NovelToon NovelToon

Terjerat Cinta Duda

Terjerat Cinta Duda 1

" Aduh..." Aku terjatuh ketika seseorang menabrakku dari depan.

Rasanya ingin sekali mulutku mengeluarkan kata-kata pedas untuk si penabrak yang tidak melihat jalan. Bisa-bisanya berada di toko sepatu tidak memperhatikan sekeliling.

" Maaf, sini kubantu!" Ia mengulurkan tangannya kearah ku.

Oh my good... Mataku hampir saja meloncat dari kelopaknya. Bagaimana tidak, penampilannya nyaris sempurna. Dengan tubuh tinggi bak atlet basket, hidung mancung, alis lebat dan kulitnya yang putih bersih sudah pasti dia idaman para wanita. Dan aku adalah salah satunya.

Aku sudah berdiri. Tetapi lelaki itu masih mengulurkan tangannya.

" Maaf ya.. aku tidak sengaja. Erik.." Ia menyebut namanya.

Aku yang sudah terpesona pada pandangan pertama tak ingin membuang waktu. Aku meraih tangannya dan menyebutkan namaku, " Zahra." Jawabku singkat.

Aku berusaha menutupi rasa gugup yang menyerangku tiba-tiba.

" Cantik namanya, secantik orangnya." Ucapnya tersenyum.

Aku tau itu hanya gombalan lelaki, tapi entah mengapa gombalan itu sukses membuat ku tersipu malu. Jangan tanya wajahku seperti apa, mungkin saja wajahku sudah memerah bak kepiting rebus.

" Boleh minta nomor handphone nya?"

Entah mengapa aku menurut saja bak kerbau yang di cucuk hidungnya. Dengan cepat kusebutkan dua belas digit nomor handphoneku.

" Terima kasih, sampai jumpa di lain waktu." Kami pun bersalaman dan ia berlalu pergi dari hadapan ku.

Sementara aku masih berdiri mematung menatap punggungnya yang hilang di telan keramaian.

" Zahra..! "

Aku tersadar dari lamunanku karena senggolan putri di bahuku.

" Liatin apa sih sampai gak ngerespon panggilanku ? Uda siap milih sepatunya?" Tanyanya cemberut.

" Jangan marah-marah nanti cepat tua loh.." candaku pada putri. Aku kembali fokus pada tujuan utamaku yaitu mencari sepatu.

Yes! Akhirnya sepatu warna putih yang kucari sudah dapat. Aku pun segera ke meja kasir untuk membayar. Sementara sahabatku, ia sedang asyik duduk di pojokan sambil menjilati es krim nya yang hampir meleleh.

Dasar putri uda gede tapi gak pernah lupa makan es krim. Aku terkekeh sendiri melihat ulahnya.

" Yuk pulang!" Ajakku.

Ia pun mengangguk mengikutiku berjalan di sampingku.

Kami berjalan menuju keparkiran mobil. Pak Anwar sudah standby menunggu di mobil.

" Pak kita pulang ya..tapi anterin putri dulu." Perintahku pada supir papa.

" Siap non." Jawab pak Anwar mengangkat satu jempol tangannya.

Di sampingku putri asyik menyerocos tentang buku yang baru saja di belinya. Sahabatku ini memang kutu buku. Aku menyayanginya walau terkadang penampilannya selalu bikin aku gemes.

Aku tak sedikit pun menimpali ucapan putri. Aku sibuk dengan pikiranku sendiri. Tentang lelaki yang ku jumpai tadi.

Aku adalah seorang mahasiswi semester lima. Dan ini adalah untuk pertama kalinya aku merasakan getaran hebat didadaku. Mungkinkah aku jatuh cinta?

Aku menutup mataku, mencoba membingkai wajah lelaki itu. Erik, bahkan namanya saja langsung terpatri di hatiku. Menyebut namanya saja bisa menarik bibirku untuk tersenyum.

" Zah, bangun! Aku uda sampai. Senyum-senyum sendiri, kesambat setan baru tahu rasa." Putri menggoyang badanku.

