NovelToon NovelToon

Sang Antagonis

Waktunya Balas Dendam

"T-tooloong." Seorang perempuan dengan suara lirih menengadah tangan kanannya ke atas, melihat dua manusia yang tengah tertawa begitu bahagia menyaksikannya melayang di udara.

Nayla Arthama, perempuan yang kehidupannya begitu tragis setelah bertunang dengan kekasihnya, Barra Munandra, mulai dari kedua orang tuanya yang meninggal dalam sebuah kecelakaan. Lalu ketika menikah ia dikhianati oleh suami dan sahabatnya, Maya Sulastri, mereka melakukan hubungan gelap bahkan sebelum pernikahan.

Rasa dingin dan kaku hinggap di sekujur tubuhnya, nyawanya kini tinggal di kerongkongan dengan mata yang mulai berkunang-kunang.

Dengan napas yang terengah dan rasa sakit yang tak mampu lagi ditahan, pikiran berkenalan, merutuki dirinya yang lugu, bodoh, terlalu baik, dan mudah percaya pada siapa saja.

Dan baru saat ini, di detik ini, ia menyesal mengenal sosok Barra. Rayuan cinta bak semanis madu menjebaknya dalam kandang cinta yang membuatnya buta. Perhatian palsu dan wajah bertopeng dari Maya yang selalu mengumandangkan sahabat sejati, sahabat setia selamanya, omong kosong belakang.

Dua orang itu menusuknya secara bersamaan dari belakang, sungguh sakit dan kecewa bersamaan. Menyesal telah mengenal mereka.

Setetes air mata jatuh membasahi pipinya, ia masih bisa mendengar gelak tawa dari suami dan sahabatnya itu dengan jelas. Dan masih bisa melihat kalau dua manusia itu tengah bercumbu, memadu kasih dengan berciuman di sana, di atas kapal milik keluarganya.

Nayla memejamkan mata, suara desir angin yang bertabrakan dengan tubuhnya yang semakin memerosot ke bawah begitu nyaring.

"Andai kehidupan bisa diulang...." Gumamnya dengan nyawa yang hampir di ubun-ubun, pasrah.

Bugh...!

Tubuh kaku dan tak bernyawa Nayla memunculkan suara berdebam begitu kuat dan nyaring terdengar. Dua manusia di atas kapal tak memedulikan itu, malah asik memadu kasih mereka yang semakin panas.

Tubuh Nayla tenggelam beberapa saat di air, lalu beberapa menit kemudian mengapung di permukaan laut. Terlihat beberapa ikan predator menghampiri tubuh kaku dengan kulit pucat itu.

*****

"Huhuhu...."

Nayla terbangun dari tidurnya. Nafasnya memburu tidak beraturan, ditambah keringat dingin bercucuran membasahi kening.

Ia mengamati sekitar, ruang kamar luas dengan cat baby blue warna kesukaannya.

Keheranan. Tentu. Bahkan dahinya kini mengernyit.

"Bukankan aku... terlempar di laut?"

Dan seketika, pandangannya jatuh pada kalender dengan gambar kartun favoritnya Elsa. 2020. Tertera dan terpampang jelas di sana.

Nayla beranjak menghampiri kalender itu, benar, ini 2020. Ada lingkaran tinta biru tua sebagai penanda. Dan tertulis tanggal pernikahannya yang tinggal dua minggu lagi.

"A-apa yang terjadi?" Ia menatap jari manisnya yang masih bertengger cincin pertunangan. "Aku kembali ke tiga tahun lalu?" gumamnya tak percaya, lalu berangsur mundur, duduk di tepi ranjangnya.

Tak percaya. Sungguh mustahil. Namun, nyata. Nayla Arthama kembali pada kehidupannya tiga tahu yang lalu sebelum menikah dengan Barra, pria brensek itu. Dan masih berhubungan baik dengan rubah licik, pesilat lidah, wajah bertopeng, Maya Sulastri.

