NovelToon NovelToon

Zona Dewasa

1. Cinta Pertama

...CINTA PERTAMA...

...Penulis : David Khanz...

...------- o0o -------...

Rasa sakit ini masih mendera sekujur tubuh, menyayat perih dihampir setiap persendian. Gerak badanku terasa berat, terbujur kaku di atas altar dingin yang sekian lama menjerat, dengan kondisi kedua tangan serta kaki yang selalu terikat kuat.

Rinjani datang menghampiri dengan seringainya yang menggidikan. Menatap tajam mataku yang sulit terbuka, akibat bengkak di sekitar kelopak, bekas hantaman tangan-tangan kekar anak buah perempuan durjana itu.

"Apa kabar, Dave? Luka-luka di tubuhmu sudah mengering, kan?" tanya Rinjani seraya mengusap lembut kulit wajahku yang membiru.

"Apa maumu kali ini, Rinjani? Kau dan anak buahmu ingin menyiksaku lagikah?" Pasrah sudah apa pun yang akan dia perbuat seperti tempo hari, menghajarku sedikian rupa dalam keadaan tak berdaya.

"Tentu tidak, Dave-ku Sayang," ujar Rinjani setengah berbisik di depanku. "Mana mungkin aku melakukannya, pada laki-laki yang selama ini sangat kucintai."

Cuih! Ingin rasanya kuludahi perempuan berwajah cantik tapi berhati busuk itu. Suaranya yang lembut mendayu, terdengar buruk menghujam gendang telinga. Mungkinkah karena rasa benci yang sudah terpatri dan mengerak hingga menutupi seluruh elemen kasih di hati?

Ah, untuk apa? Tak pantas perempuan iblis seperti dia diberi ruang sayang. Hatinya sendiri dipenuhi sarang-sarang makhluk jahanam.

"Aku sudah tak punya apa-apa lagi, Rinjani. Anak-istriku sudah tiada, harta benda musnah, dan hidupku kini hanya tersisa raga yang setiap saat kau siksa! Hatiku? Jangan berharap akan kuberikan padamu! Camkan itu, Rinjani!" Emosiku mulai meledak saat teringat masa-masa indah bersama orang-orang terkasih, hancur semua akibat kegilaan seorang manusia yang dibutakan cinta. Rinjani!

Bertolak belakang dengan yang kubayangkan pada awal kali bertemu dengan perempuan itu.

"Hai ... Dave! Kamukah itu?" sesosok perempuan muda menyapaku sesaat setelah keluar dari ruangan HRD.

Aku menoleh dan berusaha mengenali pemilik suara lembut berwajah jelita, berjalan anggun menghampiri.

"Mohon maaf. Dengan siapa ini ya?" Otakku berusaha keras untuk mengingat. Namun sosok itu begitu asing dan rasanya belum pernah hadir di dalam memori kepala.

"Aku Rinjani, teman sekelas waktu sekolah di SMP dan SMA dulu. Masih ingat?" Senyum manis itu menyeruak memperlihatkan barisan giginya yang putih dan rapih.

Aku menepuk kening.

"Rinjani?" Perlahan sisa-sisa memoriku mulai kembali. "Benarkah itu kamu?"

Perempuan itu mengangguk diiringi senyumannya yang memikat. "Tentu saja ini aku, Dave! Bagaimana kabarmu selama ini?"

Aku tersenyum malu. "Ya, beginilah. Seperti apa yang kamu lihat sekarang ini."

"Kamu anak buah Pak Hendra?" tanya Rinjani kembali sambil melirik daun pintu ruangan HRD yang tadi kumasuki.

"Iya, Rin. Kamu sendiri kerja di sini juga? Kok, aku baru lihat, sih?"

Rinjani menjawab dengan senyumannya.

“Kok, malah senyum? Ruangan kamu di mana?” Aku semakin penasaran.

“Ya, aku kerja di sini. Ruanganku ada di lantai empat sana. Baru beberapa hari bergabung dengan perusahaan ini,” kata Rinjani tampak malu-malu.

“Lantai empat? Itu, kan, ruangan .... “

Daun pintu ruangan HRD tiba-tiba terbuka.

Pak Hendra tergopoh-gopoh menyalami Rinjani sambil membungkukan badan. “Oh, ada Bu Rinjani. Ada yang bisa saya bantu, Bu?"

Aku tertegun melihat sikap Pak Hendra yang tampak begitu menghormati Rinjani.

“Tak ada, Pak Hendra. Hanya ingin melihat-lihat ruangan dan mengenal lebih dekat para pekerja kantor perusahaan ini.” Mata Rinjani melirik ke arahku.

Sebentar kemudian, Rinjani berpamitan untuk kembali ke ruangannya, meninggalkan kami berdua. Aku dan Pak Hendra.

“Bu Rinjani itu siapa, Pak Hendra?” tanyaku setelah sosok perempuan cantik itu pergi.

Hendra menggelengkan kepala. “Beliau itu pemilik utama perusahaan ini, Pak Dave. Baru pulang dari Amerika setelah lama menetap beberapa tahun di sana. Sekarang, beliau kembali ke Indonesia untuk meneruskan bisnis Pak Wijayanto, papanya.”

Aku tertegun. Tak menyangka akan bertemu kembali dengan bekas teman sekolah dulu.

Itu merupakan awal pertemuanku dengan Rinjani, setelah sekian lama menghilang tak tentu kabar. Dari saat itulah, bencana hidupku dimulai.

Rinjani berasal dari keluarga kaya raya. Berbagai fasilitas dan keinginannya, dengan mudah dia dapatkan. Apalagi sebagai anak tunggal dari pemilik sebuah perusahaan besar seperti ini. Tentu hari-harinya akan selalu dipenuhi dan dimanja oleh germerlap duniawi.

Waktu sekolah dulu, Rinjani sangat dekat denganku. Bahkan, karena kedekatan kami itulah, sulit bagiku untuk mendapatkan teman. Apalagi perempuan. Rinjani selalu berusaha menghalang-halangi. Sebagai seorang anak laki-laki, tentunya hal itu merupakan sebuah kebanggaan tersendiri. Dekat dengan seorang teman perempuan cantik dan anak orang kaya. Otomatis kebutuhan sehari-hari hidupku ikut terjamin. Bahkan sampai melanjutkan ke sekolah favorit dan mahal sekali pun, semuanya atas jasa Rinjani.

