NovelToon NovelToon

Retisalya

Ganteng

Gadis berambut panjang itu terus saja berlarian di sepanjang koridor. Sudah terhitung setengah jam dia mengitari bangunan ini untuk menemukan kelasnya, bahkan beberapa kali pula bahunya bertabrakan dengan orang lain.

“Ah maaf lagi, Kak.” Ciya Bryonna, gadis itu membungkukkan badannya meminta maaf.

Satu, dua langkah Ciya hendak melanjutkan acara berlarinya, kaki Ciya terhenti. Ekspresi wajahnya berubah serius dan seperti mendapat pencerahan.

“Kenapa gak kepikiran dari tadi ya, padahal kan Ciya bisa tanya,” monolognya.

“Kakak cantik, tau kelas Ciya di mana gak?” tanya Ciya. Tangannya menyodorkan selembar kertas yang bergambar denah SMA Nusantara ini dan jangan lupakan gambar kelasnya yang sudah bundanya lingkari dengan spidol merah.

Orang yang Ciya tanya itu perlahan menengadahkan kepalanya guna melihat sang empu yang baru saja bertanya padanya.

“Pas banget! Gue juga lagi nyari ini tempat.” Ciya yang mendengarnya sontak memandang orang itu dan berakhirlah mereka saling bertatapan.

“Ah iya, kenalin nama gue Daania. Lo siapa?” tanyanya antusias memecah keheningan.

“Nama Ciya, ya Ciya. Ciya Bryonna kalau mau tau nama panjangnya.” Daania menganga mendengar penuturan gadis di hadapannya ini.

Begitukah cara seorang anak SMA berkenalan? Entahlah.

“Oke oke. Jadi lo kelas 10-B juga kan?” Ciya segera mengangguk mengiyakan pertanyaan Daania.

“Ya udah kita cari bareng-bareng.”

Entah Ciya yang kelewat polos atau mata mereka tak berguna, tapi kelas yang mereka cari justru mereka lewati begitu saja.

Disaat semua kelas melakukan kegiatan mereka pada hari pertama MOS ini, Ciya dan Daania malah nangkring di kantin dengan sebungkus roti di tangan mereka dan jangan lupakan minuman segar yang saat ini ada di hadapan mereka.

Ya, di sinilah mereka setelah lelah mencari kelas yang tak kunjung bertemu.

“Gila, cape banget gue dari pagi muter-muter buat nyari kelas,” kesal Daania.

Ciya hanya mengangguk sambil terus menggigit roti yang kini sisa setengah.

“Kalian ngapain masih di sini!” seru seseorang dari seberang kantin.

Sontak kedua gadis yang sedang asik dengan rotinya itu menolehkan kepalanya dengan mata melotot.

“Astaga, lari Bry!” Entah kapan panggilan itu mulai Daania terapkan pada Ciya. Dania meraih tasnya dan segera berlari sementara Ciya masih diam di tempatnya dengan mata melotot dan mulut menganga.

Daania yang menyadari Ciya tak ada di belakangnya, lantas menoleh dan mencari anak itu. Langkahnya kembali ke tempat di mana dirinya dan Ciya tadi berada dan benar saja.

“Kenapa kamu ada di sini?” tanya pria dengan perawakan tinggi itu dengan nada sedikit tinggi.

Tak ada jawaban. Ciya hanya terus memandangi pria itu dengan mata berbinar.

“Hei!” sentaknya.

“Ah, maaf, Kak. Tadi kita cari kelas, tapi gak ketemu,” jawab Daania entah datang dari mana. Napasnya masih memburu dengan keringat di sekitar pelipisnya.

“Bagus banget hari pertama udah berani bolos. Ikut saya sekarang.” Ciya mungkin tidak akan bergerak jika tangannya tidak ditarik oleh Daania.

“Kenapa lo gak lari sih!” kesal Daania sedikit berbisik.

“Sayang banget kalo Ciya lari. Kakaknya ganteng, kapan lagi Ciya bisa lihat cowo gan-.” Ucapan Ciya terpotong saat netranya menangkap orang-orang yang ada di hadapannya.

Ya. Kini mereka berada di sebuah lapang terbuka dikelilingi siswa baru yang masih ikut kegiatan dan juga kakak kelas yang memandu acara MOS ini.

