NovelToon NovelToon

MENIKAH KARENA KECELAKAAN

Menikah

"Saya terima nikah dan kawinnya Airina Kamalia Naylun bin Alm. Herman dengan mas kawin tersebut tunai."

Dengan lantang dan sekali ucap Bambang telah mengucapkan Ijab qobul atas Irin, seorang gadis yatim piatu. Seminggu yang lalu kecelakaan mengerikan itu terjadi, antara mobil Bambang dan orang tua Irin yang menyebabkan kedua orang tua Irin meninggal. Irin adalah anak tunggal, sebagai bentuk tanggung jawab Bambang akhirnya dia menikahi Irin karena wasiat ayah Irin sebelum menghembuskan nafas terakhir beberapa jam yang lalu di rumah sakit setelah kritis berhari-hari. Pak Herman dikuburkan di sebelah kuburan istrinya yang meninggal tanpa sempat tertolong pada kecelakaan itu.

Tidak ada cinta dan sangat asing. Pernikahan sangat sederhana, mendadak, dan sangat tidak diinginkan Irin maupun Bambang. Usia Irin baru 19 tahun sedangkan Bambang 23 tahun.

"Istirahatlah, kamu pasti lelah!" ucap Bambang yang masih sangat canggung pada istri barunya.

Irin masuk ke kamar utama rumah mungil milik Bambang dan menutup pintunya. Tak lama kemudian terdengar tangis yang amat pilu. Bambang merebahkan badannya di sofa, kemudian memijat-mijat keningnya.

"Ini mimpi atau nyata???" gumamnya lirih.

Dia ingin menghibur Irin, tapi dia sendiri dalam perasaan yang masih mengambang dan kacau. Bambang punya kekasih yang sudah 4 tahun menunggu untuk dilamar, tapi sekarang dia menikah dengan gadis asing. Bambang sangat mencintai kekasihnya.

"Winda, maafkan aku!"

🍃🍃🍃🍃🍃

 

Badai pasti berlalu, tapi ini bukan badai. Ini seperti kiamat untuk Irin. Dia menangis sepanjang hari, tidak makan tidak minum hingga badannya lemah bahkan bibirnya kering dan terkelupas tanda dehidrasi. Imannya seakan terkikis oleh kenyataan bahwa dia sekarang sendirian tanpa orang tua dan harus hidup dengan orang asing.

Namun Bambang dengan sabar mendampingi Irin yang mengalami depresi. Dia membawa istrinya terapi dengan seorang psikolog dan juga mendatangkan seorang ustadzah untuk membimbingnya.

Setelah 3 bulan, Irin mulai stabil. Tangisan dan kebiasaannya berteriak-teriak sudah mulai berkurang, meski harus masih berhati-hati agar Irin tidak kumat lagi. Perlahan dia mulai menerima kenyataan atas kepergian orang tuanya. Bambang bersikap sangat sabar dan dia bertanggung jawab.

"Mas, aku ingin keluar sebentar mencari udara segar," Irin berkata dengan sangat kaku pada Bambang.

Bambang yang sedang terpaku dengan gawainya langsung kaget tak percaya dengan apa yang telinganya dengar, seketika rasa bahagia dan lega menyelimuti dirinya. Ya, inilah kata-kata pertama yang Irin ucapkan kepadanya sejak kejadian itu. Selama ini Irin bungkam, dan tenggelam dalam kesedihannya.

"Aku nggak salah dengarkan?" tanya Bambang seraya berdiri menghampiri istrinya, Irin hanya menggeleng.

"Terimakasih Airin, melihatmu terpuruk selama ini membuatku merasa sangat bersalah. Maafkan aku, izinkan aku menebus semuanya Airin, izinkan aku Rin!"

"Terimakasih, untuk tidak melemparkan aku ke rumah sakit jiwa saat aku gila kemarin. Dan biarkan waktu mengobati semuanya."

"Kamu ingin kemana Airin, biar aku temani!"

