Aku terdiam membisu saat melihat lelaki yang sangat aku cintai berada tepat di depan mataku, binar matanya membuatku tenggelam dalam lautan asmara, senyum tipis nan indah membuatku ingin segera memiliki cintanya.
Namun semua angan-angan itu buyar saat aku melihat kenyataan bahwa saat ini lelaki itu adalah kekasih dari sahabatku sendiri.
Jihan Aurelia, itu adalah nama sahabatku.
Kami bersahabat sejak kami bersekolah di Sekolah Dasar.
Saat ini aku( Zea Larasati) duduk di bangku Sekolah Menengah keatas, di Jakarta.
Aku adalah anak tunggal dari keluarga kurang mampu di kota itu, tinggal dengan keterbatasan membuatku harus menjalani kehidupan keras di Jakarta.
Tiba saatnya Ayah ku meninggalkan aku dan juga ibuku, beliau wafat di karenakan penyakit jantung yang ia derita selama ini.
Kepergian Ayah membuatku menjadi tulang punggung keluarga, karena kepergian Ayah membuat ibu ku mengalami gangguan mental.
Kesedihan mendalam yang kami alami membuat Ibu tertekan, bahkan aku sendiri sempat depresi dengan semua itu, namun aku tetap bertahan karena ada para sahabat yang menguatkan aku.
Kini aku menjalani hidup bagaikan yatim piatu, aku bersekolah di pagi hari lalu sore hari aku bekerja di sebuah toko roti milik tetanggaku.
Aku bekerja sambil belajar, meski semua itu sulit untuk di jalani, namun aku tetap menikmati semua itu.
Saat pagi hari aku terbangun untuk membuat sarapan untuk ibu dan juga untukku.
" Selamat pagi ibuku sayang." sapa ku pada seorang wanita yang duduk melamun di depan meja makan.
" Ibu, sekarang kita sarapan dulu, setelah itu aku akan berangkat ke sekolah." aku menuangkan nasi kedalam piring ibuku, tidak lupa aku menaruh sayur dan lauk di atasnya.
" Ibu, sampai kapan ibu akan diam seperti ini? aku merindukan masakan ibu dan juga belai kasih sayangmu." air mata ini tidak mampu terbendung saat melihat tatapan kosong di dalam mata ibuku.
Belum sempat aku memakan sarapan di meja, tiba-tiba ponselku berbunyi.
" Tunggu aku disana." ucap ku pada seseorang yang sangat aku cintai.
Dia adalah Rayhan, seorang lelaki yang sangat aku cintai.
Namun entah dia tau atau tidak mengenai perasaanku ini, tapi aku tidak perduli atas semua itu, yang terpenting bagiku saat ini adalah bisa bersama dengannya.
Setiap hari dia menungguku di depan gang kecil menuju rumahku, dia selalu menjemput ku saat hendak pergi ke sekolah.
Karena sekolah kami jauh dan kebetulan rumah kami searah, jadi Rayhan selalu menuggu ku di depan gang kecil itu.
Mungkin rasa cinta ini timbul karena seringnya kita bersama dan tertawa bersama.
" Bu, aku berangkat sekolah dulu ya, baik-baik di rumah ya." Aku mencium kening ibu lalu berjalan menghampiri Rayhan.
" Ray, disini." aku melambaikan tangan padanya, dia saat itu tangah sibuk pada ponsel di tangan.
" Lama sekali."
Dia nampak kesal terhadapku, namun aku tidak mampu berkata jujur atas segala kesibukan ku dalam mengurus ibu dan juga tugas rumah.
Tidak ada satu orang mengetahui tentang semua kepedihan dalam hidupku, kecuali Jihan sahabatku.
" Ayo naik, aku sudah terlambat karena kamu."
" Ray, maafkan aku. Aku janji besok tidak akan terlambat lagi." aku menyeringai di depannya, berharap dia akan tersenyum atau paling tidak menjawabnya.
Namun bukan jawaban atau senyuman yang ku dapatkan melainkan tajamnya tatapan Ray kepadaku.
" Naik, atau kamu jalan kaki?." kembali Ray membuatku tersentak kasar atas ucapannya.
" Baiklah, aku naik."
Pada akhirnya aku naik motor bersama dengannya, perasaan bahagia menyelimuti hidupku sampai aku terlupa jika lelaki yang berada di depanku ini adalah kekasih dari sahabatku sendiri.
" Astaga, Ray, berhenti." aku terkejut saat kami tiba di depan sekolah.
" Kamu kenapa sih?." kesal Rayhan padaku.
