...CERITA INI HANYALAH FIKTIF BELAKA. JIKA TERDAPAT KESAMAAN NAMA TOKOH, ORGANISASI, TEMPAT KEJADIAN ATAUPUN JALAN CERITA, HAL TERSEBUT MURNI HANYA KEBETULAN DAN TIDAK ADA UNSUR KESENGAJAAN....
"Gimana? Gas gak?” Suara seorang pria terdengar melalui panggilan telepon yang diloud speaker.
“Skip.”
“Lah skip mulu lu, Bal. Gak asik.”
“Gak asik-gak asik. Gua lagi bokek anjir.”
“Masih hari selasa udah bokek aja gimana ceritanya?”
Pria itu, Ikbal, diam sesaat. Bukan karena memikirkan ucapan temannya, tetapi karena tengah berkonsentrasi penuh memecahkan telur ke dalam panci mie instan. “Kan duit jajan gua dibagi sama dia.”
“Dia siapa? Oh, maksud lu Nia? Sodara lu yang cakep itu?” Suara tawa teman Ikbal terdengar sekeras marbot masjid yang membacakan doa bangun tidur di menit menjelang subuh.
“Sodara apaan. Mana punya gua sodara.”
“Yaudah kalo lu gak mau buat gua aja.” Tawa teman Ikbal menggema melebihi suara sang marbot.
“Bego. Udah, gua matiin.”
“Woy entar dulu. Serius nih lu skip?”
“Kan udah gua bilang. Intinya sekarang gua gak bisa maen warnet sesering dulu. Salamin aja sama anak-anak ya--”
Ucapan Ikbal terjeda, bahkan mangkok mie instannya hampir terjun bebas ke dalam tempat cucian piring yang dipenuhi sampah segala rupa itu, karena orang yang tengah dibicarakannya, Nia, tiba-tiba muncul, dan menggoyang-goyangkan tiga lembar uang lima puluh ribu tepat di depan wajahnya. Ikbal menepis tangan Nia seolah tak tertarik, namun ikut bergidik ketika tiga lembar uang berhias wajah Ir. H. Djuanda Kartawidjaja itu hampir dilumat rebusan air mie instan yang bergejolak.
“Bener gak mau?” Nia kembali menggoyang-goyangkan tiga lembar uang itu di depan wajah Ikbal.
“Gak.”
“Cius?”
“He’em.”
“Demi?”
“Iya.”
“Oke deh kalo gitu. Kebeneran banget.” Nia berlalu.
Ikbal tak merespon, hanya melirik untuk memastikan jika Nia benar-benar kembali ke kamarnya yang ada di lantai dua. Ada sedikit perasaan bersalah yang Ikbal rasakan, tetapi lebih banyak perasaan masa bodoh. Ya, masa bodoh. Karena Ikbal membenci Nia sejak kali pertama mereka bertemu. Kehadiran Nia membuat Ikbal tidak hanya kehilangan uang saku tetapi juga waktu bersama Ibunya. Sang ibu yang seorang single parent harus tetap bekerja di hari raya demi menambah biaya hidup untuk anggota keluarga baru yang tak jelas asal-usulnya.
Yang Ikbal tahu tentang Nia hanya satu, gadis itu adalah anak sahabat Ibunya. Dititipkan selama hampir lima tahun? Bukankah lebih tepat jika menyebutnya dibuang? Meski begitu ibu Ikbal tetap menyayangi Nia layaknya darah daging sendiri. Untungnya Nia tahu cara membalas kasih sayang itu. Nia tidak gengsi meski memakai pakaian yang sudah ketinggalan tren, juga tak masalah meski harus menempuh perjalanan ke sekolah dengan angkot, pun tak jarang membeli paket internet malam yang harganya lebih terjangkau.
Meski begitu Ikbal tetap membenci Nia. Entah kenapa. Mungkin sifat anak yang baru beranjak gede memang semenjengkelkan itu. Jika pun tidak, berarti Tuhan memang menguji Ikbal dengan sifat pembenci. Yang mana pun itu, masa bodoh. Karena ada yang jauh lebih penting, yakni mie instan rasa seblak dengan topping telur hancur, sosis berbentuk gurita cacat, dan tiga sendok penuh bubuk bon cabe level lima puluh. Ikbal pun bergegas menuju meja makan, namun.
“Kan udah gua bilang gak mau. Tapi yaudah kalo emang maksa banget,” gumam Ikbal seraya menyabet tiga lembar uang di bawah tatakan tisu.
...•▪•▪•▪•▪•...
Nia mengintip Ikbal yang akhirnya pergi ke warnet setelah meninggalkan petaka di meja makan dan tempat cucian piring. Nia hanya menggeleng menyaksikan pemandangan mengerikan itu, lalu bergegas mengambil susu cokelatnya dan kembali ke kamar. Nia itu penumpang, bukan pembantu. Dan lagi, Nia bukan bawang putih tapi cabe jalapeno. Jadi berniat menindas Nia dengan memberi kode untuk membereskan petaka itu? Mimpi!
