Hai ... Namaku Maudy. Aku salah satu wanita yang bisa dibilang berbeda dari perempuan lain. Berbeda dalam artian yang buruk. Aku terlahir tanpa memiliki rahim. Ya, kalian nggak salah dengar. Aku tidak bisa memiliki seorang anak. Hal yang di bilang sama orang bukan perempuan sempurna kalau nggak bisa punya anak. Dan akulah perempuan tidak sempurna itu.
Fakta ini sering buat aku sedih. Karena, dari jutaan manusia aku dipilih Tuhan untuk mendapat peran ini. Peran yang membuat hidupku benar-benar berbeda dari kembaranku.
Ya ... Akulah si wanita tanpa rahim dan inilah kisahku.
***
"Ayah ... Kenapa ayah tega ninggalin Maudy di sini? Siapa lagi yang bakalan sayang sama Maudy kalau udah gini? Nggak bakalan ada yang bisa sayang sama aku kayak yang ayah limpahin ke aku selama ini."
Maudy menjerit di kuburan yang baru saja beberapa saat lalu dikubur itu. Ia masih tidak terima kepergian ayahnya yang tiba-tiba. Begitu cepat direnggut membuat Maudy syok hingga detik ini dan nggak tahu harus melakukan apa selain meraung dan menolak fakta ini.
"Ck ... berlebihan banget sih lu. Ayah memang udah sakit kali selama ini. Memang udah waktunya ayah pergi. Udah, bikin malu aja tahu. Mendingan pulang dan urusin itu para tamu di rumah."
Maudy berdiri dan berbalik. Menatap sengit kepada kembarannya, Nadya.
"Kamu nggak bakalan paham, Nad. Selama ini kamu gak pernah mau ngurus ayah. Kamu sama bunda selalu aja suruh aku ini itu dan aku sendiri yang rawat ayah. Lihat perkembangan ayah selama sakit. Cuma aku dan kamu pasti nggak paham liat orang yang selama ini kita rawat sekarang benar-benar pergi ninggalin aku."
Nadya mengendikan bahu dan tertawa.
"Bukannya malah bagus ya? kamu nggak perlu repot-repot lagi ngurus ayah? Duh ... aku mah jadi kamu bakalan seneng sih. Nggak perlu ngurus orang sakit yang ngeribetin doang."
"NADYA!"
"MAUDY!" bentak bundanya membalas perbuatan si sulung. "Berani bentak kembaran kamu, bunda beneran bakal marahin kamu. Bunda nggak habis pikir sama kamu. Ah ... sudahlah. Lebih baik bunda sama Nadya pulang aja."
Maudy mengepalkan tangan dan menatap kecewa pada bunda sama Nadya yang pergi gitu aja.
"Ayah ... kenapa mereka jahat banget?"
Setelah puas menumpahkan air mata di makam ayahnya. Maudy bangkit dan menatap sekitar. Tidak ada orang lain di sana. Hanya ada dirinya di tengah siang bolong. Langsung saja dia langsung melangkah keluar TPU dan menapakkan kaki di sepanjang jalan menuju rumahnya.
"Kenapa semua orang nggak punya hati banget? Kenapa mereka sama sekali gak mikirin aku sama sekali? Kenapa mereka nggak mikirin keadaan ayah sama sekali. Kenapa lagi dan lagi aku yang selalu tersakiti?"
Maudy nggak peduli orang mau ngatain hal buruk tentang dirinya. Melihat dirinya yang menangis di tengah jalan. Tapi air matanya benar-benar nggak bisa berhenti.
Teringat kembali, di mana kejadian tadi pagi.
Saat Maudy sedang membuatkan sarapan untuk Farhan alias suaminya. Ia mendapat kabar kalau ayahnya meninggal dan udah siap dikuburi tanpa menunggu dirinya.
Ia juga nggak bisa melihat wajah ayahnya bahkan disaat ayahnya bakalan pergi untuk selamanya. Setelah itu juga, Farhan sang suami malah mengedepankan pekerjaan dan nggak peduli sama dia.
