apa yang diperbuat. “Gue enggak maksud mau lakuin hal aneh-aneh sama lo.” Demi meyakinkan Myria, Angkasa sampai mundur dua langkah. Kemudian, pemuda itu hendak membuka jas hujan yang sejak tadi dikenakan.
Melihat tindakan Angkasa, Myria buru-buru menyergah, “Jangan dilepas, Kasa! Pakai kamu saja. Aku sudah telanjur basah kuyup.”
Tangan Angkasa berhenti. Dia lihat wajah Myria yang tengah berpaling. Kemudian, tak banyak bicara,pemuda itu kembali membenarkan ritsleting jas hujannya ke atas.
Rintik hujan masih menemani perjalanan dua pelajar kelas tiga SMA itu. Myria di belakang terus menunduk agar air tidak terlalu sering mengenai wajah dan mata. Dua indra penglihatannya sudah pedih karena terlalu banyak menangis dan tepercik air sedari tadi.
“Gue enggak tahu rumah si Friska!” teriak Angkasa dari depan. Dia pelankan kembali laju kendaraan untuk mendengar jawaban Myria.
“Di gang depan situ. Ini masih 200 meter, nanti belok kiri.”
Jawaban sudah didapat. Angkasa diam lagi dan fokus mengendalikan tuas gas motornya. Pemuda itu memang tidak banyak bicara selama satu tahun terakhir setelah sadar dari koma. Angkasa yang dahulu hobi basket dan balapan, kini tak pernah lagi terlihat menjalani aktivitas tersebut. Di kelas, dia banyak diam dan tidur saat jam kosong.
Sampai di ujung gang yang dimaksud Myria, Angkasa berhenti. Dia matikan mesin dan menarik standart kendaraan menggunakan kakinya. “Gang ini?”
“Iya. Terima kasih, Kasa.” Myria berkata sembari turun dari motor secara perlahan. Pakaian yang basah kuyup mengharuskan tangannya memeluk badan sendiri. “Kamu bisa pulang sekarang. Enggak lupa jalan, kan?”
Angkasa masih terdiam. Diamnya yang sangat misterius karena bibir di baik helm tak tampak, sementara mata terus memandang intens. Entah apa yang sebenarnya pemuda itu pikirkan.
Myria tentu tidak nyaman akan perlakuan Angkasa. Gadis 18 tahun itu mendongak sembari mengusap wajah. ”Eum, Kasa, aku akan membayarmu nanti kalau sudah masuk sekolah.”
Kedua alis Angkasa langsung naik bersamaan saat mendengar penuturan Myria. “Lo pikir gue tukang ojek?”
Makin salah Myria menghadapi pemuda seperti Angkasa. Dia tidak paham mengapa cowok satu itu terus memperhatikan tanpa menyampaikan sesuatu. Jadi, jangan salahkan Myria jika mempunyai pikiran perkara timbal balik karena sudah ditolong. “Terus apa yang kamu mau? Kenapa enggak buruana pergi?”
“Gue tunggu lo sampai masuk rumah Friska.”
“Hah? Kenapa? Ini benar, kok, rumah dia.”
“Bawel amat lo. Buruan, gih!”
Hampir saja Angkasa turun dari motor dan hendak mengantar Myria ke depan pintu, tetapi gadis itu lebih cepat tanggap dan segera berjalan lebih dahulu.
Pintu berbahan kayu yang sudah usang itu diketuk Myria beberapa kali, tetapi belum juga ada jawaban. Dia tidak menyerah dan berusaha lagi mengetuk diselingi salam. Kadang-kadang pula Myria menoleh ke belakang untuk melihat Angkasa dari tempatnya. Ternyata benar, cowok itu tidak beranjak sedikit pun.
“Pulang saja.” Myria berbicara pelan seperti berbisik sembari menangkupkan dua tangan ke samping mulut berusaha memberi isyarat pada Angkasa. Dia tidak tega melihat teman sekelasnya itu berdiam diri di bawah guyuran hujan meski tersisa gerimis kecil. “Kasa, pulang saja sana.”