“Apa besok ngaktifin paket internet yang goceng seminggu ya? Oh iya lupa, duit gue yang berharga itu kan barusan gue kasih Ikbal.”
Nia menggerutu sambil terus menguras isi botol susu berukuran mini itu. Libur pascaujian nasional seperti sekarang memang sangat membosankan. Nia baru saja menyelesaikan masa putih birunya, dan masih enam belas hari lagi sampai dirinya resmi mengenakan seragam putih abu-abu. Tetapi demi apapun, lebih baik mengikuti ulangan matematika setiap hari daripada berlibur tanpa drama korea, internet, dan jajan online.
“Oke, lima menit aja. Serius. Cuma buat telfon Vina. Serius.” Nia meraih ponselnya dan mulai mengetikkan password wifi.
“Halo? Siapa ya maaf?” Suara Vina, sahabat Nia, terdengar sangat tegang.
“Yesenia Eve. Calon pemberi harapan palsu kating-kating ganteng di SMAN Lentera Dunia.”
“Najis.”
Spontan Nia terbahak, diikuti Vina setelahnya.
“Serius nih lu pake wifi Tante?”
“Terpaksa. Gabut parah gue sumpah,” balas Nia.
“Yaudah download film. Gak bakal abis itu wifi kalo cuma buat download satu film kali. Tears of Kumari Kandam kan udah rilis.”
“Ntar malem aja ah. Takut penasaran terus keterusan.”
“Yaudah Gofo*d.”
“Gak punya duit.”
“Yaiyalah. Orang lu kasih ke Ikbal lagi.”
“Abis mukanya putus asa banget kaya bakal beneran ngepet kalo gak cepet-cepet dikasih duit.”
Vina terdengar menahan tawa. “Yaudah. Install aplikasi Zet.”
“Hah? Aplikasi apaan emang?”
“Aplikasi kencan,” jawab Vina.
“Idih.”
“Dengerin dulu. Cuma buat seru-seruan aja. Serius seru tau ngobrol sama orang misterius. Kaya ada sensasi gimana gitu.”
“Ditipu aja baru tau rasa.”
“Emang siapa yang bisa nipu reinkarnasinya Sherlock Holmes?”
“Gak ah. Gak faedah.”
“Siapa bilang? Gue punya temen kencan dari Moskow. Karna sering ngobrol pake bahasa inggris, gue sering buka kamus. Dan percaya gak percaya, lama-lama gue nonton film gak perlu pake subtitle ....”
Nia diam, mulai terpengaruh.
“ ... Followers instagr*m gue melejit kan gara-gara gue suka posting pemandangan di Moskow. Ya itu dari temen kencan gue. Gue suruh dia foto-fotoin pemandangan di sana,” imbuh Vina.
“Terus apalagi?”
“Ya intinya dapet temen ngobrol. Install aja. Biar lu gak gabut-gabut banget. Lagian kalo gak suka kan tinggal uninstall.”
Nia kembali diam, sebab sudah sepenuhnya terpengaruh. “Apa tadi nama aplikasinya?"
...•▪•▪•▪•▪•...
Nia sedang membaca pesan dari Vina, sahabatnya, tentang peraturan kencan online versinya. Pertama, haram hukumnya memberitahukan informasi pribadi kecuali palsu. Kedua, yang tak kalah haram, adalah yang menyangkut cuan alias uang. Tak peduli meski teman kencan online meminta cuan untuk alasan yang menyangkut nyawa, dilarang mengeluarkan cuan jika bukan sultan. Dan yang terakhir, ini yang paling haram. Jika teman kencan online mulai membahas topik berbau p*rno, langsung blokir. Dimaki dulu juga boleh biar plong.
Nia mengangguk-angguk mengerti, dan setelahnya barulah aplikasi kencan bernama Zet itu diinstall. Jujur saja Nia setuju mengikuti jejak Vina bukan karena ingin meningkatkan kemampuan bahasa inggrisnya yang sudah tak ada harapan atau menaikkan jumlah followersnya yang sudah mencapai ratusan ribu. Nia hanya bosan, dan tak yakin bisa bertahan melewati enam belas hari libur itu hanya dengan menatap langit-langit kamarnya sembari menyedot susu cokelat.
Aplikasi tersebut pun berhasil diinstall, dan layaknya aplikasi pada umumnya, sedikit informasi pengguna adalah wajib. Mengikuti aturan pertama kencan online versi sang sahabat, Nia pun memasukkan informasi palsu mulai dari nama, tanggal lahir dan negara asal. Halaman pendaftaran sukses, pun halaman kedua, ketiga dan terakhir. Kini Nia resmi menjadi pemilik akun bernama Kaoru Kamiya. Nia pun mulai mencari teman. Diketikkannya di kolom pencarian nama sembarang pria, dan muncullah sembilan ratus hasil di sana.
