Sejak kejadian malam itu, semua keluarga nampak terdiam tanpa satu orangpun berani membuka mulut. Keesokan hari kemudian, keluarga Liona mendatangi rumah besannya atau tepatnya rumah menantunya. Dengan membawa perangkat desa ikut serta dengan mereka. Sesampainya di sana, seperti biasa Ibu besan menyambut kedatangan mereka dengan baik.
Liona baru saja keluar kamar lalu menghampiri mereka. Sejauh ini ia tau seorang ayah tidak akan tinggal diam ketika hati anaknya terluka. Dari awal Liona sudah tekankan bahwa dia tidak akan mundur dari pernikahan ini apapun resikonya. Tapi, kedua orang tuan tidak merestui niatnya tersebut, bertahan bukan pilihan tepat, meski meninggalkan terasa berat.
"Ibu Rohaya pasti sudah paham atas niat kedatangan kami sekarang untuk apa, Maka dari itu kami sebagai pihak keluarga perempuan meminta kejelasan hubungan pernikahan kedua anak anak kita, kalaupun memang ananda Raditya tidak menginginkan putri kami lagi, untuk apa pernikahan mereka di pertahankan? ada baiknya mereka mengakhiri semuanya" Ucap ayah Liona sembari berusaha tenang ketika melihat Raditya terduduk santai seolah tak punya beban sama sekali. Raditya justru terlihat melipat kedua kaki sembari menikmati secangkir kopi. Tak lama Raditya pun menaruh kembali secangkir kopi di atas sebuah cawan yang terletak atas meja "Sesuai keinginanku, sebentar lagi saya akan menggugat cerai anak anda. Tenang saja (Bersandar pada bahu kursi sembari sesekali melirik arah Liona) toh saya tidak sedikitpun menyentuh putri anda,meski seujung kuku"
Bagikan tamparan keras membuat semua orang tersentak, siapa sangka selama pernikahan Raditya tidak pernah melaksanakan kewajiban atas diri Liona "Jadi selama ini kalian...." Ibu Liona ikut angkat bicara, mengingat bagaimana sang putri bersembunyi di balik luka.
Liona tak mampu berkata kata, ia hanya bisa menunduk lesu. Tanpa ia sadari air mata jatuh perlahan "Sampai kapanpun Liona tidak akan pernah mau pisah dari mas Raditya. Pernikahan itu sama seperti hidup seseorang, sekali seumur hidup. Sekuat angin menggunjang pohon hanya batang, dahan, dan duan yang bergetar, tapi akarnya tetap kuat. Begitupun pernikahan kami, banyaknya cobaan semakin menguatkan niatku dalam mempertahankan pernikahan sehidup semati" Ucapnya seolah menepi dari luka hati.
Sontak Raditya terkejut, tubuhnya nampak tersentak maju sampai yang tadinya bersandar jadi duduk tegang. Ia tidak habis pikir bagaimana bisa seorang wanita sudah terluka parah masih mau bertahan.
"Yang coba Liona pertahankan saat ini adalah harga diri seorang istri. Setelah menikah luka dan air mata sudah biasa, dan tugas Liona mempertahankan diri sampai nafas tak lagi berhembus" Ujar Liona sembari sesekali menyeka air matanya sendiri. Sebelum menikah ia sudah berbekal ilmu agama yang tinggi, memang dalam ajaran agamanya perceraian tidak di haramkan tapi di benci Tuhan-Nya. Meski angin topan menerpa tak akan goyah diri bertahan, itu yang coba Liona lakukan saat ini.
Raditya menyunggingkan senyum sinis "Terserah kalau itu kepurusan kamu, yang jelas aku akan mengurus perceraian kita"
Tatapan mata Lioan seakan melemah, hampir saja uir mata membasahi pipi, tapi ia berusaha kuat dengan segala cara. Sebisa mungkin bertahan sampai Tuhan membuka pintu hati sang suami untuknya "Dan aku akan mempertahankan pernikahan inj sekuatku, mas. Pernikahan bukan mainan yang bisa kamu mainkan sesuka hati. Ketika kamu memilihku menjadi istri, di situlah kamu berkewajiban menuntunku sampai surga"
"Cih.....dasar tidak tau malu, sudah jelas Aku tidak menginginkan kamu masih saja banyak berharap. Lebih baik kamu menyerah saja karena percuma aku tidak akan pernah membuka diri untukmu" Bangkit dan lalu bergegas masuk dalam kamar.