"Tidak usah mas, aku hanya ingin menengok orang tuaku."

"Aku temani, tunggu sebentar aku akan ganti baju!" dengan semangat Bambang memprsiapkan dirinya.

Bambang mengantarkan Irin ke makam kedua orang tuanya. Bambang sangat terharu mendengar untaian doa yang terucap dari Irin. Dia semakin yakin untuk menjadi penjaga untuk Irin sepanjang hidupnya.

"Mas, aku sudah ikhlas atas kepergian mereka. Tapi aku masih belum bisa menerima pernikahan ini. Diantara kita tidak terjadi apa-apa, dan pernikahan kita masih belum tercatat. Jadi, mungkin ini saatnya kita memikirkan semua ini kembali," ungkap Irin setelah selesai berdoa.

Bambang hanya terdiam, selama 3 bulan mendampingi Irin melewati masa-masa terburuknya, jujur mulai tumbuh perasaan sayang dan ingin melindungi Irin. Meskipun bagi Irin dia hanya pembunuh orang tuanya dan orang asing.

"Jadi, kamu ingin kita berpisah?" tanya Bambang tidak percaya.

"Iya. Aku sudah memaafkanmu, dan apa yang kamu lakukan selama ini sudah cukup membuktikan tanggung jawabmu Mas. Kita tidak perlu menikah."

"Sadarkah kamu Rin? kita diatas pusara Ayah Ibumu. Aku tidak akan ingkar janji pada wasiat terakhir Ayahmu. Ini bukan hanya tentang tanggung jawabku pada orang tuamu, tapi juga pada Tuhanku." Irin hanya diam, dia seperti kehabisan kata-kata mendengar kesungguhan Bambang, sorot mata pria itu seperti membungkam Irin.

"Beri aku waktu untuk mengenalmu, dan kenalilah aku berapa pun waktu yang kamu butuhkan, aku janji tidak akan menyentuhmu selama hatimu belum menerimaku sebagai suami."

"Kita punya kehidupan masing-masing Mas, aku tahu kamu punya kekasih. Maaf aku tidak sengaja mendengar ketika kalian bertengkar dengannya kemarin. Bahkan aku dengar saat kekasihmu menyebutku wanita gila, meski kemarin aku memang sedang gila." Irin berkata dengan mulut bergetar menahan ketidak nyamanan hatinya.

"Aku sudah lebih baik sekarang, saatnya kita kembali ke kehidupan masing-masing. Cukup talak aku dan kita berpisah. Bebaskan aku dari pernikahan ini dan aku membebaskanmu dari rasa bersalah." Irin kembali memberanikan diri mengungkapkan keinginannya.

"Tidak Airin! aku tidak pernah main-main. Aku sudah selesai dengan Winda, awalnya dia memang marah. Tapi sekarang dia sadar aku bukan jodohnya. Bagaimanapun dia terluka, takan bisa merubah jodoh yang ditakdirkan Tuhan. Aku minta maaf, sebenarnya dia wanita yang baik. Tapi saat itu dia khilaf menyebutmu gila, aku minta maaf. Akulah yang salah karena membuatmu seperti itu, akulah yang menjatuhkanmu dalam kesedihan." Bambang tidak mampu menahan air matanya, menyiratkan kesungguhan dalam setiap kata-katanya.

"Aku hanya tidak ingin menyakiti siapapun!" Irin tidak kalah tegas.

"Seperti kata-katamu, biarkan waktu yang mengobati semua. Ini sudah takdir Tuhan untuk aku, kamu dan Winda." Bambang tidak menyerah membujuk Irin.

"Berikan aku kesempatan Airin, pernikahan bukan hal main-main. Mari sama-sama menerima takdir ini. Izinkan aku memenuhi janjiku pada alm. Ayahmu."

"Persis kata-katamu, mas. Pernikahan bukan main-main. Apalagi dasar pernikahan ini adalah rasa bersalahmu, jangan libatkan dirimu lebih jauh mas. Mari kita akhiri!" Irin menyeka air matanya, sebenarnya dia juga tersentuh oleh air mata lelaki di depannya tapi dia hanya tidak ingin kecewa.