“Harus banget ya foto mamerin otot? Ini mah ketauan baru nyapa juga udah diajak tidur. Eh? Duplikat L.K? Mana fotonya? Udah gak aktif kali ya? Eh, aktif sebelas menit yang lalu ternyata. Tambahkan menjadi teman. Oke. Mulai kencan. Oke,” gumam Nia.
KAO : Hi, Duplikat L.K?
LK : ?
Spontan Nia beranjak dari posisi malasnya. “Ih anjir dibales. Beneran dibales anjir. Demi apa?”
KAO : Aku pengguna baru.
LK : Ada kendala?
“Ada kendala? Kaya customer care aja nanyanya duh ngakak.” Nia tertawa.
KAO : Sejauh ini belom ada. Aplikasinya oke. Tampilannya fresh. Gak banyak iklan. Gak banyak makan ruang juga. Aku suka.
LK : mengetik...
KAO : Anyway, ini kencan pertama aku loh. Tapi jangan takut ya. Aku bukan orang jahat. Aku cuma butuh temen ngobrol selama liburan.
LK : Anak sekolah?
KAO : Yup.
LK : Umur?
KAO : Peraturan pertama, dilarang kasih tau informasi pribadi kecuali palsu.
LK : Haha.
KAO : mengetik...
LK : mengetik...
KAO : Udah berapa lama main Zet?
LK : Lama.
“Irit ngomong banget nih cowok. Eh, tunggu. Emang beneran cowok?”
KAO : Kamu beneran cowok?
LK : Tebak.
KAO : Mmm tau Perip*ra?
LK : Haha.
KAO : Fix, cowok.
LK : Itu kosmetik.
KAO : Ciye yang dibela-belain searching.
LK : Haha.
“Anjir beneran seru.” Nia berguling-guling kegirangan di ranjang.
LK : Kaoru?
“Demi apa cuma dipanggil online aja jantung gue langsung gak selow.” Nia melompat dari ranjang, berjingkrak lebih girang.
LK : Ciye yang lagi jingkrak-jingkrak.
KAO : Oh jadi gini rasanya ditangkep basah.
LK : Haha.
KAO : mengetik...
LK : mengetik...
KAO : Aku off dulu. Tante pulang cepet dan kayanya marah ngeliat rumah berantakan.
LK : mengetik...
Tak terasa esok sudah tiba Nia mengenakan seragam putih abu-abunya. Dara tujuh belas tahun itu masih tak percaya jika dirinya benar-benar bisa melewatkan enam belas hari liburnya dengan bahagia. Ya, bahagia. Tentunya berkat seseorang, Duplikat L.K, teman Nia di salah satu aplikasi kencan bernama Zet. Hampir setiap hari Nia dan Duplikat L.K bertukar pesan. Mereka membicarakan apapun selain informasi pribadi. Awalnya hanya melalui pesan singkat, namun lambat laun mulai merambah ke pesan suara.
Tak jarang Nia dan Duplikat L.K juga saling mengirim foto-foto random seperti makanan, cuaca, dan pemandangan. Mereka juga bertukar hal-hal yang disukai seperti buku, musik, film, dan lain sebagainya. Lalu setiap malam saat data seluler Nia aktif, tepatnya sekitar pukul 00.01, Nia dan Duplikat L.K selalu menonton film bersama. Menyenangkan sekali memang memiliki teman dengan banyak kesamaan, terlebih tidak merugikan dalam segi apapun baik itu perasaan, materi, dan yang terpenting, mental.
Selama lebih dari dua pekan berkencan online dengan Duplikat L.K, Nia menyadari satu hal, ternyata Duplikat L.K memiliki suara yang seksi. Saking terpesonanya dengan keseksian suara Duplikat L.K, Nia sampai menjadikannya sebagai alarm. Alarm yang hanya berdering sekali selamanya karena mengundang petaka. Gara-gara suara alarm itu, Ikbal nekat mendorbak pintu kamar Nia karena mengira Nia diam-diam membawa masuk pria ke kamarnya. Petaka itu pun berakhir membuat Nia tidur tanpa pintu selama dua malam.
KAO : Aku gak nyangka bakal sad ending.
LK : Tagnya kan tragedi. Jadi udah pasti sad ending.
KAO : Iya tau. Tapi aku gak nyangka bakal sesedih itu.
LK : Butuh tisu apa pundak aku?
KAO : Pppfffttt..
LK : mengetik...
KAO : mengetik...
LK : Udah jam setengah tiga.
KAO : Iya, dan lima jam lagi aku masuk sekolah.