Ia benar-benar ditinggal sendiri dan Maudy benar-benar nggak punya seseorang yang bisa mendengarkan ia menangis. Ia belum bisa mengeluarkan suaminya.
Tidak ada yang memahaminya dan selamanya ia akan terus sendiri. Tersakiti dan nggak ada yang paham sama sekali gimana rasanya. Ini benar-benar nggak enak dan sesakit itu. Lalu berakhir dirinya yang cuma bisa menahan semuanya sendiri dan menangis tanpa ada yang tahu.
"Sakit ... kenapa bisa sesakit ini?" ucap Maudy sambil memukul kasar dadanya yang sesak. "Aku benci kehidupanku."
***
Sudah tiga hari ayahnya pergi ninggalin dia di dunia ini dan sudah tiga hari juga Maudy murung. Ia benar-benar kehilangan kebahagiaannya. Bahkan ia nggak sempat untuk makan, mengurus rumah dan sebagainya. Maudy benar-benar hanya terdiam di kamar dan sesekali menangis kalau ingat tentang ayahnya.
"Maudy ... mas beneran muak lihat kamu yang kerjaannya cuma nangis. Mas tahu di rumah ini banyak mbok yang bersihin rumah. Tapi nggak nutup kemungkinan kalau kamu harus bantu mereka juga dong. Terus tugas kamu ngapain kalau cuma diem aja? Mas nggak mau punya istri yang nggak guna kayak gini."
Maudy tidak terima dan langsung berdiri. Ia menatap kesal suaminya itu.
Ia menarik napas dalam dan menatap nyalang Farhan yang nggak mau kalah sama dirinya itu.
"Mas! Aku tuh masih dalam suasana berduka. Kamu yang nggak paham sama perasaan aku dan nggak pernah berusaha mahamin aku! Kamu yang nggak ada buat aku dan hibur aku sama sekali dan apa kata kamu? Aku istri gak berguna. Woah ... Mulut kamu jahat banget ya mas. Aku ikut istri kamu loh dan dengan jahatnya kamu ngomong kayak gitu," marah Maudy yang benar-benar udah meledak.
Farhan mengancingkan kerah jasnya dan mendengus. Ia menatap sinis Maudy dari kaca di depannya.
"Memang benar kan? Seorang istri ada buat bantu suaminya. Ngurus rumah, masak, kasih anak. Dan kamu? Selama beberapa hari terakhir kamu nggak pernah kasih semuanya. Kamu cuma murung dan nangis. Memangnya mas nggak muak? Dan untuk yang terakhir. Untuk selamanya kamu nggak bisa kasih anak kan buat mas? Huh ... benar-benar mengesalkan."
Farhan berdecak dan menggeleng. Tidak merasa bersalah akan ucapannya sama sekali
Maudy menunduk. Ia mengepalkan tangan dan memejamkan mata. Sakit rasanya mendengar ini yang selalu di ungkit sama suaminya setiap mereka bertengkar. Nggak pernah ada habisnya sampai membuat Maudy selalu ingat setiap kata jahat yang terlontar dari mulut suaminya itu.
"Mas ... aku udah bilang berulang kali kan? Stop ungkit masalah ini. Dari awal nikah kamu udah tahu dan setuju kalau aku nggak bisa kasih anak ke kamu. Tapi kenapa sekarang kamu selalu ungkit lagi?"
"Ya karena kamunya yang benar-benar di bawah bayangan mas! Kamu nggak seperti yang mas kira. Ah ... udahlah. Berisik kamu. Bikin mas nggak mood aja."
Maudy semakin menunduk.
"Maaf mas ... maaf karena aku yang nggak bisa kasih kamu anak dan maaf karena aku yang selalu buat kamu gak mood."
Farhan terdiam dan berbalik. "Mas bakal maafin tapi satu. Kamu harus setujuin apapun permintaan mas."
"Seperti?" tanya Maudy
Jantungnya berdegup kencang, menunggu jawaban suaminya.
"Membiarkan mas nikah lagi ..."
Dan jawaban Farhan berhasil buat tubuh Maudy merosot. Ia terdiam dan melamun. Apa ini akhirnya?
"Nadya?"