"Aku sayang sama kamu, Rin!" Bambang mantap mengucapkannya, semantap saat dia mengucap Ijab qobul saat itu.

"Aku ingin melindungi kamu, Rin. Hari-hari kemarin benar-benar menumbuhkan perasaan sayang itu, Rin. Demi Tuhan, aku tidak berdusta, ini bukan rasa kasihan."

Irin benar-benar kehabisan kata-kata, dia terdiam mencerna apa yang diucapkan suami yang masih asing untuknya.

"Maukah kamu menjadi istriku, Rin? maukah kamu tetap menjadi istriku?" pinta Bambang.

Irin menangis terharu, Tuhan mengambil orang tuanya dengan cara yang tragis, kemudian Tuhan mengirimkan suami sebaik Bambang.

"Iya, aku mau!" jawab Irin.

Bambang tersenyum mendengarnya, dia ingin memeluk Irin tapi terasa canggung saat ini hingga dia mengurungkan niatnya dan hanya menggenggam tangan Irin.

"Panggil saja aku Irin."

"Baiklah, Irin. Kita urus secepatnya pernikahan ini agar sah secara hukum."

💕💕💕💕💕

Mengenalmu Irin

 

Sepanjang perjalanan pulang dari makam, keduanya saling diam. Irin hanyut dalam pikirannya dan Bambang fokus berkendara.

 

"Mas, bisakah aku pulang ke rumahku?" tanya Irin memecah kebisuan diantara mereka.

"Boleh, kalo kamu sudah kuat Airin. Eh maksudku, Irin."

"Tidak apa-apa, aku kuat. Semalam aku mimpi Ibu minta aku pulang. Aku akan lebih merasakan kehadiran mereka disana."

"Baiklah, kita berkemas dulu ke rumah mas ya."

Rumah Irin berada di perumahan yang cukup mewah. Irin berasal dari keluarga berkecukupan. Selama Irin terpuruk, beberapa usaha milik Ayahnya dijalankan oleh orang-orang kepercayaan orang tuanya. Irin ingin bangkit kembali menata hidupnya dan melanjutkan kuliahnya.

"Irin, aku boleh menempati kamar yang mana?" tanya Bambang pada Irin yang tengah melamun.

"Ada 1 kamar kosong di bawah, 1 juga di atas. Terserah mas mau yang mana, tapi biarkan kamar orang tuaku tetap sebagaimana adanya."

"Aku pilih yang atas ya, agar bisa menjaga kamu."

"Iya." Irin melenggang keatas, Irin hanya membawa sedikit pakaian. Itupun hanya beberapa helai yang Bambang belikan.

Seorang paruh baya berpenampilan sederhana keluar dari kamar Irin. Tergopoh-gopoh menyambut Irin di ujung tangga.

"Non Irin, bibi kangen sekali. Rumah ini sepi sekali. Bibi berdoa tiap malem agar Non Irin cepat sembuh dan pulang." Irin menyambutnya dengan pelukan.

"Makasih ya Bi, udah terus doain Irin."

"Biar bibi bantu Non," bik Ijah mencoba mengambil tas Irin yang berisi baju.

"Nggak usah Bi, cuma sedikit. Bantu mas Bam aja, Irin pengen tidur sebentar."

"Baik Non, kalau butuh apa-apa panggil bibi aja yah." Irin mengangguk lantas masuk ke kamar dan menutup pintunya.

Melihat hal tersebut hati Bambang masih cemas akan kestabilan emosi Irin.

"Biar bibi aja yang bawa Den," bi Ijah menawarkan bantuan.

"Saya aja bi, berat. Kasih tahu kamarnya aja bi,"

Selesai menata barangnya, Bambang yang masih merasa cemas mencoba mengetuk pintu kamar Irin.

Tok tok tok...