Bukan menanggapi permintaan Myria, Angkasa malah duduk tegak dan memalingkan wajah. Dia menatap lurus ke depan guna mengabaikan gadis yang masih berdiri di depan pintu itu.
“Ih, cowok ini keras kepala.” Myria mengomel sendiri. Dia kembali mengetuk pintu secara hati-hati dan untungnya ada tanggapan dari dalam.
“Myria.” Satu gadis berkaus panjang dan berjilbab instan membuka pintu seiring wajahnya yang kaget. Entah kaget karena sahabatnya datang tanpa kabar lebih dahulu atau karena kondisi Myria yang sangat kacau.
“Friska, aku ….”
“Masuk, My. Enggak usah ngobrol dulu.” Friska menarik Myria secara spontan. Bahkan, dia tidak melihat kondisi sekitar. Myria yang baru saja hendak mengucap selamat tinggal pada Angkasa, alhasil tidak sempat melakukan itu.
Angkasa sendiri telah melajukan motor kembali. Dia harus segera ada di rumah sebelum petang datang. Hujan mulai reda sepanjang jalan sehingga tidak menyulitkan Angkasa berkendara.
“Waalaikumussalam. Kasa, kenapa baru pulang? Mama khawatir. Sudah berapa kali menelepon, tapi tidak kamu jawab.”
Pintu ruang tamu baru saja tertutup, bibir juga baru selesai mengucap salam, tetapi pertanyaan demikian sudah menyambut Angkasa. Pemuda itu tidak kaget sedikit pun dan tetap melanjutkan langkah menuju orang yang tadi bertanya.
“Aku sudah pamit tadi siang, Ma,” jawabnya sambil mencium tangan sang ibunda.
“Kamu seharusnya bisa pulang sebelum hujan. Lihat dirimu, pasti dingin, kan? Belum lagi jalanan basah dan licin. Itu rawan, Nak.”
“Ma, aku berkendara hati-hati sekarang. Kejadian itu sudah satu tahun lebih, tapi Mama masih enggak percaya sama aku?”
“Tinggal kamu putra Mama satu-satunya, Kasa. Mama tidak ingin hal buruk itu terulang lagi.”
.
......................
“Mama jangan khawatir, aku pasti baik-baik aja, Ma. Sudah, ya, aku mau mandi.”
Belum selesai sang ibunda bicara, Angkasa lebih memilih menuju kamar. Dia harus bersih-bersih setelah hampir setengah hari berada di bengkel yang penuh asap kendaraan atau kotoran lain. Menjadi siswa tingkat akhir di sekolah SMA, tidak membuat Angkasa sibuk belajar. Dia masih sering mondar mandir ke bengkel saat hari libur.
“Tu cewek baik-baik aja, kan?” Baru saja meletakkan ponsel di meja belajar, Angkasa teringat Myria. Tidak biasanya dia peduli akan orang lain sampai demikian. Namun, entah mengapa, sejak melihat wajah Myria yang bersedih tadi, ada sedikit rasa tidak nyaman di dada. “Sudahlah, nanti juga pada ribut di GC kelas.”
Air membasahi tubuh Angkasa. Dia mengguyur dari rambut sampai ujung kaki. Setiap mata terpejam saat dapat siraman, bayangan kecelakaan melintas di pikiran. Kepala Angkasa selalu dipenuhi akan kejadian tahun lalu yang mengakibatkan dirinya koma dua pekan dan hilang selera menikmati hidup setelah sadar.
Nyonya Nasita sebagai ibu tidak mengizinkan Angkasa mengendarai motor seperti dahulu apalagi balapan. Saat ditanya, beliau akan menjawab takut kejadian yang menimpa putra pertamanya, terjadi pula pada Angkasa. Hal itu makin membuat Angkasa merasa tertekan. Belum lagi, kehilangan pacar di waktu bersamaan.