Keajaiban ini memberikannya kehidupan kedua, mengulang kehidupannya. Permintaan yang ia lontarkan dengan pasrah, tak menyangka menjadi kenyataan.

Di kehidupan lamanya, saat permintaan itu diucapkan, ia diseret oleh Barra dan Maya. Menaikkannya ke kapal secara paksa, saat itu ia tak tahu akan dibawa entah ke mana.

Perasaan memang tidak enak, setelah menandatangani surat pemindahan alih waris, harta kedua orang tuannya pada tangan Maya dan Barra.

Ia sudah menolak semampunya, namun paksaan dan siksaan ia dapatkan dari kedua orang itu. Ditambah sifatnya yang lugu, bodoh, lemah, menjadikannya terpaksa menandatangani semua surat pemindahan alih waris itu dengan tangannya yang gemetar dan buku-buku jari yang penuh memar luka, akibat di injak oleh Maya.

Rumah tangga yang dirajut selama tiga tahu itu tak seindah ekspetasi dan tak semanis ucapan Barra yang bagaikan manis kopi bercampur sianida. Tak semerdu ucapan penuh iming-iming kebahagiaan yang dilontarkan Maya, seperti burung hantu yang menyanyi di tengah malam. Sungguh hubungan rumah tangga, persahabatan, yang beracun dan menakutkan.

Pengkhianatan apalagi, mereka berdua ternyata telah menjalin kasih bahkan sebelum pernikahannya di gelar. Asmara terlarang mereka tidak pernah diketahui oleh Nayla, mereka berdua sungguh pandai menyembunyikan hubungan.

Rasa curiga dari kedekatan mereka berduaan tak pernah terlintas dipikirkannya, karena sifatnya yang memang mudah dan sangat percaya pada orang lain.

Dan belum sehari pernikahan itu berlangsung, mereka menampakkan taringnya, menampakkan hubungan gelap mereka secara terang-terangan, menampakkan sifat asli mereka, dan menampakkan ketertarikan pada hartanya.

Selama tiga tahu itu, ia dijadikan pembantu di rumahnya sendiri. Mengerjakan segala pekerjaan rumah, menjalankan segala perintah, sembari melihat keromantisan mereka yang menyesakkan dada.

Dan kembali pada kejadian di atas kapal itu...

"Tidak, aku tidak mau ikut kalian. Tolong lepaskan aku...." Nayla yang tubuhnya lemah tak makan beberapa hari di seret oleh keduanya dengan paksa. "Apa lagi yang kalian inginkan dari ku? Aku tidak memiliki apa-apa lagi... hiks." Lirihnya dengan isak tangis memilukan.

Maya tersenyum menyeringai, "Siapa bilang kau tidak punya apa-apa?" suaranya sungguh terdengar mengerikan, memang dia tidak punya apa-apa bukan.

Dan sesaat itu juga, Nayla tertegun. "Nyawaku?" batinnya tak terucap, membuat tubuhnya semakin lemas.

"Apa kalian juga menginginkan nyawaku, satu-satunya yang ku punya?" pertanyaan itu tertahan di tenggorokan, tak sanggup Nayla ucapkan. Bukan, bukan tak sanggup ia ucapan, tapi lebih tak sanggup mendengarkan jawaban dari kedua orang yang dulu ia sangat percaya. Dan saat ini mereka berdua tak lain seperti dua iblis. Tidak berbelas kasih, tidak punya rasa kemanusiaan.

"Ya, kau memang harus tenang begini. Dan berbahagialah, karena sebentar lagi akan menemani kedua orang tuamu." Terdengar gelak tawa dari Barra, lalu disusul Maya.

Nayla menggeleng, ia masih ingin hidup. Tidak ingin berakhir menyedihkan seperti ini. Tapi sayang, itu dihiraukan oleh keduanya.

Dan ketika mereka sudah berada di haluan kapal dengan tubuh Nayla yang diapit oleh keduanya, Nayla dengan sedikit kemampuannya memberitahu sesuatu yang penting pada Barra.

