Prolog....
Dia terkenal dengan nama Afin Anka. Pria dengan model rambut cepak. Garis rahang tegas dan sorotan mata elangnya.
Laki-laki yang di juluki raja influencer. Karena setiap owner yang memakai jasa endors-nya pasti akan laku keras di pasaran.
Selebgram dengan biaya jasa promosi termahal di negara ini. Dengan follower mencapai jutaan, bahkan tercatat sebagai YouTubers dengan data subscribers terbanyak di Asia.
Nama aslinya Arifin Faruk Anka. Pria berdarah Indonesia-Turki. Pemilik jutaan penggemar yang tersebar di hampir seluruh negara terutama benua Asia.
Hari ini, pria itu tiba-tiba ada di hadapannya. Duduk diam tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Tentunya Ia datang tak sendiri, karena laki-laki itu duduk bersebelahan dengan wanita paruh baya yang menggunakan hijab di lilit dileher.
Layaknya ibu-ibu pejabat yang berkelas wanita itu hanya duduk dengan gayanya yang elegan, menebar senyum pada Ayah dan ibunya Safa. Mendengarkan seorang juru bicara yang di bawanya demi menyampaikan maksud dari kedatangan tiba-tiba mereka hari ini.
Rupanya, hadirnya mereka disini bukan tanpa Alasan. Ibu itu menginginkan Safa untuk jadi menantunya. Setelah pertolongan heroiknya, yang sigap menarik tangan wanita lima puluh lima tahun tersebut, demi mengeluarkannya dari kerumunan masa yang sedang demo masal.
Hal yang mengejutkan lagi adalah, laki-laki itu merupakan pria berandal yang pernah meminjam mukenanya demi menghindari kejaran para fans.
Serasa dunia ini amatlah sempit. Namun, bukan itu yang ia pedulikan. Melainkan ekspresi datar dari laki-laki tersebut. Apa benar, semua ini bukan karena paksaan ibunya?
Lantas apa Shafa akan menerima perjodohan ini, ketika ia belum begitu sembuh dari porak-porandanya hati sebab perasaan?
Dari sinilah, kisah mereka di mulai...
🍂
🍂
🍂
Kita kenalan dulu, ya. Sama visual karakternya. Semoga kalian cocok.🥰❤️
🌸🌸🌸🌸
👆 Arifin Faruk Anka. (Seorang selebriti dunia maya yang tersohor se-Asia tenggara)
.
.
👆 Bhaitus Shafa. (Seorang guru Madrasah Aliyah, putri dari Keluarga sederhana. Pasangan Aida Dan Ulum)
.
.
👆 Rumi Al-Fatih. Laki-laki yang awalnya di sukai Safa, putra dari Ustadz Irsyad Fadillah.
.
.
.
👆Debora Aruan (Debby) teman yang sudah di anggap adik oleh Safa dari Bandung. Wanita yang di pilih Rumi Al-Fatih...
🍃
🍃
🍃
#Author Picisan Imut menyapa...
Assalamualaikum, Semua! Apa kabar, nih. Semoga dalam keadaan baik-baik saja dan sehat selalu ya.
Alhamdulillah, bertemu dengan ku lagi. Sebenarnya, aku ini lagi Hiatus lama buat nulis. Salah satu alasan ya, gara-gara yang di sana lagi trouble. Dan nggak tau kapan beresnya. Akhirnya aku memutuskan untuk menepati janji on going yang ini.
Mungkin, ya?
Sebelumnya aku pernah bilang mau nulis ini setelah novel istri pengganti tamat. Nggak taunya aku nyeleweng ke tetangga sebelah. 😭
Jujur! Aku nggak munafik demi cuan, ya. Karena emang beberapa waktu belakangan ini aku lagi membutuhkan dana yang besar. Jadi aku seperti ambisi sekali untuk nulis yang dapat uang...
Dan, sedikit cerita, ya? 😅
Jadi, karena aku ngoyo banget tuh. Sampai berusaha untuk pindah dari tempat ini ke tempat yang baru. Tapi baru nulis 50 ribu kata. Sudah tergiur kompetisi kekasih ideal.