"Raditya....mau kemana kamu? Tidak sopan pergi saat seperti ini" Berusaha menghentikan putranya tapi apa boleh buat, Raditya tak mengindahkan ucapan sang ibu. Baginya dia orang paling benar semuka bumi, biarpun berslaah tetap saja merasa sok paling benar. Begitulah seorang pencundang, tidak akan mau mengakui kesalahan justru akan membela diri sendiri.
Blam.....
Terdengar suara pintu terbanting keras dari dala. Kamar. Beberapa orang lalu melempar pandang kepada satu sama lain, mereka tidak habis pikir bagaimana bisa seorang laki laki bersikap seperti itu.
Ibu Rohaya sangat menyayangkan perilaku sang putra, kalau bisa beliau tak ingin pernikahan mereka hancur "Sebelumnya sebagai ibu saya sangat minta maaf kepada keluarga sekalian atas perliku anak saya. Meski saya juga tau kesalahan Raditya tak bisa di maafkan, tapi apa tidak ada kesempatan lagi bagi pernikahan mereka? Jujur saya sangat meyayangi Liona" Tatapan ibu Rohaya mengarah kepada Liona. Melihat seorang istri tertunduk dengan begitu banyak pendetitaan. Beliau lalu terpikir bagaimana jika putri kandungnya mengalami nasib sama seperti menantunya sekarang ini. Mungkinkah dia bisa sekuat Liona? Ataukah justru akan lemah.
"Kami tidak terima anak kami di perlakukan seeprti itu oleh suaminya. Pokoknya kami akan membawa Liona pulang dan tidak akan membiarkan dia terluka terus menerus" Sang Ayah mulai geram atas perilaku manantunya. Baliaupun lalu bangkit sembari menatap sang putri "Mari nak kita pulang, suamimu tidak lagi mengharapkan kamu untuk apa tinggal di tempat yang kamu tidak di terima? Sekarang juga kemasi pakaian kamu, kita pulang" Tegas sang Ayah.
Lagi lagi Liona kekeh untuk bertahan "Maafkan Liona, pak. Tapi sekarang ini Liona bukan lagintanggung jawab bapak. Biarkan Liona mengambil jalan hidup Liona sendiri. Bapak sendiri pernah katakan, seberapa deras ombak lautan tetap saja ia akan kembali ke lautan. Liona percaya suatu saat nanti mas Raditya akan membuka hati untuk anakmu ini"
Saking tidak tahan lagi beliau memutuskan pergi dengan istri beserta tetinggi desa "Kalau itu keputusan kamu terserah, bapak tidak akan menghalanginya. Tapi, ingatlah anakku jika kamu ingin kembali dalam pelukan kami, maka pulanglah. Rumah kami selalu terbuka untukmu"
Tak berselang lama mereka pun meninggalkan rumah tersebut.
"Nak....ibu mau bicara sesuatu sama kamu" Ibu Rohaya mengajak menantunya duduk bareng. Sepertinya ada hal penting hendak beliau sampaikan "Sebelum itu ibu minta maaf, akibat perjodohan ini kebahagianmu menjadi taruhan. Terima kasih sudah mau mempertahankan hubungan kalian, meski ibu tau hatimu banyak terluka" Menyentuh pundak Liona sembari menatap dalam.
Berusaha memaksakan senyum "Sudah semestinya Liona mempertahankan apa yang menjadi milik Liona, buk. Sampai maut memisahkan raga dengan nyawa, selama itu pula pernikahan ini tetap Liona pertahankan" Tekatnya begitu kuat sampai membuat air mata ibu Rohaya menetes.