Tidak ada jawaban, Bambang semakin cemas hingga membuka pintu kamar tanpa menunggu jawaban Irin.

Saat bersamaan, Irin keluar dari kamar mandi hanya menggunakan handuk selutut dengan rambut yang basah. Pandangan mereka bertemu, Irin lantas berteriak karena kaget. Sementara Bambang tersentak dengan teriakan Irin dan langsung menutup pintu sambil meminta maaf berulang kali.

Bambang duduk sambil melamun di teras belakang. Ada juga bi Ijah yang rajin dan setia merawat rumah majikannya.

"Bi, boleh saya keliling melihat-lihat rumah?" Bambang meminta izin.

"Boleh Den silahkan," jawab bi Ijah. Bukanya pergi Bambang malah mendekati bi Ijah, Bambang akhirnya menemukan kesempatan untuk bertanya banyak hal.

"Bi Ijah sudah lama disini?"

"Sudah Den, dari non Irin bayi."

"Panggil saja mas Bi, saya nggak biasa dipanggil den-den begitu. Nggak nyaman jadi keliatan nggak akrab." Bambang mencoba bersikap terbuka pada bi Ijah, berharap bi Ijah menerima dengan baik kehadirannya.

"Baiklah Den, eh Mas. Saya yang merawat non Irin dari bayi, Bapak sama Ibu sangat baik jadi saya betah. Tapi sayang sekali, kenapa takdir mereka seperti itu." Sesal bi Ijah dengan sesenggukan mengingat majikannya.

"Eehh, sudah bi, Pak Herman dan Ibu Herman sudah bahagia, jangan ditangisi lagi. Saya minta maaf sudah membuat kekacauan di keluarga ini, saya akan berusaha melakukan apa saja untuk menebus semuanya. Termasuk membahagiakan Irin."

"Huhhh huhhhh, Iya Mas. Non Irin gadis yang sangat baik, Ibu sama Bapak sangat hati-hati menjaga dan mendidik non Irin. Bibi harap non Irin mendapat suami yang baik yang bisa menjaganya kaya Bapak sama Ibu," ucap Bi Ijah sambil menahan kesedihnya.

"Tadi saya liat non Irin berubah. Biasanya non Irin cerewet, ceria dan selalu membuat rumah ini bahagia. Sekarang non irin jadi irit banget ngomongnya. Saya khawatir sama non, saya juga sedih atas kepergian Bapak sama Ibu jadi saya paham banget perasaan non Irin seperti apa, semoga non Irin kuat ya Mas."

"Aamiin, jujur saya merasa sangat-sangat bersalah bi. Terlebih setelah masuk ke rumah ini. Bantu saya bahagian Irin ya bi, kasih tahu semua yang Irin suka, hobinya, makanan, dan kesehariannya pokoknya semua yang unik tentang Irin. Saya ingin mengenal Irin dan membahagiakannya."Bambang mencoba menghibur bi Ijah, sekaligus meminta bantuannya.

"Baik Mas, nanti bibi kasih tahu semuanya."

Bambang merasa bahagia niat baiknya disambut baik, dia begitu serius untuk bertanggung jawab seiring rasa bersalah nya yang masih saja membuat hatinya berat.

Hari-hari berlalu, Irin dan Bambang jarang bicara. Saat berpapasan Irin selalu menghindar, terlebih rumah Irin yang lebih besar dari rumah Bambang membuat mereka jarang bersinggungan. Biasanya Bambang yang mengurus Irin, sekarang ada bi Ijah. Bambang merasa ada yang hilang, dia mulai rindu Irin.

Bambang bekerja disalah satu BUMN di Ibu kota. Hanya saja sejak pandemi melanda, dia WFH. Hanya mengerjakan beberapa pekerjaan lalu keluar kamar untuk menunggu Irin yang tidak jua keluar dari kamarnya.

Dilanda kebosanan dan rasa penasaran yang besar, Bambang mengetuk pintu Irin.

Tok tok tok...