Jadilah aku nulis di sini lagi, dan meninggalkan yang di sana. Dengan berbagai pertimbangan, sih. Aku udah sempet pede banget tuh, bakal menang. Karena poinku tertinggi nomor dua. Qadarullah, aku nggak menang. 🤭
Demi apapun aku seperti kecewa sekali. Belum lagi ngurus pernikahan adiku. (Aku nggak mau kalian membayangkan seperti apa pusingnya aku kala itu. Hahaha... udah cukup aku aja.)
So, balik ke cerita ku. Karena kecewa, akhirnya novel istri pengganti itu Hiatus lama. Setelah berminggu-minggu, akhirnya aku update beberapa bab terakhir sampai tamat.
Habis itu dengan songongnya, aku melarikan diri lagi ke sebelah. Dengan cerita baru. Pastinya!
Lantas menunda Novel Safa ini. Okay, hahaha. Sebernafsu itu aku.
Tapi aku kembali mengambil hikmah, ya? Sekeras apapun dunia ku kejar. Justru dia semakin jauh berlari. 😭 Beneran...
Alhasil, aku kena batunya... (mungkin.)
Disana baru nulis 7 bab. Udah kena musibah yang bikin akun aku ke riset dan semua naskah kepenulisanku hilang. Termasuk saldo yang segitu-gitunya. Mana belum bisa di tarik. 😭(Antara nangis dan menertawai diri.)
Semakin down, dong, akunya. Mau bagaimana lagi. Aku juga manusia biasa.
Sekarang, sudahlah aku pasrah. Ini hutangku yang harus ku bayar ke kalian. Janji dari novel Rumi. Kalian minta Safa, tapi aku nulis Maryam duluan. Dan di lompati lagi sama yang lain-lain.
Mohon maaf semuanya. Aku khilaf... sekarang, aku mencoba untuk nulis ini dengan pelan2. Semoga bisa lancar tanpa halangan suatu apa.
Kalau bolong-bolong, ya, harap dimaklumi. Aku adalah seorang ibu dengan satu anak yang baru masuk TK. Sudah paham seperti apa kerepotanku sekarang. Hahaha.
Dan, ya... inilah Novel yang beberapa dari kalian sudah menunggu-nunggu. Semoga alurnya menarik. Dan nggak membuat kalian bosan membacanya. Segitu saja, ya. Terima kasih atas like dan komentarnya. Aku cinta kalian semua karena Allah... Selamat membaca.❤️❤️
Satu momen yang tak terlupakan, ketika Safa dan Rumi untuk pertama kalinya, duduk berdua di beranda rumah Fatkhul Qullum (Ayah Safa) dengan sekat meja bundar di tengah-tengah.
Hari ini Safa tidak menyangka, ketika kedatangan keluarga Ustadz Irshad itu tak hanya sekedar silaturahmi biasa. Melainkan untuk sebuah rencana baik yaitu mencocokan ke-dua anak mereka dengan cara Ta'aruf.
Bisa di bilang, fakta ini amat mengejutkan sekaligus menggembirakan bagi Safa, yang sudah memendam rasa kagumnya pada laki-laki yang rentang usianya hanya di bawah dia satu tahun.
Entah kapan rasa itu hadir, tepatnya tidak tahu. Yang jelas, perasaan yang tak seharusnya ada dengan halus menetap di hatinya. Bahkan terpupuk baik, dengan perlakuan Rumi yang membuatnya sempat berpikir bahwa Dia juga sama dengan Safa.
"Fa!" Rumi membuka suara. Memecah keheningan di antara keduanya.
Gadis itu sedikit mengangkat kepala, suara laksana aliran sungai yang tenang dan teduh, membuatnya sedikit berdebar walau langsung ia tepis dengan kalimat taawudz sebagai cara meminta perlindungan kepada Allah SWT.
"Aku boleh bertanya satu hal?" tanyanya sedikit ragu-ragu. Safa sendiri hanya menjawab dengan anggukan kecil. Walau sejatinya dalam hati ia penasaran, tapi gugup juga. "Apa benar, kamu mengagumi aku selama ini?"
Deg!
Gadis itu terhenyak. Terlihat kepanikan sekaligus malu yang membuat kedua pipinya bersemu. Safa buru-buru menundukkan kepalanya semakin gugup.