"Kau tahu, Maya tidak mencintaimu dengan tulus." Ucapan itu sedikit tidaknya mampu melepaskannya dari kedua orang itu yang kini saling menatap. Nayla merasa seperti memiliki harapan.

Kejadian itu tak sengaja ia lihat ketika membeli kebutuhan dapur, dimana Maya tengah bermesraan dan bergelayut manja pada lengan laki-laki yang entah siapa Nayla tidak tahu.

"Dia memiliki laki-laki lain, dan aku melihatnya bermesraan dengan laki-laki itu."

"Abimayu, sayang." Maya cepat menimpali dan memberitahu pada Barra yang tengah mengernyit.

Dan sontak kedua orang itu tertawa, seolah hal penting yang Nayla sampaikan omong kosong belakang.

"Dasar tidak berguna." Barra menendang Nayla, membuatnya semakin mendekati ujung kapal.

"Akhhh."

"Hahaha." Bahagia sekali Maya mendengar rintihan kesakitan itu keluar, sembari berjalan mendekati Nayla.

"Itu benar, aku tidak berbohong. Dia berselingkuh dari mu."

Barra tersenyum, senyuman mengejek. Yang disampaikan Nayla itu memang benar, ia tidak membantah, dan sangat mempercayai. Tapi sayang, Abimayu Bhaskara, kekasih Maya adalah laki-laki kaku yang kesepian dan butuh perhatian. Target selanjutnya untuk mereka menguras hartanya.

Senyum devil tercetak di bibir Barra.

"Ya ya, dan sekarang waktunya kau menjemput kematian mu...." Maya mendorong Nayla tanpa rasa kemanusiaan, tawa menggelegar dari keduanya mengiringi tubuh Nayla yang memerosot ke laut. Mereka berciuman, merayakan misi mereka yang berhasil.

Test...

Air mata jatuh membasahi pipi Nayla saat ini, ingatan kejadian masa lalu itu sungguh mengerikan.

Ia mencekeram selimut pinggir tempat tidurnya dengan kepala tertunduk, raut wajahnya berubah, air matanya tak lagi menetes dan kini terlihat mengering.

Pengkhianatan, rasa sakitnya tiga tahu lalu menjadi dendam yang menyesatkan dada. Ia mengepalkan tangannya.

"Waktunya pembalasan!"

*****

Bersambung...

Menjadi Sosok Berbeda

Seperti yang dikatakannya kemarin, sesuai dari ingatan masa lalunya. Kurang dari dua minggu lagi ia akan melangsungkan pernikahan dengan Barra Munandra. Segala cara untuk balas dendam serta menggagalkan pernikahannya sendiri kini telah ia rancang. Tinggal beberapa bukti saja yang harus ia kumpulkan agar rencananya berjalan dengan lancar.

"Pernikahan mu kurang dari dua minggu lagi sayang, seharusnya kamu pergi ke salon untuk merawat diri." Nila ibunya Nayla mengingatkan anaknya itu, Nayla memang kadang pelupa.

"Iya Mah, Nayla pergi kok." Nayla tersenyum, menjadi gadis penurut yang memang merupakan jati dirinya dulu. Tapi dalam hati, ia sudah bertekad menjadi pribadi yang lain terutama pada musuh-musuhnya.

"Oh ya, Mah. Elis sudah pulang belum?" Ia mengingat kalau pada kehidupannya yang lama, ia memiliki pengawal perempuan yang  disediakan oleh ayahnya.

Terkesan berlebihan menurut Nayla dulu, tapi sekarang ia mengerti maksud ayahnya menyediakan pengawal untuknya.

Ia sangat membenci Elis karena setiap apa yang Nayla lakukan selalu mendapat komentar dari dirinya.

Nayla pergi berpacaran Elis ikut menjadi orang ketiga, Nayla membelikan sesuatu untuk Barra dan Maya Elis berkomentar. Apapun yang di lakukan Nayla, semuanya tidak lupus dari komentar dan nasehat Elis.