Dia mengaku jatuh cinta padaku. Cinta pertama yang mulai hadir dalam hidupnya. Mengenal dan tertarik dengan lawan jenis, hingga berambisi untuk bisa bersatu pada suatu saat kelak. Celakanya, aku menerima cinta gadis itu. Berharap agar jaminan pendidikanku akan terus berlanjut selama masih menjalin hubungan dengan Rinjani. Namun imbasnya, aku sama sekali tak boleh berhubungan dengan perempuan mana pun. Walau hanya sekedar berkawan biasa, terkecuali keluargaku sendiri.

Tumbuh sebagai anak tunggal yang selalu dipenuhi setiap keinginannya, membuat karakter Rinjani menjadi sosok gadis yang ambisius dan arogan. Hal itu pula yang membuatku merasa tak nyaman setiap kali bersamanya.

Untunglah, selepas SMA, kami berpisah. Dia melanjutkan studinya di luar negeri, sementara aku tetap berada di kotaku. Kuliah dengan biayaku sendiri dan rela bekerja serabutan demi mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Sukses hingga berhasil diwisuda empat tahun kemudian.

Masih terngiang pesan terakhir Rinjani sebelum berangkat meninggalkan bandara beberapa tahun yang lalu, “Ingat, ya, Dave. Kamu itu milikku. Kita berpisah untuk sementara, bukan berarti hubungan kita berakhir. Suatu saat, aku akan datang kembali padamu untuk bersama-sama lagi selamanya.”

Aku hanya menganggukan kepala. Sekedar menghiburnya, agar lekas pergi menjauh. Setelah itu, aku akan melanjutkan hidup di atas kaki sendiri.

Sebenarnya, Rinjani sempat memaksa untuk ikut kuliah di luar negeri, tapi kutolak dengan berbagai alasan yang dibuat-buat. Syukurlah, saat itu untuk yang pertama kalinya, dia mau mengalah.

Setahun setelah kuliah usai, aku bekerja di sebuah perusahaan besar. Di sana pula bertemu jodohku dan tak lama kemudian, menikah. Disusul dengan kehadiran buah hati kami di tahun berikutnya. Lengkaplah sudah kini kebahagiaanku. Berkeluarga dan mendapatkan pekerjaan yang sepadan. Sampai kemudian, di tahun kedua usia anakku, sosok Rinjani kembali hadir dalam kehidupan kami.

Pertemuan yang singkat antara aku dan Rinjani. Hanya diisi tegur sapa dan berbasa-basi. Tak ada ekspresi marah atau pun kecewa, ketika mengetahui aku telah berkeluarga. Dia tetap tersenyum manis dan berusaha untuk memahami.

Sangat berbeda jauh dengan sosok Rinjani dulu yang manja dan labil. Sekarang dia jauh lebih baik, santun, anggun dan sekaligus dermawan. Seringkali mengirimkan hadiah-hadiah tak terduga untuk istri dan anakku. Bahkan puncaknya, aku dipercaya Rinjani menjadi wakil perusahaan yang dipimpinnya. Luar biasa!

Dari hubungan kerja yang sangat dekat itu, seringkali kami berdua berjalan bersama. Mulai dari acara meeting sampai urusan kerja ke luar kota. Sampai kemudian, sebuah kejadian yang tak pernah terduga pun terjadi. Rinjani mulai merayuku.

“Ayolah, Dave. Sudah lama aku merindukan saat-saat seperti ini denganmu.” Rinjani memaksaku masuk ke dalam kamar hotel, saat kami berdua tengah berada di sebuah kota yang jauh dari keluarga kecilku.

“Tidak, Rinjani. Aku sudah berkeluarga. Aku tidak ingin mengkhianati istriku. Apalagi kita bukan pasangan suami-istri. Aku tak mau melakukannya.” Aku berusaha menolak ajakannya.

Aku menghindar dan berlari. Sampai baju ini koyak akibat tarikan jemari tangannya yang hendak menahanku, menjauhi sosok perempuan itu.

Rinjani marah dan kecewa.

Sejak saat itu, kami tidak pernah bertegur sapa walaupun berada dalam satu ruangan, tetap saling diam dan membisu.

Petaka berikutnya pun terjadi.

Suatu hari kemudian, aku mendapat kabar memilukan. Rumahku kebakaran. Semuanya musnah tak tersisa. Termasuk istri dan anakku yang meninggal tragis, terpanggang dalam bara.

Curiga, ini pasti perbuatan Rinjani. Dia sengaja melenyapkan keluargaku karena ingin segera memilikiku.

Saat mendatangi kediamannya, beberapa sosok lelaki berbadan besar dan sangar, langsung menyambut, menyergap serta melumpuhkanku. Lalu membawa ke sebuah ruangan dan mengikat kedua kaki serta tangan hingga tak berdaya.

Rinjani menemuiku dengan wajah dingin. Tanpa ekspresi maupun rasa bersalah. Bukannya berusaha menghibur dukaku, perempuan gila itu justru melampiaskan amarah serta rasa cemburu yang selama ini dia sembunyikan.

“Semua ini tak akan terjadi jika kamu tak mengkhianatiku, Dave,” ujar Rinjani setelah puas menyiksaku dengan pecutan di tangannya. “Sudah pernah kukatakan dulu, kan? Aku akan datang kembali padamu dan kita berdua akan bersama-sama lagi, kan, Sayang?”

“Perempuan jahanam! Kau yang telah membunuh anak dan istriku, kan?” Aku berteriak sekuat tenaga, berharap ada yang mendengar dan membantuku keluar dari cengkeraman perempuan itu.

Sayang sekali, rumah kediaman Rinjani terlalu besar dan luas untuk meneruskan suara murkaku ke alam sekitar. Tak ada telinga yang mampu mendengar, kecuali dinding tebal yang mengurung di sekeliling.

Rinjani terisak, “Terpaksa kulakukan itu, Dave. Hanya itulah satu-satunya cara, agar kau mau kembali ke pelukanku.”

“Biadab! Aku tak akan pernah bisa memaafkanmu, Rinjani!”