Akan tetapi, menyadari kesedihan sang ibunda sejak kehilangan sosok kakak di hidupnya, Angkasa tidak pernah bisa membantah. Dia jadi penurut meski harus menelan sepi karena menjauh dari teman-teman yang satu hobi dan tidak lagi berpacaran.
“Kasa.”
Suara dari luar menyadarkan Angkasa agar segera menyelesaikan urusan. Dia matikan shower dan menyambar handuk dari gantungan. “Ya, Ma!” teriaknya dari dalam serta bergegas membuka pintu.
Ketika pintu terbuka, segelas susu telah ada di depan Angkasa. Siapa lagi kalau bukan sang ibunda yang membuatkannya.
“Ma, enggak perlu repot-repot. Aku bisa buat sendiri. Lagi pula ini masih sore, masa sudah harus minum susu?”
“Kamu pernah patah tulang, jadi apa salahnya kalau lebih sering minum susu?”
“Tapi kebanyakan laktosa juga kurang baik, Ma.”
Nyonya Nasita terdiam, tetapi tetap meletakkan gelas ke meja belajar putranya. Wanita bergaun rumah bunga-bunga itu mendekat dan mengacak rambut Angkasa. “Mama hanya khawatir padamu, Kasa.”
Angkasa mengatupkan bibir lalu mengangkat tangan dan menarik lengan sang Mama. “Ma, apa yang terjadi pada Kakak adalah takdir. Jangan terus memandang hal sebuah keburukan. Aku tahu, seberapa sakitnya Mama waktu dia pergi, tapi sekarang ada aku, Ma. Kita cuma bisa doakan dari sini.”
Setiap kali membahas mendiang putra sulungnya, Nyonya Nasita tak mampu menahan air mata. Sebanyak apa pun waktu berlalu, bumi yang dipijak berputar dan siang berganti malam, tetap saja tidak menghapus kesedihan. Kehilangan sosok keluarga adalah luka yang tidak akan pernah sembuh meski bibir sudah bisa menyulam senyum.
Angkasa mengusap pipi sang ibunda, lalu memberi senyuman lembut. “Mungkin aku enggak sehebat Kakak, tapi aku berusaha jadi anak yang baik. Mama bisa lihat, aku enggak lagi balapan sama anak-anak, kan? Mama ingin apa lagi? Aku siap buat penuhi.”
Tatapan mata setenang telaga yang diberikan Angkasa mampu menghentikan lelehan air dari mata Nyonya Nasita. Wanita itu menumpu punggung tangan putranya, lalu membalas senyum yang diterima. “Jadilah baik sesuai versimu sendiri, Kasa. Mama tidak pernah memaksa seperti kakakmu. Meski kalian lahir dari rahim yang sama, Mama tahu kalau kalian tentu berbeda.” Beliau menghirup oksigen cukup banyak. “Minum susumu dan jangan lupa nanti turun untuk makan malam.”
Pintu kamar tertutup. Angkasa bergegas meminum susu buatan ibunya. Setiap tegukan yang masuk perut, saat itu pula dia ikut menelan pilu. Sekokoh apa pun hati lelaki, tetap akan rapuh kala melihat wanita yang berharga di hidupnya menangis. Tidak terkecuali Angkasa. Dia merasakan duka mendalam setiap mata sang ibunda memandangnya.
Tidak jauh berbeda dari keadaan Angkasa yang tengah bersedih, Myria sama-sama merasakan hal demikian. Ditinggalkan satu-satunya orang yang selalu ada di hidupnya selama 18 tahun adalah luka. Dia yang biasa berbagi semua hal pada ibunya, kini tak bisa lagi. Tuhan telah menetapkan jatah hidup ibu Myria cukup sampai sang anak beranjak dewasa.