Belum selesai kejutan Maudy karena tau suaminya meminta untuk menikah lagi. Kini Nadya datang dan Farhan bilang kalau ia mau menikah sama Nadya. Wanita yang tak lain adik kembarnya sendiri.
"Nad?" kaget Maudy lalu menggeleng. "Ini bohong kan? Kalian lagi bercanda doang kan sama aku? Iya dong ... mana mungkin kalian sejahat ini sama aku. Duh kalau mau bercanda jangan sekarang deh. Kita ini masih dalam suasana berduka, nggak baik bercanda kayak gini."
Nadya maju dan berdiri di depan Maudy.
"Aku tahu kalau kakak masih kaget sama semua ini. Tapi memang kenyataannya kayak gini kak. Aku sama mas Farhan tuh udah jatuh cinta dan sekarang nggak ada lagi ayah yang bakalan marahin kita. Jadi aku rasa ini waktu yang tepat buat jujur sama kakak."
Maudy tertawa lirih dan menggeleng. Ia melangkah mundur dan menatap kecewa sama mereka. Kenapa lagi dan lagi ada masalah di hidupnya? Kenapa hidupnya nggak pernah berhenti sama sekali bercanda? Kenapa dirinya yang harus merasakan ini semua? Kenapa lagi dan lagi dirinya yang harus ngerasain perihnya hidup.
"Kalian jangan bercanda deh. Saling jatuh cinta apanya. Wong selama ini aku yang terus bareng sama mas Farhan dan kamu tinggal di rumah sama bunda dan ayah. Terus gimana caranya kalian bisa jatuh cinta." Maudy mengibastkan tangan di udara dan menggeleng. "Gak usah bercanda kayak gini. Gak lucu sama sekali."
Nadya pasrah dan menoleh pada Farhan, meminta Farhan untuk yang jelasin.
"Maudy ..."
Maudy mengelak dan melepas tangan Farhan sambil melangkah mundur. Dari tempatnya ia menunjuk pada mereka.
"Jangan ada yang maju! Kalian ceritain dari sana. Aku nggak mau dekat-dekat kalian dulu! Aku mohon banget," seru Maudy dengan suara gemetar.
"Okei ... kamu pasti kaget kan karena tadi pagi mas baru aja bilang sama kamu kalau mas mau nikah lagi dan sekarang malah bawa adik kamu buat jadi orang yang mas mau nikahin. Di sini mas ngak minta restu kamu. Karena tanpa kamu kasih jawaban. Mas bakalan tetap nikah sama Nadya. Apapun caranya!"
"Jahat!"
"Mas tau ... tapi mas nggak bisa apa-apa. Mas mau anak dan mas juga jatuh cinta sama adik kamu. Jadi, dari pada kamu lihat mas nikah sama orang lain. Mending mas nikah sama kembaran kamu sendiri kan? Jadi ... kamu nggak akan sesakit itu dan juga, mas nggak akak ceraiin kamu kok. Kamu bakalan tetep jadi istri mas. Tapi ya gitu. Kamu harus sediain hati. Karena mas akan bagi waktu buat kalian berdua."
Berita apa ini?
Lucu sekali!
Maudy merasa semuanya begitu lucu tapi bukan tawa yang ia tunjukkan. Ia menangis. Mulai menatap mereka dengan matanya yang berair.
"Kenapa kalian jahat banget? Sejak kapan ... sejak kapan kalian berhubungan di belakang kakak."
"Kak," panggil Nadya yang mendekat tapi Maudy langsung melangkah mundur dan menggeleng. Nadya spontah menatap kecewa. "Kak ... jangan gini dong. Masa cuma karena masalah gini doang. Buat hubungan adik kakak kita jadi hancur? Kakak tau sendiri kan kita ini kembar! Kalau yang satu ngerasa sedih pasti yang lain ikut sedih dan kalau aku bahagia, kakak juga bakalan bahagia. Jadi nggak bakalan terlalu sulit bagi kita berdua untuk lakuin ini semua. Boleh ya kak ..."
Maudy menatap nggak percaya sama mereka.