LK : Dan satu jam lagi aku ke bandara.
KAO : Seharusnya hari ini kita absen nonton film.
LK : Aku gak bisa nolak kalo kamu udah spoiler.
KAO : Oke. Kita salah.
LK : Haha.
KAO : Save flight ya.
LK : Be nice on your first day.
KAO : Bye L.K.
LK : Bye Kaoru.
...•▪•▪•▪•▪•...
Atmosfer di hari pertama Nia menjadi murid baru hampir selalu begitu. Selalu ditatap terpesona oleh senior cowok, selalu ditatap julit oleh senior cewek, pun selalu ditatap remeh oleh para guru. Wajar saja. Sebab paras Nia tergolong di atas rata-rata, dan stigma paling cuma cantik doang sudah mendarah daging sejak zaman pemerintahan Raja Kumari Kandam. Jujur Nia setuju-setuju saja dengan stigma itu. Sebab ya, visual yang dianugerahkan Tuhan pada Nia memang lebih banyak daripada isi kepalanya.
Tubuh dengan proporsi sempurna bak girlband negeri ginseng, kulit putih glowing layaknya hasil nyata perawatan klinik kecantikan ternama, serta bentuk wajah simetris berhias lesung pipi di kedua sisi. Ditambah lagi aura gadis polos yang Nia pancarkan, benar-benar membuat cowok mana pun tak keberatan meski sekadar diberi harapan palsu. Meski begitu Nia tidak pernah memberi harapan palsu. Jika memang tertarik Nia akan maju, karena Nia bukan penganut paham, apa-apa harus cowok duluan.
“Capek ya unjuk senyum pepsodent ke semua cowok?”
Nia mengabaikan sahabatnya, Vina, yang akhirnya keluar dari kelas.
“Serius udah nolak cowok di hari pertama?”
“Enggak,” balas Nia.
“Terus kenapa lu bete banget gitu?”
“Gue sekelas sama mantannya Ikbal.”
Spontan Vina membekap mulutnya yang hampir kelepasan memaki. “Serius? Si silikon?”
Nia mengangguk. “Dan lu tau yang lebih parah? Dia duduk pas di depan gue.”
“Aduh fix nilai lu bakal makin anjlok gak sih?”
Nia menghentikan langkahnya, menjawab Vina dengan mimik wajah siap menjambak.
“Santai. Kan kita sehati sesanubari. Kalo nilai Kakak anjlok pasti Dedek temenin.”
Tawa Nia seketika lepas, pun tawa Vina. Keduanya pun berlalu melewati gerbang masuk SMAN Lentera Dunia. Di sepanjang perjalanan pulang, Nia dan Vina asyik menceritakan pasangan kencannya masing-masing. Berbeda dengan Nia yang masih menjalin hubungan baik dengan Duplikat L.K, Vina mengaku mempunyai teman kencan baru. Vina bercerita jika teman kencannya kali ini adalah orang Indonesia. Meski baru berkencan selama sepekan, Vina dan cowok dengan nama samaran Pria Purnama itu memiliki banyak kesamaan.
“ ... Kalo lu sama Duplikat L.K gimana?”
“Kita juga nyambung banget.”
“Aslinya gimana? Ganteng gak?”
“Kita mah gak pernah pap muka. Paling pap makanan, pemandangan, gitu-gitu doang. Tapi akhir-akhir ini kita voice notes sih.” Nia mengeluarkan ponselnya. “Mau denger gak?”
“Mau-mau. Mana?”
Nia mendekatkan ponselnya ke telinga Vina.
“Ih anjir ini mah ganteng. Yakin gue.”
“Yakin dari mana?” tanya Nia.
“Feeling aja. Feeling petualang cinta kaya gue kan selalu tepat.”
Nia hanya menggeleng menanggapi Vina seraya memasukkan ponselnya ke dalam saku.
“Btw, Duplikat L.K pernah ngasih lu pulsa gak? Atau ngasih apa gitu yang laen?” imbuh Vina.
“Gak pernah.”
“Tapi lu pernah minta?”
“Gaklah. Kalo gue minta berarti gue ngelanggar aturan kencan kedua dong?”
Vina menepuk jidatnya lumayan keras, meski baginya masih kurang. “Lupain aturan kencan gue. Biar gue revisi dulu.”
“Kenapa?”
“Karena gue ngelanggar.”
“Maksudnya lu minta Pria Purnama ngirimin lu pulsa dan yang laen gitu?”
Vina menggeleng cepat. “Inisiatif dia sendiri. Rezeki mana boleh ditolak ya kan?”
“Berarti lu gak ngelanggar aturan kencan kedua dong. Kan lu gak minta.”
“Iya juga sih. Tapi mendingan lu jangan terlalu terpaku sama aturan kencan gue deh.”