“Tolonglah, Dave Sayang. Aku sangat mencintaimu, dari dulu hingga saat ini. Aku ingin kita bersama-sama dalam hidup yang penuh cinta. Aku selalu tergila-gila padamu, Dave!”

CUIH!

Air ludahku muncrat hingga memenuhi wajah cantiknya. Rinjani tersentak dan langsung menamparku berulangkali. Pecut di tangannya kembali berayun menghujam dengan keras melukai daging tubuhku.

Aku melolong kesakitan hingga tenggelam dalam kelam tak sadarkan diri. Rinjani pun berlalu setelah amarahnya reda dan melihatku diam tak berkutik.

Esoknya, perempuan itu datang kembali sambil meminumkan sebotol air mineral ke dalam mulutku. “Minumlah, Dave. Aku tahu kau pasti haus, kan? Sudah beberapa hari ini kau tak mau makan. Aku khawatir jatuh sakit, Sayang!”

Tanpa rasa curiga, kuminum habis air yang disodorkan Rinjani, masih dalam kondisi kaki dan tangan terikat kuat. Beberapa saat kemudian, kurasakan sesuatu yang aneh terjadi. Gelegak darah di tubuhku tiba-tiba terasa mendidih, diiringi helaan nafas memburu serta dorongan hebat menghentak.

Rinjani menyeringai seraya datang menghampiri.

“Kau hebat, Dave,” bisik Rinjani sesaat sebelum beranjak turun. “Ketahuilah, Kau adalah laki-laki pertama yang kupercaya untuk menerima hadiah kesucianku ini, Dave. Tak ada satu pun laki-laki di dunia ini yang boleh menyentuhku, kecuali kamu.”

Aku tak bisa berkata apa-apa. Kepalaku masih dipenuhi rasa yang aneh dan berharap Rinjani kembali mengulangi perbuatannya tadi. Dia malah pergi meninggalkanku, dalam bara yang belum kunjung padam.

Hari berikutnya pun seperti itu, dia mendatangiku sekedar untuk menuntaskan hasratnya belaka. Aku dipaksa meminum air yang telah dicampur obat tertentu. Akibatnya, aku tak mampu mengontrol sepenuhnya bagian-bagian sensitif tubuh ini, terkecuali otakku.

“Aku ingin melakukannya tanpa harus dalam kondisi terikat seperti ini, Rinjani. Aku juga ingin memberimu sesuatu yang indah penuh kelembutan,” ujarku suatu ketika mencoba meminta Rinjani melepaskan jerat temali yang mengikat kedua kaki dan tangan.

“Berjanjilah kau akan mencintaiku, Dave! Kita hidup bersama secara normal. Tidak seperti ini.” Lirih Rinjani dalam isaknya di atas dadaku. "Aku benar-benar mencintaimu, Dave!"

“Aku berjanji, Sayang! Kita akan bersama-sama lagi seperti dulu .... “

Rinjani mengangkat wajahnya dan tersenyum manis. Aura bahagia segera menyeruak, terpancar dari parasnya yang cantik. Lalu perlahan membuka ikatan tangan dan kakiku.

“Aku sangat mencintaimu, Dave.”

“Aku juga, Rinjani.”

Senyum perempuan itu pun mendadak menghilang, berganti dengan pekikan tertahan di rongga kerongkongan. Jemariku semakin kuat menekan sekeliling leher Rinjani, hingga kedua bola mata perempuan itu membelalak hebat.

“Maafkan aku, Rinjani ... “ Kulepaskan tubuh Rinjani yang sudah melemah, diam tak bergerak. Kemudian bergegas menuruni altar dingin yang telah kudiami beberapa waktu lamanya. Berjalan limbung dengan sisa tenaga yang kumiliki, meninggalkan sosok Rinjani yang tergolek tak bernyawa.

DOR!

Sebuah peluru bersarang tepat di jantung, begitu kubuka pintu ruangan yang pengap serta kedap suara itu. Beberapa sosok lelaki berbadan besar dan sangar berlarian ke arahku. Mereka memburu Rinjani di dalam ruangan. Membiarkanku jatuh tersungkur sambil memegangi dada yang berlumuran darah.

Detak jantungku kian melambat, seiring dengan pandangan yang turut memekat. Sampai akhirnya, aku hanya bisa menatap tubuhku sendiri yang tergeletak bermandikan darah.

Tak ada satu pun yang peduli dan tak ada pula yang menyadari sosokku berada di sisi para lelaki itu. Kecuali ... wujud seorang perempuan yang melotot ketakutan begitu mata kami beradu pandang. Dia adalah Rinjani. Perempuan itu berlari menjauh sambil berteriak histeris. Aku segera mengejarnya. Meninggalkan sosok-sosok tubuh yang tergolek di rumah itu. Tubuhku dan tubuh Rinjani ....

2. Misteri Raibnya Pewaris Tunggal

...MISTERI RAIBNYA PEWARIS TUNGGAL...

...Written by David Khanz...

...---------- o0o ----------...

"Papa dan Mama belom pulang juga, Mbok?" tanyaku di petang hari.

Asisten rumah tangga itu menggeleng. Itu pertanyaan kelima yang kuajukan padanya, Mbok Marni, perempuan yang usianya hampir sebaya dengan Mama.

"Udah hampir seminggu ini Papa dan Mama gak pernah pulang, Mbok. Handphone-nya pun gak pernah aktif," kataku kembali. "Pada ke mana, ya? Aneh, deh."

Mbok Marni yang sedang menemaniku nonton televisi hanya menoleh sejenak. Dia kembali fokus menatap layar ajaib itu sambil duduk berselonjor di lantai.

"Mbok."

"Ya, Den," sahut Mbok Marni seraya menoleh kaget. "Ada yang bisa saya kerjain, Den?"

Aku menarik napas sesaat, lantas lanjut mengajukan pertanyaan, "Kira-kira Mbok tahu gak Mama dan Papa ke mana?"

Perempuan itu terlihat berpikir sebentar.

"Kurang tahu, Den," jawabnya kemudian. "Mungkin lagi dinas luar kota atau bisa jadi ke luar negeri."

"Ah, gak mungkin, Mbok," sanggahku tidak percaya.

"Biasanya, 'kan, begitu kalo Tuan dan Nyonya lama gak ada di rumah, Den."