Aku sadar setelah aku melihat banyaknya siswa yang menatap ke arah kami.
" Bukankah kita sudah sepakat jika aku turun di sebrang jalan tadi, lalu kenapa kamu membawa ku sampai depan sekolah?."
Aku merasa takut jika ada salah satu diantara mereka yang berasumsi tidak baik atas diriku dan juga Rayhan.
" Kalau begitu kamu turun saja disini, dan aku akan menghadapi mereka semua." Tanpa menghiraukan perasaanku dia meninggalkan aku di depan pintu sekolah.
Aku melangkahkan kaki perlahan, semua siswa menatapku seolah aku adalah orang jahat.
" Dia mencuri kekasih dari sahabatnya sendiri, sungguh tidak tau malu." ucap salah satu siswa disana.
" Siapa yang berani mengatai dia seperti itu? maka dia akan berhadapan denganku." suara itu terdengar tidak asing di telingaku, ternyata suara itu berasal dari seorang lelaki yang selalu melindungi diriku selama ini.
Dia adalah Albian Pambudi, aku sering menyebutnya dengan sebutan Bie.
Aku merasa dia menyukai ku, tapi entah apakah itu hanya perasaan ku saja atau memang dia menyukai ku.
Entahlah, yang jelas dia sangat baik padaku.
" Sudah Bie, cukup. Aku tidak apa-apa." ku dekati lelaki itu lalu aku meraih lengannya.
Senyuman manis ku lolos begitu saja saat melihat tatapan mata indahnya.
" Sungguh? apa kamu perlu aku obati nona?."
Bie selalu menggoda diriku, namun aku bahagia dengan banyolan dan juga perhatiannya selama ini.
Tapi semua rasa dalam hati ini hanya mampu memandangnya sebagai seorang sahabat atau lebihnya seorang kakak.
Karena saat ini hati, pikiran, dan diriku masih di kuasai oleh rasa cintaku terhadap Ray.
Sekian lama aku sembunyi dalam rasa cinta ini, ingin mengungkap segala rasa dalam diri, akan tetapi mulut ini berhenti bergerak saat melihatnya di depan mataku.
" Sepertinya hari ini kamu akan kembali berhadapan dengan maut."
" Maksud kamu?." Aku heran saat Bie berbisik di telingaku.
" Coba lihat itu..." Bie menunjuk pada seorang wanita berwajah garang tengah berjalan mendekatiku.
" Astaga, Tuhan bantu aku melarikan diri dari dari bahaya ini." Aku merasa tidak berdaya saat melihat ibu kepala sekolah tengah berjalan menghampiriku.
" Selamat pagi Bu Dian..." sapa Bie lalu di ikuti dengan senyum di bibirku.
" Zea Larasati, ingat kamu belum membayar uang semester bulan lalu." ketus Ibu Dian menatap kejam atas diriku.
" Baik Bu, akan segera saya bayar." aku tidak berani menatap wajah garangnya itu, aku memilih untuk menunduk melihat lantai yang aku injak.
" Kenapa kamu melihat lantai? kamu pikir kamu bicara dengan lantai? Dasar tidak sopan." Bu Dian nampak kesal atas sikapku, perlahan aku memberanikan diri memandang mata kejam itu.
" Ibu gelis, jangan lah marah macam itu, nanti cantiknya hilang lho." sambung Bie dengan menggoda ibu kepala sekolahku itu.
" Apa Ibu terlihat jelek saat marah? astaga, kamu benar. Aku terlihat tua saat ini." Bu Dian histeris saat melihat wajahnya di cermin yang ia bawa.
" Tersenyumlah Bu, maka Anda akan nampak awet muda." Lagi-lagi Bie mengeluarkan jurus pamungkas yang ia miliki untuk meluluhkan hati penyihir macam Bu Dian.
" Kamu sungguh mengerti diriku." Ibu Dian mencolek dagu Bie lalu berjalan menuju ruang kerjanya.
" Untung saja ada kamu Bie, jika tidak aku akan tewas seketika." Aku bernafas lega saat terlepas dari cengkraman maut.
" Aku sudah meminjamkan uang padamu untuk membayarnya, tapi kamu selalu menolak. Sekarang kamu sendiri yang ketakutan."
" Bukan aku tidak mau menerima bantuan dari kamu, tapi selama aku mampu mencari jalan keluarnya, maka aku akan berusaha dengan tenaga ku sendiri. Aku tidak ingin membebani kamu atas semua ini."
Aku tidak ingin bergantung pada siapa pun, karena aku sadar hidup ini tidak hanya bergantung pada orang lain, melainkan mampu berdiri sendiri di atas bumi ini.