"Secepatnya kamu harus bercerai dengan mas Raditya...." Datanglah Zahra dari balik pintu, terlihat tangan kanan menggenggam sesuatu.
Ibu Rohaya beserta Liona langsung berdiri "Kamu? Untuk apa datang ke sini?"Segera Ibu Rohaya menghampiri Zahra.
"Kedatangan Zahra untuk meminta pertanggung jawaban mas Raditya. Zahra hamil anak mas Raditya" Ucap Zahra bagaikan petir menyambar.
Hati Liona seolah luluh lantah di buatnya. Air mata mengalur deras, kaki mulai melamah sampai ia kembali terduduk lemas "Ya Tuhan, cobaanapa lagi ini" Lirihnya.
Tak lama kemudian ibu Rohaya menampar pipi Zahra.
Plak....
Tatapan penuh kebencian terpancar jelas di mata beliau "Ibu tidak menyangka kamu bisa berbuat hak sekejam itu, Za. Padahal sejauh ini ibu menganggap kamu seperti anak ibu sendiri, tapi kamu menjatuhkan harga diriku. Dan sekarang kamu hamil anak Raditya....." air mata beliau tumpah depan mata Zahra.
"Apa? Kamu hamil anakku?" Tiba tiba Raditya keluar kamar lalu menghampiri Zahra "Are you sure?" Tqtapan penuh bahagia terlihat jelas dari sorot mata Raditya.
"Ya, mas. Aku hamil anak kita"
Seketika Raditya memeluk Zahra "Akhirnya kita akan punya anak, sayang."
Perbuatan mereka sangat memalukan bagaiman mereka bisa berbahagia dalam situasi saat ini. Bahagia di atas kehancuran hati orang lain.
Saking tak kuasa menahan sakit, Liona berlari menuju kamar. Sesampainya di kamar ia memeluk dirinya sendiri sembari menengadahkan wajah ke langit langit. Memejamkan mata perlahan berusaha kuat, tegar, dan ihklas "Bantu hambaku ini, Tuhan" Air mata terus menerus mengalir dari mata indahnya. Berputar beberapa kali untuk mengurangi rasa sakitnya.
Hampir sehari penuh Liona mengurung diri, untuk menenangkan hati dan pikiran. Liona berserah diri kepada Tuhan-Nya dengan bersimpuh meminta petunjuk. Doa harapan ikut tersemat dalam setiap kalimat doa tercurah, sampai air mata tak henti mengiringinya. Jalan terbaik saat tertimpa masalah hanya meminta kepada Tuhan maha Esa. Liona percaya San Pencipta tidak akan membiarkan hambanya berselimut duka, pasti akan ada jalan keluar di balik semua masalah.
"Kuserahkan semua hidup, jodoh, dan matiku hanya pada-Mu Tuhan. Niatku hanya mempertahankan fitrah seorang istri seperti semestianya, dan semoga setiap air mataku akan terbayar dengan bahagia" Lirihnya sembari terus menengadahkan tangan meminta pertolongan dari zat paling tinggi "Bukakanlah hati suami hamba ya Tuhan sesungguhnya Engkaulah maha membolak balikkan hati manusia" Meraup wajah dengan kedua tangan. Beban yang tadinya terasa berat seolah menjadi berkurang, ada ketenangan tersendiri setiap kali mengadu kepada sang pemilik kehidupan.
Ketika manusia merasa buntu atas jalan hidupnya maka hanya sang penciptalah tempat mengadu. Sesungguhnya Dia maha mengetahui tanpa di beritahu, maha membolak balikkan hati manusia.
"Anak itu dari tadi sampai sekarang belum ada pulang juga, memang mereka sangat keterlaluan" Kesal ibu Rohaya sembari mondar mandir depan pintu rumah. Beberapa jam lalu Raditya mengantar Zahr
Sedangkan Raditya keluar bersama Zahra sampai larut malam. Mereka sudah lepas kendali sampai ibu Rohaya di buat kesal oleh mereka. Sebagai seorang ibu beliau juga kecewa atas perbuatan mereka, bagaimana bisa seorang manantu selingkuh dengan kakak iparnya sendiri, sunggu aib terbesar dalam hidup seorang ibu.