Aku membuka mata. Aku merengut menatapnya.

" Kenapa cemberut? Mampir dulu gak nih?" Tawar putri padaku.

Aku menggeleng karena sudah terlanjur sebel.

" Makasih pak Anwar.." Putri melambaikan tangan.

Kami pun meninggalkan halaman rumah Putri.

" Kita lanjut pulang non?" Tanya pak Anwar.

" Iya pak. " Jawabku singkat.

Setelah lima belas menit akhirnya kami sampai dirumah. Bik Darmi membukakan pintu.

" Mama belum pulang bik?"

" Belum non, mungkin ada les tambahan."

Aku tak menanggapi ucapan bik Darmi. Hari ini aku hanya ingin istirahat dirumah. Bagiku kamar adalah tempat ternyaman untuk menghilangkan penat.

Aku membaringkan badanku ke ranjang empuk. Aku kembali mengingat pertemuan dengan Erik. Aku menebak-nebak usianya, mungkin dua puluh enam, dua puluh tujuh atau malah tiga puluh tahun. Kalau masih batas kepala tiga tidak terpaut jauh dengan usiaku.

Tapi aku kembali meragu, mungkinkah ia mengingatku? Atau hanya aku yang ingat pertemuan ini? Atau malah aku yang cuma kesemsem dengan pesona.

Aku memijit keningku, ada rasa pusing yang mendera memikirkan kejadian ini.

Disaat aku sedang galau memikirkan Erik, tiba-tiba saja handphone ku berdering. Aku melihat nomor yang terpampang dilayar tidak ada namanya. Siapa gerangan? Hati ku sibuk bertanya-tanya.

Ini adalah panggilan kedua yang belum ku jawab. Masih nomor yang sama. Hatiku tergerak untuk mengetahui siapa pemilik nomor ini.

( Halo..) sahutku mengudara.

( Halo juga, masih kenal denganku?)

Oh tuhan... Suara itu! Bagaimana aku bisa lupa jika seharian ini hanya dia yang menjadi isi kepalaku.

( Siapa ya?) Aku pura-pura lupa untuk tetap menjaga image.

( Masa sih lupa? Aku saja tidak bisa melupakanmu?)

( Gombal) Jawabku singkat. Ternyata dia memang pandai membuat rayuan. Tapi kenapa justru aku suka?

Dari seberang hanya terdengar suara tertawanya. ( Aku Erik, tadi siang kita bertemu di toko sepatu. Dan kita tidak sengaja bertabrakan) Ucapnya lagi.

(Oh ) Hanya itu yang bisa kulakukan. Sementara jantungku berdetak kencang seperti hendak loncat dari tempatnya. Terlalu bucinkah aku? Atau ini cinta pertamaku.

( Aku cuma mau kasih tahu bahwa ini nomor handphone ku. Mungkin lain waktu kita bisa bertemu.)

( Oh oke! Nanti aku save nomor kamu ya..)

( Ok. Bye)

( Bye...)

Sambungan telepon terputus. Aku meloncat kegirangan, hingga tak sadar ada wajah di balik pintu yang sedang mengintip aktivitas ku dari tadi.

" Ngapain Zah?

Alamak... Itukan suara mama. Bagaimana bisa aku tidak mendengar kedatangan mama.

Aku menutup wajahku dengan bantal karena merasa malu telah di pergoki mama.

" Kamu kenapa? Kok seneng banget sampai loncat-loncat begitu? Kayak anak kecil." Cibir mama sambil mencolek daguku.

" Apaan sih ma? Kepo banget sama urusan anak gadis." Jawabku sambil merengut dan memalingkan wajahku dari tatapan mata.

" Sepertinya ada yang sedang jatuh cinta ya?" Tebak mama.

Tuh kan! Kenapa sih tebakan mama bisa benar, gumamku dalam hati.

" Benerkan tebakan mama." Mama menaikkan alisnya menggoda ku.

" Mama ada apa masuk ke kamarku?" Aku mencoba mengalihkan pembicaraan kami tadi.