"Tapi kalo beneran Mama dan Papa ada tugas kerjaan, kenapa gak ngasih tahu aku? Seenggaknya nelpon, kek. Ini malah nomor mereka kompak pada gak aktif. Aneh …."

"Sabar, Den. Tunggu aja dulu. Siapa tahu Tuan dan Nyonya gak sempet ngasih kabar ama Aden," timpal Mbok Marni tanpa menatapku sama sekali.

"Terus dari kantor, ada kabar gak, Mbok?" Aku masih penasaran.

"Gak ada, Den."

Ini benar-benar aneh. Tidak seperti biasanya kepergian Mama dan Papa tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Selama ini aku memang jarang bertemu mereka. Paling-paling sempat bertatap muka saat pagi ketika bersiap-siap hendak berangkat sekolah. Malamnya aku sudah tidur begitu orang tuaku tersebut pulang larut.

"Uang di ATM kamu masih ada, 'kan, Aldi?" Biasanya pertanyaan seperti itu yang paling sering kuterima dari Papa.

"Sekolah kamu baik-baik saja, 'kan, Sayang?" Mama menyusul bertanya. "Kalo ada apa-apa, kamu telpon atau datang aja ke kantor Mama dan Papa, ya, Di?"

Selama ini kalau urusan keuangan, aku memang tidak pernah kekurangan. Mereka berdua mencukupinya nyaris tanpa jeda. Namun jarang sekali menyempatkan duduk bersama. Mama dan Papa selalu sibuk dengan urusan pekerjaan dan relasi mereka di luar sana, tidak terkecuali pada hari libur sekalipun.

"Kamu, 'kan, udah gede, Di. Bisa ngurus diri sendiri," ujar Mama ketika aku mengungkapkan kesepianku akan kehadiran mereka. "Lagian ada Mbok Marni yang bisa ngebantu ngurusin keperluan harian kamu. Itulah makanya Mama dan Papa sengaja ngedatangin Mbok Marni buat ngerjain urusan rumahan kita. Mama lihat, dia cukup bagus kerjanya."

Percuma saja aku mengajukan protes pada Mama dan Papa. Mereka punya segudang alasan yang selalu mampu membuatku terdiam. Mau tidak mau, lama-lama di rumah ini aku malah menjadi lebih akrab dengan Mbok Marni. Perempuan itu sendiri sudah hampir setahun ini bekerja pada kami dengan segala kemampuannya di atas rata-rata, dari seseorang yang mengaku hanya lulusan sekolah dasar dan berasal dari perkampungan terpencil. Mengenai perekretuannya sendiri aku tidak tahu, karena hal itu diurus oleh Papa seorang.

Keanehan lain pun mulai muncul dari seorang Mbok Marni akhir-akhir ini. Sikapnya sering kali ikut campur terhadap urusanku pribadi.

"Dari mana saja, Den, jam segini baru pulang?" tanya Mbok Marni ketika aku baru menginjakan kaki pada jelang petang, masih mengenakan seragam sekolah.

"Abis maen, Mbok, ama temen-temen sekelas," jawabku cuek sekaligus merasa risi disikapi demikian olehnya.

"Temen cewek atau cowok, Den?" Kembali perempuan itu bertanya.

Aku menghentikan langkah, menoleh padanya, lantas berkata, "Emang urusannya apa sama Mbok? Terserah aku, dong, mau maen sama temen cowok maupun cewek."

Balas Mbok Marni, "Sekarang akan menjadi urusan saya, Den. Itu udah diamanatkan oleh Tuan dan Nyonya pada saya."

"Apa?" Aku terkejut. "Sejak kapan pula Mama dan Papa mau tahu urusan anaknya, kecuali masalah uang dan uang. Apalagi sampe ngasih Mbok tugas tambahan kayak tadi itu. Heh!"

Mata Mbok Marni membesar. Ujarnya dengan penekanan suara, "Tolong jangan membantah, Den. Mulai saat ini, urusan Den Aldi juga menjadi tanggung jawab saya. Jangan banyak membantah."

"Pembantu aneh!" desisku seraya lanjut melangkah menuju kamar. "Lama-lama kelakuannya makin menyebalkan!"

Kutoleh dia dari kejauhan. Ternyata masih berdiri mematung mengawasiku hingga lenyap di balik pintu kamar.

Benar, kelakuan Mbok Marni kian menjadi-jadi. Dia berubah layaknya pengawas bagiku. Urusan pergaulan pun tidak luput dari perhatian perempuan tersebut. Apalagi jika sudah mengenai teman lawan jenis. Entahlah, apakah dia menaruh hati padaku atau hanya sekadar melaksanakan tugas dari Papa dan Mama? Bingung.

Malamnya aku tidak bisa tidur. Benak ini terus-terusan memikirkan keberadaan kedua orang tua yang tak tentu rimba. Lantas iseng-iseng beranjak ke luar kamar, hendak memeriksa kamar Mbok Marni. Siapa tahu asisten rumah tangga kami tersebut belum tidur. Sekalian akan kuajak berbincang-bincang seputar pertanyaan yang kerap memenuhi ruang kepala selama ini. Ternyata kosong. Dia tak ada di sana. Namun mata ini lantas terbentur pada kerlip lampu kecil yang berasal dari laptop di atas sebuah meja kecil. Sepertinya dalam kondisi 'tidur'. Tergerak hati ini untuk memeriksa dan selama beberapa bulan ini baru tahu kalau Mbok Marni memiliki gadget semacam itu.

Kutekan sembarang tombol pada papan ketik. Langsung terbuka. Tidak menggunakan kode pengaman apapun. Di layar utama pun tidak menemukan hal aneh. Aku makin penasaran, lantas membuka-buka folder dokumentasi. Sejenak meneliti deretan nama-nama kotak folder di sana, hingga membentur pada tulisan 'Marry's files'.

Marry? Apakah itu sebuah nama? Siapa? Hubungannya dengan Marni, apa?