“Wah, tahu gini, Ciya tadi lari aja ke lapangan.” Matanya berbinar melihat pemandangan di hadapannya.

Senior dengan tatapan tajamnya kini berjejer di hadapan Ciya dengan wajah garangnya, namun meski begitu bagi Ciya itu sangat mengagumkan.

“Mereka ganteng-ganteng ya, cantik juga.” Semua mata tertuju pada Ciya. Kalimat yang baru saja Ciya lontarkan itu berhasil mengundang perhatian.

Sejak tadi memang mata semua siswa baru tak lepas dari kakak kelasnya, namun tak ada satu pun dari mereka yang berani mengungkapkan apa yang mereka rasakan.

Dan saat ini Ciya seakan-akan mewakili perasaan seluruh siswa baru yang ada di sini.

“Kalian berdua ke mana aja? Kenapa baru muncul?!” bentak senior wanita yang baru saja menghampiri mereka.

“Itu Kak, anu ... “

Sebenarnya Ciya sedikit terlonjak dengan bentakan seniornya, namun dia ingat kata bundanya tak boleh cengeng, jadi sekuat mungkin gadis itu menahan semua perasaan sesak yang ada dalam dadanya.

“Ci-Ciya tadi keliling cari kelas, tapi gak ketemu-ketemu,” cicit Ciya. Gadis itu menunduk dalam, keberaniannya seolah menciut setelah bentakan seniornya tadi.

***

Karena bolosnya Ciya dan Daania di hari pertama, berakhirlah dia di toilet sekolah yang sepertinya sudah lumayan lama tidak dibersihkan. Tak hanya Ciya, Daania yang sebenarnya sudah hampir berhasil kabur pun kini ikut terkena getahnya.

“Lo sih! Kalau aja lo gak terpesona sama tuh senior, gak akan kita berakhir di toilet kaya gini,” cibir Daania.

“Ya maaf, Ciya juga gak tahu kalau kakak ganteng tadi itu pengurus osis,” ucap Ciya polos.

“Karena lo yang bikin gue ikut dihukum, jadi lo aja yang bersihin semuanya.” Daania melepaskan gagang pel yang semula ia pegang.

Tangannya merogoh tas mencari sesuatu di dalamnya. Setelah dirasa berhasil, gadis itu mendudukkan dirinya di kloset dan memakan sisa roti tadi pagi. Ya, dia belum sempat menghabiskan makanannya tadi dan kakak osis itu datang tiba-tiba akhirnya Daania memasukan makanan dan minumannya ke dalam tas.

“Lo mau?” tawar Daania pada Ciya yang masih setia dengan kegiatan mengepelnya.

“Enggak, Ciya udah makan semuanya tadi waktu di tarik kakak ganteng.” Apa yang dikatakan Ciya memang benar adanya, gadis itu memakan rotinya sepanjang jalan sebelum mereka tiba di lapangan tanpa rasa canggung sedikitpun.

“Ya udah.” Suasana sepi kembali karena anak-anak lain memang tengah menyelesaikan kegiatan siang ini.

Badan kecil Ciya berusaha menahan beban di tangannya. Ember biru yang penuh dengan air kotor itu dia angkat dengan susah payah.

Daania yang melihat itu bahkan tak berniat membantu sedikitpun, dia hanya terus memakan rotinya tenang dengan satu kaki yang dia angkat seperti sedang makan di warteg.

Dengan langkah sedikit sempoyongan, Ciya terus mengangkat dan membawa ember itu keluar berniat membuang airnya. Setelah sampai di luar, Ciya membuang air kotor itu begitu saja tanpa melihat sekitar.

“Sialan,” ucap orang yang saat ini ada di hadapan Ciya.

Ciya menjatuhkan ember yang kini sudah kosong itu dan segera menutup mulut dengan kedua tangannya.

Pria dengan kulit putih yang saat ini sudah basah kuyup itu menatap Ciya dengan penuh amarah.

“K-Kak, maafin Ciya. Ciya gak sengaja.” Gadis itu kelimpungan mencari sesuatu dalam tasnya. Setelah mendapatkannya, Ciya langsung menghampiri pria tadi dan segera mengelap air yang ada di wajahnya.

Namun dengan kasar pria itu menghempaskan tangan Ciya. Ciya yang terlampau kaget hanya diam menunduk dengan badan bergetar.

“Ciya, ada apa?!”