Beberapa saat kemudia Raditya baru saja pulang, setelah mengantar Zahra ke rumahnya.
"Raditya....dari mana saja, kamu? Sudah jam berapa ini?" Maki Ibu Rohaya sembari menunjuk anak jarum jam pada pergelangan tangannya.
"Raditya capek buk, tolong jangan banyak tanya dulu. Kepala serasa mau pecah" Tanpa perduli bagaimana perasan sang ibu, ia langsung masuk rumah melewati sang ibu.
Tok, tok....
Raditua mengetuk pintu kamar setelah tau jika pintu terkunci dari dalam. Tak lama kemudian Liona membuka pintu. Kedua mata tampak sembab oleh air matanya sendiri. Sakitnya begitu merasuk dalam hati, sampai air mata semakin manguasai. Raja dalam kehidupan manusia adalah cinta tapi ratu dalam hidup wanita adalah air mata. Sungguh jika wanita sudah menitikkan air matamya demi seorang laki laki, maka dia sangat mencintai pasangannya tersebut.
"Lama sekali buka pintunya" Kesal Raditya sembari masuk dalam kamar.
"Maaf mas tadi aku baru saja menerima telepon" jawab liona berterus terang.
Dari jauh tercium bau alkohol menyengat dari badan suaminya, Lionapun kembali menutup pintu kamar "Habis darimana kamu, mas? Kenapa ada bau alkohol?"Duduk samping suaminya.
Rditya baru saja menghempaskan badan ke atas ranjang, lalu menatap Liona "Nggak usah ikut campur urusanku" Ia lalu duduk tepi ranjang sembari menundukkan kepala. Baru saja ia meluapkan kegelisahan dalam diri dengan pergi ke suatu club malam. Entah kenapa pikiran Raditya hari ini seolah buntu, ia merasa begitu banyak beban. Di tambah masalah kantor yang memintanya berhenti kerja beberapa minggu sebab tersandung masalah perselingkuhan, lalu sekarang Liona datang dengan berita kehamilan. Lalu bagaimana dia harus melewati semua ini? Semua bagaikan beban terbesar baginya.
"Apa benar Zahra hamil anakmu, mas?" Lirih Liona sembari beraimpuh depan sang suami. Tatapan Raditya menusuk dalam "Memang kenapa? Apa masalah kamu?" Entah dalam pengaruh alkohol sampai Raditya mulai meradang atas pertanyaan Liona. Kepala semakin nyut nyutan tak karuan memikirkan banyaknya beban pikiran.
"Secepatnya aku akan menceraikan kamu" Ucap Raditya sembari berusaha bangkit lalu berjalan menuju jendela kamar. Ia nampak membuka tirai sedikit hingga desiran angin mulai membelai wajahnya "Kamu sudah tau cepat atau lambat aku dan Zahra akan menikah juga. Sesegera mungkin dia akan menjadi ibu dari anakku, dan kamu lebih baik mundur. Jujur, aku capek terus melukai hatimu, lebih baik kamu pergi dari hidupku"
Tiba tiba saja Liona memeluk Raditya dari belakang, menyandarkan kepada sembari memejamkan mata "Tidak, aku tidak mau berpisah darimu, mas. Kalau kamu menikahi dia sekalipun tak akan pernah aku biarkan pernikahan kita hancur" Entah kebaranian dari mana sampai mulut Liona mengatakan hal semacam itu.
Raditya sedikit terkejut atas ucapan sang istri, sama saja ia menginjinkan Raditya poligami "Maksud kamu?" Segera berbalik badan lalu menatap kedua mata Liona dengan penuh makna.
Dengan mata berkaca kaca, ia berusaha meyakinkan diri, jika semua adalah keputusan terbaik.
