Ini adalah kisah tiga bersaudara sejak kecil, mereka memang hidup sebatang kara. Sejak bayi mereka ditemukan di sebuah rumah Dan memiliki orang tua asuh, hanya mereka tinggal terpisah di pinggiran kota Jakarta. Sedangkan orang tua asuh mereka berada di kota Tasikmalaya.
***
"Angga hari ini kita pulang, Kakak tau kan jalannya sepi, kita kan bertiga, pamali! Nanti yang ke empat adalah setan, ih serem!" Ucap Aldo dengan bergidik merinding. Angga hanya tersenyum tipis, dia tidak menghiraukan ucapan kedua sodaranya itu. Iya walaupun mereka bukan saudara kandung, tapi mereka bertemu sejak bayi, hanya Angga lebih tua dari mereka. Mereka berjalan menyusuri jalan setapak yang dingin, sepi dan gelap, sementara Aldo dan Dika, berjalan dengan memegang baju belakang Angga, dengan melirik ke arah kanan dan kiri.
Angga menjadi sedikit risih, ia berbalik ke arah belakang dengan menatap keduanya. Keduanya hanya tersenyum gugup dan Angga mulai mengatur jarak beberapa meter.
"Ya ampun, kalian ini lelaki harus berani, mana ada hantu, coba mana ada hantu!" Tiba-tiba sesuatu jatuh tepat di atas badan Angga, hingga membuatnya terjatuh.
Mereka berdua terkejut dan berteriak dan segera mendekati Angga, mereka menghidupkan senter ke arah Angga. Ternyata di atas tubuh Angga ada seorang gadis. Mereka langsung berteriak.
"Kun ... Kun ... kuntilanak ..." Kompak membuat, Angga syok, ia berpikir kenapa bisa ada kuntilanak tepat jatuh di atas tubuhnya.
Namun, Aldo dan Dika malah bersembunyi di balik pohon besar dengan ketakutan.
"Hei, kalian berdua, tolong...! Ambil gadis ini?"
Mereka hanya tersenyum takut, dan menggelengkan kepalanya.
"Ya Allah, kenapa kedua orang ini, tidak di ambil hantu saja! Oke, kalau begitu jatah jajan kalian akan, Kakak kurangi selama satu minggu!" Mereka langsung berlari ke arah Angga. Ternyata mereka lebih takut jika tidak mendapat jatah jajan untuk membeli kouta dari pada hantu.
"Ini, hantunya pingsan kok gak gerak dari tadi! Atau ngilang gitu, kan hantu biasanya ngilang!" Aldo bingung.
"Coba kamu pegang manusia bukan!" Ucap Dika dengan menggaruk kepalanya.
Angga mulai naik darah, ingin rasanya ia menelan mereka berdua. Mendengar perdebatan mereka berdua yang tidak ada habisnya.
"Aldo, Dika ...!" Wajah Angga mulai memerah. Bahkan nada bicaranya sudah berubah menjadi tinggi.
"Ayo, angkat!" Mereka tersenyum tipis dengan penuh cemas.
"Tapi anget, kalau hantu mana mungkin anget begini!" Aldo menggagukan kepalanya.
Mereka berdua membaringkan gadis itu, wajahnya tertutup oleh rambutnya yang panjang.
Angga mulai terduduk, ia menarik nafas dalam-dalam, karena sedikit sesak setelah tertindih oleh gadis itu. Badannya seketika seperti remuk. Angga kesal mendengar percakapan keduanya yang tidak berani membuka wajah gadis itu yang tertutup rambut.
Angga mendekati gadis itu dengan membuang rasa takutnya. Ia mencoba untuk membuka wajah gadis itu yang tertutup rambut. Angga membukanya perlahan, hingga membuat kedua saudaranya merasa deg-degan.
"Cantiknya ...!" Ucap mereka berdua serentak. Angga hanya terdiam membisu ia berpikir siapa gadis cantik ini.
"Sini biar aku aja yang gendong!" Aldo mendekati. Dika menghadangnya.
"Eist ... tunggu, biar aku saja ya!" Mereka berdebat, apapun selalu menjadi perdebatan untuk mereka.
Angga tidak menggubris mereka, ia menggendong gadis itu, Aldo dan Dika mulai mengikuti dari belakang.