 

Sorry

Pria dengan badan yang sudah basah kuyup itu terus berjalan ke arah parkiran dengan amarah yang memuncak.

Motor besar kini sudah ada di hadapannya. Tanpa menunggu lama, pria itu segera menyalakan mesin dan berlalu dari area sekolah.

Suasana jalan terbilang cukup sepi mengingat hari sudah cukup siang.

Pakaian basah itu terasa semakin dingin di kulit sang pemakai karena tertiup angin.

"Loh, Kak. Kenapa udah pulang?" tanya wanita paruh baya yang baru saja turun dari lantai dua.

Pria muda itu terus saja melangkah ke arah kamarnya tanpa mempedulikan pertanyaan sang bunda.

"Kak!" teriak wanita itu saat putranya hanya melewatinya begitu saja.

Lylia Jazima, bunda dari seorang Axel Lorenza hanya menghela napas saat lagi-lagi dia tak mendapatkan jawaban dari putranya.

***

"Ssttt udah, gak apa-apa. Dia cuma kaget." Daania berusaha menenangkan Ciya yang terus saja menangis.

Setelah kejadian beberapa menit lalu, Ciya memang sangat terkejut. Bagaimana pun dia tak pernah mendapatkan bentakan dari orang tuanya.

"Ci—Ciya gak sengaja, kakaknya lewat tiba-tiba gak ngasih tahu Ciya dulu," isaknya.

"Iya gue percaya. Sekarang lo tenang, mending lo pikirin caranya minta maaf sama dia besok," pesannya.

Akhirnya Ciya mengangguk, gadis itu  bertekad untuk meminta maaf pada kakak yang tadi tersiram olehnya.

"Yaudah, yu beresin dulu hukumannya," ucap Daania.

Suasana di sekolah sangat sepi mengingat kegiatan hampir selesai untuk hari ini.

Sesaat setelah mereka menyelesaikan hukumannya, kakak senior yang tadi memberikan hukuman pada mereka datang bersama dua orang temannya.

"Udah selesai?" tanyanya.

"Siap sudah Kak." Keduanya masih menunduk dalam.

"Ya sudah. Untuk hari ini kalian boleh pulang. Besok jangan diulangi lagi." Kakak senior itu mengingatkan.

***

Saat semua orang merindukan rumah sebagai tempat pulang, lain halnya dengan Axel.

Pria itu tak pernah betah berada di tempat yang disebut rumah ini. Rumah yang terbilang cukup besar tak membuat Axel betah berlama-lama ada di dalamnya.

"Hhhhh." Helaan napas terdengar begitu putus asa.

dalam posisi terlentang, Axel mengangkat lengannya dan menyimpannya di atas kepala.

Denting ponsel terdengar memekakkan di ruangan yang terbilang cukup sepi ini.

Axel bangkit dan mengangkat panggilan itu.

"Hmm apa?" tanya Axel pada orang di seberang sana.

"Ikut club gak? Gue udah di tempat," ucap orang di seberang sana.

"Oke." Pada siapapun Axel berbicara, selalu saja dingin dan singkat.

Saat berada dalam perjalanan, pikirannya melayang mengingat kejadian siang tadi di mana dia disiram dengan air kotor di sekolahnya.

Sebenarnya dia tak semarah itu, hanya saja pikiran yang sedang kalut membuat emosinya lebih mudah memuncak.

Tempat yang sebenarnya haram dia kunjungi itu kini sudah ada di depan matanya. Kerlap-kerlip lampu yang ada di dalamnya terlihat samar dari luar.

Axel melangkahkan kakinya memasuki tempat itu. Tempat terlarang untuk dimasuki anak di bawah umur seperti Axel justru malah dengan mudah pria itu masuki.

"Oy sini!" teriak seseorang dari arah pojok. Bukan tempat biasa yang mereka tempati.

Axel bertos ria dengan semua temannya yang ada di sana.

"Pergi ke mana lo siang ini ngilang gitu aja?" tanya pria dengan rambut sedikit merah di bagian depannya.

"Balik," jawabnya singkat.

Semua sahabatnya sudah memaklumi dengan sifat Axel yang seperti itu.

Malam ini Axel habiskan dengan minuman-minuman haram yang terasa membakar tenggorokannya.

Kesadarannya perlahan menghilang dan Axel tak mengingat apa-apa lagi.