"Istri nabi saja rela suaminya beriatri banyak, maka sebagai pengikutnya akupun rela jika suamiku harus menikah lagi. Tapi, aku minta jangan pernah ceraikan aku, mas" Nada bicara mulai melemah seiring dengan gemuruh jantuh tak menentu. Sejauh kisah mereka, Liona teramat mencintai Raditya sampai rela berbagi suami dengan wanita lain.
Tangan Raditya tiba tiba menyentuh wajah Liona, tatapan mulai berbeda. Mungkin karena pengaruh alkohol menjafikan dia sedikit melunak. Perlahan ia dekatkan wajah sampai tak ada jarak antara mereka, dahi saling bertemu dan hidung menempel satu sama lain. Deru nafas mulai menyalurkan hasrat tersendiri.
"Akan aku penuhi kewajibanku" Perlah Raditya mulai membuka jilbab yang Liona kenakan. Baru pertama kali ia melihat snag istri tanpa jilbab, rambut sebahu nan indah, leher jenjang sempurna bak pragawati ternama. Aksi Raditya mulai semakin jauh dengan memajukan langkah sampai Liona memundurkan langkah, dan mereka tumbang di atas tempat tidur.
"Semua milikmu, mas" Lirih Liona dengan mata sayu. Ia sadar mungkin saat ini bukan niat tulus Raditya untuk menggaulinya, tapi atas pengaruh alkohol. Lalu apa jadinya jika dia menolak, pasti ia akan berdosa besar.
Raditya memejamkan mata sembari menjamah tiap inci tubuh snag Istri. Merekapun melewati malam dengan indah. Baru pertama kali Liona merasakan sentuhan suaminya, yang selama ini ia rindukan.
Keesokan hari, Liona bangun lebih awal untuk mandi besar. Sesudah mandi lalu ia melihat suaminya beetelanjang dada masih berbaring di atas ranjang. Senyum Liona mengembang indah "Astaga....pikiran macam apa ini" Memukul pelan kening sembari sesekali tersipu malu. Bayangan malam tadi masih terngiang dalam pikirannya "Ah sudahlah, lebih baik aku shalat subuh dulu" Ia kembali mengambil air wudhu lalu melakukan shalat.
"Aw....." Perlahan Raditya membuka mata, kepala serasa berat dan sakit. Pandangan sedikit berputar putar "Astaga....." Melihat badan sudah tak lagi memakai sehelai benangpun, membuatnya mengingat kejadian malam tadi.
"Jadi aku dan dia....." Segera membuka selimut dan benar saja, ia melihat bercak merah di temlat tidur Liona "Apa yang ada dalam pikiranku semalam? Bagaimana bisa aku dan dia...." Rasa kesalnya tak sebanding ******* Raditya malam tadi. Pertama kali ia menyentuh Liona rasanya masih terbayang bayang.
"Kenapa jadi seperti ini" Segera turun dari ranjang lalu menuju kamar mandi.
Usai shalat Liona melihat suaminya tak lagi ada di atas ranjang, segera ia keluar kamar dengan rambut basahnya. Tak lama ibu Rohaya juga keluar kamar (Lho tumben Liona keramas pagi begini, atau jangan jangan mereka?) Tak lama setelah itu Raditya pun keluar dengan rambut basah. Seketika Ibu Rohaya masuk kamar lagi "Apa aku tidak salah lihat? Apa ini mimpi" Mencubit tangan sendiri "Aw....ini nyata, jadi mereka tadi malam" Rona pipi Ibu Rohaya memerah "Tidak sia sia doaku selama ini, akhirnya mereka tidak akan pernah terpisahkan lagi" Beliau nampak girang sekali.
"Maaf, malam tadi aku lepas kendali" sembari mengambil segelas air putih di dapur. Sedang Liona menyembunyikan wajah sebab terlalu malu bertemu dengan suaminya setelah kejadian malam tadi.
"Meski begitu kamu harus ingat ucapanmu tadi malam. Aku akan segera menikahi Zahra" Ucao Rditya bergegas keluar dapur.