Setelah sampai di rumah, Angga menidurkan gadis itu di ranjangnya. Angga tidur di ruang tamu, sedangkan Aldo dan Dika tidur di kamar masing-masing. Dan gadis itu masih pingsan.
Setelah pagi, gadis itu masih tertidur pulas. Angga lebih awal bangun ia selalu lebih awal ke mesjid di subuh hari. Aldo dan Dika juga sudah terbiasa untuk shalat tepat waktu. Setelah mereka pulang dari mesjid, mereka berdua ke kamar untuk mengecek apakah gadis itu sudah bangun. Mereka duduk menatap gadis itu.
"Kalau hantu cantik kaya gini mah mau?" Aldo tiba-tiba berbicara sambil tertawa kecil. Angga menatapnya dengan sinis.
"Iya, maaf!" Aldo sedikit merengutkan keningnya. Tidak lama gadis itu terbangun dari tidurnya, ia terlihat sangat cantik, rambutnya tergerai indah, kulitnya putih mulus, gadis itu menguap.
Saat ia menguap, ia menutup mulutnya. Dan tersadar ada yang menatapnya, tiga pria tampan. Ia langsung menjerit keras.
"Tenang, hantu cantik jangan buat kebisingan, di sangka ada sesuatu!" Dika menenangkan.
"Kalian siapa?" Gadis itu bingung.
Aldo menjelaskan semua kejadian semalam.
"Sebenarnya aku bukan hantu!"
"Terus apa?" Timpal Aldo.
"Aku adalah peri langit!" Mereka bertiga tertawa geli, merasa konyol mendengar cerita gadis itu.
"Ih, gak lucu banget sih!" Gadis itu cemberut.
Angga merasa bersalah, ia mulai menjelaskan.
"Oke, maaf! Tapi, di zaman sekarang ini mana ada peri, kamu aja tiba-tiba saja jatuh dari langit, kami pikir kamu itu ...!"
"Hantu, maksudnya!" Gadis itu menjawab.
"Gini aja, gimana supaya kami ini bisa percaya dengan ucapan kamu! Tapi, memang tidak masuk akal seorang gadis tiba-tiba jatuh dari langit, dan hampir membuat tubuhku retak!" Angga berusaha untuk menegaskan.
"Aku akan buktikan kepada kalian semua, aku ini adalah peri awan! Namaku Nilam, aku bisa mencium aroma Kematian, dan juga bisa melihat sebuah kejahatan, aku juga bisa mengendalikan awan, saat aku sedang sedih, marah dan juga bahagia. Aku juga tidak tahu kenapa bisa terjatuh, ingatanku hilang sebagian, aku perlu waktu untuk mengingat kenapa aku bisa sampai terjatuh ke bumi, yang katanya menyeramkan!" Mereka hanya bingung.
"Berasa di kasih dongeng sama emak di kampung!" Aldo dan Dika berpelukan karena merindukan orang tua mereka di kampung.
Angga hanya tersenyum tipis melihat tingkah laku mereka, Angga bergegas untuk bersiap bekerja, ia adalah seorang detektif swasta di Jakarta. Prestasinya sudah banyak, sehingga banyak para penjahat yang mengincarnya. Nilam mulai cerewet, dan terus bertanya banyak hal kepada Angga.
"Mau kemana?"
"Ke kantor!"
"Kantor itu apa?"
"Tempat orang bekerja"
"Oh, begitu. Apa aku boleh ikut?"
"Kalau kerja mana bisa ikut? Apalagi pekerjaan kak Angga sebagai detektif!" Timpal Aldo
Nilam hanya terdiam, ia bingung, mengapa bangsa manusia sangat berbeda dengan bangsa peri.
"Sudahlah, suatu saat nanti, kamu juga pasti akan mengerti, semua butuh proses"
Nilam tersenyum manis. Angga pergi, dengan menggunakan mobil. Angga memanggil Dika dan Aldo, karena tas nya tertinggal di dalam kamar. Nilam sepertinya tahu jika Angga membutuhkan bantuan, ia langsung mengambil tas Angga. Ia berlari ke arah pintu mobil.
"Kamu, emang mereka kemana?" Tanya Angga heran.
"Itu, sepertinya mereka sedang siap-siap di dalam kamar, tadi aku dengar, mereka berdua akan sekolah!"
"Emang, kamu bisa mendengar dari kejauhan!" Nilam hanya tersenyum, dan menggagukan kepalanya.