***

Seperti yang telah Ciya rencanakan, hari ini dia akan meminta maaf pada kakak yang kemarin dia siram.

Kali ini dia tidak terlambat karena kakak seniornya kemarin memberi tahu letak kelasnya. Dia mengikuti kegiatan dengan lancar.

Dan di saat istirahat tiba, dia mencari sosok pria yang wajahnya sempat terekam dalam ingatannya.

"Itu dia!" serunya saat netranya menangkap sosok yang sedang dia cari.

"Kak tunggu!" teriaknya, karena sosok yang dia cari itu terus berjalan tanpa menoleh.

Axel berhenti sejenak setelah mendengar teriakan dari arah belakangnya.

Kepalanya menoleh untuk memastikan dari mana asal suara itu.

"Kakak, Ciya mau minta maaf soal kemari— " Suaranya perlahan menghilang saat dia mendongakkan kepalanya.

"Seingat Ciya, kemarin Kakak gak seganteng ini." Matanya membulat takjub. Entah dia menyadari apa yang dikatakannya atau tidak.

Axel yang mendengar penuturan gadis di hadapannya ini menaikan sebelah alisnya pertanda bingung.

"Itu Kak. Ciya yang kemarin nyiram Kakak. Kakak gak apa-apa kan? Ciya gak sengaja, jadi sekarang mau minta maaf," ucapnya panjang lebar.

"Hmm." Axel segera membalikan badannya setelah dirasa Ciya selesai dengan maksudnya.

"Ih Kak, bentar dulu Ciya belum selesai loh, Kakak belum maafin Ciya. Main pergi aja." Wajah manis Ciya cemberut melihat sikap Axel.

"Jadi gimana? Kakak udah maafin Ciya atau belum?" tanyanya lagi.

"Iya," ucap Axel singkat.

Ciya tersenyum malu-malu saat mendengar suara Axel. Baginya, suara pria di hadapannya ini begitu memesona.

"Terima kasih kakak ganteng."

Namun dengan kurang ajarnya, ketika Ciya salah tingkah dengan perlakuan Axel, pria itu malah pergi begitu saja.

Kali ini Ciya tidak menahannya, dia membiarkan Axel pergi dari hadapannya.

"Kakak tadi siapa namanya ya, Ciya pengen tahu," monolognya.

"Bunda bilang, kalau Ciya suka, Ciya harus kejar kan? Jadi Ciya harus mulai dari mana?" Gadis itu meloncat-loncat kecil dengan senandung ringan yang keluar dari bibirnya.

"Daaniaaa! Ciya mau tanya!" serunya saat sudah sampai du kelas.

Pandangan semua orang tertuju pada Ciya, namun Ciya tak mempedulikannya. Dia berlarian kecil ke arah meja di mana Daania berada.

Dia hanya memiliki satu teman untuk saat ini.

"Tanya apa?" jawab Daania.

"Tadi Ciya udah minta maaf sama kakak ganteng, kakak ganteng juga udah maafin Ciya. Tapi Ciya kok mau tahu namanya ya," ucap Ciya.

"Ya terus kenapa lo tadi gak nanya langsung?" Daania memegang pelipisnya. Dia baru menyadari jika teman barunya ini benar-benar polos.

"Iya ya, kenapa Ciya gak nanya?" Ciya meletakan telunjuknya di kepala berusaha berpikir.

"Besok aja cari dia lagi. Gue ngantuk mau tidur bentar," ucap Daania.

Ciya menghela napasnya pasrah. Jadi dia harus menunggu besok untuk mengetahui nama kakak gantengnya?

Tepat saat otaknya memikirkan cara untuk berkenalan dengan kakak gantengnya, gerombolan senior datang ke kelasnya pertanda kegiatan akan segera di lanjutkan.

Sementara Axel sendiri terus berjalan ke arah rooftop untuk menuntaskan hasrat ingin merokoknya.

Otaknya kembali ke beberapa menit lalu saat seorang gadis datang padanya dan berusaha mendapatkan maaf darinya.

Namun segera ditepisnya pikiran itu dan mengeluarkan satu batang rokok saat sudah sampai di rooftop.

Penolakan

Hari terakhir angkatan Ciya melaksanakan MOS, namun meski begitu rasanya hari-hari Ciya sama saja. Tak ada yang berubah sedikitpun, hanya saja kini matanya mengitari setiap sudut sekolah untuk mencari sosok yang sangat ingin dia temui.