Seketika Mood Zahra mulai hancur "Ya Tuhan ikhlaskan hatiku atas keputusan ini" Berusaha meyakinkan diri bahwa keputusannya adalah yang terbaik.
"Ehem....." datanglah ibu Rohaya.
Liona baru sadar jika dia tidak memakai jilbab, dengan kedua tangan ia menyentuh kepala "Ibu...." Raut wajah malu terliaht jelas di wajah manisnya.
Tatapan ibu Rohaya mengarah pada leher jenjang Liona. Tanda merah di lehernya itu jelas terlihat bahwa tadi malam mereka melewatkan malam paling indah.
"Wah sepertinya ada hujan malam tadi" Goda beliau sembari mengambil segelas air putih.
Liona sangat malu sekali "Ibu bisa saja...Liona ambil jilbab dulu" Segera berlari kecil menuju kamar.
Raditya melirik sang istri yang tengah berlarian kecil menuju kamar. Ia tengah duduk sembari bermain ponsel. Bayangan malam tadi sekilas terlintas di otaknya "Mikir apa aku ini. Fokus sama Zahra dan anak dalam rahimnya" menggeleng kepala lalu kembali fokus dengan gawai di tangan.
"Saya terima nikah dan kawinnya Zahra Nuraini binti Kurniwan dengan mas kawin tersebut di bayar Tunai" Suara gelagar ijab qobul terdengar lantang nan berani. Beberapa orang menjadi saksi pernikahan kedua Raditya dengan seorang wanita bernama Zahra. Mereka duduk saling berhadapan setelah SAH menjadi pasangan suami istri, mencium tangan suami setelah sah menikah adalah kewajiban seorang wanita. Sesaat setelah Zahra mencium tangan Raditya, kini giliran Raditya mencium kening sang istri. Pernikahan kedua Raditya berlangsung sederhana, tapi maharnya luar biasa. Satu unit mobil mewah, uang tunai berkisar puluhan juta, dan perhiasan satu set. Seserahan kali ini berbanding terbalik dengan mahar yang Raditya berikan kepada Liona pada waktu itu. Baginya Mahar mahal pantas untuk mencurahkan rasa cintanya kepada pasangan.
Di samping mereka nampak Liona tertunduk lesu dengan sesekali meremas tangan sendiri. Hatinya bergemuruh bak ombak lautan, ia tengah berada antara ikhlas dan lara. Sedalam hati memendam lara rasapun semakin menggelora. Air matanya perlahan menetas mengalir membasahi kedua pipi. Ia harus di hadapkan oleh kenyataan pahit bagaikan sebuah obat, tapi sebuah obat sekalipun meski pahit perlahan menyembuhkan. Keyakinan itu menumbuhkan rasa ikhlas yang bertentangan dengan perasaannya, meski begitu ia akan berperang dengan diri sendiri demi mempertahankan fitrah seorang istri pada mestinya.
(Tuhan....jika ini memang takdirku yang telah Engkau siapkan, maka perkuat hatiku demi menghadapi pergulatan dalam diriku sendiri. Sebagaimana engkau ciptakan air dan salju, haluskan dan dinginkan hati hambamu ini untuk menerima kenyataan. Perkuat rasa ikhlaskanku atas takdir-Mu, Tuhan. Aku percaya Hanya Engkau maha mengetahui segala urusan dunia) Memberontak sekalipun tidak akan berguna, sebab semua cinta hanya milik sang penguasa langit dan bumi. Sebaik apapun harapan manusia jika Tuhan telah menulis cerita seseorang sejak dalam kandungan maka kita hanya bisa memperindah Takdir yang ada, tanpa harus merusak alur cerita. Nikmati saja alur ceritanya nanti kamu akan tau bagimana proses membawamu pada bahagia. Aungguh mulia bagi manusia yang menerima setiap ketentuan Tuhan.