"Kak, kami sudah siap!" Mereka naik ke arah mobil.
Angga tersenyum tipis dan mengambil tas hitam itu dari tangan Nilam. Nilam langsung terkejut setelah bersentuhan dengan kulit Angga. Ia langsung berbicara.
"Awas, hati-hati ada seseorang yang ingin berniat jahat kepadamu hari ini, ia menggunakan pakaian serba hitam, ia datang berpura-pura untuk di antarkan pulang, aku mohon percaya padaku!" Semua orang terkejut, tapi tentu saja mereka mengira itu hanya lelucon.
"Sudah, jangan khawatir, aku ini seorang detektif, aku bisa menjaga diriku, yang harusnya khawatir adalah kamu, jangan keluar rumah, apalagi jika ada seseorang yang tidak dikenal, jangan buka pintu, oke. Sekarang kamu masuk" Dika dan Aldo melambaikan tangannya dan mereka pergi meninggalkan Nilam. Sedangkan Nilam hanya terdiam, penuh rasa cemas. Ia bahkan berniat untuk mengikuti Angga.
"Sepertinya, kekuatanku sudah mulai pulih, aku bisa mencium aroma ke arah mana, Angga pergi!"
Angga selesai mengantarkan kedua saudaranya ke sekolah. Setelah sampai ia melihat berkas perkara pembunuhan berantai terhadap satu keluarga.
"Sepertinya, ada yang janggal dalam foto ini!" Angga menatap sebuah foto jadul yang berada saat pembunuhan berlangsung.
Sebuah pintu diketuk.
Tok ... tok ... tok ...
"Iya, masuk"
"Ini, maaf pak ada seorang gadis mencari bapak?" Angga bingung, siapa yang mencarinya.
"Iya, suruh masuk!" Ternyata Nilam.
"Kamu, kenapa kesini!" Angga terbangun dari duduknya, dan menghampiri Nilam.
"Hmm ... aku khawatir sama kamu! Makanya aku nyusul"
"Ya ampun! Aku, kan udah bilang, aku bisa jaga diri. Kamu kok bisa tahu arah kesini?" Tanyanya lebih heran lagi.
"Kan, aku udah bilang, aku bisa mencium aroma kejahatan, dan juga bisa tahu tempat orang yang perlu aku ikuti, gimana aku benarkan seorang peri?" Ia mendekati Angga dengan senyuman manis.
Angga menutup mulutnya.
"Stt ... nanti kedengaran orang! Oke, aku percaya sama kamu. Sekarang kamu pulang ke rumah, bisa kan? Aku pulang pasti malem, sedangkan sekarang baru jam sembilan pagi. Aku nyuruh supir disini buat anterin kamu!"
"Tapi, aku mau sama kamu? Aku khawatir sama kamu?" Mulai memelas.
"Aduh, gak bisa, udah ya, aku janji aku pulang dengan selamat ya. Sekarang kamu pulang dulu, siapin makan siang buat Dika dan Aldo, aku nanti bawa makanan malam buat kalian" Angga berusaha untuk menyakinkan.
"Hmm, ya sudah! Aku bisa pulang sendiri!" Nilam tampak kecewa.
Angga menyuruh salah satu anak buahnya untuk mengantarkannya pulang. Saat sore, Dika dan Aldo pulang.
"Kalian sudah pulang? Sini duduk!" Mereka berdua duduk mengikuti arahan dari Nilam.
"Emang ada apa?" Tanya Aldo heran.
Nilam menyodorkan sebuah buku dan pensil.
"Kami di suruh menulis?"
Nilam menggelengkan kepalanya dengan tersenyum manis. Ia mulai membuat gambar makanan. Tiba-tiba saja gambar tersebut berubah menjadi nyata. Dika dan Aldo tersenyum kagum. Mereka berdua melompat kegirangan.
"Nah, ini baru bukti kalau kamu adalah peri sungguhan!" Dika langsung antusias. Mereka berdua mencoba untuk memegang makanan tersebut.
"Wow, keren! Ini asli, coba?" Aldo menyuruh Dika untuk memakannya.
Meskipun ragu, Dika tetap mencobanya dengan hati-hati. Saat mencoba ia langsung terdiam membisu.
"Gimana Dika, enak gak? Loe, gak keracunan kan?" Aldo menepuk pundaknya.