Dulu ia sangat jengkel padanya, apalagi wajahnya yang kaku dan datar. Kecantikannya tidak mampu menutupi itu, membuat teman mahasiswa segan mendekatinya. Aura Elis mampu membekukan orang-orang di sekitar Nayla, makanya ia kadang tidak suka berdekatan dengan Elis dan menyuruhnya untuk menjaga jarak di jarak yang aman saja.

"Kenapa? Bukankah kamu sangat tidak menyukainya?" bukan ibunya yang menyahut, tapi ayahnya Arsyad.

"Siapa bilang." Nayla mengelak dengan wajah lugunya. Kedua orang tuanya saling lirik, masih jelas diingatan mereka kalau anaknya ini menangis histeris agar memecat Elis lantaran sudah besar dan tidak mau dikawal seperti anak kecil.

"Jadi Elis sudah pulang belum?" ulang Nayla.

"Belum, rencananya akan pulang ke negara asalnya setelah pernikahan kalian." Beritahu ayahnya.

Elis Edith memang buka warga negara di sini, ia orang prancis yang datang mengabdi pada keluarganya karena telah menolong dan memberikan kehidupan yang layak pada keluarganya.

Nayla mengangguk, tapi sesaat kemudian ia ingat tidak menyimpan nomor pengawalnya itu. Sifat bodoh dan tidak sukanya pada Elis membuat ia mengabaikan itu.

"Ayah nyimpan nomor Elis nggak? Bisa kirim?" Nayla tersenyum polos mendapatkan tatapan tajam dari papanya.

"Bukankah papa sudah kirim waktu itu."

"Hehehhe... lupa nyimpan, Pah."

Papanya sedikit mendengus, lalu berkata akan mengirimkannya nanti. Setelah mereka selesai sarapan, mamanya hanya bisa menggeleng. Tapi walaupun begitu mereka sangat menyayangi anak perempuan semata wayangnya.

*****

Nayla mendengar ketukan pintu dari kamarnya, ia segera membalikkan papan yang dimana papan itu berisi ingatan masa lalunya yang ingin ia rubah, dan beberapa aksi balas dendamnya.

"Sebentar...." Teriaknya dalam kamar.

Papan itu kini kembali bergantung pada dinding dengan gambar kartu dan anime serta agenda rutinitas Nayla untuk menyemangati diri, di sana juga ada beberapa motivasi hidup yang ia tempel.

"Ya...." Pintu kamar itu pun terbuka dari dalam.

"Nona memanggil saya?"

Nayla melihat dari bawah ke atas, perempuan dengan tinggi semampai, kulit putih bersih, rambut pirang sebahu dengan pakaian serba hitam. Cantik, tapi sayang wajahnya begitu kaku.

"Senyum Lis, sudah berapa kali ku mengingatkan mu." Nayla selalu mengingatkan itu pada Elis di kehidupan lamanya, dan sekarang ia juga melakukannya. Betapa dingin dan kaku pengawalnya ini.

Elis yang sudah berulang kali diingatkan, mencoba untuk tersenyum. Mulai mempraktekkan latihan yang sudah hampir satu minggu di apartemennya.

Latihan itu ia lakukan agar bisa mematuhi semua perintah Nayla, bahkan dirinya merasa menjadi orang gila karena terus tersenyum sendiri di apartemennya. Senyum di dapur, senyum di ruang tamu, senyum di kamar, bahkan senyum sendiri di wc pun pernah ia lakukan.

"Kamu senyum Lis?" tanya Nayla menautkan alis. Pasalnya ia tidak melihat gerangan senyum yang tercipta dari bibir pengawalnya.

"Iya Nona, aku sedang tersenyum." Elis menampakkan senyumnya yang tipis, begitu tipis, bahkan Nayla tidak bisa melihatnya.

"Astaga." Perempuan yang berada di daun pintu itu menepuk jidatnya. "Itu bukan senyum Elisss, senyum itu yang lebar dong." Elis mulai melebarkan senyuman.