"I–itu. Aku, aku...."
"Tidak apa, jangan merasa malu karena ini, Safa." Rumi mencoba menghibur Safa yang mendadak canggung itu.
"Maaf...," lirihnya merasa cemas.
"Sejak kapan?" lembut suara Rumi kembali bertanya.
Hal itu justru membuat Safa jadi ingin menangis. Mengulik ingatannya yang memudar tentang; sejak kapan perasaan haram itu mengganggunya selama beberapa tahun terakhir ini? karena, selama itu pula ia tengah berusaha keras membuangnya demi hal-hal yang akan menjerumuskannya pada dosa.
"Se–sejak kapannya? aku tidak tahu. Yang jelas, rasa itu datang secara tiba-tiba tanpa mengetuk lebih dulu."
Wajah teduh Rumi Al-Fatih terkesan tenang. Tak lama terdengar helaan nafas pelan yang masih terdengar gadis berhijab panjang itu.
"Maaf, Rumi. Maaf aku lancang mengagumimu." Bulir bening itu semakin tertampung banyak di ke-dua netra indahnya.
Rumi pasti kecewa padaku. Aku pasti di anggap wanita tak baik karena mengagumi laki-laki lebih dulu. –batin Safa memekik keras, ingin rasanya ia menghilang begitu saja dari hadapannya saat ini.
Pria itu buru-buru membantah dengan ke-dua tangannya di depan dada.
"Nggak, Safa! Kamu nggak salah. Kamu juga nggak lancang, kok."
Rumi berusaha berujar dengan kata-kata yang sopan. Ia bahkan sedang hati-hati sekali saat ini. Walau tetap saja, apa yang ia tanyakan adalah sesuatu yang mungkin akan membuat wanita jadi kehilangan rasa percaya dirinya. Dan berujung pada rasa malu yang berlebih.
"Safa..., mengagumi seseorang itu bukan lah sebuah kesalahan. Karena yang berbicara itu adalah hati. Bukan kemauanmu," imbuhnya. Sementara gadis di depan masih saja tertunduk. Ia bahkan tidak sama sekali berani mengangkat kepalanya.
Ada sedikit rasa lega yang mulai bersemayam di hati gadis berusia dua puluh delapan tahun itu. Seolah lorong gelapnya mulai berpendar.
Ada secercah harapan, kah? Apa Rumi bersedia untuk berta'aruf dengannya. Hingga mereka bisa melangsungkan pernikahan, dan tidak terus-menerus menambah dosa.
"Tapi maaf...." Rumi kembali bersuara dan kembali di jeda. Dengan ekspresi wajah yang tak bisa Safa lihat saat ini. Gadis itu menunggu tanpa berani menaikan kepalanya walau hanya sekedar mengintip. "Kita nggak bisa berta'aruf, Safa."
Mata Safa yang serupa Danau yang bening dan teduh beriak. Seolah kerikil kecil di lemparkan ke tengah-tengah hingga membuat kecipyak di air muka yang tenang itu. Gadis itu membisu, ia benar-benar tidak bisa berkata-kata. Apakah ini tandanya ia telah di tolak seorang Ikhwan?
"Fa, maaf aku harus mengatakan ini sekarang secara langsung. Karena, aku takut. Ujung-ujungnya aku malah justru menyakitimu."
Sepertinya Safa sudah tahu jawabannya. Karena pagi ini tiba-tiba saja gadis nonis itu datang dengan sebuah kejutan yang membuatnya tertegun sekaligus bahagia.
Ya, Debora yang ia kenal di Bandung itu telah memutuskan masuk Islam. Ia bahkan terlihat lebih cantik dengan gamis dan hijab yang di kenakan. Dan sepertinya bukan hanya dia yang terkesima melihat perubahan Debby, melainkan Rumi juga. Semua bisa ia tebak dari tatapan membeku Rumi saat hendak masuk ke rumah ini.
Ya, itu pasti alasannya... Safa menerka-nerka.
"Safa, apa Kamu marah?" Tanya Rumi yang semakin merasa tak enak hati. Gadis itu pun mencoba untuk beristighfar dalam hati lalu berusaha mengembangkan senyum walau terasa pahit.