Bahkan nggak ada yang meminta maaf sama dirinya. Mereka seolah memaksa hubungan ini dengan mengancam dia di tengah masalah ini?
"Bentar deh ... kalian jahat banget ya. Kalian tau kan kalau beberapa hari terakhir aku masih sedih karena kepergian ayah. Tapi di sini kalian malah ngasih tahu hal ini yang buat aku makin hancur? Kalian mau bunuh aku secara perlahan."
"Bukankah lebih cepat lebih baik?" jawab Farhan yang membuat Maudy tertawa sakit.
"Di sini mas cuma mau bilang aja sama kamu kalau mas nggak butuh validasi dari kamu. Mas cuma mau bilang juga kalau hubungan mas sama adik kamu ini udah lama. Udah dari tahun lalu dan kita berusaha cari kesempatan untuk bilang sama kamu. Dan ini waktu yang tepat. Jadi kami nggak akan pikir panjang lagi dan langsung aja bilang sama kamu."
Maudy meraba laci di belakangnya dan melempar asal vas bunga ke arah mereka. Napasnya memburu dan ia menatap benci sama mereka.
"Kalian!" pekiknya lalu menekan kedua telinga dengan kuat. Ia memukul dada dengan kencang dan menatap tajam ke mereka. "Jahat," lirihnya dengan pelan.
"JAHAT KALIAN!" serunya lalu menangis lagi. "Satu tahun ... satu tahun bukan waktu yang bentar dan udah selama itu kalian bohongin aku. Kalian jahat ... jahat banget. Kalian nggak mikir kah jadi aku. Kalian nggak mikir gimana sakitnya aku. Ya ampun ..."
Maudy berbalik dan memijat kepalanya.
"Diselingkuhin nggak pernah ada di benak aku sama sekali dan sekarang aku malah dapat fakta kalau adik aku sendiri yang selingkuhin suami aku? Kembaran aku sendiri yang udah rebut suami aku dan ini bener-bener diluar nalar."
Maudy kembali menatap mereka dan bertepuk tangan sambil menggeleng.
"Apa yang kalian dapat selama ini? Kalian sembunyi-bunyi di belakang aku untuk lakuin ini kan? Demi apa? Demi kepuasan kalian doang. Apa selama kalian lakuin itu. Kalian nggak mikir perasaan aku sama sekali? Kalian nggak ada mikir kalau aku bakalan sesakit ini."
Farhan terdiam dan malah menggenggam tangan Nadya.
"Sekarang terserah. Mas udah bilang dari tadi kalau kamu nggak perlu jawab apapun. Karena mas bakalan tetap nikah sama adik kembaran kamu. Kamu cukup mikirin ini aja dan nenangin diri. Karena nanti waktunya akan tiba dan mas nggak mau kamu makin bikin malu dengan sifat histeris kamu itu."
Farhan menarik Nadya keluar rumah buat Maudy terdiam dan tubuhnha luruh ke lantai. Ia menatap kosong pecahan vas bunga di depannya itu dan tertawa lirih lalu menggeleng.
"Woah ... double kill banget nggak sih? Selama ini ternyata suami tuh selingkuh di belakang aku dan selingkuh sama adik aku sendiri?"
Maudy meremas bajunya dengan kencang. Menyalurkan emosi yang benar-benar sakit. Sampai ia mendongak saat mendengar suara langkah kaki lagi. Ia melihat Farhan masuk untuk mengambil kunci mobil di atas nakas dan menatap dirinya.
"Nggak usah sedih gitu lah, berlebihan banget. Dari pada sedih mikirin hal ini. Mendingan kamu mulai cari WO yang bagus buat mas nikah sama adik kamu," ucapnya dengan santai lalu melangkah pergi lagi.
Meninggalkan Maudy yang kembali menunduk.
"Jahat ... bener-bener jahat banget."
Maudy bertekad untuk kasih tahu sang bunda tentang masalah ini. Maudy tau kalau selama ini bunda nya selalu aja lebih bela Nadya. Tapi siapa tahu kan bunda nya lebih membela keadilan? Dan bunda nya bakalan jauh lebih marah sama tingkah Nadya yang memalukan?