"Yang natural dong."

Elis tidak tahu senyum natural itu seperti apa, dan akhirnya ia pun memutuskan untuk semakin melebarkan senyumannya saja.

Mata Nayla membelalak, wajah Elis terlihat aneh, sudah seperti joker saja.

"Sudah, sudah Lis, senyum mu aneh sekalian. Lain waktu saja kita bahas, aku akan mencarikan guru privat untuk mu." Nayla melambaikan tangan, Elis kembali pada wajah datarnya yang memang tidak dibuat-buat.

"Sekarang masuklah, ada hal penting yang ingin aku sampaikan." Pintu kamar itu terbuka lebar, Elis mengangguk sesaat lalu masuk ke kamar nonanya. Nayla menoleh ke kiri dan kanan, lalu menutup pintunya rapat.

"Duduklah Lis." Perintah Nayla melirik sofa di kamar. Elis duduk dengan patuh.

Sebelum duduk, Nayla mengambil kerta yang sudah berisi coretan ingatan masa lalu dan beberapa coretan lainnya.

"Aku ingin kamu melakukan semua itu." Ia menyimpan kerta tadi di hadapan Elis, yang langsung diraih oleh perempuan itu.

Elis membacanya satu persatu tulisan itu yang dimana ia harus mengawasi Barra, lalu Maya, mengawasi dimana dan ke mana mereka akan pergi, lalu apa yang dilakukan. Elis mengangguk tanpa menaruh curiga, karena ini pernah ia lakukan. Tujuan Nayla melakukannya agar ia bisa mengetahui dimana dan apa yang dilakukan calon suaminya, karena ia sangat posesif. Lalu Maya ia lakukan untuk mengetahui dimana dan apa kegiatannya agar Nayla bisa cepat mengunjungi dan bertemu dengannya.

Ia pun lanjut membaca, dan tertulis ia harus menyelidiki apa yang dilakukan Barra di Arthama compeny beserta orang-orang yang direkrut. Elis mulai mengernyit. Barra bisa bekerja di sana atas permohonan Nayla pada tuan Arsyad. Dan terakhir ia diperintahkan untuk mencari tahu tentang Abimayu.

Elis tidak bisa lagi menahan penasarannya, ia mendongakkan wajah, melihat Nayla yang tengah menampilkan senyum polos nan lugu.

Sebelum Elis bertanya-tanya apa yang terjadi, pintu kamar Nayla kembali di ketuk dari luar.

"Nay... kamu di dalam? Aku boleh masuk nggak."

Mendengar suara itu Nayla mengepalkan tangannya, sorot matanya tiba-tiba berubah. Ia menarik napas, lalu menghembuskan perlahan. Dan semua perubahan itu tak luput dari pandangan Elis.

"Lakukan apa yang ku minta Elis, dan kali ini lakukan dengan cara berbeda. Awasi mereka setiap jam, menit, dan detik." Suara tegas dari Nayla yang baru kali ini Elis dengar, ia pun mengangguk tanpa membantah.

Nayla kembali menghembuskan napas, mengubah wajah menjadi polos dan lugu. Lalu kemudian membuka pintu kamar itu.

"Akhhhhh... Nay, aku kangen." Maya memekik girang lalu memeluk Nayla, mereka berdua tidak bertemu beberapa hari karena Nayla yang sibuk mempersiapkan pernikahannya, dan Maya yang bekerja.

"Akhhhh... aku juga, padahal kita baru beberapa hari tidak bertemu." Nayla menyambutnya dengan tak kalah heboh, ia memeluk Maya dengan kuat.

"Kamu kira hanya kamu yang bisa bersandiwara?! Aku juga bisa kali!" Nayla membatin, tersenyum menyeringai.

"Hehehhe... ekhh... tapi peluknya jangan kencang juga kali." Maya berkata dengan nada sesak dan tawa dibuat-buat, sungguh terdengar tidak tulus.