"Wah, sumpah ini, kue enak banget!" Aldo langsung mencobanya dan mereka tertawa bersama.
"Gimana bisa makanan seenaknya ini! Tapi, ngomong-ngomong kok bisa buat gambar kue di bumi, gimana ceritanya?" Dika merasa heran.
"Aku, tadi lihat buku? Ada gambarnya, kalau di dunia peri, semua wajib bisa menggambar agar bisa menggunakan sihir. Seperti ini, tadi aku lihat, aku menyentuhnya dan menyerap semua ilmu yang ada dalam buku tersebut!" Dika dan Aldo saling bertatapan dengan wajah penuh rencana.
"Berarti, kamu pinter dong! Gimana, kalau kamu sekolah sama kita? Aku, yakin kita pasti bisa jadi pinter berkat kamu?" Ucap Aldo dengan antusias.
"Iya, sekolah. Sepertinya umurmu juga tidak beda jauh dengan kami?" Dika dengan yakin berbicara seperti itu. Karena, wajah Nilam yang babyface.
"Emang umur kalian berapa?" Nilam penasaran.
"Umur, kita ya pasti samalah, enam belas tahun!" Mereka berdua menjawab dengan penuh keyakinan.
"Hmm, umurku sudah seratus tahun!"
Mereka berdua langsung tersedak dan bengong.
"Apa?" Mereka tidak percaya.
"Ah, pasti bercanda nih? Gak mungkin! Masa, kamu nenek-nenek! Tapi, gak ada ciri-cirinya tuh?" Dika merasa tidak yakin dengan pernyataan Nilam.
"Peri kan memang abadi, kami hanya bisa mati, jika kami di panah oleh perak. Dan panah perak putih hanya dimiliki oleh para pemburu. Tapi, wajah kami tidak akan berubah?"
Mereka hanya melenan ludah, mereka merasa tidak percaya, namun bukti bahwa ia seorang peri telah mereka lihat.
"Tapi, sudahlah tidak jadi masalah! Yang penting kamu bisa sekolah dengan kami?" Dika terus memaksa.
"Aku mau, tapi, gimana caranya?"
"Tenang, biar kami yang atur! Asal kamu mau?" Dika dan Aldo tersenyum lebar.
"Akhirnya kita bisa pinter lewat Nilam" Mereka berdua berbisik bahagia.
****
Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam. Nilam menunggu dengan cemas. Sementara Aldo dan Dika bermain game online.
Sementara Angga masih sibuk dengan pekerjaannya.
"Pak, kami pulang duluan ya?" Beberapa staf kantor mulai pulang.
"Iya, sebentar lagi saya juga pulang!"
Angga begitu sibuk dengan pekerjaannya hingga ia lupa waktu
"Aku, masih heran dengan kasus pembunuhan berantai satu keluarga ini, siapa sebenarnya pembunuhnya? Ya ampun, ternyata ini sudah jam sebelas malam, sebaiknya aku pulang" Angga bersiap-siap untuk pulang. Angga menaiki mobil dengan kecepatan sedang. Tiba-tiba saja, mobilnya mogok ditengah jalan yang sepi. Angga keluar dari mobilnya dan mengecek mesin.
"Sepi, mana ada bengkel! Montir juga pasti tidak ada jam segini?" Angga memegang kepalanya, ia bingung harus bagaimana. Tiba-tiba seseorang menepuk pundaknya.
"Pak, maaf. Bisa saya bantu?" Angga sempat terkejut dan berbalik badan.
'Kenapa, firastku tidak enak! Apakah yang dikatakan Nilam benar? Jika ada seseorang yang datang padaku, dengan memakai baju serba hitam, tapi nampaknya sudah tua, bagaimana bisa dia berbuat jahat padaku!' Angga berpikir sejenak.
"Pak, gimana? Saya, tidak minta bayaran, yang penting bisa membantu bapak?" Bapak misterius itu menawarkan dengan wajah yang sangat menyakinkan. Angga merasa tidak enak jika harus menolak permintaan bapak tersebut.
"Baiklah, maaf sedikit merepotkan!"
"Tidak apa-apa. Pak Angga kan, detektif yang terkenal itu, jadi wajar saja jika saya membantu bapak!"
"Oh, bapak tahu tentang saya?" Angga sedikit membantu memberikan tang dan obeng.