" Gak usah mengalihkan pembicaraan kita Zah!" Ucap mama menatapku serius.

" Gak ada yang Zahra sembunyikan ma." Jawabku pelan.

" Ingat Zah, kamu boleh berkenalan dengan siapa saja, kamu boleh berteman dengan siapa saja, tapi hanya satu yang tidak boleh kamu lakukan. BERPACARAN!" pesan mama.

"Zahra tau ma."

Mama mengelus puncak kepalaku, " Baik-baik ya.. mama percaya kamu sudah dewasa. Sudah bisa memilih mana yang baik dan buruk. Jangan menyalah artikan kepercayaan yang sudah mama dan papa beri."

Aku hanya mengangguk. Mama keluar dari kamar, meninggalkan aku yang masih terpaku di kamar ini.

.

Terjerat Cinta Duda 2

Mama mengelus puncak kepalaku, " Baik-baik ya.. mama percaya kamu sudah dewasa. Sudah bisa memilih mana yang baik dan buruk. Jangan menyalah artikan kepercayaan yang sudah mama dan papa beri."

Aku hanya mengangguk. Mama keluar dari kamar, meninggalkan aku yang masih terpaku di kamar ini.

Aku selalu merasa beruntung bisa tinggal di keluarga ini. Mama dan papa memenuhi semua kebutuhanku dari atas kepala hingga ujung kaki. Mama bisa kujadikan teman. Selama ini aku selalu curhat dengan mama, apa pun masalah yang sedang terjadi padaku. Tapi apakah aku harus juga curhat dengan mama perihal Erik yang baru saja mengganggu pikiranku?

Erik.. Erik.. aku membatin menyebut namanya.

Malam sudah berganti pagi, burung-burung berkicau sambil berkejar-kejaran. Matahari mulai menyembul di balik tirai kamarku.

Hari ini aku kesiangan lagi. Mama pasti bisa marah kalau aku melewatkan shalat subuh begitu saja.

Ini semua gara-gara Erik, aku menyalahkan kekesalanku pada lelaki itu. Hanya karena memikirkannya aku jadi susah untuk tidur dan akibatnya aku bangun kesiangan.

Huft! Menyebalkan sekali pagi ku ini.

Aku sudah mandi dan sudah mulai merias diri, hanya riasan ringan yang cocok untuk anak kuliahan sepertiku.

Kuambil tas, tak lupa handphone dan laptop menjadi barang yang wajib ku bawa.

Ternyata mama dan papa sudah menunggu di meja makan.

" Selamat pagi mama.. papa.." Aku mencium pipinya bergantian.

" Uda shalat subuhkan?" Tanya papa tanpa mengalihkan wajahnya dari koran.

Aku tak menjawab hanya diam.

" Kok diam? Kelewatan subuhnya?" Tanya papa menatapku tajam.

" Maaf pa.. Zahra kesiangan bangun."

" Minta maaf sama Allah bukan sama papa dan mama. Shalat subuh itu wajib. Jadi jangan banyak alasan." Papa memulai sarapan pagi ini dengan ceramah.

Papa adalah orang yang sangat disiplin. Dan dari kecil aku memang terbiasa untuk melaksanakan shalat lima waktu. Waktu aku kecil dulu, papa akan menghukumku jika sampai ada satu saja waktu shalat yang terlewat. Tapi setelah aku dewasa papa hanya ngomel memarahi ku.

Aku mengambil sepotong roti dan segelas susu, dikeluarga kami tidak ada yang namanya sarapan pagi dengan nasi. Nasi hanya dimakan pada waktu siang dan sore.

Aku sudah selesai tak lupa berpamitan dengan mama dan papa.

Cup! Aku mencium pipi papa.

" Belajar yang benar, cepat nyusun skripsi biar segera di wisuda." Pesan papa.

" Iya pa.. doain ya..!"

" Setiap hari papa doain kamu tanpa perlu kamu minta." Ucap papa.

Papa dan mama mengantarku ke depan, pak Anwar sudah menunggu diluar.

" Ayo pak berangkat!" Aku masuk kedalam mobil.