Selama MOS, Ciya mendapatkan banyak teman baru. Tak hanya Daania, kini juga ada Beyza. Mereka kompak mengejar Ciya yang sedari tadi mengelilingi sekolah.

“Ciya! Udahlah besok lagi aja,” ucap Beyza.

“Gak bisa Za, Ciya harus ketemu kakak ganteng hari ini terus Ciya mau minta nomor ponselnya juga,” jawabnya.

Napas mereka memburu saling beradu, namun berbeda dengan Ciya yang hanya celingukan mencari pujaan hatinya.

“Ketemu!” Sontak Beyza dan Daania mengikuti arah pandang Ciya. Mereka semua penasaran seperti apa sosok yang sangat dikagumi temannya itu.

Lagi-lagi Ciya berlari menghampiri pria yang tengah berjalan melintasi lapang bersama seorang temannya. Semua tindakan Ciya tak luput dari perhatian Daania dan Beyza. Alih-alih menghampiri Ciya, teman-temannya itu hanya menyaksikan tingkah Ciya dari kejauhan.

 “Kakak! Yang kemarin Ciya siram kan?” tanya Ciya tanpa berpikir. Bahkan napasnya masih terengah saat ini.

Axel menaikan sebelah alisnya saat sadar siapa yang saat ini tengah ada di hadapannya. Sementara teman Axel terdiam sejenak sebelum akhirnya gelak tawa terdengar menggelegar di sudut lapangan itu.

“Lo disiram, Xel?” tanya temannya itu.

Pria dengan badan lebih tinggi daripada Axel, dia adalah Dhavin Alvaro. Terkenal dengan keceriaan dan keusilannya. Contohnya seperti saat ini, jika semuanya akan menutup mulut karena takut pada Axel dalam keadaan seperti ini, dia malah dengan sengaja menggoda temannya itu.

“Berisik!” bentak Axel. Seketika suasana menjadi sepi.

“Mau apa lo?” tanya Axel pada gadis kecil di hadapannya itu.

Senyum Ciya mengembang saat sadar jika Axel mau berbicara padanya. Hal sepele namun mampu membuat kupu-kupu di perut Ciya berterbangan.

“Kakak kan kemarin udah maafin Ciya, sekarang Ciya mau kenalan sama Kakak, boleh kan?” ucap Ciya semangat.

Tangan Ciya terulur ke arah Axel berharap pria itu bersedia menjabat tangannya. Sudah terhitung beberapa menit setelah Ciya menyodorkan tangannya, namun Axel tak kunjung membalasnya.

Dengan kasar Axel melewati Ciya begitu saja dan sedikit menabrak bahu Ciya. Senyum Ciya luntur saat mendapat kenyataan bahwa niat baiknya itu ditolak.

“Maafin teman saya ya adek manis,” ucap Dhavin. Mereka berjalan melewati Ciya dan pergi dari sana.

Ciya menundukkan kepalanya dan menurunkan tangannya. Dia gagal mengetahui nama pujaan hatinya.

Temannya yang melihat Ciya ditolak mentah-mentah segera menghampiri Ciya dan berusaha menghiburnya.

“Kenapa kakak ganteng gak mau kenalan sama Ciya ya? Ciya jelek ya?” tanyanya pada Bezya dan Daania.

“Enggak, lo cantik. Mungkin emang dia belum mau kenalan sama lo,” jawab Beyza dan sedikit menggelengkan kepalanya.

Ciya mengangguk percaya dengan apa yang diucapkan Beyza.

“Ciya akan coba lagi,” ucapnya.

“Iya dong, lo kan orangnya pantang menyerah jadi masa baru segini udah nyerah.” Daania berusaha memanasi keadaan agar Ciya kembali semangat dengan niatnya.

Ciya mengeraskan rahangnya, tangannya terangkat dan mengepal di udara.

“Semangat!” ucapnya pada dirinya sendiri.

***

“Xel, siapa yang tadi?” tanya Dhavin. Bukan Dhavin namanya jika tak bawel dan selalu ingin tahu dengan urusan orang.

“Gak kenal,” jawabnya singkat.

“Bohong lo, gue tahu lo kenal sama tuh cewe.” Dhavin terus saja menggoda Axel sepanjang jalan menuju kantin.