"Ternyata benar gosib beredar di luar sana, mereka memang melangsungkan pernikahan hari ini....." Dari jauh Ridwan melihat keduanya bersanding di pelaminan. Sejak beberapa bulan lalu ia memilih pergi sejauh mungkin dari bayang bayang mantan istrinya tersebut. Namun, setelah tau ada pernikahan antara mantan istri dan kakak kandungnya membuat Ridwan melangkahkan kaki menginjak kembali kota kelahiran. Satu hal yang paling ia sayangkan adalah kakak iparnya, Liona. Kenapa dia mau bertahan dalam kondisi seperti itu, seorang istri rela berbagi suami dengan selingkuhan suaminya. Sungguh berhati mutiara wanita seperti Liona itu. Meski sesungguhnya tidak ada seorang wanita rela berbagi suami dengan siapapun.
"Ternyata kamu memang sudah tidak punya hati, Za. Sesama perempuan tega merenggut milik perempuan lainnya, dan semoga dengan pernikahan kali ini kamu akan sadar jika cinta yang kamu miliki hanya sebatas opsesi" Lirih Ridwan sembari terus menatap pada sepasang pengantin tengah berbahagia tersebut. Dari jauh mereka nampak bersenang hati, meski di samping mereka ada banyak orang bersusah hati. Tak berapa lama kemudian Ibu Rohaya keluar rumah sembari berderai air mata. Entah apa yang membuat kedua mata beliau di banjiri air mata, yang jelas Ridwan tidak tinggal diam melihat ibunya bersedih. Sesegara mungkin ia keluar dari dalam mobil.
Sang ibu duduk depan rumah sembari menundukkan kepala, tangan kanan terlihat menyeka air mata nan semakin deras.
Tanpa sengaja Beliau mendengar langkah kaki, hingga membuat beliau melihat ke depan "Ridwan...." ibu Rohaya terkejut ketika melihat sang putra memasuki pekarangan rumah. Penampilan Ridwan sedikit berbeda dari biasanya, jika hari hari lalu Ridwan hanya memakai kaos oblong celana jeans pendek,sekarang terlihat menggunakan seragam coklat, seperti pegawai negeri. Beliau lalu membuka kedua tangannya "Kemarilah putraku"
Ridwan berusaha menahan kesedihan seketika menitikkan air mata "Ibu....." Sekuat mungkin ia berlari ke arah sang ibu lalu memeluknya dengan perasaan berkecamuk.
"Akhirnya kamu pulang, nak. Ibu sangat merindukan kamu" Tidak hanya memeluk sang putra, beliau pun lalu menciumi sang putra yang beberapa bulan lalu pergi dengan rasa sakitnya. Benar, sejak talak berkumandang Ridwan memilih meninggalakn rumah, dan sejak saat itu ia bertekat melupakan wanita itu. Meski nyatanya tidak semudah itu melupakan wanita yang dulu pernah di cintai. Setajam jarum menusuk tangan, meski sakit tetap berjuang, tapi kali ini cinta Ridwan akan terkikis oleh perselingkuhan.
"kemana saja kamu selama ini? Tidakkah kamu kasihan dengan wanita paruh baya ini? Ibu tidak bisa menyaksiakan kedua anak ibu menjadi korban dari cinta mereka. Bawa ibu bersamamu, Nak" Pinta beliau sembari berlinang air mata. Tak berapa lama beliau lalu memeluk sang putra "Jangan biarkan ibumu menyaksikan kekejaman ini, nak. Lihatlah....seorang wanita terduduk sendiri menyaksikan suaminya menikah lagi dengan wanita lain, jujur hati ibu sangat hancur, anakku" Meluapkan rasa sakitnya setelah meljhat putranya harus menikah lagi.
Dua hari lalu Raditya mengutarakan niar untuk menikahi Zahra, namun di tentang oleh Ibu Rohaya. Namun, Beliau tak bisa menolak kala Raditya mengancam akan menggugat cerai Liona jika tidak di ijinkan menikahi wanita simpanannya itu. Awalnya beliau masih kekeh tak akan menerima keputusan Raditya, akan tetapi Liona sendiri mendatangi beliau dengan memohon memberi mereka restu. Liona bersimpuh di hadapan beliau memohon agar merestui pernikahan mereka. Dengan berat hati beliaupun menerima pernikahan tersebut.