Setelah makan malam bersama keluarga Friska, Myria sibuk menyalin pelajaran yang sempat tertinggal beberapa hari lalu. Dia memutuskan untuk bersekolah besok karena takut makin tertinggal nanti. Sebenarnya, jatah cuti yang didapat dari pihak sekolah masih tersisa dua hari, tetapi Myria rasa tidak membutuhkannya lagi. Lagi pula, dia tidak ada hal yang dikerjakan.
“Kamu enggak bohong soal pertanyaanku tadi, kan, My?”
Jemari Myria berhenti menulis. Dia mendongak pada Friska yang sedang mengambil tas dari dinding. Myria bertanya, “Pertanyaan apa? Beneran, kok, aku diusir.”
“Bukan soal itu, soal … eum Angkasa. Ya, dia. Apa benar nganter kamu?”
“Iya. Aku juga enggak tahu dia dari mana. Kebetulan aja ketemu.”
Friska manggut-manggut sebagai tanda memahami pembicaraan sahabatnya. Namun, tidak cukup sampai di situ, dia kembali berujar, “Ngobrol apa sama dia?”
Pertanyaan Friska lagi-lagi membuat Myria menghentikan kesibukan belajar. Dia menggeleng. “Enggak ngobrol sama sekali. Kamu juga tahu, Fris, kalau si Kasa enggak kayak dulu. Habis kecelakaan kelas dua itu, kan, dia udah nggak banyak ngomong. Anak-anak sampai enggak ada yang berani ganggu dia kalau lagi tidur, kan?”
“Bener juga.” Friska mengetuk-ngetuk dagunya sendiri dengan telunjuk. Dia tampak berpikir atas apa yang dibicarakan bersama Myria.
“Sudahlah, ngapain, sih, bahas dia? Besok juga ketemu di sekolah.”
Tak lagi menyanggah, Friska ikut bergabung dan mempersiapkan pelajaran. Sesekali dia harus memberi penjelasan kala Myria bertanya tentang catatan yang dia tulis kemarin-kemarin. Namun, itu bukan hal sulit untuk memberi pengertian pada sahabatnya. Myria sosok yang mudah mencerna suatu hal.
Alarm ponsel berbunyi bersamaan dengan azan subuh yang terdengar. Myria tersadar secara perlahan sembari mencoba menggapai ponselnya yang ada di meja kecil dekat ranjang.
“Friska, sudah subuh. Salat,” kata Myria sembari menggoyang tubuh sahabatnya. Kemarin malam, dua gadis itu tidur terlalu larut karena banyak mengobrol selepas belajar. Alhasil, rasa kantuk belum sepenuhnya pudar saat waktunya bangun.
“Duluan aja, My.” Jawaban Friska terlontar seiring gerakannya membalik tubuh membelakangi Myria.
Melihat Friska masih keberatan bangun, Myria memilih salat lebih dahulu. Dia tinggalkan Friska dan akan membangunkannya lagi.
Saat menuju kamar mandi yang ada di belakang, secara kebetulan Myria bertemu ibu Friska. Dia menyapa, tetapi tanggapan wanita dewasa itu hanya tatapan datar. Entah itu hanya asumsi atau memang beliau kurang suka atas kedatangan Myria di rumah itu.
Diremehkan bahkan dibenci orang lain bukan hal baru bagi Myria. Dia alami hal itu sedari kecil sampai tumbuh menginjak usia jelang dewasa. Status anak pedagang kantin dan orang miskin memang menjadi penyebab orang-orang menilai sebelah mata. Bukan sesuatu yang langka di dunia ini jika yang lemah akan mudah tertindas dan sulit membela diri.
Selepas salat dan berhasil membangunkan Friska, Myria ganti bersiap ke sekolah. Hari sebentar lagi terang dan dia harus menuju tepi jalan untuk naik angkutan umum. Namun, sebelum berangkat, sarapan telah siap di meja makan.