"Heheheh, maaf." Senyum polos nan lugu kembali tercipta.

*****

Bersambung...

Merubah Keadaan

Pernikahan Nayla dan Barra tinggal satu minggu lagi, dan beberapa waktu kemarin Elis telah banyak memberikan laporan apa yang ia minta.

Kejadian yang terjadi persis tiga tahun yang lalu, Barra dan Maya di kehidupan ini melangsungkan hubungan gelap. Elis mengirimkan banyak sekali foto kemesraan mereka berdua, mulai di mall, tempat kerja Maya, sampai hotel yang sering mereka kunjungan akhir-akhir ini.

Elis sampai tidak percaya mendapati semua itu, pasalnya, dulu ia juga membuntuti mereka berdua tapi terlihat normal saja bahkan mereka berdua jarang bertemu.

Tapi ini, ketika ia meminta bawahannya menjalankan perintah dari Nayla dan bukan dirinya yang turun secara langsung untuk mengawasi. Bawahannya itu dengan mudah mendapatkan informasi dua orang itu dan mengirimkan beberapa foto kemesraan yang menggelikan setiap harinya.

Mereka melakukan pengkhianatan pada nona nya, dan ketika saling bertemu mereka bertingkah seolah tidak terjadi apa-apa. Sungguh bunglon berbentuk manusia.

Mereka juga pasti sudah tahu bahwa Elis membuntutinya, makanya Elis tidak bisa mendapatkan informasi apa-apa dan hubungan mereka terlihat normal saja. Nayla mengangguk saat itu, mendapati tanggapan Elis. Itu juga yang ia pikirkan.

Dan sekarang, pagi yang begitu cerah di hari libur. Manusia rubah licik dengan muka bertopeng, tengah berada di dapur bersama Nayla yang tengah membuat brownies.

"Brownies datang." Ucap Nayla girang seperti biasa. Ia mengeluarkan brownies dari dalam oven, menambahkannya keju lalu buah ceri atasnya.

Maya terlihat antusias di atas meja makan, dan Elis berdiri di pojok sebagai penonton. Tak lama kemudian Barra datang menghampiri mereka di dapur.

Nayla kini tengah memeras jeruk untuk membuat jus, tak disangka mendapatkan pelukan dari Barra.

Barra membuat kedua orang itu diam dengan isarat jari telunjuknya, sedangkan dia menghampiri Nayla lalu memeluknya dari belakang.

"Hai, sayang." Sapanya di telinga Nayla.

Elis terlihat memutar jengah bola matanya, "Aktor sandiwara yang ulung," batinnya.

"Eh kamu, kapan datang?" Nayla membalikkan tubuhnya, matanya dan mata Barra berpapasan.

Dengan ujung matanya ia bisa melihat Maya yang diam seribu bahasa, antusias yang ditunjukkannya hilang seketika.

Dalam hati ia menyeringai, "Oh, ada yang panas rupanya." Nayla dengan akalnya yang mulai berubah, memegang tengkuk leher Barra, seperti orang yang sedang ingin berciuman. Maya kini mengepalkan tangannya, terlihat dari ujung mata Nayla.

Dengan rasa cemburu yang membuncah, Maya mengalihkan pandangannya. Lalu melihat brownies buatan Nayla, tanpa berpikir panjang ia memotong brownies itu dalam ukuran besar, lalu melahapnya satu kali secara serentak.

Uhuk... uhuk...

Maya terbatuk dengan wajah merah padam, dan mata yang berair.

Barra dengan refleks melepaskan tangan Nayla yang masih memegang tengkuk lehernya, ia terlihat begitu sangat panik. Sedangkan Nayla menyeringai tipis, begitu pula dengan Elis yang sejak tadi hanya menjadi penonton.

"Itu belum apa-apa dibanding kau mencekik leher ku dulu." Nayla mengingat kejadian masa lalunya, dimana Maya mencekik lehernya karena brownies buatannya terlalu manis. "Sekarang rasakan brownies dengan rasa berbeda dan spesial." Ia menggumam dalam hati.