Ridwan dengan sejuta luka hanya bisa terdiam diri menyaksikan air mata sang ibu, dan beberapa kali melihat sepasang pengantin tengah duduk di pelaminan. Hati Ridwan hancur lebur, ternyata perselingkuhan ini hanya menyisakan banyak air mata.
Bip, bip....
Terdengar klakson mobil memasuki rumah. Ridwan terkrjut ada sebuah mobil mewah masuk dengan di hiasi pita besar seperti hendak di hadiahkan kepada seseorang "Mobil? Siapa yang beli mobil, buk?" tanya Ridwan penuh heran.
Baliau nampak berat membuka mulut "Mobil itu mas kawin untuk Zahra"
"Ha? Mas kawin?" Ridwan tercengang dengan mahar yang di berikan sang kakak kepada mantan istrinya itu.
Senyum sinis terlihat di ujung bibir "Pelakor Seharga Mobil Mewah? Cih....tidak pantas sekali. Bahkan roda mobil mewah itu saja tidak sebanding dengan harga diri palakor macam itu"Cibir Ridwan.
Sang ibu tau hati putranya sangat terluka. Mengusap lengan Ridwan "Sabar, nak. Biarkan Karma menjalankan tugasnya. Ibu Yakin kamu bisa menemukan hidup baru yang jauh lebih bahagia lagi"
Berbalik badan nampak menyeka air mata "Suatu saat nanti Ridwan akan buktikan kepada mereka, bahwa Ridwan juga bisa sukses dengan cara Ridwan sendiri. Dan nanti ketika ssmua sudah kumiliki, akan kututup mulut wanita itu dengan uang. Kalau ibu mau ikut bersama Ridwan besok pagi Ridwan tunggu di ujung jalan sana, untuk saat ini Ridwan masih belum bisa berhadapan dengan mereka"
Ibu Rohaya paham bagaimana perasaan Ridwan saat ini "Baiklah ibu ikut denganmu, anakku. Setiap langkahmu akan ibu sertakan dengan doa dan harapan"
"Mas, ibu lagi bicara sama siapa di depan?" Tanya Zahra sembari melihat arah ibu Mertua.
"Ehmmm....tamu mungkin" Jawab Raditya singkat.
(Kenapa aku merasa kalau itu mas Ridwan ya? Apa mungkin dia memang mas Ridwan?) Dari punggungnya saja Zahra mulai mengenali bahwa dia adalah mantan suaminya.
"Sayang, kamu mau kemana?" Raditya menghentikan langkah Zahra ketika hendak turun pelaminan. Dengan penuh hati hati Zahra memegang perut "Aku penasaran mas sama siapa ibu kamu bicara, biar coba aku lihat"
"Jangan bandel deh, ingat kamu lagi pake kebaya panjang, bagaimana kalau tersandung? Pokoknya kamu tiak boleh kemana mana, aku tidak mau terjadi hal buruk pada anak dan istriku ini" Raditya tanpa rasa malu mengusap perut Zahra di depan para tamu undangan. Hampir semua orang membicarakan mereka sebab pengantin perempuan nampak berbadan dua.
"Dasar nggak aka akhlaq, urat malu mereka udah putus kali ya" cibir beberapa orang yang menghadiri pernikahan mereka.
Melihat Raditya terlihat bahagia dengan istri barunya, membuat hati Liona semakin terluka. Saking tak kuasa menahan air mata, ia pun memejamkan mata sejenak sembari iman, mental, dan hati. (Mulai sekarang aku harus terbiasa dengan semua itu, semua sudah jadi keputusanku, aku tidak boleh marah ataupun cemburu. Istri nabi saja mampu berbagi cinta, waktu, dan kasih sayang dengan istri yang lainnya, kenapa aku tidak bisa. Bismillah, inilah niatku yang harus kujalani dengan ikhlas)
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!