“Myria kapan cari indekost?” Di tengah kegiatan sarapan, ibu Friska berceletuk hingga Myria dan anaknya berhenti menyuap makanan ke mulut.
“Bu, Myria masih berduka. Kenapa buru-buru cari kost? Biarkan di sini saja.” Friska yang menjawab.
“Bukan Ibu tidak mau, Fris. Tapi kamu juga tahu kalau keluarga kita ini juga tidak punya banyak persediaan bahan makanan.”
Jantung Myria berdegup mendengar itu. Makanan yang masih di mulut terasa berat untuk ditelan. Dia paham maksud ibu Friska tanpa dijelaskan.
“Bu—”
“Tante, nanti pulang sekolah, aku keliling cari indekost.” Secara cepat, Myria memotong kata-kata Friska. Meski sahabatnya mendelik dan terlihat tidak terima, tidak ada yang bisa Myria lakukan.
“Syukurlah kalau begitu. Bukan maksud Tante mengusir, tapi kamu juga tahu kalau kondisi keluarga ini tidak lebih baik dari kondisi ibumu dulu.”
Myria mengangguk dan tersenyum getir. “Aku paham, kok, Tan. Makasih sudah diizinkan menginap dan makan dari kemarin.”
.
“My, tunggu, dong!” Friska bicara setengah berteriak seiring kakinya yang melangkah tergesa. Dia dan Myria hampir telat gara-gara angkutan yang membawanya ke sekolah selalu penuh dan baru dapat setelah hampir 40 menit menunggu.
Bel pelajaran sebentar lagi berbunyi, tentu saja Myria khawatir jika dia harus terlambat dan berdiri di depan kelas disaksikan teman-temannya. Meski semua kenal, tetap saja malu.
“Buruan, Friska! Tinggal berapa menit lagi waktu kita.”
“Iya, iya. Makan apa, sih, dirimu bisa jalan secepat ini?”
Friska terus menggerutu sepanjang koridor depan kelas. Dia sampai ingin mengangkat roknya agar bisa lebih cepat lagi. Namun, beruntungnya ada Myria yang selalu mengingatkan.
Pintu kelas nyaris terjangkau, tetapi Myria masih sibuk menanggapi Friska yang terus mengoceh. Baik dirinya maupun Friska sampai tidak sadar jika dari arah berlawanan ada orang yang akan masuk pula ke kelas. Alhasil, terjadi tabrakan tanpa sengaja.
“My ….” Friska langsung diam dan menangkap Myria meski sahabatnya hanya mundur satu langkah. Dia mendongak dan hendak mengatakan sesuatu. Akan tetapi, belum sampai satu kata pun keluar dari mulut Friska, seseorang yang ada di depan sudah melenggang pergi. “Kamu nggak ngigau kemarin dianter itu cowok, My? Kamu lihat, kan, yang baru aja terjadi? Udah mau nabrak dan hampir bikin kamu jatuh, bukan minta maaf tapi justru nyelonong gitu aja? Dia waras nggak?”
“Hush! Bicara apa, sih, Fris? Udahlah, buruan masuk!” Bel berbunyi berbarengan selesainya perdebatan Myria dan Friska. Dua gadis itu segera masuk dan langsung dapat perhatian siswa satu kelas.
“Myria.” Sekelompok siswi menghampiri Myria. Salah satu dari mereka memeluk. “Kita ikut berduka atas kepergian nyokap lo. Sorry kalau enggak semua yang ada di kelas ini bisa datang ke rumah lo.”
Myria menarik diri dan mengusap sudut mata yang tiba-tiba berair. Hati gadis itu mudah tersentuh akan suatu hal. Apalagi, hampir semua siswa di kelas begitu kompak dan menyukainya. “Thanks, ya. Aku udah makasih banget ada perwakilan yang datang ke rumah.”