Kemudian kusentuh dua kali bilah kanan tombol pada tetikus (mouse). Sebentar kemudian terpampang beberapa foto-foto lawas. Itu tampak seperti hasil scanning manual. Gambar-gambar seorang bayi mungil. Beberapa di antaranya berpose dengan seorang perempuan muda yang wajahnya sekilas mirip dengan … Mbok Marni. Siapakah itu? Apakah memang sosok tersebut seorang Marni muda? Lantas bocah itu anaknya? Tidak ada keterangan pasti terkecuali sebuah foto keranjang yang di dalamnya berisikan bayi tadi. Tergeletak di depan sebuah pintu rumah. Aku rasa bentuk daun pintu serta lantainya sangat dikenal. Seperti … ya, Tuhan! Itu, 'kan, persis di depan pintu rumahku sendiri. Di sana! Astaga! Ada hubungan apa semua itu dengan sejarah keluargaku?

Aku bergegas mencari Mbok Marni. Ke mana gerangan perempuan itu? Di kamarnya tidak ada. Dapur, toilet, gudang, kamar tamu, juga nihil. Lantas? Jangan-jangan ….

"Mbok, ngapain tidur di sini?" tanyaku keras-keras begitu mendapati sosok pembantu tersebut nyatanya tengah tergolek pulas di kamar kedua orang tuaku.

Perempuan itu tampak kaget. Dia segera bangkit, menuruni tempat tidur, lantas bergegas hendak keluar. "Mbok belum ngejawab pertanyaanku! Apa yang Mbok lakuin di kamar Mama dan Papa, hah?!"

Mbok Marni gugup. Dia menjawab terbata-bata, "Saya cuma kangen sama Tuan dan Nyonya, Den. Saya gak bisa tidur, makanya mencoba tiduran di sini. Maafin saya, Den."

"Bohong!" kataku kasar. "Aku yakin, ada maksud lain yang sedang Mbok sembunyiin dariku, 'kan? Jawab jujur, Mbok!"

Mbok Marni makin terlihat ketakutan.

"Sumpah, Den," jawabnya dengan suara bergetar. "Saya gak ngapa-ngapain, kok. Cuma numpang tidur di kamar orang tua Den Aldi saja!"

Sebenarnya ingin pula kutanyakan perihal foto bayi dalam keranjang di laptop Mbok Marni tadi. Namun kupikir, sekarang bukan saat yang tepat. Akhirnya kulepas dia pindah tidur di kamarnya sendiri. Lantas terbersit sebuah rencana lain esok hari untuk mengungkap pertanyaan yang belum terjawab ini. Yaitu ….

"Pak Richard dan Bu Irene sudah sepekan ini tidak pernah masuk kantor, Dek," jawab salah seorang pegawai kantor tempat Papa dan Mama bekerja selama ini. "Pihak kantor juga sudah beberapa kali berusaha menghubungi nomor keduanya, tapi gak pernah tersambung. Bahkan dari keterangan orang di rumah Adek, Pak Richard dan Bu Irene juga gak pernah pulang."

Tidak pernah pulang? Jadi yang diucapkan Mbok Marni selama ini bohong? Perempuan itu berkata bahwa pihak kantor tidak pernah mempertanyakan keberadaan Mama dan Papa. Ini tidak benar. Ada yang aneh. Terutama tentang asisten rumah tangga kami tersebut. Ada apa sebenarnya dengan dia?

Aku segera pulang dan memburu sosok Mbok Marni. Perempuan itu tidak ditemukan di sana. Bahkan sempat mengacak-acak seluruh lemarinya, hanya menemukan sebuah kotak kayu kecil. Terkunci rapat dengan gembok kuat. Aku tak peduli. Segera dibongkar sebisa mungkin, hingga akhirnya mendapatkan dua buah ponsel milik Papa dan Mama, lengkap bersama berbagai dompet dan isinya.

Astaga!

Jadi Mbok Marni memang mengetahui keberadaan Papa dan Mama selama ini. Buktinya barang-barang mereka masih tersimpan rapi di dalam kotak tadi. Lantas ke mana sebenarnya kedua orang tuaku tersebut?

Masih penasaran, aku pun bergegas memasuki kamar Papa dan Mama. Memeriksa isi lemari. Masih tertata rapi, lengkap dengan koleksi perhiasan yang ada. Tak berkurang. Mungkin juga belum sempat dicuri? Ah, lantas kusingkap kasur. Memeriksa bagian bawah tempat tidur. Ada yang aneh. Lantai keramiknya tampak berbeda corak dan warna di beberapa tempat. Seperti baru diganti. Entah kapan?

"Kamu sedang mencari Tuan dan Nyonya, 'kan, Den?" Tiba-tiba muncul sosok Mbok Marni di ambang pintu.

"Mbok?" Aku terperanjat. "Mbok memang tahu keberadaan Papa dan Mama, 'kan?"

Aku tak berani maju. Mendekati perempuan itu. Karena di tangannya tergenggam erat sebuah revolver dan siap digunakan.

Mbok Marni tersenyum diiringi senyuman dingin. Sosoknya nyaris jauh berbeda dengan orang yang selama ini sudah begitu kukenali.

"Mereka ada di sana, Den," jawabnya datar tanpa ekspresi apapun. "Sudah seminggu ini tertanam di bawah tempat tidur mereka sendiri."

Aku makin terkejut.

"Mbok membunuh kedua orang tuaku?"

Jawab Mbok Marni dengan belalak menyeramkan, "Mereka bukan orang tuamu, Aldi! Kamu itu anak saudara kembarku yang sudah lama mati. Akulah yang mengirim kamu sewaktu masih bayi ke rumah ini! Meletakan seorang Aldi kecil dalam sebuah keranjang dan menaruhnya malam-malam di depan pintu rumah ini, hingga akhirnya Tuan dan Nyonya mengangkatmu menjadi anak mereka. Membesarkanmu hingga sekarang kamu tumbuh berkembang sempurna layaknya orang kaya dengan seorang putra tunggal!"

Ya, aku ingat. Mungkin ini sebagai penjelasan atas foto-foto yang kulihat di laptop Mbok Marni tadi malam.

"Enggak mungkin! Kamu pasti bohong, Mbok!" kataku seraya hendak maju memburunya, namun tidak jadi. Laras senjata di tangan Mbok Marni keburu terangkat mengarah tepat ke kepala ini.