"Haruskah– Shafa yang membantumu untuk mengatakan ini, kepada orang tua kita?" Tanyanya yang justru membuat Rumi terdiam. "Terutama Pakde Irsyad. Kalau kita, tidak seharusnya bersama."
"Aku benar-benar minta maaf, Safa."
"Nggak papa, Rumi...." Dengan perasaan getir, gadis itu tertawa kecil. "Cinta memang tidak bisa di paksakan," imbuhnya lembut namun cukup menekan.
"Kamu boleh marah, kok. Karena aku mungkin, terkesan jahat padamu." Rumi merasa bersalah. Pria itu menunduk sekarang.
"Untuk apa aku marah padamu? Kamu aneh, Rumi." Kembali tertawa dengan mata berlinang. Gadis itu menggerak-gerakkan bola matanya agar air matanya tidak sampai keluar. Setelah diam beberapa saat, gadis itu menghela nafas pelan.
"Aku tahu– wanita yang kamu harapkan untuk bersanding denganmu bukanlah aku," lirih Safa mengatakan apa yang ia terka saat ini.
Rumi bergeming. Sekarang giliran dia yang tak bisa berkata-kata. Karena apa yang di tebak Safa benar.
"Aku tahu kok. Sekarang Dia sudah mualaf. Kalian sudah seiman. Bukankah itu kabar baik?"
Mendengar itu, Rumi langsung mengusap matanya yang basah. Bagaimana bisa Safa tahu isi hatinya. Jika dia menginginkan Debora yang menjadi istrinya.
"Di sini, di antara kita, sama-sama tidak ada yang ingin menyakiti antar satu sama lain, 'kan? Begitu pula aku, Rumi. Aku tidak mau memaksa kamu untuk menjadi imamku."
Keduanya hening untuk beberapa saat. Di dalam, Ulum menghela nafas pelan. Kemudian memilih untuk beranjak dari sana. Jujur saja ia benar-benar tidak kuat mendengar percakapan mereka berdua.
"Kamu benar, perasaan kagum bukan sesuatu yang salah. Tapi setelah ini, aku akan mengkaji ulang dan membenahi sesuatu yang salah pada diriku," sambungnya.
"Fa–" Rumi menangkap suara bergetar dari bibir gadis di dekatnya. Membuat pria itu mengangkat kepalanya.
Safa buru-buru menangkupkan tangannya di depan dada. "Aku akan menolak ta'aruf ini. Dan kamu bisa berjuang untuk mendapatkan Akhwat pilihan mu. Nikahi Dia, bimbing Dia dengan baik, Rumi. Dia yang lebih pantas mendapatkan mu."
"Mungkin, aku adalah laki-laki jahat saat ini," ujar Rumi merasa bersalah.
Gadis bermata sayu itu tak menjawab dan justru semakin mengatup rapat-rapat bibirnya menahan gemuruh di dadanya, dengan sesekali mencoba untuk tersenyum. walaupun itu sangat hambar terlihat.
"Andai ada kata yang lebih tinggi dari pada maaf, aku sudah mengucapkan itu, Fa."
Mata yang sejatinya sudah berlinang itu, benar-benar tidak mampu lagi menampung lebih banyak. Safa sangat ingin menangis saat itu juga. Dan ia lebih memilih kembali bertahan dengan cara menyunggingkan senyumnya untuk Pria yang ia kagumi ini.
"Aku ikhlas tidak berjodoh denganmu. Wallahi, Rumi," suaranya berubah serak dan terdengar amat lirih.
Klaaaaap, padam lah seluruh pendar dalam lorong panjang kehidupannya saat ini secara bersamaan. Sehingga membuat batin gadis itu menjadi hampa.
Pria itu menangkupkan tangannya. Wajahnya terlihat menyesal karena telah melukai hati Safa secara tidak langsung.
"Aku rasa semua sudah jelas. Jadi, aku pamit sekarang saja, ya," ucapnya. Gadis itu pun mengangguk pelan.
Rumi membalas, senyum itu tipis. "Aku berharap, akan ada Ikhwan baik hati yang imannya jauh di atas ku untukmu."
Shafa tersenyum lagi. "Aamiin..."