“No worries. Kita-kita tahu apa yang lo rasain. Yang kuat, ya,” kata siswi berambut panjang dan terikat rapi yang sejak tadi memeluk. Sikap hangatnya disambut teman lain dengan anggukan kepala.
Dapat dukungan begitu banyak dari teman-teman, semangat Myria mulai tumbuh perlahan meski bayang kepergian belum hilang.
Acara peluk-pelukan para siswi selesai saat guru masuk kelas. Myria dan yang lain segera menuju tempat duduk masing-masing.
Saat menuju kursinya, Myria bertatapan dengan Angkasa beberapa detik dikarenakan bangku mereka yang berurutan depan belakang. Baru kali ini Myria merasa canggung, sementara Angkasa tetap dengan wajah cueknya tanpa ambisi.
Satu siswa yang menjabat jadi ketua kelas memberi instruksi untuk melakukan penghormatan. Kemudian semua siswa yang lain mengikuti berdiri dan memberi salam pada sang guru.
Sebelum pelajaran dimulai, guru pelajaran Matematika itu menyampaikan belasungkawa pada Myria seperti yang dilakukan murid-muridnya tadi. Beliau menambahkan sedikit nasihat agar Myria dikuatkan dan tetap percaya takdir adalah yang terbaik.
“Diri kita ini adalah tokoh utama di kehidupan kita sendiri. Baik itu Ibu atau kalian.” Guru itu berkata sembari berdiri di tengah kelas. Kemudian, beliau melanjutkan, “Ibarat film atau series drama, kita adalah aktris dan aktor utamanya, sementara Tuhan adalah penulis skenario. Dan skenario itu berbentuk takdir. Tentu kalian tahu kalau sebuah cerita pasti akan bertemu kata tamat, dan itu sama halnya tentang kehidupan kita yang akan bertemu kematian.”
Semua siswa terdiam dan menaruh perhatian saksama pada guru berjilbab cokelat pagi itu. Tidak ada yang berani menyanggah atau bertanya sebelum dipersilakan.
“Selama perjalanan cerita dari bab pembukaan sampai bab ending, ada banyak kejadian yang terangkai. Baik itu masalah, kebahagiaan, atau hal lain. Dan itu yang dinamakan bumbu kehidupan.
Hari ini satu dari kalian memiliki sesuatu, belum tentu besok apa yang kalian miliki masih ada. Sebaliknya, hari ini kalian kehilangan, mungkin akan terganti dengan hal yang lebih bagus dari apa yang telah hilang kemarin.”
Guru Matematika itu memutar badan dan mengambil spidol, lalu tangannya bergerak menggores tinta di papan tulis. Beliau menuliskan kalimat sesuai ucapannya: “Tetaplah berusaha hidup sebaik-baiknya, meski masalah atau apa pun terasa berat bagimu. Karena sebenarnya, kamu adalah orang pilihan.”
“Kalian tahu apa yang Ibu tulis di situ?”
Siswa perempuan yang tadi memeluk Myria sekaligus menjabat sebagai sekretaris kelas mengangkat tangan. Dia menjawab, “Apakah pilihan yang Ibu maksud adalah kita ini mendapat musibah atau kesenangan, semata-mata Tuhan sudah tahu kadar kemampuan makhluk-Nya?”
“Benar!” Ibu guru menyahut cepat hingga fokus siswa kembali padanya. “Kita orang yang dipilih Tuhan untuk menerima musibah ataupun kebahagiaan dari-Nya. Kapasitas kita pasti sesuai atau melebihi beban yang ada. Hanya saja, semua itu berproses dan tidak instan. Di sinilah titik terpenting manusia, bisa bertahan atau gagal karena menyerah.”
Semua siswa mengangguk-angguk. Ada yang termenung sepintas dan ada pula yang melempar pandang pada teman sekitar. Mereka terdiam, termasuk Angkasa. Pemuda itu tiba-tiba memutar ingatan dan menelaah hidupnya setahun belakangan setelah menginjak bangku sekolah tingkat akhir.