"Tetaplah kamu berada di sana, Aldi!" seru perempuan itu menggidikkan. "Ketahuilah, sudah bertahun-tahun aku ngerencanain ini semua. Masuk ke dalam keluarga jahanam ini dan menyisakanmu seorang untuk menjadi ahli waris tunggal atas kekayaan seorang Richard Sinambian! Karena apa? Laki-laki itu adalah kakakmu sendiri, Aldi. Ayah dialah yang telah menanam benih di rahim adikku, Marry, lalu mencampakkannya begitu saja. Ibumu hampir gila dan bunuh diri usai melahirkanmu. Itu yang perlu kamu ketahui!"

"Ya, Tuhan!"

"Sebagai kakak kandung dari ibumu, tentu saja aku ikut terpukul dan menaruh dendam pada laki-laki itu. Tapi sayang, bandot tua itu keburu mati dan harta kekayaannya jatuh ke tangan Tuan Richard. Maka dari itulah, aku berambisi untuk merebut semua itu, lalu menyerahkan sepenuhnya padamu, Aldi. Agar ibumu merasa senang dan bahagia di alam sana, bahwa anaknya telah berhasil mendapatkan apa yang seharusnya menjadi hakmu."

"Mbok …."

"Biarkan kedua orang itu membusuk di dalam kamar mereka sendiri. Mengenai dua kendaraan milik Tuan dan Nyonya, aku sudah menjualnya. Uang hasil penjualan itu sudah kusimpan di dalam rekening mereka. Semua sudah aku persiapkan di dalam kotak kayu yang sudah kamu bongkar tadi, Aldi," ujar Mbok Marni kembali. "Kini tugasku sudah selesai. Aku akan pergi dan mengabarkan ini pada adikku, Marry. Semoga kamu bahagia, Aldi anakku."

"Mbok Marni!"

Terlambat. Moncong senjata itu sudah meletus tepat mengenai kepala perempuan tersebut. Melubangi batok kepalanya hingga tembus memecah seisinya melalui lesakan peluru tajam yang dia tembakkan. Kemudian langsung ambruk bercucuran darah tanpa sempat berkata apapun.

"Ibuuu … !!!" jeritku seraya memburu tubuh yang sudah tidak bernyawa tersebut. "Jangan tinggalin aku, Bu!"

Sia-sia saja. Mbok Marni sudah menghembuskan napas terakhirnya saat itu juga. Di kamar itu, bersama dengan kedua sosok yang selama ini kuanggap sebagai kedua orang tuaku sendiri.

3. Menantu Idaman

...MENANTU IDAMAN...

...Written by David Khanz...

...---------- o0o ----------...

Baru sepekan ini, aku menjadi istri sah Mas Tedi. Sekaligus tinggal bersama Ibu Mertua dalam satu atap. Sebelumnya jujur saja, ingin sekali mengontrak rumah dan hidup berdua dengan suami. Namun karena alasan Ibu Mas Tedi tinggal sendiri, akhirnya terpaksa menuruti kemauan dia sekaligus merawat dan mengurusi wanita tua tersebut. Apalagi dari kelima anaknya, semua berjenis kelamin laki-laki. Suamiku sendiri merupakan anak bungsu.

"Kalau kita ngontrak rumah, kasihan ... ibuku tinggal sendiri di rumah, Dek," kata Mas Tedi begitu kuusulkan tinggal terpisah dari Ibu Mertua. "Kakak-Kakakku semuanya sudah menikah dan punya rumah sendiri. Lagipula, beliau sangat ingin ada anak menantu perempuan yang mau tinggal di rumah dan menemani beliau."

Aku sangat paham keinginan Mas Tedi. Berat sekali harus meninggalkan ibu kandungnya seorang diri, seperti halnya aku harus berpisah dari ibuku sendiri. "Anak laki-laki itu harusnya membawa istrinya, bukan malah terbawa dan ikut tinggal bersama keluarga istri," tutur Mas Tedi menambahkan alasan.

Terus terang, selama mengenal Mas Tedi, jarang sekali bertandang ke rumah keluarga suamiku tersebut. Hanya sesekali. Itu pun hanya pada hari-hari besar saja. Sebelumnya pun sudah tahu, Ibu Mertua adalah seorang janda tua dan telah lama ditinggal suami.

Ada kekhawatiran yang terbersit dalam hati mengenai cerita-cerita mertua. Pengalaman teman-teman media sosialku sering bertutur, tentang sikap ibu-ibu mertua mereka yang egois dan tidak bersahabat. Tidak mau menerima kehadiran menantu, tidak mau berbagi anak laki-laki, bahkan sampai berebut gaji anak mereka dengan menantunya. Aku takut hal itu akan terjadi pula kelak.

Makanya begitu Mas Tedi bermaksud memboyongku ke rumah ibunya, hati ini agak berat untuk menyanggupi. Lebih nyaman tinggal dan dekat dengan ibu kandung sendiri, kalau memang suami belum memiliki tempat kediaman.

"Tapi Mas harus janji, aku masih boleh berkunjung ke rumah ibuku kapan pun aku mau, 'kan?" kataku sedikit merajuk. Mas Tedi tersenyum, jawabnya, "Tentu saja, Dek. Masa aku melarangmu bertemu keluargamu sendiri, sih?"

Ya, begitulah. Awal tinggal di rumah Ibu Mertua terasa asing sekali. Apa pun yang hendak dilakukan, agak kagok dan serba salah. Aku merasa tidak bebas mengerjakan semua hal dengan sesuka hati. Selalu saja ada omongan dari Ibu Mertua. "Masak sayur sop, bukan begitu caranya, Nak. Bahan-bahan sayurannya dipotong kecil-kecil. Terus dicuci. Setelah itu, masukan ke dalam minyak panas setelah bawang gorengnya sudah kekuningan. Jangan setelah nunggu airnya mendidih, baru dimasukkan," ujar Ibu Mertua seraya mengambil wadah berisi bahan sayuran yang masih mentah dari tanganku. Seketika diri ini merasa dipermalukan. Tanpa sadar aku membalas, "Tapi dimasukin sekarang atau nanti juga, hasilnya akan tetap sama 'kan, Bu? Lagian, mau dipotong besar atau kecil juga, nanti akan tetap sama-sama dimakan, kok."