“Gue suka kok. Lebih tepatnya sependapat.” Nia memperlambat langkahnya. “Tapi, Vin, lu tau kan gak ada yang gratis? Di Malawi aja kentut bayar loh.”
Vina terbahak. “Iya gue tau. Tapi hubungan kita serius kok. Minggu depan aja kita mau ketemuan.”
Langkah Nia sepenuhnya terhenti. “Cius?”
Vina mengangguk berulang kali, girang. “Temenin ya?”
“Boleh.”
“Tapi lu harus megang duit. Seenggaknya dua ratus ribulah. Buat pegangan aja. Soalnya kita ketemuannya di Mall. Lu pasti pengen jajan.”
Nia mematung, menyesali sikap dermawannya pada Ikbal beberapa pekan lalu. Jangankan dua ratus ribu, bahkan hari ini bisa dipastikan Nia hanya akan makan bakso tanpa es teh. Vina tahu apa yang dipikirkan Nia, dan memberikan ide karena kencannya kali ini bergantung pada keikutsertaan Nia. Vina mengidekan untuk meminjam uang pada Duplikat L.K. Karena Nia yang rajin menabung dan tidak sombong pasti bisa mengembalikan uang itu dalam waktu singkat.
“Enggak akan. Kenal aja engak masa minta-minta duit.”
“Minjem, Nya, minjem. Bukan minta dih.”
“No. Never.”
Vina berganti diam di tempat. “Terus gue harus ketemuan sendiri gitu? Kalo ternyata dia orang jahat dan gue yang kaya malaikat ini diapa-apain gimana?”
“Emang siapa yang berani ngapa-ngapain reinkarnasinya Sherlock Holmes?”
“Aduh plis. Selalu deh. Kenapa sih lu mendadak jadi genius cuma kalo kita lagi debat?”
“Pokoknya enggak akan. Gue gak mau ngerusak hubungan gue yang harmonis sama Duplikat L.K cuma gara-gara dua ratus ribu.”
Vina mengejar Nia, lalu menghadangnya. “Oke-oke. Gini. Gue bakal bantu mulangin tuh duit kalo hubungan gue sama Pria Purnama berhasil. Gimana? Dan kalo gak berhasil pun gue bakal tetep bantu.”
Kerut-kerut di dahi Nia masih tampak sangat tebal.
“Terus gue traktir bakso selama seminggu," tambah Vina.
“Sama es jeruk.”
“Dih anjir biasanya es teh juga.”
“Gak mau?”
“Oke-oke. Deal ya berarti? Lu minjem duit Duplikat L.K, terus minggu depan lu temenin gue ketemuan sama Pria Purnama.”
“Deal,” jawab Nia mantap.
...•▪•▪•▪•▪•...
Meski kegiatan di sekolah mulai padat, Nia tetap memprioritaskan teman kencan onlinenya. Ya, teman kencan online dan bukan tugas-tugas sekolah. Apalagi kali ini Nia memiliki misi dua ratus ribu, jadi semakin giatlah dirinya memelototi layar ponsel. Tapi misi itu belum juga terlaksana, padahal minggu kedua di bulan ini hanya tersisa satu hari lagi.
Jujur saja Nia bingung bagaimana mengawali topik menghutang, terutama menghutang online. Bukankah Nia harus merangkai kata-kata yang meyakinkan terlebih dahulu? Sebab kecuali makhluk-makhluk bucin, siapa pun itu pasti akan berpikir miliaran kali untuk meminjamkan uang pada orang yang tak jelas identitasnya, tak tahu tinggal di bumi bagian mana, dan bahkan tak memiliki nomor ponselnya, bukan?
Jika Nia menjadi pihak yang memiliki uang, itu semua adalah pertimbangan mutlak. Begitu pula dengan Duplikat L.K yang sepertinya jauh lebih dewasa, pertimbangannya pun pasti akan jauh lebih matang. Antara janji, misi dan kata hati, Nia benar-benar tak tahu harus mengabaikan yang mana. Sambil terus membalas pesan dari Duplikat L.K, Nia mulai memantapkan pilihannya sedikit demi sedikit.
Pada akhirnya Nia pun mantap mengabaikan misi dua ratus ribu itu, dan berencana meminta uang di luar uang saku pada Tantenya. Layaknya orang sakti mandraguna yang dianugerahi kemampuan menebak isi hati, Duplikat L.K tiba-tiba saja mengganti topik pembicaraan tentang uang. Padahal sebelumnya mereka sedang membicarakan ketepatan ramalan zodiak hari ini.
LK : Butuh berapa?
Spontan Nia melempar ponselnya. “Ih anjir. Beneran sakti mandraguna nih orang. Kok bisa tau? Tunggu. Belom tentu dia bahas duit ka--”
LK : Sejuta cukup?