"Maya, kamu tidak apa-apa?" Barra menepuk bahu Maya pelan.

"Shhhhh, hhhhh... airrr...." Ucapan Maya terdengar tidak jelas karena lidahnya yang terjulur keluar, sembari mengipas-ngipasi dengan tangan.

Barra dengan langkah seribu menuangkan es jeruk yang baru saja Nayla buat, lalu memberikannya pada Maya.

Maya tanpa berpikir panjang, langsung meneguk minuman itu. Tapi baru satu tegukan ia menyemburkan minuman itu dan kembali terbatuk-batuk, bahkan batuknya lebih parah. Dan baru itu, Nayla pun bergerak, bertingkah heboh dan sok panik.

"May... kamu tidak apa-apa?" tanya Nayla dengan sangat khawatir. Ia menyentuh bahu Maya, tapi langsung ditepis oleh perempuan itu.

Maya tidak tersinggung ataupun merasa marah, ia malah mengangkat satu sudut bibirnya. "Sifat asli seperti inilah yang harus kau tunjukkan." Kembali ia berbicara dalam hati.

"Uhuk... uhuk... b-browniesnya pedas, jusnya asin, asam." Beritahu Maya di sela-sela batuknya.

Semua orang membelalakkan mata, termasuk Nayla dan Elis yang sudah tahu sejak awal.

"Masa sih." Barra tidak percaya, ia mencicipi brownies itu. Dan benarlah kata Maya, brownies itu terasa pedas, bahkan sangat pedas.

"Nayla!!!" suara Barra terdengar membentak.

"Upsss... maaf." Kini ia berada di tempatnya membuat adonan brownies tadi. "Aku tidak sengaja memasukkan bubuk cabe, ku kira pewarna makanan yang berwarna merah." Lontar nya dengan mimik wajah polos, dan alis yang turun tanda sangat menyesal. "Sepertinya aku juga salah memasukkan garam pada jus yang ku kira adalah gula." Lanjutnya lagi membuat mata Barra dan Maya terbelalak sempurna.

"Akhhh." Nayla memegang kepalanya yang terasa sakit, setelah ia memberikan lirikan mata pada Elis.

"Nona...." Elis yang sejak tadi hanya melihat keadaan, kini menghampiri Nayla yang tengah berakting sakit kepala. "Sepertinya Anda butuh istirahat, Anda terlalu lelah hari ini."

"Kau benar, aku sepertinya terlalu lelah sampai salah mencampurkan bahan."

"Mari saya antar ke ruang tamu." Nayla pun di papah oleh Elis menuju tempat yang ia katakan.

Mereka pun keluar dari dapur menuju ruang tamu, samar-samar terdengar Maya yang menggerutu.

"Shitt! Hhhhh. Sayang pedas." Suara manjanya mengadu pada Barra.

"Sstttt... jangan keras-keras, nanti mereka bisa mendengar kita."

"Terlanjur terdengar," gumam Nayla yang hanya didengar Elis.

Nayla kini sudah duduk di sofa, sedangkan Elis setia berdiri di samping. Ia sudah menyuruh pengawalnya itu untuk ikut duduk, tapi Elis merasa sungkan dan Nayla pun tidak bisa memaksa.

Dari pintu depan, kedua orang tua Nayla masuk dengan menggunakan baju olahraga dan handuk kecil di bahu, tubuh mereka dipenuhi oleh keringat. Keduanya baru saja berlari keliling kompleks sembari menikmati suasana pagi bersama di hari libur.

"Huuuuh, Papa sama Mama bau keringet."

"Tentu saja, kan habis olahraga." Arsyad menanggapi ejekan anaknya. "Tidak kaya kamu yang malas olahraga." Lanjutnya balas mengejek.

"Hahaha... Papa serius mengatakan itu? Jangankan olahraga, mandi aja Nay jarang." Mamanya ikut menimpali.