Maudy mengangguk yakin.
“Ya .... walaupun selama ini bunda nggak pernah peduli sama aku. Tapi seenggaknya aku harus berpositif thinking kan?”
Maudy menarik napas dalam dan bergegas pakai tas lalu keluar rumah. Ia tidak melihat sama sekali keberadaan dua orang itu. Dua orang yang udah kasih dia luka.
“Ah ... rasanya sakit banget ya.”
Dan pada akhirnya Maudy hanya bisa berusaha tersenyum tipis dan kemudian naik motornya. Ia mengendarai menuju makan ayahnya. Maudy masih butuh tempat untuk cerita dan salah satu orang yang ada di pikirannya hanya ayahnya ini.
Setengah jam kemudian, motornya terparkir di halaman Tempat Pemakaman Umum. Tak lupa ia membeli bunga dan langsung beranjak menuju makam ayahnya.
“Ayah?” gumam Maudy.
Langkahnya terhenti saat melihat makam ayahnya itu. Sampai saat ini hatinya masih menolak untuk menerima. Ia benar-benar nggak bisa menahan diri untuk semuanya. Dia muak. Dia kalut. Ayahnya. Salah satu orang yang paling dekat dengan dirinya kini udah pergi meninggalkan dirinya.
Sampai ... dia cuma sendirian di dunia ini.
Maudy berlutut di gundukan tanah itu. Ia mengusap nisannya itu dan tangisnya kembali pecah.
“Ayah ... aku butuh ayah di dunia ini. Aku nggak bisa hidup tanpa ayah. Aku nggak kuat. Semua orang jahat sama aku.”
Maudy menangis sejadi-jadinya di makam sang ayah.
“Selama ini aku cuma punya ayah. Karena bunda selalu aja bela Nadya. Bunda lebih sayang sama Nadya. Tapi aku? Aku cuma kayak anak tiri yang nggak pantas dapat kasih sayang sama sekali.”
Maudy terisak.
Ia berusaha menenangkan diri. Tapi semakin berusaha lupa. Bayangan suaminya yang bilang mau menikahi Nadya terus hinggap di benaknya. Ia menggeleng kecil, nggak sanggup sama sekali.
“Selama ini bayangan aku cerai aja tuh nggak pernah ada. Karena mas Farhan jadi salah satu orang yang udah buat aku jatuh cinta dan usaha nya nggak usah diraguin lagi. Tapi apa ini? Kenapa pada akhirnya bakalan begini? Kenapa mereka nggak pernah mikirin perasaan aku.”
“Aku nggak kuat yah ...”
Andai ayahnya masih di sini, andai ayahnya masih ada di depan dia, andai ayahnya masih terus mendengar dirinya. Pasti sekarang Maudy akan jauh lebih kuat dan memilih untuk pergi. Pergi berdua sama ayahnya aja.
Maudy mendongak, menatap cerahnya langit.
“Kenapa ya ... kenapa dari kecil aku selalu aja alamin ini semua? Kenapa cuma kesedihan yang datang ke hidup aku? Kenapa nggak ada orang yang bisa membuat aku lebih bahagia. Sebentar aja ...”
Maudy kembali memeluk nisan sang ayah.
“Ayah ... bawa aku pergi.”
***
Maudy memasuki komplek perumahan orang tuanya. Semakin dekat. Semakin perasaannya nggak enak. Ia menelan saliva dan semua prasangka nggak enak itu kembali terbayar saat melihat mobil Farhan ada di parkiran rumahnya.
Dengan kalut, Maudy langsung menaruh asal motornya dan masuk ke dalam rumah.
/Sah .../
“MAS FARHAN!”
Nafas Maudy memburu. Ia menggeleng kuat.
“Keluar, keluar kalian semua. Nggak ada yang nikah. Pergi kalian!” pekik Maudy membuat semua orang di dalam rumahnya pergi.
Siapa yang nggak kaget saat masuk ke dalam rumah dan malah melihat suaminya sendiri sedang ijab jabuk sama seorang ustadz dan jangan lupakan beberapa orang yang baru saja mengucapkan kata ‘sah' secara serempak.