Nia melotot memandangi layar ponselnya sambil menggumamkan nominal uang yang baru saja disebutkan Duplikat L.K berulang kali.
LK : Lima juta? Sepuluh juta?
Nia menyambar ponselnya, buru-buru mengetik sebelum terkena serangan jantung. “Udah gila nih cowok. Ngomong sejuta lima juta sepuluh juta gampang banget kaya ngupil.”
KAO : mengetik...
LK : Atau lima belas?
KAO : mengetik...
LK : mengetik...
KAO : Serius lima belas juta?
LK : Mau?
KAO : Gaklah buat apaan.
LK : Terus?
KAO : Dua ratus ribu aja.
LK : mengetik...
KAO : Tapi aku balikinnya dua bulan lagi.
LK : Balikinnya langsung.
KAO : mengetik...
LK : Kalo gak langsung gak usah dibalikin.
KAO : mengetik...
LK : Kirim rekening. Cepet. Aku mau meeting.
Nia diam, mencerna kata-kata terakhir Duplikat L.K. “Dia udah kerja ternyata. Kerja kantoran gitu kali ya. Kira-kira umurnya berapa ya? Tunggu. Bukan om-om kan? Bukan-bukan. Positif aja. Eh tapi kalo om-om gimana?”
LK : Gak semua yang udah kerja itu om-om atau tante-tante.
Nia kembali melempar ponselnya. “Ih anjir. Fix sakti mandraguna nih orang. Tunggu-tunggu. Atau kalo gak gue lagi diawasin? Atau ada kamera yang dipasang diem-diem di kamar gue?”
Ponsel Nia kembali berbunyi. Perlahan Nia pun membalik ponselnya yang tertelungkup itu, dengan kaki.
LK : Dan gak ada yang ngawasin kamu juga, atau pasang-pasang kamera di kamar kamu. Aku tau karna aku kenal banget kamu. Kamu tuh kebanyakan nonton film detektif. Cepet kirim rekening!
"Nya, di sini.” Terlihat Vina di seberang, sedang melambaikan kedua tangannya sambil melompat-lompat.
“Lama banget sih lu.”
“Kan gue make up dulu. Emang gak keliatan?”
Nia memandang wajah sang sahabat, dan kemudian menggeleng mantap.
“Ya wajar sih. Make up ala-ala korea kan emang natural banget.”
“Kayanya kelewat natural deh sampe lu keliatan kaya gak mandi,” balas Nia.
“Demi apa gue kaya gak mandi? Ih gimana dong? Pertemuan pertama kan harus berkesan.” Vina berganti memandang wajah Nia. “Lu pake make up?"
“Yaiyalah secara ini mall elit, dan gue mau foto-foto.”
“Yaudah make upin gue. Ya? Ya? Ya? Ya?”
“Buru.” Nia berlalu memasuki mall.
Ini adalah hari yang dinanti-nanti Vina, sahabat sehati sesanubari Nia. Di hari yang mendung ini, Vina dan teman kencan onlinenya, Pria Purnama, sepakat untuk merambah ke hubungan offline. Mereka berjanji untuk bertemu di sebuah mall pukul dua siang. Tentu saja Nia ikut berbahagia, namun entah kenapa langit mendung di luar sana seperti sedang memberikan pertanda buruk. Mengaitkan langit dengan pertanda buruk? Sepertinya benar apa kata Duplikat L.K, Nia memang terlalu banyak menonton film.
“Jadinya lu minta duit ke Tante Ushi?”
“Yup. Dan responnya malah kaya dikasih duit.”
Vina tertawa. “Jangan kasihin Ikbal lagi.”
“Emang gue oon?”
“Emang gak?”
Nia menoyor dahi Vina dengan blush brush.
Vina kembali tertawa. “Btw gue punya rencana.”
“Buat?”
“Buat menghindari temen kencan yang gak good looking. Lu bisa pake juga kalo nanti diajak ketemuan sama Duplikat L.K.”
Nia hanya mendengarkan sambil mengobok-obok wajah sang sahabat.
“Jadi lu dulu yang ketemuan sama Pria Purnama,” imbuh Vina.
“Idih ogah.”
“Dengerin dulu. Cuma ketemuan pura-pura. Kan dia bilang pake kemeja lilac. Nah, lu tinggal ke titik janjian kita terus cari deh cowok yang pake kemeja lilac. Kalo good looking lu telfon gue. Kalo gak yaudah ntar gue tinggal sepik-sepik apaan kek.”
“Menurut gue dia beneran good looking.”
Vina membuka sebelah matanya yang tidak sedang dipulas eyeshadow. “Tau dari mana?”
“Ya itu buktinya dia pede banget ngasih tau outfitnya.”
“Emang kalo pede pasti good looking? Lu good looking tapi gak pedean. Sedangkan liat si Ikbal yang mukanya gak jelas itu malah pedenya selangit.”