Lama tapi tidak ada jawaban. Bambang kecewa karena Irin terus menghindarinya dia hendak berbalik, saat kemudian Irinlah yang membuka dari dalam.

"Hay Irin, kita sepertinya perlu bicara," mata Bambang berbinar melihat Irin mau menemuinya.

"Tentang apa?" Irin selalu menghindar dari tatapan mata Bambang.

"Hem, pernikahan kita." Bambang akhirnya menemukan alasan untuk bicara dengan Irin.

"Apa yang harus dibicarakan dengan itu?"

Kemudiam Irin berjalan menuruni tangga, menuju teras belakang. Tempatnya nyaman ada kolam ikan kecil disana suasananya menyenangkan dan sejuk dengan suara gemricik airnya. Bambang mengikuti tanpa berani terlalu dekat. Keduanya pun duduk agak berjauhan.

"Kamu baik-baik saja Rin?" tanya Bambang dengan sangat kaku memulai pembicaraan. Irin memang sangat irit bicara padanya namun dia tidak menyerah mengingat kata bi Ijah sebenarnya Irin adalah gadis yang cerewet.

"Aku baik," jawab Irin singkat.

"Tapi kamu terus menghindariku sejak pindah kerumah ini. Aku takut kamu kenapa-kenapa Rin."

Irin terdiam cukup lama dan terlihat dia menarik nafas dengan berat mengatakan ganjalan di hatinya.

"Mas Bam ketok dulu kalau mau masuk ke kamarku!" Bambang terkejut mendengarnya, jujur dia sungguh lupa kejadian tempo hari, namun sepertinya Irin terus mengingatnya.

"Iya, maafin mas ya Rin. Mas cemas membayangkan kalau kamu menangis lagi, mas ketok-ketok lama lho Irin ngga ngasih jawaban, dan nggak ada suara apa-apa dari kamar Irin, mas takut Irin... takut Irin.. hem sedih lagi jadi mas buka pintunya, eh taunya..." Bambang tidak melanjutkan perkataannya.

"Makanya ketuk dulu, tunggu sampai aku membukanya,"ucap Irin.

" Maaf, itu sudah menjadi kebiasaan. Aku hanya perlu membiasakan diri dengan peraturan baru," jawab Bambang dengan santainya.

"Maksudnya?" Irin menangkap kejanggalan jawaban Bambang.

"Selama ini kalo bukan aku siapa yang merawatmu Rin? wong terkadang aku juga membantu kamu mengganti baju, jadi melihat kamu tidak berpakaian sudah biasa bagiku," jelas Bambang disambut muka Irin yang kaget dan malu.

"Maaf Rin, waktu itu tidak ada pilihan. Aku tidak mungkin membiarkan kamu nggak terawat saat itu, dan siapa lagi kalo bukan aku. Kita kan suami istri." Irin merapatkan tangan ketubuhnya dan menggengam erat pakaiannya.

"Jadi maksudnya?!" tanya Irin ingin memperjelas maksud kata-kata Bambang.

💕💕💕💕💕

Aku belum Menikmati apapun Darimu

Irin memang tidak sepenuhnya ingat apa yang sudah dia lewati bersama suaminya. Kesadarannya saat itu memang kacau, untung saja Irin masih diberi kesembuhan dan kehidupan yang baru. Dia ragu apa benar suaminya itu belum menyentuhnya, sementara dia tidak mengingat banyak. Irin merasa malu sehingga terus menghindari suaminya. Bambang terus berusaha membuat Irin bicara dan nyaman dengannya. Namun Irin terus menghindar, Irin memang polos karena orang tuanya tidak pernah mengijinkan Irin berpacaran. Jadi saat tahu tubuhnya sudah pernah dilihat seorang lelaki rasanya risih, walaupun itu suaminya. Suami mendadak yang masih asing.

Sore itu hujan sangat lebat, beserta angin kencang dan petir yang terkadang menggelegar. Irin sedang berada di kamarnya ketika Bambang mengetuk pintu seperti biasa. Irin hanya menyaut, menyuruh Bambang membuka pintu sendiri.