“Apa-apaan ini!” ngamuk Maudy
Amukan Maudy membuat semua orang yang ada di sana saling berbisik dan berakhir pergi gitu aja. Disusul sorakan. Termasuk ustadz yang tadi bersalaman sama Farhan.
“Kakak! Apa-apaan sih ... nggak suka banget liat adiknya bahagia,” marah sang bunda membuat Maudy tertawa lirih dan menggeleng.
“Bunda ... woah?” Maudy meraup wajahnya dan berakhir menangis.
Semua kesakitan akhir-akhir ini ia keluarkan. Tak peduli mereka bakalan menganggap apa. Maudy Cuma butuh hatinya tenang.
“Bun ... sebenarnya aku salah apa sih sama bunda? Kenapa selalu aku aja yang terasingi? Kenapa selalu aku yang berakhir kayak gini? Kenapa selalu aku yang selalu sakit? Kenapa selalu aku yang nggak bunda pedulikan.”
Mereka diam.
Maudy maju dan berdiri di depan Nadya. Membuat adik kembarnya itu menunduk.
“Kenapa selalu Nadya? Kenapa bukan aku? Kenapa aku lagi yang tersakiti? Kenapa harus aku yang mengalah? Kenapa aku terus?”
Maudy nggak kuat. Tubuhnya luruh ke lantai. Ia menangis sejadi-jadinya.
“Kalian tuh kenapa sih?”
“Maudy ... dengerin dulu apa kata mas,” sela Farhan sambil berlutut di depannya. Farhan mengguncang tubuhnya tapi Maudy terlalu malas untuk mengucapkan sepatah kata pun.
Ia terlalu sakit.
“Bukannya kemarin mas udah bilang sama kamu, kalau mas bakalan nikah sama Nadya secepatnya? Dan menurut mas ini waktu yang paling tepat. Kamu cukup ngertiin kami ya. Jangan bertingkah kekanak-kanakan. Apa lagi tadi? Kamu beneran udah buat mas sama Nadya malu. Apa tanggapan orang yang datang kalau lihat kamu yang ngamuk kayak tadi.”
“Tahu,” lanjut Nadya dengan kesal. “Pernikahan itu sakral kak dan Cuma pertama sampai terakhir kalinya. Tapi apa ini? Kenapa kakak malah buat pernikahan aku hancur. Aku nggak mau tahu nanti kakak harus datangin tamu yang datang aja dan bilang kalau tadi kakak cuma salah paham aja. Aku nggak mau harga diri aku jadi terinjak-injak karena mereka tau hal ini.”
Maudy terdiam.
Apa lagi sekarang? Kenapa jadi dirinya yang salah di mata mereka? Kenapa dirinya yang salah atas semua ini?
Maudy menoleh, meminta pembelaan dari bunda Salma yang balik menatap dia heran.
“Kenapa jadi lihatin bunda? Nggak denger apa yang di bilang sama adik kamu dan nak Farhan? Lagian kamu jadi anak tuh nggak punya otak banget. Udah tahu ini pernikahan adik kamu tapi kamu masih aja hancurin. Apa selama ini kamu nggak pernah di didik? Kayak perempuan kampung aja kamu.”
Maudy terdiam.
Sakit sekali rasanya. Benar-benar sesakit itu dan dirinya nggak tahu lagi harus apa.
“Kalian semua belajar kesalahan ini?”
Ia menunduk dan menggeleng pelan.
“Mas Farhan ini suami aku dan apa aku salah kalau marah karena lihat suami sendiri nikah sama adik kandung aku sendiri? Apa aku nggak berhak marah karena semua kesakitan ini?”
“Maudy—
“Apa kalian nggak mikirin hati aku sama sekali? Apa kalian nggak mikir gimana perasaan aku selama ini? Apa kalian nggak punya hati sama sekali?”
Mereka semua diam sampai Nadya berdeham dan berdiri di hadapan Maudy.
“Aku tahu, tapi kakak juga harus tau kalau sekarang kita punya suami yang sama. Jadi, jangan menutup fakta yang satu ini ya kak ...”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!