"Tentu saja, saya tahu, semua tentang bapak"
"Jangan panggil saya bapak! Panggil saja saya, Angga" Bapak itu hanya tersenyum, dan menutup bagasi mesin.
"Sudah pak! Silahkan naik lagi hati-hati!" Bapak itu tersenyum, Angga merasa tidak enak.
"Terimakasih banyak atas bantuannya! Mari saya antar pulang, rumah bapak dimana? Angga merogoh kantong, dan memberikan uang dengan jumlah tiga ratus ribu!" Bapak itu tampak menolak dengan mendorong tangan Angga yang menyodorkan uang.
"Tidak usah, saya ikhlas membantu bapak. Oh, tidak usah, rumah saya dekat sini, bisa jalan kaki, terimakasih banyak pak" Bapak itu berjalan.
Saat Angga mengejar bapak itu, tiba-tiba saja ia diserang , oleh bapak tersebut. Angga dipukul dengan kayu di bagian kepala depan. Angga berbalik melakukan perlawanan dengan memukul wajahnya.
Bapak itu langsung kabur, saat salah satu rekan kerja Angga kebetulan lewat.
"Pak, gimana? Tidak apa-apa kan?" Roni adalah teman setia Angga saat bertugas, mereka seperti saudara kandung.
"Tidak!" Angga memegang kepalanya yang sedikit terluka.
"Mau, saya antar?" Angga hanya tersenyum tipis.
"Tidak, ini cuma lecet sedikit! Kamu, pulang saja, ibumu pasti sudah menunggumu, saya baik-baik saja!" Angga berjalan menuju mobilnya dan pergi tanpa menghiraukan panggilan Roni, karena Angga tidak ingin merepotkan orang lain.
"Pak, pak ..! Yah, dia pergi" Roni pun melanjutkan perjalanan pulang.
Angga terdiam di teras rumah, ia berpikir kenapa, bapak itu tiba-tiba saja menyerangnya, padahal sebelumnya tidak terjadi perdebatan atau hal yang lain. Dan benar saja, perkataan Nilam menjadi kenyataan.
Nilam merasa gelisah, ia keluar untuk mengecek apakah Angga sudah kembali. Ia mengintip dari balik jendela, ia melihat Angga yang sedikit termenung di kursi teras.
Angga bergegas menuju kantor bahkan ia tidak sempat sarapan pagi, Nilam tidak menyadari bahwa sesuatu telah terjadi hingga Angga bergegas pergi.
"Dika ... lihat Angga?" Dika yang sedang memakai sepatu menggelengkan kepalanya.
"Aldo, kayanya Angga berangkat lebih awal, aku mau ke kantornya?" Aldo hanya tersenyum.
"Nilam, besok kan kamu mau sekolah jadi hari ini setelah pulang sekolah, kami akan mengantarkan kamu untuk membeli perlengkapan sekolah! Udahlah, jangan mikir yang aneh-aneh deh! Kak Angga itu sudah besar, apalagi dia seorang detektif, pasti bisa menjaga dirinya sendiri!"
"Iya, betul! Sebaiknya kamu, tunggu kami pulang sekolah!" Dika tersenyum lebar dan bergegas menghidupkan mesin motornya untuk membonceng Aldo. Mereka berdua berangkat ke sekolah. Sementara Nilam merasa bosan, akhirnya ia memutuskan untuk mendekorasi rumah.
*****
"Pak, kami sudah menemui beberapa saksi tapi sepertinya belum ada alibi yang kuat atas pembunuhan ibu dan anak ini!"
Angga memasuki apartemen tersebut, di ruangan tersebut terlihat sangat berantakan, bahkan air yang menggenang memenuhi sudut ruangan, ada beberapa barang yang sudah bercampur dengan darah.
"Siapa yang tega membunuh dengan cara sesadis ini!" Angga bertanya lagi kepada anak buahnya.
"Begini pak, ada anaknya yang masih SD seorang gadis perempuan, ia yang pertama kali pulang ke apartemen pada pukul lima sore hari, bapak bisa menanyakan kepada anak tersebut!" Angga mengikuti arahan tersebut dan langsung menemuinya. Anak itu terlihat sangat shock.
"Bagaimana, keadaan kamu?" Anak itu hanya tersenyum, dengan menatap Angga, ia berbicara.