Percakapan itu membuat Bie tertawa terbahak di hadapanku, aku menutup mulutnya saat melihat Bu Dian kembali keluar dari kantor.
" Berisik sekali kalian ini, cepat masuk. Sebentar lagi waktunya belajar."
" Baiklah, Ibu Dian Cantik." kembali Bie melontarkan kata yang menggelitik di telingaku.
Setelah usai bermain canda, aku dan juga Bie masuk ke dalan kelas.
" Zea..." Seorang gadis cantik, menawan bak model menyebut namaku. " Sini, duduklah bersamaku." ucapnya sembari menarik kursi di sebelahnya untuk mempersilahkan aku duduk.
" Lalu bagaimana dengan Ray?." Aku kebingungan saat Jihan menyuruhku duduk di kursi tempat Rayhan duduk di sebelahnya.
" Biarkan saja dia duduk dengan Albian, aku sedang kesal padanya hari ini."
" Kenapa? apakah kalian sedang berselisih?." Tanyaku heran, tidak biasanya Jihan lepas dari kekasihnya tersebut.
Pikiranku mulai tidak tenang saat melihat Rayhan terus menerus menatapku.
Jarak pandang diantara kita sangatlah dekat, dia duduk tepat di samping meja kami.
Aku tidak tau apakah tatapan itu murni untuk diriku, atau aku hanya sedang ingin di perhatikan.
Entahlah, yang pasti aku melihatnya menatap diriku.
" Kenapa kamu tersenyum malu seperti itu?."
Ucapan Jihan menyadarkan aku dari lautan imajinasi.
" Tidak, aku hanya sedang menertawai Bie."
" Bie?." Jihan melihat ke sampingku, dia melihat dua lelaki menatap ke arah kami.
" Hey, kenapa kalian mantap ke arah kami seperti itu?." Maki Jihan.
" Rey, apakah kamu merasa kehilanganku saat ini? salah kamu sendiri kenapa berbohong padaku."
" Untuk apa aku merasa kehilangan, kalau kamu terus ada di hati ini."
Rayuan demi rayuan terlontar diantara mereka, tanpa mereka sadari aku terluka atas semua itu.
Sesak rasa hati melihat lelaki yang paling aku cintai merayu wanita lain, meski wanita itu adalah kekasihnya sendiri.
" Ehem...pagi anak-anak." seorang guru matematika datang dari balik pintu kamu lalu berdehem mendengar ke gaduhan di kelas kami.
" Setiap hari ada suara yang selalu membuatku ingin melangkah kemari, Kamu Jihan, dan kamu Ray, juga kalian Zea dan Albian. Kalian kerjakan di papan tulis semua tugas yang ada di buku ini, Bapak ingin tau apakah kalian masih bisa berkata lantang saat berhadapan dengan angka-angka mematikan ini."
Bagaikan pukulan maut untuk ku, aku sungguh tidak suka pelajaran matematika.
Rumus demi rumus membuatku pusing.
Aku juga sangat membenci kerumitan itu, sama halnya dengan rumitnya cinta ini.
Hehe, aku akhirnya maju bersama dengan mereka, perlahan ku buka buku itu lalu mengamati betapa banyak angka yang membuat mata ini sakit.
" Pak, tidak adakah hukuman lain selain mengerjakan ini?." Tawar ku pada Pak Samuel.
" Kerjakan atau Bapak tambah satu buku lagi?."
" Ampun, Pak, ampun. Ini saja sulit untuk di kerjakan, apa lagi di tambah satu petaka itu lagi." Ucap Bie dengan menggeleng kepala.
" Kita kerjakan saja jangan banyak bicara, nanti dia bisa marah lalu menambah beban kita lagi." Bisik Rayhan.
Tanpa pikir panjang, kami mulai mengerjakan tugas berat itu.
Aku kesal dengan satu soal yang membuat ku berpikir keras.
" Susah sekali..." ujar ku sembari mencari rumus dalam kamus.
" Mudah saja, kamu tinggal cari titik temu dari sudut A sampai sudut B lalu kamu cari dalam rumus gambar di depan ini." Lirih Ray mengajariku, namun dia tidak ingin ucapannya di dengar oleh siapa pun.
Ia pun sedikit menjauh dariku setelah membantuku memecahkan kesulitan itu.
" Pak, saya sudah selesai." ucap Jihan.
" Baiklah, Jihan kamu bisa duduk sekarang." Perintah Pak Samuel.
Ia mengoreksi tugas Jihan dengan cermat.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!