"Emmm..., aku mau pamit sama Paman Ulum."
Gadis itu menoleh kedalam sejenak. Ia sudah tidak melihat tubuh Ayahnya di ruang tamu. Lalu kembali menghadap ke Rumi.
"Nanti ku sampaikan saja. Ayah kanyaknya lagi di kamar istirahat. Kalau Ibu, kamu lihat sendiri tadi dia pergi sama Qonni."
"Kalau begitu. Titip salam aja, ya."
"Walaikumsalam. Iya, Rumi. Nanti aku sampaikan."
Rumi yang menjadi canggung belum berani melangkahkan kakinya keluar dari beranda rumah Safa.
"Ada lagi?" tanya gadis itu dengan hati sudah tak karuan.
"Enggak...," tertawa kecil. "Maaf, ya."
"Iya, Rumi. Jangan minta maaf terus." Keduanya tertawa garing. Rumi pun mengangguk sekali lalu mengucapkan salam dan pergi.
Gadis itu pun berjalan beberapa langkah saat mobil yang Rumi kendarai mulai melaju, dan berhenti di sebuah tiang penyangga atap teras rumahnya. Merengkuh tiang penyangga tersebut dengan satu tangannya. Sementara kepalanya menyandar lemah ke sisi tiang tersebut. Matanya yang sendu itu mulai terpejam pelan. Bulir-bulir bening yang sejak tadi tertampung pun berguguran.
Semudah itu mengatakan ikhlas. Namun, tidak dengan hatinya. Tentu itu sangat berat baginya untuk mengamalkan ikhlas itu sendiri.
Dalam kesendiriannya di luar rumah, Safa mulai sesenggukan. Walaupun dengan usahanya untuk tak bersuara. Tentu hal itu tetap bisa terlihat dengan jelas dari bahunya yang berguncang hebat.
Bumi yang ia huni sekarang mendadak gelap. padahal Dia seharusnya tahu. Bahwa, konsekuensi mengagumi seseorang sebelum adanya pernikahan adalah ia harus siap untuk mendapatkan kemungkinan terbesar. Yaitu, cinta yang tak terbalaskan.
Safa tak pernah menyangka, pada akhirnya Rumi akan tahu tentang perasaannya. Dan sekarang, dia tidak salah jika harus menolak perjodohan ini. Karena, siapa yang mau di paksa? Dia juga punya hak untuk memilih.
Di saat Shafa tengah menangis sendiri. Fathul Qulum keluar. Beliau berdiri menatap nanar ke arah sang putri. Karena memang sejak tadi dia ada di sana.
Instingnya sebagai seorang ayah bisa ia rasakan. Peri kecilnya sedang merasakan sesak saat ini. Ulum paham perasaan Safa. Namun, dia juga tidak bisa menyalahkan Rumi.
Ulum mendekati Pelitanya yang sedang padam, lalu menyentuh bahunya pelan. Shafa pun terkesiap. Dia menghapus cepat jejak air matanya, yang justru sudah tertangkap oleh sang ayah dengan tatapan iba.
"Nggak ada yang melarang seseorang untuk menangis, Safa." Ulum meraih tangan putrinya. Menghentikan gerakan mengusap yang di lakukan oleh Safa.
Gadis itu menundukkan kepala, sambil menggigit ujung bibir bawahnya sendiri.
"Sesuatu yang kamu iklhaskan akan kembali. Minimal sama atau mungkin lebih baik dari pada yang kamu inginkan."
Hanya suara sesenggukan Safa yang terdengar, juga gerakan mengangguk berkali-kali yang di berikan sebagai respon darinya.
"Allah tahu, kamu sangat mengharapkannya. Tapi mungkin bukan Dia yang Allah harapan untukmu. Kamu akan mendapatkan yang minimal sama seperti Dia. Ayah percaya itu."
"Iya, Ayah." Kedua tangan Shafa melingkar di pinggang Ulum memeluknya sembari sesenggukan.
"Sabar! Anak ayah kuat. Kamu wanita Solehah yang Ayah miliki. Kamu pasti akan mendapatkan pria Sholeh juga." Ulum mengecup pangkal kepala Safa yang masih sesenggukan. Berusaha menguatkan Safa, agar lebih tegar lagi. "Kalau dipikir-pikir, semua ini ada hikmahnya," sambungnya.