"Aku, tidak apa-apa! Aku, tadi sedang kerja kelompok, biasanya aku pulang siang hari, saat pulang Ibu tidak membuka pintu, padahal jelas suara televisi menyala, aku menggedor pintu tetap saja Ibu tidak membukanya!"
"Adik manis, belum di berikan pertanyaan sudah menjawab dengan jelas, lalu bagaimana kelanjutan ceritanya?" Ucok sangat antusias untuk menanyakan beberapa hal kepada anak tersebut. Ucok adalah anak buah kepercayaan Angga, yang usianya lebih tua dari Angga, sehingga mereka seperti saudara.
"Iya, tadi aku langsung menggedor pintu Tante aku, yang dekat dengan apartemen ku, Tante langsung keluar, dan ia berusaha untuk membuka pintu, namun tidak bisa. Lalu, Tante menelpon Ayah!" Gadis itu memang cerdas ia berani berbicara kebenaran meskipun hatinya sedang sedih.
"Sudah, cukup, nanti kalau ada yang perlu ditanyakan, boleh bicara lagi?" Ucok mengusap kepalanya. Anak itu tersenyum.
"Boleh, asal ada Om ganteng ini!" Ia menunjuk ke arah Angga. Angga, tersenyum, dan menggendong anak tersebut.
"Iya dong cantik! Om, pasti ada buat kamu! Kamu kelas berapa emangnya pinter banget!"
"Kelas tiga Om! Tapi, aku pinter kan! Namaku, Aira aku, sayang Ibu dan adikku!" Wajahnya sedikit mulai sedih.
"Ouh, pinter banget sih! Jangan menangis ya, nanti Om kasih ice cream oke!"
Gadis lugu itu hanya tersenyum dengan anggukan kecil. Wajahnya terlihat sangat sedih ia kehilangan sosok orang yang di cintai.
*****
"Nilam, kamu sudah siap-siap belum?" Dika dan Aldo bertanya dari kejauhan.
"Sudah, ayo berangkat!" Nilam menggunakan dress biru selutut yang dibelikan oleh Angga, Aldo dan Dika terpesona.
"Masya Allah cantiknya...!" Mereka berdecak kagum, dengan menggelengkan kepalanya.
"Hey, ayo ... kok malah bengong sih!" Nilam mengibaskan tangannya.
Mereka menaiki taksi. Karena di motor tidak mungkin bertiga. Setelah sampai di butik, mereka turun. Nilam yang pertama kali melihat sebuah toko yang penuh dengan baju, ia segera berkeliling penuh antusias.
"Tuh kan! Gue bilang juga apa? Pasti begini nih!" Dika melirik Aldo, dan mereka mengejar Nilam. Nilam melirik baju, dua orang pelayan mendekatinya, dengan memilihkan baju-baju yang bagus. Dika dan Aldo menghampiri dengan nafas yang tersengal-sengal.
"Walah ... capek! Jangan jauh-jauh dong!" Dika menghampiri dengan tersenyum manis kepada para gadis itu.
"Ini, Mbak! Kami mau mencari perlengkapan sekolah, anak SMA, bisa bantu kami?" Kedua pelayan itu tersenyum, sambil memberikan arahan. Mereka memilih baju dan perlengkapan sekolah. Setelah selesai mereka keluar toko, saat keluar pintu, beberapa orang menabrak mereka, sehingga barang-barang yang mereka bawa terjatuh. Tapi, remaja itu tidak peduli bahkan mereka terus saja berjalan.
"Woy ... gak ada akhlak amat! Orang susah bukannya bantuin, malah pergi gitu aja!" Aldo bergurutu dengan membereskan barang-barang.
Sedangkan, Nilam sedikit bengong, ia terus menatap ke arah remaja tersebut.
"Woy, malah bengong!" Dika mengibaskan tangannya.
"Oh, iya! Rasanya aneh, saat mereka menabrak, ada sesuatu, tapi, masih samar! Mereka memiliki aura negatif!" Dika dan Aldo langsung bertatapan dengan menelan ludah.
"Negatif ...! Maksudnya hantu...! Pantes aja, di panggil gak nengok, ternyata mereka hantu!" Dika dengan sigap memberikan pernyataan tersebut.
"Bukan ih! Aku, juga belum tahu jelas! Udah, aku mau pulang!" Nilam, bergegas jalan.