Nia diam, berniat menampik namun tak terlintas sepatah kata pun di benak apalagi kepalanya.
“Ntar kalo lu mau ketemuan sama Duplikat L.K, gantian gue yang bakal turun ke lapangan. Oke?”
“Iya yaudah oke. Sekarang merem. Merem. Apa gue colok? Makein eyeliner tuh susah tau gak,” jawab Nia.
Dan direalisasikanlah rencana yang terinspirasi dari sinetron ongoing tersebut. Setelah merias Vina, Nia langsung bergegas menuju ke depan bioskop, titik janjian Vina dan Pria Purnama. Tetapi tak ada satu pun pria yang mengenakan kemeja berwarna viral itu. Para pria yang berseliweran di sekitar Nia rata-rata mengenakan outfit dengan warna monokrom. Nia pun langsung membuka lock screen ponselnya, berniat menelepon Vina, tetapi sang sahabat sudah lebih dulu meneleponnya.
“ ... Dia lagi di toilet di dalem bioskop.”
“Oh oke-oke gue masuk.” Nia memutus panggilan teleponnya.
Nia pun masuk ke dalam bioskop, namun menunggu kemunculan Pria Purnama di dalam barisan orang-orang yang tengah mengantri membeli tiket film. Kebetulan antrian itu sangat panjang, jadi tak masalah meski Pria Purnama berlama-lama bersolek atau menuntaskan buang hajat di toilet. Dan tak berselang lama, sosok yang sangat dinanti-nanti Nia pun Vina itu muncul. Sekarang Nia paham alasan pria itu menggunakan inisial Pria Purnama. Benar, pria itu botak, dan tidak cukup hanya botak tetapi juga om-om.
“Serius gak good looking?” Suara putus asa Vina terdengar jelas dari seberang telepon.
“Mau gue fotoin mumpung dia ngadep sini?”
“No. Never. Jangan bikin gue makin putus asa. Yaudah lu buruan balik. Biar gue cancel aja janjinya. Buru.” Vina berganti mengakhiri panggilan itu.
“Ternyata gue gak kebanyakan nonton film,” gumam Nia.
Namun langkah Nia langsung terhenti, pun aktivitas semua orang. Karena Pria Purnama yang tiba-tiba berteriak, dan teriakan murkanya sudah pasti ditujukan untuk Vina. Pria Purnama berkata jika dirinya akan meminta kembali semua yang pernah diberikan pada Vina. Jika Vina menolak, Pria Purnama tidak akan ragu untuk membawa masalah itu ke ranah hukum dan bahkan meneror Vina seumur hidup. Nia yang ketakutan mendengar itu spontan berlari keluar dari antrian, dan entah bagaimana Pria Purnama ikut serta.
“Berenti kamu! Kamu Vina, kan? Elvina Priska, iya kan? Berenti atau saya lapor polisi!”
Vina yang melihat aksi kejar-kejaran itu hampir jatuh pingsan. Terlebih karena melihat sosok asli Pria Purnama, rasanya Vina akan tetap pingsan sekali pun sangkakala ditiup Malaikat Israfil. Situasi semakin tak terkendali, ketika para security ikut serta dalam aksi kejar-kejaran itu. Vina pun terpaksa ikut berlari, demi menyelamatkan Nia dengan memberinya kode. Beruntung Nia menangkap kode itu dengan cepat, dan bergegas mengekori Vina yang tengah sibuk memesan Goc*r.
Teriakan menjadi Pria Purnama kian menarik perhatian para pengunjung mall, pun para security yang berpatroli di tiap-tiap lantai. Nia tak peduli, dirinya harus fokus mengikuti Vina dan menahan kepalanya agar tidak menoleh ke belakang. Jalan keluar mulai terlihat, dan tampaknya dua orang security yang kini tengah sibuk memeriksa identitas para pengunjung yang baru saja tiba itu belum tahu kegagalan drama Pria Purnama yang diperankan Nia. Itulah kenapa Nia dan Vina akhirnya berhasil lolos.
“Pak, jalan, Pak. Cepet, Pak.”
“Siap-siap.” Driver Goc*r menanggapi Vina tak kalah panik.
“Selamet-selamet.” Nia menghela napas lega. “Lu tau dia bilang apa?”
“Enggak gue gak mau ta—“
“Dia mau laporin lu ke polisi, bahkan mau neror lu seumur hidup kalo lu gak balikin semua yang dia kasih,” sela Nia.
“Udah gila tuh om-om.” Vina buru-buru membuka aplikasi Zet. “Emang gue minta? Emang ada yang dikasih rezeki nolak? Gak, kan? Oh, bagus deh kalo dia udah ngeblock gue duluan. Lu juga buruan block.”
“Hah? Siapa?”
“Siapa lagi? Ya Duplikat L.Klah. Dia pasti juga om-om.”