Bambang pun masuk, sambil memegang senter kecil.

"Hujan seperti ini, kamu nggak takut, Rin? Aku bawa senter jaga-jaga kalau nanti lampu padam." Irin hanya tersenyum melihat Bambang yang siaga.

"Boleh aku temani?" tanya Bambang.

"Boleh."

Bambang kemudian duduk di kursi dekat ranjang Irin.

"Aku harus bagaimana Irin? Agar kamu nyaman dan bisa ceria seperti kamu yang dulu." Bambang mengungkapkan isi hatinya tanpa basa basi, sudah lama Bambang ingin bertanya hanya saja Irin selalu menghindar.

"Maaf mas, kalau membuat Mas nggak nyaman."

"Bukan begitu Rin, selama 2 minggu kita pindah. Kamu seperti terus menghindariku. Katakan aku harus bagaimana. Haruskah aku begini?" Bambang membuat ekspresi wajah yang lucu, "Begini? atau begini?" Bambang meneruskan ekspresi kocak di wajahnya. Namun Irin menanggapinya datar, membuat Bambang malu lawakannya gagal.

"Hem, biasanya kamu selalu suka saat aku menyanyikan lagu sambil main gitar. Kamu mau dengar aku nyanyi sekarang, Rin?" Bambang masih mencoba mencairkan suasana, tidak betah rasanya tinggal bersama tapi tidak pernah berbicara. Irin malah kaku dan sedikit bergerak menjauh.

"Aku nggak ingat, apa saja yang sudah aku lakukan denganmu dan itu membuatku canggung. Aku nggak tahu hal-hal memalukan apa saja yang sudah aku lakukan. Bahkan aku nggak tahu sejauh apa kamu merawat dan melihatku," ucap Irin tertunduk.

"Tenang saja Irin, semua sudah berlalu sudah aku kubur dalam-dalam nggak papa kalau kamu nggak ingat memang seharusnya nggak usah diingat aku juga sudah mulai melupakannya," ucap Bambang mencoba menenangkan Irin.

Padahal, Bambang masih mengingat jelas saat-saat dimana Irin memakinya pembunuh, berteriak histeris menangis memukulnya mencakar-cakar bahkan melempar botol kaca ke kepalanya hingga mendapat 3 jahitan, untung tertutup rambut jadi Irin tidak menyadari. Saat-saat Irin membanting piring makanan dan dengan sabar dia kembali menyuapi Irin saat Irin sudah tenang. Bahkan urusan buang hajat, mandi dan berpakaian Bambang rela lakukan. Hingga Irin kembali pulih sekarang. Biarkan Irin lupa tapi Bambang tidak akan pernah lupa, dimana rasa sayangnya mulai tumbuh di masa terburuk dalam hidup Irin, walaupun harus meninggalkan kekasihnya saat itu.

"Aku minta maaf, sudah merepotkan Mas selama ini."

"Tidak usah minta maaf Irin, walaupun awalnya semua adalah bentuk tanggung jawabku tapi lama kelamaan aku ikhlas melakukannya, maaf aku sudah mulai menyayangi kamu Irin. Jadi jangan lagi menghindariku, aku mohon. Akulah yang bersalah membuat hidupmu seperti ini, ijinkan aku memperbaiki semampuku." Bambang turun dari kursinya dan berlutut meraih kedua tangan Irin yang duduk di tepi ranjang.

"Dengarkan baik-baik, walaupun aku yang merawatmu, percayalah! aku belum menikmati apapun darimu. Aku takan melakukanya tanpa seizin kamu. Aku bersumpah tidak melakukannya Irin, jika memang itu yang membuat mu menghindariku, aku tidak melakukanya, setidaknya belum sampai kamu mengizinkan." Bambang meyakinkan Irin.

"Benarkah?" tanya Irin dan Bambang mengangguk mantap.