"Yeay, siapa yang mau nginep!" Aldo dan Dika bersamaan.
****
Angga pulang ke rumah lebih awal, dan ia terlihat sangat sibuk dengan pekerjaannya. Angga terus mengumpulkan bukti-bukti kejahatan yang baru saja terjadi. Nilam, mengintip dari balik pintu kecil.
"Kenapa harus mengintip?" Dengan nadanya yang datar. Ternyata, Angga mengetahui keberadaannya.
"Maaf, aku hanya ingin tahu! Tapi, terimakasih sudah mengijinkan aku untuk sekolah!" Angga hanya menganggukkan kepalanya ia sama sekali tidak berbalik badan, terlihat sebuah pulpen yang ia pegang, ia pukul pelan ke arah kepalanya, Angga benar-benar sedang sibuk.
"Apakah aku boleh masuk?" Angga hanya menganggukkan kepalanya. Nilam, tersenyum bahagia, ia bergegas masuk ke ruang kerja Angga, ia melihat foto kasus pembunuhan. Ia memegang foto tersebut dan ia melihat ada kesakitan dan kematian yang menyedihkan. Hingga, membuat tubuhnya ikut merasakan. Tubuhnya bergetar hebat. Angga langsung memegangi tubuhnya.
"Ada apa Nilam?" Nilam menangis.
"Kasihan mereka berdua! Aku, tidak yakin, tapi aku menemukan pembunuh mereka!" Angga, tertegun heran.
"Ajak, aku sekarang ke lokasi! Cepat?" Angga, yang hanya terdiam, akhirnya bergegas menuju lokasi kejadian. Mereka berdua sampai di lokasi. Ternyata hantu anak itu berdiri di depan pintu, dengan seyum tipis yang menyedihkan, wajahnya yang penuh darah. Hantu kecil itu, menunjukkan rumah pelaku pembunuhan. Nilam, mengikuti arahan hantu itu, dan mengetok pintu.
"Tok ... tok ... tok ...!" Suara pintu terbuka, yang membuka adalah sosok ibu paruh baya, yang sudah cukup tua, ia menggunakan tongkat. Nilam, berpikir bukan dia orangnya.
"Ada apa Nak?" Nenek itu bertanya.
"Tidak jadi! Maaf, mengganggu!" Angga menundukkan badannya. Dan menarik Nilam.
"Nilam, mana mungkin dia pelakunya! Untuk jalan saja, dia sudah susah payah, bagaimana ia bisa membunuh?" Nilam terdiam, ia tahu bukan Nenek itu pelakunya. Tak lama, Aira keluar dari kamar apartemen Tante nya, dengan ayahnya.
"Eh, Kakak ganteng!" Aira sangat genit. Ayahnya hanya tersenyum.
"Begini Pak, kami ingin memberikan beberapa pertanyaan kepada bapak?" Bapak itu mengangguk tanda setuju. Mereka, masuk ke lokasi yang sejak pagi masih penuh oleh beberapa polisi.
Mereka duduk diruang tamu.
"Bagaimana bapak punya firasat tentang kematian istri dan anak bapak?"
"Saat, anak saya Aira mengatakan bahwa ibunya tidak membuka pintu, itu adalah hal yang aneh! Istri saya tidak akan keluar, jika Aira belum pulang, dan lagi ia tidak akan sembarangan membuka pintu, jika bukan orang yang ia kenal!" Dengan nada yang sedih.
"Dengan artian, pembunuhan sudah mengenal korban!" Angga, terdiam sejenak, siapakah pelakunya. Ucok menghampiri dengan memberikan bukti baru.
"Sepertinya, ada jejak kaki anak SMP! Sepertinya, mereka lupa tidak menyiram jejak di bagian kamar anak korban!" Angga, langsung berpikir sepertinya pelakunya adalah remaja.
"Om, aku tahu, disini ada anak SMP yang sering kumpul! Ada perempuannya satu, suka pacaran, mesra-mesraan di lift kalau aku pulang sekolah. Gak tau malu!" Aira bercerita dengan wajah kesalnya yang lucu.
"Coba kamu cek dimana anak remaja yang tinggal di daerah ini?" Ucok langsung bergegas menerima perintah Angga. Nilam, terdiam membisu ia menangis dan bergetar. Angga, menghampiri dengan memegang tubuhnya yang bergetar hebat.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!