" Pak Anwar sudah sarapan?" Tanya mama.

" Sudah buk." Jawab pak Anwar santun.

" Hati- hati ya pak bawa mobilnya!" Pesan papa pada pak Anwar.

Mobil yang di kendarai pak Anwar membelah jalanan ibu kota. Macet, sehingga perjalanan dari rumah ke kampus yang hanya lima belas menit menjadi tiga puluh menit.

Untuk mengusir rasa bosan, aku mengeluarkan handphone dari tas ku.

Dan ternyata ada satu pesan dari seseorang.

Seketika hati ku berbunga- bunga.

Erik, sepagi ini sudah membuat aku tersipu malu. Untungnya kami sedang tidak berhadapan.

Aku membuka pesannya,( Hai, tadi malam aku tak bisa tidur memikirkan wajah ayu di seberang sana. Jika berkenan bolehkah kita bertemu?)

Balas tidak.. Balas tidak..Balas tidak..

Dan akhirnya aku mengetik sebuah balasan untuk Erik ( Boleh, mau ketemu dimana?) Aku menekan tombol send.

Ini adalah pengalaman pertama ku dengan seorang pria. Biasanya aku akan membangun dinding yang tinggi ketika seorang pria akan mendekatiku. Nyatanya dengan Erik aku seperti memberi sinyal dan lampu hijau bahwa aku juga menyukainya.

Tring, satu pesan balasan dari Erik masuk.

( Kirim alamat ya.. nanti aku jemput.)

( Jangan jemput dirumah, aku sedang kuliah) balasku.

( Alamat kampus)

Aku pun mengirimkan alamat kampusku pada Erik.

( Kabari jika sudah waktu pulang)

Aku senyum-senyum sendiri, mungkin Erik adalah jodoh yang dikirim Allah untukku. Sepertinya Erik lelaki yang baik, ia seperti serius mendekatiku.

" Non, uda sampai."Suara pak Anwar mengagetkanku.

" eeehm..uda nyampe ya pak." Aku segera turun dan membawa semua barang perlengkapanku.

" Pak, nanti gak usah jemput ya.. aku ada janji ketemu sama teman." Pesanku pada pak Anwar.

Pak Anwar mengangguk dan segera berlalu.

***

Jam kuliahku sudah berakhir, tak lupa aku memberi kabar pada Erik untuk menjemputku.

Tin..tin.. Suara klakson mobil membuyarkan lamunanku.

Mobil sport hitam terparkir di depanku. Putri tampak heran dan menyenggol bahuku, " Siapa Zah? Keren banget mobilnya."

Aku mengangkat kedua bahuku, sebagai tanda bahwa aku tidak tahu.

Seorang lelaki dengan gaya parlente keluar dari mobil sport warna hitam.

Dan... Wajah itu sukses membuatku menutup mulutku.

Erik menepati janjinya. Ia menghampiri kami berdua.

" Hai.." Sapanya. Ia mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan kami.

Aku berdiri dan menyambut uluran tangannya.

" Hai juga." Sapaku.

Putri hanya terpelongo bagai kambing ompong. Tak menyambut uluran tangan Erik.

" Putri, dia mau salaman." Bisikku pada putri.

" Eh,P-Putri." Jawabnya Gugup.

Erik tersenyum manis bak gula jawa, itu bagiku.

" Yuk, mau langsung jalan?" Ajaknya.

" Kemana?" Tanyaku.

" Ke kafe kalau mau." Tawarnya.

Aku mengangguk, tak lupa mengajak Putri. Namun putri menolak dengan alasan mau mengantar mamanya berbelanja.

" Hati-hati, kamu baru kenal dengan dia. Jangan sampai sesuatu yang buruk menimpamu." Ia berbisik di telingaku sambil bergidik ngeri.

Aku mencubit pinggang sahabatku. Sebal rasanya karena ia menakut-nakuti ku.

" Bye.." Putri meninggalkanku.

Erik membuka pintu mobilnya. Aku masuk bak putri raja. Hidung ku berasa kembang kempis karena perlakuan lelaki satu ini.