"Benar Irin, kamu masih suci." Irin tersenyum lega ternyata kekhawatirannya selama ini tidak terjadi. Lagi-lagi Bambang ingin memeluk Irin seperti biasanya untuk menenangkan Irin kemudian Irin akan terlelap dipelukannya. Tapi diurungkannya mengingat sekarang Irin sudah berbeda.

"Bagaimana rencana pernikahan kita Rin? sepertinya orang tuaku tidak bisa hadir. Hanya lewat video call saja, mengingat keadaan saat ini perbatasan provinsi masih dijaga," kata Bambang seraya bangun dan duduk di samping Irin. Irin nampak salah tingkah karena Bambang begitu dekat dengannya.

"Aku nggak mau ada pernikahan mas, cukup urusi saja surat-suratnya aku takut terbawa suasana sedih lagi kalau ingat orang tuaku."

"Begitukah Irin? biasanya wanita selalu punya pernikahan impiannya."

"Berat kalau harus melakukan pernikahan tanpa orang tua, lebih baik ditiadakan saja."

"Baiklah, sesuai apa yang kamu minta Irin. Besok biar mas minta teman mas membantu perihal dokumen kita."

Tiba-tiba kilat besar menyambar, membuat kaget siapapun yang mendengar. Irin tanpa sadar mendekatkan kepalanya ke dada Bambang dan Bambang dengan sigap memeluk Irin. Lalu listrik pun padam, Bambang pun menyalakan senter kecil yang sudah dipersiapkannya.

Tanpa kata mereka berdua canggung bersamaan, bagi Bambang biasa memeluk Irin seperti ini. Tapi entah mengapa sekarang jantungnya berdegup kencang sekali, Bambang malu, karena Irin pasti merasakannya detak jantungnya. Dan Irinpun merasakan hal yang sama.

"Jangan takut Irin, aku sudah bawa senter."

Irin membetulkan posisi duduknya, dia merasa sangat malu karena menghambur ke pelukan lelaki seperti tadi. Biasanya ada ibunya yang menemani disaat hujan begini.

"Cerialah kembali Irin! Kata Bi Ijah kamu adalah gadis periang. Cobalah kembali pada jati dirimu, Rin. Biarkan waktu dan aku yang menjadi obat, walaupun sebenarnya ..." Bambang ragu melanjutkan perkataanya,

"Sudahlah Mas, racun dan obat biasanya seperti 2 sisi mata uang yang nggak bisa dipisahkan. Jangan diungkit lagi dirimu sebagai racun yang menghancurkan, jika memang kamu sudah memutuskan untuk menjadi obatnya. Biarkan aku melihat sisi obatmu, kamu simpan sisi racunnya dalam-dalam. Bantu aku melupakan kejadian itu. Kepergian orang tuaku adalah takdir yang sudah aku ikhlaskan," ucap Irin sambil menahan getar pilu di hatinya.

"Iya Irin, iya!" janji Bambang.

"Jadilah Irin yang baru, ayo bangkit, Rin! Aku akan jadi suami yang selalu melindungi kamu."

Waktu berlalu Irin ketiduran sambil menyenderkan kepalanya di lengan Bambang. Bambang membopong Irin naik ke atas kasurnya dan menyelimutinya dengan penuh kasih sayang. Senternya dia taruh diatas nakas, jadi walaupun cahayanya kecil masih bisa menerangi. Mudah sekali untuk menyayangi Irin, sebenarnya dia cantik dengan wajah yang manis dan bibir yang menggoda. Sekarang dia nampak jauh lebih cantik, dulu saat dia acak-acakan saja Bambang sudah mulai sayang apalagi sekarang Irin semakin cantik. Bukan hanya fisik tapi karena Tuhan memang menuliskan takdir mereka berjodoh sehingga semua berjalan begitu mudah.

Ditemani cahaya senter, Bambang nampak mengagumi wajah Irin dari dekat. Hingga dia mengantuk dan ikut terlelap di samping Irin.

 

🍃🍃🍃🍃🍃

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!