Axel tak menanggapi ucapan Dhavin, dia memilih diam dan terus berjalan menuju kantin mengingat perutnya belum diisi sejak kemarin sore.

“Apa nih?” tanya Dylan. Salah satu teman Axel yang kini sudah berada di kantin dengan makanan di hadapannya.

“Tadi ada cewe yang nyamperin nih anak,” jelas Dhavin.

“Terus?” tanya Dylan.

“Dicuekin dong.” Dhavin tertawa kencang di tengah keramaian kantin.

“Udah biasa,” ucap Dylan.

Dylan dan Axel berteman cukup lama, jadi dia tahu bagaimana sifat Axel. Begitulah sifatnya, hanya pada orang-orang tertentu saja sifatnya melunak.

Entah karena apa Axel menjadi seperti itu, setahunya dulu pria jangkung itu tak sedingin sekarang. Tapi sekarang sangat jauh berbeda dengan Axel dimasa lalu.

Axel mendengus kesal mendengar kedua temannya bergosip ria tentangnya, namun Axel memilih mengabaikannya dan melanjutkan memesan makanan.

“Kak Axel?!” Pria yang merasa terpanggil itu menolehkan kepalanya ke arah orang yang memanggilnya.

“Lah cewe tadi, kok dia udah tahu aja nama lo, Xel?” tanya Dhavin. Axel juga heran dengan itu, netranya terus saja memandangi gadis yang baru saja datang ke hadapannya itu.

“Ciya tahu sekarang nama Kakak, hebat kan?” bangga Ciya. Tanpa meminta ijin sang tuan, Ciya mengambil tempat duduk di samping Axel dan menopang dagunya, sementara tatapannya hanya tertuju pada wajah Axel.

“Lo apaan sih?!” ucap Axel merasa risih dengan pandangan Ciya.

“Ciya lagi lihat pemandangan yang indah banget,” ucapnya semangat.

Axel memutarkan bola matanya kesal. Dia masih saja terfokus pada makanannya dibandingkan menanggapi bocah aneh itu.

“Kak Axel kelasnya di mana?” tanya Ciya.

Tak ada niatan bagi Axel menjawab pertanyaan Ciya, sementara itu sebuah suara menginterupsi pertanyaan Ciya.

“Heh bocah, dari mana lo tahu nama dia?” tunjuk Dhavin. Dylan yang memang bersifat acuh itu memilih menyaksikan percakapan orang-orang aneh di hadapannya itu.

“Oh itu, tadi Ciya tanya-tanya sama orang di sekolah. Katanya kak Axel gak suka ngomong ya? Jadi dia gak jawab pertanyaan Ciya tadi.” Gadis itu menyampaikan informasi yang dia dapatkan dari orang-orang yang dia tanyai.

“Iya dia gak suka ngomong,” jawab Dhavin.

“Eh, Daania sama Beyza ke mana ya?” tanya Ciya pada dirinya sendiri. Pandangannya berputar mencari sosok teman yang tadi ada di belakangnya.

“Ciya ... gila lo! Cape tahu ngejar-ngejar lo!” ucap Daania yang baru saja datang. Napasnya terengah dengan keringat bercucuran di sekitar pelipisnya.

“Maaf maaf. Daania sama Beyza mau minum? Ambil aja, nanti bayar,” ucapnya polos. Dhavin dan Dylan yang mendengar penuturan Ciya hanya melongo dengan mulut terbuka lebar.

Sementara Daania dan Beyza tidak peduli dengan perkataan Ciya, mereka tetap mengambil minuman dingin yang langsung tandas seketika. Untuk bayar, biarlah nanti mereka mendesak Ciya.

“Tuh kan Ciya jadi lupain Kak Axel. Kakak, Ciya boleh ya minta nomor hp Kakak,” Ciya memandang Axel dengan mata berbinar. Gadis itu kembali berharap agar Axel bersedia memberikan nomor ponselnya.

Ciya mencoba mendekati Axel dengan mempersempit jarak antara mereka. Axel yang merasa risih dengan perlakuan Ciya padanya segera bangkit dari posisi duduknya.

“Siapa lo berani-beraninya minta nomor hp gue?! Segitu pentingnya lo buat gue, hah?” bentak Axel. Wajahnya memerah menahan amarah. Ciya yang lagi-lagi mendengar bentakan badannya sontak bergetar hebat dengan wajah memucat.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!