Kini kami sudah berdua di dalam mobil. Kalau mengingat pesan Putri ada ketakutan pada diriku. Tapi jika mengikuti hati ku, ada perasaan bahagia.

Suasana masih sunyi. Erik masih fokus pada jalanan yang cukup padat siang ini. Sementara aku masih bingung untuk memulai percakapan ini dari mana.

" Ehem.. kok diam saja? Jangan takut aku bukan orang jahat." Canda Erik padaku.

Aku hanya tertawa kecil mendengar kalimat candaanya.

" Uda semester berapa Zah?"

" Semester akhir, tinggal nunggu wisuda." Aku masih bingung untuk memanggilnya. Mas Erik, bang Erik atau kakak Erik. Jadi kalau ngobrol dengannya seperti ngambang di akhir kata.

" Aku boleh manggil kamu siapa ya? Mas atau abang?" Aku memberanikan diri bertanya padanya.

" Terserah kamu, enaknya bagaimana. Erik juga boleh."

" Mas aja boleh?" Tanyaku

" Boleh dong." Ia menaikkan dua alisnya. Entah apa maksudnya.

Mobil berhenti di sebuah kafe.

" Yuk turun!" Ajaknya.

Aku mengikutinya berjalan di belakangnya. Aku masih kikuk karena ini adalah ngedate pertama dengan seorang laki-laki.

Ia menggandeng tanganku." Jangan berjalan di belakangku, kesannya kamu seperti berjalan sama om-om."

Kami cekikikan berdua, memecah kesunyian diantara kami berdua.

Kami mengambil tempat duduk di sudut.

Tak lupa memesan makanan dan minuman. Aku memperhatikan lingkungan disekitar kafe ini. Sejuk dan musik slow mengalun dengan lembut.

" Kenapa?" Tanyanya.

" Nyaman tempatnya mas." Jawabku singkat.

" Uda pernah kesini?"

Aku hanya menggeleng. Selama dua puluh tiga tahun aku tidak pernah mendatangi tempat seperti ini.

Terjerat Cinta Duda 3

" Aku enggak pernah kemana-mana mas, kalau pun jalan keluar paling cuma sekedar ke mol cuci mata."

"Loh cuci mata itu bukannya di kamar mandi?"

" Di mol juga bisa loh mas" kelakarku

Ia tertawa sendiri dengan kalimat candaanya.

Kami menikmati makanan. Lezat! Kalau tahu tempat dan makanan di kafe ini enak sudah dari dulu aku nongkrong di tempat seperti ini. Aku sibuk membatin sendiri.

Besok akan kuajak Putri ketempat ini, supaya ia tak Culun lagi seperti aku. Aku ketawa sendiri sembari menggelengkan kepalaku.

" Kenapa Zah?" Tanya mas Erik mengagetkan ku.

" E..enggak papa mas." Jawabku malu-malu karena ketahuan senyum-senyum sendiri.

" E..enggak papa mas." Jawabku malu-malu karena ketahuan senyum-senyum sendiri.

Setelah merasa cukup untuk ngobrol kami pun pulang, ia mengantarku sampai di depan pagar rumahku.

" Mampir mas?" Tawarku.

" Lain kali ya."

Aku sedikit bernapas lega karena mas Erik menolak mampir. Sejujurnya aku belum siap membawa mas Erik berkenalan dengan mama. Aku melirik jam di pergelangan tanganku, pukul tiga sore dan mobil mama sudah terpakir di garasi. Itu tandanya mama sedang ada di rumah.

Aku turun dari mobil dan melambaikan tanganku. Mobil mas Erik melaju meninggalkan aku sendiri disini. Aku masuk setelah mas Erik hilang dari pandanganku. Semoga saja mama sedang istirahat, jadi aku tidak perlu bingung jika mama bertanya tentang orang yang mengantarku.

Aku membuka pintu. Berjalan mengendap-endap, berharap tidak ada mama yang memergoki ku.

Aku hampir saja masuk kedalam kamar, tapi suara mama menghentikan langkahku.