Ibu Mertua tersenyum mendengar jawabanku. Dengan lembut dia mengusap bahu ini sambil berkata, "Betul, Nak. Tapi memasak itu bukan hanya tentang rasa. Tampilan juga perlu, lho, buat menggugah selera."

'Ah, banyak omong banget, sih, perempuan tua ini! Kenapa gak ngurus masakan dia sendiri saja, sih? Mentang-mentang gue masih nebeng di dapur dia!' gerutuku dalam hati. Kesal.

Itu baru contoh kecil. Belum lagi kalau aku mencoba memasak masakan sendiri. Ada saja celetukannya yang membuat hati mangkel. "Tedi itu sukanya tempe goreng yang direndem dulu pake air kaldu, Nak. Jangan tempe iris langsung digoreng begitu. Nanti rasanya hambar. Sini, Ibu contohin, ya," kata Ibu Mertua, lagi-lagi mengambil batangan tempe utuh dari tanganku beserta pisaunya. Lalu mengiris tipis-tipis di atas talenan kayu. "Nah, habis dipotong tipis begini, masukin ke dalam air panas yang sudah ditaburi bumbu penyedap. Biarkan beberapa menit biar meresap. Setelah itu angkat, tiriskan, lalu goreng sampai mateng. Rasanya akan lebih enak ketimbang langsung digoreng kayak kamu tadi, Nak."

'Ih, sebel! Repot amat, sih, ikut campur melulu urusan gue? Dikiranya gue gak becus masak, apa? Baru urusan beginian doang udah rempong! Apalagi entar kalo gue udah punya anak. Perempuan bangka ini pasti lebih nyusahin lagi!'

Makanya, aku paling malas kalau harus masak bareng-bareng Ibu Mertua. Selalu saja mencari-cari alasan jika dia mengingatkan. "Nak, sebentar lagi Tedi pulang kerja, lho. Kamu belum masak, 'kan?"

Dari kamar aku menjawab nyaring, "Iya, entar aja, Bu." Terpaksa mengelak tanpa mau bertatap muka dengannya. "Ibu kalo mau masak, duluan saja, deh. Saya nanti, belakangan."

Sekali dua kali aku memang bisa menolak ajakan Ibu Mertua untuk masak bersama. Namun keseringan melakukan hal yang sama, kadang merasa tidak enak hati juga. Celakanya, untuk urusan makan bareng-bareng, aku tak kuasa mengelak. Apalagi jika Mas Tedi yang mengajak. "Makan bareng ibu, yuk, Dek. Kasihan kalo gak ditemenin. Ibu makan sendirian, tuh," ujar laki-laki itu menghampiriku yang masih malas-malasan di kamar.

"Aku nanti saja, deh, Mas. Biarin ibu makan duluan," timpalku berat hati.

"Jangan begitu, ah. Kalo makan bareng-bareng, 'kan, akan jauh lebih nikmat. Yuk, Sayang," desak Mas Tedi. Aku tak bisa menolak. Jujur saja, sebenarnya dari tadi juga ingin segera makan. Hanya berusaha menahan sambil menunggu kedatangan suami tersebut.

Akhirnya dengan terpaksa, aku menuruti ajakan Mas Tedi. Duduk semeja dengan Ibu Mertua.

"Masakan kamu enak juga, Dek. Mirip hasil olahan Ibu," celetuk Mas Tedi sambil menikmati hidangan. Aku mendelik lalu menimpali, "Itu memang Ibu yang masak, kok, Mas."

"O, iya? Terus ... hasil masakanmu yang mana, Dek?" tanya Mas Tedi seraya memperhatikan satu per satu olahan di depannya. Aku menjawab tanpa mau menatap laki-laki itu, "Tuh, tempe goreng. Itu kesukaanmu, 'kan?"

Mas Tedi mengambil satu dan mencicipi sedikit. "Hhmmm, lumayan. Cuma ... agak kurang terasa asinnya. Mungkin ngerendemnya kurang lama, ya?"

"Masa, sih, Mas?" Aku turut mengambil hasil olahanku tersebut dan menyantap perlahan. "Ah, sama saja, kok, kayak yang digoreng Ibu."

Laki-laki itu kembali mengecap makanan yang masih dia kunyah. Timpalnya, "Bener, kok. Bisa jadi juga karena bumbu kaldunya kurang banyak, Dek." Mas Tedi melirik pada ibunya. "Nanti, coba Adek belajar masak sama Ibu. Masakan beliau enak-enak, lho."

Mendadak acara makanku tak berselera. Susah payah berada di dapur sore tadi, hasilnya hanya jadi bahan obrolan di meja makan. Kalau saja tak ada Ibu Mertua di sana, sudah pasti kutinggalkan meja makan ini, kemudian membanting badan ke atas kasur dan menangis sejadi-jadinya. Menyebalkan!

"Sudahlah, Ted. Masakan istrimu enak, kok. Ini, Ibu saja sudah habis tiga. Sekarang mau nambah, boleh, 'kan?" Tiba-tiba Ibu Mertua menyela. Perempuan itu mengambil sepotong goreng tempe hasil masakanku, lalu menyodorkan piring berisi masakannya tadi ke dekat anak laki-lakinya. "Ini, habiskanlah, Ted. Sengaja hari ini, Ibu masakin kesukaan kamu. Sekalian juga buat mantu Ibu. Makan dan nikmati semua, ya."

Sejak kejadian di depan meja makan itu, aku jadi malas masak. Lebih memilih membeli lauk pauk ketimbang membuat sendiri. Bahkan untuk urusan masak memasak, lebih banyak dilakukan Ibu Mertua. Sampai suatu ketika ....

"Ibu mau belanja, ya?" tanyaku ketika melihat perempuan tua itu hendak keluar sambil menjinjing keranjang. "Iya. Ada apa, Nak?" Ibu Mertua berhenti sejenak.

"Sebentar, Bu," kataku sambil beranjak masuk ke dalam kamar. Kemudian keluar sambil menyerahkan selembar uang padanya. "Saya titip sekalian, ya. Bawang merah seperempat kilo, sayur asem sama bumbu-bumbunya, ikan asin, lalapan, juga bahan sambalnya."

Sejenak Ibu Mertua menatapku dalam-dalam. Ujarnya kemudian, "Ya, sudah. Baiklah, Ibu keluar dulu sebentar, ya, Nak."