“Mmm kayanya bukan deh,” sahut Nia ragu.
“Aduh plis deh jangan berpikiran positif di situasi kaya gini. Lu mau kejadian kaya tadi keulang? Lu yakin yang kedua kalinya bakal selamet? Buruan block.”
Nia diam, semakin ragu, dan lagi, langit di luar sana pun semakin mendung.
“Duh, lama deh.” Vina merogoh paksa ponsel Nia dari saku celana. “Mana Duplikat L.K? Oh, ini. Block. Yes. Done. Oh iya sekalian uninstall juga aplikasinya. Copot aplikasi. Ya. Selesai. Oke. Nih.” Vina menyerahkan ponsel Vina. “Hah, lega rasanya.”
...•▪•▪•▪•▪•...
Tampak seorang pria tengah duduk memandangi sesuatu di layar laptopnya. Entah bagaimana ekspresi wajah pria itu, apa yang tertulis di layar laptopnya terlihat jauh lebih jelas daripada rupanya. Namun jika diamati meski hanya dari penampakan belakangnya, pria itu sudah pasti tampan. Rambut ikal gondrong yang diikat setengah, kulit eksotis bercahaya, serta bahu yang terlewat lebar, cukup untuk memperkuat terkaan itu, bukan?
Sudah dua jam pria bertelanjang dada itu memandangi sebaris tulisan di layar laptopnya, dan tak terhitung sudah berapa kali pula dirinya merefresh aplikasi itu, Zet. Namun tetap saja sebaris tulisan itulah yang lagi-lagi didapatkannya setelah mencari pengguna akun bernama Kaoru Kamiya. KAORU KAMIYA HAS BLOCKED YOU. Benar, benar-benar hanya ada sebaris tulisan itu, dan arahan untuk kembali ke halaman utama.
Terdengar pria itu menghela napas kasar, dan perlahan mulai beranjak dari duduknya. Masih belum terlihat bagaimana rupa pria itu. Tetapi demi apapun, otot-otot yang menghiasi separuh tubuhnya itu seperti berkuasa membuat kaum hawa mimisan bahkan kejang-kejang. Apalagi sarung yang dililit asal-asalan itu, rasanya bisa memberikan pahala yang berlimpah jika ditanggalkan sekarang juga.
“Halo, Bas.” Pria itu memulai percakapan di telepon. Rupanya mulai terlihat, meski masih sedikit sekali. Bentuk pun warna bibir pria itu persis seperti apel fuji, dan dagunya, tak kalah seksi dengan milik Hrithik Roshan. “Gua butuh informasi cewek, sekarang,” imbuh pria itu.
...•▪•▪•▪•▪•...
Sebuah amplop cokelat mendarat sempurna di atas meja kaca, sesaat setelah seorang pria masuk ke ruangan berpenerangan minim itu. Isi amplop yang cukup tebal membuat papan nama yang ada di tengah-tengah meja kaca tersebut bergeser, dan bahkan hampir berakhir membuatnya menjadi penghuni tempat sampah di pojok ruangan.
“Thanks, Bas.”
“Sejak kapan lu jadi pedofil?”
Pria yang tengah mengeluarkan isi amplop itu enggan merespon rekannya, Bastian, Bastian Bramantyo, seorang Polisi Reskrim yang langsung menjadi selebgram setelah ikut membintangi sebuah program bertajuk kriminal di salah satu channel televisi lokal. Hubungan Bastian dan pria itu cukup rumit, namun mereka bisa memastikan ada di kapal yang sama.
“Dia anak kemaren sore, Za,” tambah Bastian.
“Terus?”
“Ya terus ngapain lu berurusan sama anak kemaren sore?”
“Cuma ngobrol.”
Bastian menghampiri meja pria itu. “Gak ada yang mateng dikit emang?”
“Tujuh belas taun bukannya udah mateng?”
“Oke skip. Tapi lu gak niat serius kan?”
“Tergantung.”
Suara Bastian mulai meninggi. “Lu kaya bapaknya, Za.”
“Kayanya lu deh yang lebih kaya bapaknya.” Pria itu menyandingkan foto seorang wanita tepat di samping wajahnya sendiri. “Kalo gua lebih kaya abangnya.”
Bastian lemas, menyerah beradu debat dengan pria itu.
“Besok lu free?”
“To the point.” Bastian menghentikan langkahnya yang hendak keluar dari ruangan pria itu.
“Gua mau lu ke sekolahnya. Sampein langsung pesen gua.”
Bastian menoleh, memamerkan mulutnya yang membulat, benar-benar bulat yang terlewat bulat.
“Dia mau buka blokir pake cara dia, apa pake cara dia.” Pria itu membenahi papan namanya ke posisi semula. Papan nama bertuliskan Zaim Alrafezi, CEO ZET.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!