" Sama siapa pulangnya?"

Aku menatap mama yang sedang berdiri sambil melipat tangannya.

" Teman Zahra ma."

" Cowok apa cewek?" Tanya mama. Selalu begitu, bertanya dengan detail. Membuat aku terkadang merasa di intimidasi.

" Cowok ma.."

" Mama sudah bilang, kamu jangan paca-"

" Zahra gak pacaran, Zahra hanya diantar teman. Hanya sebatas teman ma, gak lebih gak kurang." Aku memotong ucapan mama.

" Mama masih mau bertanya? Kalau sudah siap mengintrogasi Zahra, Zahra mau masuk kekamar. Mau istirahat, capek." Aku masuk kekamar meninggalkan mama yang masih terpaku.

Bugh! Aku membantung pintu kamar denan keras. Aku muak dengan sifat mama yang tidak pernah berubah. Aku muak dengan segala batasan yang di buat mama.

Aku sudah berusia dua puluh tiga tahun, usia yang mulai matang bagi seorang wanita. Masa SMA sudah terlewat tanpa ada seorang pacar satu pun. Kini setelah aku sudah berada di akhir penyelesaian kuliah, mama tetap melarang ku. Apa mama mau aku menjadi perawan tua?"

Batinku berkecamuk sendiri.

Tok..tok..tok..Pintu kamarku diketuk terdengar panggolan dari luar.

" Zah.."

Suara mama, aku tak menyahut. Masih ada rasa kesal karena mama selalu memperlakukan aku seperti anak kecil.

" Zah.." panggil mama lagi.

Knop pintu di buka paksa ,namun tidak bisa karena aku mengunci pintu dari dalam.

" Zah, maafin mama." Ucap mama dari balik pintu.

Aku tak menggubris sedikit pun permintaan maaf mama.

Aku mengeluarkan handphone dari dalam tas, menghidupkan musik adalah hal yang kusukai untuk membuang rasa suntuk.

Hingga aku tertidur lelap dan tak tahu sejak kapan mama pergi dari depan kamarku

Yang aku tahu ini sudah malam dan aku sedang di demo oleh kampung tengah ku yang minta di isi.

Aku bangun dan mencuci muka ku. Kemudian aku keluar menuju meja makan.

Tampak mama sedang menonton tv sendiri.

Papa memang jarang dirumah, dalam sebulan papa bisa pergi dua atau tiga minggu untuk mengurus lahan sawit yang ada di Pekan Baru.

Dan kami lebih sering tinggal dirumah ini hanya berdua dengan mama. Kalau mbak Inah pembantu di rumah ini akan pulang kerumahnya jika pekerjaan di rumah ini sudah selesai.

Aku mengisi piringku dengan nasi beserta lauk pauk dan sayur mayur. Hem enak sekali makan malam ini. Atau karena perutku sudah lapar.

Alhamdulillah... Aku mengucap syukur karena masih bisa makan dengan nikmat. Aku membereskan piring bekas makan ku, mencucinya sendiri. Hal ini sudah terbiasa aku lakukan. Selesai!

Aku berjalan kekamar, namun harus melewati ruang keluarga tempat mama menonton tv.

" Zah!" Panggil mama.

Aku menoleh kearah mama.

" Sini deh bentar!"

Mau gak mau aku berjalan kearah mama.

" Duduk!" Mama menepuk kursi kosong di sebelahnya.

Aku menjatuhkan bokongku di sebelah mama.

" Kamu marah sama mama? Mama bikin kamu sakit hati?" Mama menatapku serius.

" Enggak ma, a- aku hanya.." Aku tak melanjutkan ucapanku.

Mama menunggu kelanjutan ucapanku.

Aku membuang muka ku. Tidak ada alasan aku harus marah sama mama. Mama adalah orang yang paling berjasa dalam hidupku.

" Kenapa diam? " Tanya mama.

" M..maafin Zahra ma.." aku menangis sesenggukan memeluk mama.

Jujur, membanting pintu tadi sore adalah hal konyol pertama yang kulakukan di depan mama. Lalu mengapa harus mama yang minta maaf padaku?