Sekonyong-konyong Mas Tedi muncul dari kamar. "Jangan, Bu. Biar Tedi aja yang belanja."

"Lho, Mas ini bagaimana, sih?" Aku menoleh heran ke arah suamiku tersebut.

"Sudah. Gak apa-apa. Sini, biar Tedi aja yang belanja," jawan Mas Tedi seraya mengambil keranjang dari tangan ibunya. "Ibu tunggu saja di rumah, ya."

"Gak apa-apa, Ted. Ibu kuat, kok. Cuma belanja sayuran saja di depan gang sana," sahut Ibu seperti merasa keberatan.

"Enggak. Biar Tedi sama istri Tedi saja yang belanja," timpal Mas Tedi sambil menarik tanganku ke luar rumah. Di jalan, laki-laki berkata kembali padaku, "Lain kali, jangan suka nitip apa pun sama Ibu, ya, Dek. Lebih baik kamu saja sendiri yang beli. Bila perlu, justru kamulah yang bantuin Ibu belanja."

"Aku, 'kan, cuma nitip, Mas. Bukan nyuruh ibu kamu!" balasku sengit.

Mas Tedi terlihat tersenyum. "Iya, tapi apa bedanya dengan nyuruh? Lagipula, Ibuku itu, 'kan, sudah tua. Enggak baik nenteng yang berat-berat. Kasihan."

"Ya, sudah. Besok-besok, kamu saja sendiri yang belanja dan masak. Jangan ngandelin aku."

"Lho, maksudku bukan begitu, Dek. Kita ini, 'kan, sudah menikah. Gak boleh selalu bergantung pada orang tua. Apalagi urusan rumah tangga. Pamali."

"Ya, begini ini, nih, yang paling aku gak suka kalo lama-lama serumah sama mertua. Semuanya serba salah. Kapan benernya aku, Mas?" Aku mulai emosi.

"Lho, gak ada yang nyalahin kamu, kok, Dek. Aku cuma ngasih saran saja, kok." Suara Mas Tedi masih terdengar lembut.

"Saran apaan? Mas selalu membanding-bandingkan masakanku dengan ibu kamu. Seolah-olah masakanku gak pernah enak. Aku juga butuh waktu buat belajar, Mas! Dipikirnya gampang apa masak? Kalo cuma ngomong doang, sih, semua orang juga bisa!"

"Ya, sudah. Nanti kita sama-sama saja masaknya, ya. Aku sama kamu. Sekalian belajar bareng-bareng juga sama Ibu. Gimana?"

Aku tak mau menjawab. Dalam benak ini terbayang bagaimana nanti mulut perempuan tua itu akan terus bersuara menyalahkan apa yang kulakukan. 'Huh, dia pikir cuma masakannya yang enak? Masakan ibu gue juga gak kalah enak! Sombong amat, sih, baru bisa segitu juga!'

Semakin lama, makin tak betah hidup bersama mereka. Selalu saja ada obrolan yang tidak diharapkan. Harus inilah, itulah. Benar-benar tak bisa merasakan kebebasan sebagaimana pengalaman rumah tangga teman-temanku di luar sana. Bisa pergi arisan sesuka hati, ke salon, shoping, jalan-jalan, hingga makan-makan bareng teman reunian. Aku merasa terkungkung selama berada di rumah.

"Nak, jemuran jangan dibiarkan lama di luar. Kalo sudah kering sebaiknya cepet diangkat. Biar gak lekas lusuh, lho." Suara perempuan tua itu kembali terdengar, saat baru saja aku terpejam di dalam kamar siang itu. Bahkan pada hari-hari tertentu, selalu saja tak bosan-bosannya mengajakku ke luar rumah di pagi hari. "Nak, ikut Ibu ke majelis taklim, yuk. Daripada diam di rumah terus."

Benar-benar menyebalkan!

Jujur saja, aku tak mau ikut Ibu Mertua ke pengajian karena di sana kebanyakan jemaahnya ibu-ibu tua. Gengsi sekali jika setiap waktu bergaul dengan mereka. Bisa-bisa aku akan cepat tua dan keriput. Apa kata teman-temanku nanti kalau bertemu di jalan. "Eh, sejak kapan elu jadi emak-emak?" Pasti begitu ucapan mereka. Duh, memalukan!

Satu-satunya jalan agar semua kembali berjalan normal adalah aku harus kembali ke rumah. Tinggal bersama ibuku sendiri. Makan tinggal makan, tanpa harus bersusah payah belanja dan memasak. Mencuci pun cukup memasukkan pakaian kotor ke dalam mesin cuci dan dijemur. Kalau sudah kering, hanya tinggal memakainya tanpa perlu repot-repot menyetrika. Karena semuanya sudah dikerjakan oleh ibuku. Sementara tinggal bersama mertua, semuanya harus dikerjakan sendiri.

"Kamu ke sini tanpa seizin suamimu?" tanya Bapak begitu aku tiba di rumah. "Iya, Pak. Aku ingin pindah ke sini. Di sana gak betah," jawabku sambil duduk di sofa dan menyalakan televisi.

Mata Bapak mendadak membulat besar. Serunya, "Pulang! Kembali lagi sekarang juga ke rumah mertua dan suamimu!"

"Lho, Pak ...."

"Pulang sana!"

"Ini, 'kan, rumahku juga, Pak!"

Mendadak Ibu muncul dari dalam. Lalu ikut berbicara, "Sekarang hidup kamu adalah tanggung jawab suami kamu, Nak. Kami akan turut berdosa jika membiarkan kamu pergi tanpa izin suamimu. Pulanglah sekarang juga."

"Bu!"

"Pulang sana! Kamu boleh datang kapan pun jika disertai suami kamu."

"Bu!"

Bapak dan Ibu menarikku ke luar. Kemudian menutup pintu rumah rapat-rapat.

"Bapak! Ibu! Aku ingin kembali tinggal di sini sama Bapak dan Ibu!" teriakku memohon.

Tak ada jawaban. Pintu terkunci kuat.

"Pak! Bu!"

Tetap tak ada suara balasan. Itu memaksaku harus kembali ke rumah Ibu Mertua dan menjalani kehidupan yang sudah-sudah.

Membosankan!

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!