Kehilangan kebebasan adalah salah satu beban yang Angkasa pendam di dada. Dia tak sampai hati ingin menyampaikan penolakan atas permintaan ibunya.
“Oke, pembicaraan kita sampai sini. Buka buku kalian di bab geometri. Kita akan belajar itu hari ini.”
“Kasa, buka buku lo. Malah ngelamun!” Cowok berparas rupawan yang ada di samping Angkasa menyenggol. Dia sampai geleng-geleng melihat ekspresi teman sebangkunya sedikit kaget.
Jam terus bergulir. Setiap pergantian guru dan mata pelajaran, Myria selalu dapat ucapan belasungkawa. Gadis itu berusaha menanggapi dengan senyum meski hati kembali menangis.
Ketika bel pulang berbunyi, semua siswa bersorak riang. Ada yang mengangkat tangan, menghela napas, atau tertawa melihat teman yang lain bertingkah konyol.
Akan tetapi, kekonyolan dan seramai apa pun kelas, tetap tidak menarik bagi Angkasa. Entah ke mana selera hidup cowok itu sebenarnya.
“My, serius kamu mau muter-muter sekarang? Kita ke rumah aja, deh. Aku nanti bilang sama Ibu lagi.”
Saat tengah merapikan buku-bukunya, telinga Angkasa menangkap obrolan Friska dan Myria. Dia berhenti bergerak untuk menajamkan pendengaran.
“Enggak perlu. Aku bisa cari kost sekitar sini. Jangan khawatir, aku udah gede kali, Fris.”
“Tapi, My ….”
Telunjuk Myria sudah menempel di bibir Friska. Alhasil, sahabatnya itu terdiam. Sementara itu, Friska mengembuskan napas pasrah dan segera membereskan semua buku.
Angkasa di belakang masih memperhatikan, tetapi fokusnya teralihkan oleh satu dari beberapa temannya yang datang. “Ka, lo ikut kita nongkrong nggak?”
“Ke mana?”
“Si Rion menang balapan kemarin malam, dia mau traktiran. Gimana?”
Penglihatan Angkasa bergeser pada pemuda di paling ujung kiri yang akan menraktir. Dia diam, tetapi tidak memberi jawaban dan langsung berdiri sembari menenteng ranselnya. “Enggak dulu. Gue cabut sekarang.”
“Tapi, Ka! Kasa! Woi, kali in … argh, itu anak udah gak seru banget hidupnya.” Pemuda yang mengajak itu mengomel. Bukan hanya kali ini ditolak, tetapi dia masih belum terbiasa.
Myria yang masih duduk ikut memperhatikan kepergian Angkasa. Sebenarnya sikap cowok itu tidak ada yang berbeda dari hari-hari sebelumnya. Namun, entah mengapa, sejak ditolong Angkasa, ada hal yang menarik perhatian.
***
Friska telah pulang sendiri ke rumahnya, sementara Myria masih berkeliling mencari tempat tinggal. Hari nyaris gelap, tetapi belum juga menemukan indekost yang pas sesuai keuangan dan jarak tempuh ke sekolah. Beberapa menit lagi azan magrib berkumandang, Myria berniat menuju masjid terdekat.
Baru mengayunkan kaki beberapa kali, langkah Myria terhenti lantaran ada sebuah motor sport mengerem mendadak di depannya. Dia sampai mundur dan siap lari andai itu orang jahat.
“Napa muka lo tegang gitu?” tanya si pengendara motor sembari membuka kaca helm.
“Kasa!” Mata Myria yang bulat makin membulat saat dia kaget. “Ngapain, kamu ….”
“Naik!” perintah Angkasa tanpa menjawab pertanyaan.
“Hah? Mau ke mana?”
“Naik aja, buruan! Udah mau malem, lo mau tidur di emperan toko kayak gelandangan?”
.
.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!