Mama mengusap lembut kepalaku, " Maaf kalau mama terlalu mencampuri urusan pribadi kamu. Maaf kalau mama masih menganggap kamu putri kecil mama yang selalu harus di awasi. Mama hanya takut sesuatu hal buruk menimpa kamu. Mama paham, di usia mu yang semakin matang, kamu merasakan jatuh cinta dengan lawan jenismu. Karena mama juga merasakan apa yang kamu rasakan dulu. Kalau hal itu terjadi pada kamu, mama hanya ingin mengenal lelaki yang mengantar kamu pulang. Bukan dengan cara menurunkan kamu di depan pagar rumah kita. Dan hari ini kamu menolak di jemput oleh pak Anwar? Hanya karena ingin bertemu dengan teman lelaki kamu. Sudah berapa lama kamu mengenalnya sehingga kamu merasa nyaman diantar oleh temanmu itu?"

Aku merenung, ucapan mama itu benar. Kegelisahan orang tua terhadap anak perempuannya.

" Zahra baru saja mengenalnya ma.Gak sengaja tabrakan di toko sepatu. Namanya mas Erik, ma."

Mama terkejut, matanya membulat.

" Baru kenal?" Mama menggelengkan kepalanya.

" Zahra, yang kamu lakukan itu beresiko. Bagaimana kalau dia melakukan hal yang.." mama tampak mengusap wajahnya berkali-kali.

" Mas Erik tidak seperti itu ma.." Aku memotong pembicaraan mama.

" Mas Erik tidak sejahat yang mama dan Putri pikirkan." Bantahku. Entah mengapa hatiku tergerak untuk membela mas Erik didepan mama.

" Putri? Apa yang putri pikirkan sama dengan mama?" Tanya mama penasaran.

" Ma, please! Jangan berpikir buruk tentang mas Erik."

" Oke, kalau ada waktu mama ingin berkenalan dengan mas Erik mu itu."

Mama mengakhiri debat kami malam ini.

Cup! Satu ciuman mendarat di pipiku.

" Selamat tidur gadis kecil mama."

" Selamat tidur juga mama sayang."

Kami pun masuk ke kamar masing-masing.

***********

Tring... Satu pesan masuk.

( Nanti ketemuan yuk!)

Aku menimbang-nimbang permintaan mas Erik. Kalau mengikuti kata hati tentu aku mau bertemu dengannya setiap hari. Tapi mengingat reaksi mama semalam aku perlu berfikir dua kali untuk bertemu kembali dengan mas Erik.

Aku membalas pesan mas Erik, ( Maaf mas, hari ini Zahra gak bisa ketemuan dulu. Ada beberap hal yang mau di urus) kemudian aku memijit tombol send.

( Sebentar saja, please!)

Ia memohon. Belum pernah aku menemui seorang pria yang memang pengen ketemu aku sampai ngebet begini. Apa mas Erik benar-benar cinta sama aku?

( Ya udah mas, kita ketemu di kampus aja ya..)

Aku rasa bertemu di kampus jauh lebih baik.

( Oke, otw)

Aku keluar menuju pintu gerbang kampus.

Tidak menunggu berapa lama mas Erik datang. Ia menyuruhku untuk masuk kedalam mobilnya.

" Apa kabar?" Sapa mas Erik.

" Alhamdulillah baik mas. Oh iya, ada apa mau ketemu Zahra mas?" Tanyaku tanpa basa basi.

Ia terdiam, dari aura wajahnya ada sesuatu yang ingin disampaikan padaku tapi ia seperti meragu.

Di luar dugaanku, mas Erik tiba-tiba saja menggenggam tanganku, " Maaf banget Zahra, sebenarnya mas malu banget mau ngomong sama kamu."

" Malu kenapa mas?" Aku mulai penasaran.

Apa mas Erik akan mengungkapkan perasan padaku?

Kira-kira ada yang tahu gak apa yang akan di sampaikan mas Erik kepada Zahra? Tinggalin jejak di kolom komentar ya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!