"Mamaaaa." Nayla tentu tidak terima, aibnya diumbar. Ia segera melirik pada pengawalnya, melihat apakah dia menertawainya. Tapi untunglah tidak, wajahnya terlihat datar seperti biasa. Tidak ada respon mengejek darinya.

"Oke, aman. Nilai plus untuk wajah kaku pengawal ku." Komentar Nayla dalam hati sembari mengangguk-angguk kecil. Dan dia tidak tahu saja kalau Elis tengah tersenyum sangat tipis, dalam hati ia berkata, "Okee, kebiasaan jarang mandi bukan hanya aku," riak Elis mendapat teman sejawat.

"Eh... Tante, Om, salam...." Ucap Barra dan Maya bersamaan.

"Kalian juga ternyata di sini. Ya, silakan, silakan duduk." Arsyad mempersilahkan kedua orang itu, mereka memang sudah sangat saling mengenal. Dan saling berhubungan baik, makanya kedua orang itu tidak sungkan lagi untuk keluar masuk dari rumahnya. Dulu Nayla senang akan hal ini, karena mereka berdua orang terdekatnya, apalagi Maya yang sudah dianggap saudara sendiri. Tapi di kehidupan ini,  ia ingin mengusir kedua orang itu dengan tak hormat, dan tidak lagi menginjakkan kaki di rumahnya.

"Kau juga Elis, kenapa berdiri saja. Ayo duduklah." Arsyad juga mengajak Elis.

"Iya Elis, duduklah. Aku merasa diawasi di rumah sendiri." Nila berlelucon dengan pengawal anaknya itu agar mau duduk.

Elis merasa bingung, dan sangat bimbang. Ia tidak mungkin duduk bersama majikannya, sedangkan ia hanya seorang pelayan yang menjadi pengawal anaknya. Tentu rasa sungkannya tinggi.

"Ayo Elis, jangan menolak." Nayla menarik pengawalnya itu sebelum menolak, dan menuntunnya untuk duduk bersamanya di sofa yang hanya muat dua orang.

Sebenarnya itu adalah tempat yang ingin Barra duduki, tapi kini diisi oleh Elis. Ia pun terpaksa duduk di sofa yang lain bersama Maya dengan rasa canggung.

"Oh ya, laporan mingguan kemarin sudah kamu kumpulkan Barra?" tanya Arsyad mengenai pekerjaan.

"Sudah Om, nanti aku akan serahkan."

"Ya, tolong secepatnya. Karena aku mendadak harus keluar daerah dua hari lagi."

Mata Nayla terbelalak, dulu ia tidak memberikan respon apa-apa ketika papanya mengatakan itu, karena menganggap itu hanya perjalanan biasa yang dilakukan papanya seperti biasa. Tapi tidak di kehidupan ini, karena dua hari lagi itu adalah waktu dimana kecelakaan kedua orang tuanya sampai merenggut nyawa. Dan lima hari kemudian, ia melangsungkan pernikahan karena desakan dari Barra agar ia tidak lagi sedih dan merenungi kematian kedua orang tuanya.

"Dua hari lagi Om dan Tante akan pergi?" tanya Maya, nadanya penuh maksud. Di kehidupan lama Nayla tidak melihat itu, tapi di kehidupan ini, sungguh jelas maksud terselubung dari pertanyaannya itu.

Pikiran Nayla berkelana pada kejadian sebelum kematiannya di atas kapal, sangat jelas di ingatannya kalau Barra mengatakan padanya untuk berbahagia karena sebentar lagi akan berjumpa pada kedua orang tuanya.

Nayla terlihat shock dengan dugaannya, buru-buru ia memperbaiki mimik wajahnya.

"Pasti kematian papa dan mama buka kecelakaan semata." Duga Nayla dengan mengaitkan beberapa kejadian yang membuat dugaannya itu kuat.

"Hm, kejadian yang sama tidak akan lagi terulang." Nayla bertekad merubah keadaan.

*****

Bersambung...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!