"Hikmah?" Tanya Safa serak, masih dalam posisi memeluk Ayahnya.
"Iya, karena ayah sebenarnya belum mau, loh, di duakan oleh mu. Ayah masih ingin kamu hanya mencintai ayah seorang, hehehe." Ulum yang sedang berusaha mencairkan suasana mampu membuat Safa sedikit tertawa dan mengeratkan pelukannya.
"Shafa sayang sama Ayah," gumamnya.
"Sama dong kalau gitu." Membalas pelukan sang anak, keduanya tertawa pelan. "Emmm– jalan-jalan, yuk!"
"Jalan-jalan?"
"Iya! Tapi berdua saja. Nanti kita jajan apa, gitu. mau, nggak. kencan sama ayah?" ajak Ulum menawarkan.
"Kalau berdua, memang nanti Qonni nggak iri? Dan kalau ibu mencari kita, gimana?" Safa mulai bersemangat. Lorong gelap dalam hatinya sedikit bercahaya, walau masih terasa redup.
Ulum meletakkan jari telunjuknya di bibir sendiri. "Diam-diam makanya, yuk! Sebentar Ayah ambil kunci motor dulu, ya."
"Tapi Safa mau cuci muka. 'Kan, habis nangis," rengeknya manja.
"Uluh-uluh–" Ulum yang gemas mengusap kepala anaknya. "Ya sudah, sana! Cepetan, ya. Mumpung Qonni sama Ibu belum pulang."
"Hehehe... Iya ayah." Gadis itu mengelus lengan Sang Ayah yang terlihat bersemangat demi menghibur dirinya. Sambil sama-sama masuk ke dalam rumah, menuju tujuan masing-masing. Setelah itu Safa kembali keluar. Tentunya Ulum sudah siap di atas motor.
"Ayo, buruan! Nanti Ibu sama Qonni keburu pulang." Pria paruh baya itu mengeslah motor lamanya. Di saat Safa tengah menutup pintu rumah sembari tersenyum dan geleng-geleng kepala.
***
Motor lawas itu membawa keduanya membelah kota yang masih cukup terik karena waktu sudah bergeser menjadi sore.
Safa yang duduk di belakang, membonceng Ayahnya. Saat ini dia tengah melamun, menatap kosong melawan angin yang terus saja menghantam wajahnya. Sesekali ia menyeka air mata yang hendak menetes. Seolah tidak ada daya untuknya menghentikan itu.
Kesedihan masih saja mengganjal di hatinya. Siapa bilang ikhlas itu mudah, hal itu tak segampang ketika kita mengucapkan kata ikhlas itu sendiri. Sehingga bulir-bulir bening penanda kesakitannya masih saja menggenang sampai benar-benar mengering tersapu angin.
Ya, Dia hanya butuh waktu untuk benar-benar merelakan sesuatu yang pergi itu. Namun, ini lebih baik, sih. Dengan ketegasan Rumi yang To the points mengatakan hal jujur yang mungkin sedikit menyakiti. Setidaknya dengan kejujuran itu, dia jadi bisa berhenti untuk mengagumi sosok pria yang belum halal untuknya.
Motor Ulum berbelok ke salah satu pelataran masjid yang lumayan besar dan indah, suara Adzan ashar rupanya sudah berkumandang dan membuyarkan lamunan Safa.
"Alhamdulillah. Kita solat dulu, ya," ajak sang Ayah sambil melepaskan helmnya.
Safa tersenyum sambil turun dari atas motor tersebut.
Keduanya pun berjalan, dan berpisah menuju tempat wudhu masing-masing. Setelah mengambil air wudhu. Tentunya gadis itu langsung bergegas menuju tempat para jama'ah wanita. sesaat ia melewati satu ruangan yang masih di bilang bagian luar masjid, namun sudah lumayan masuk ke dalam.
Di mana terdapat rak buku-buku, dan satu lemari pendingin berisi air mineral dalam kemasan cup. Tentunya air mineral itu gratis bagi para jama'ah yang mau mengkonsumsinya.
Langkahnya terus berjalan menuju salah satu pintu kaca tempat khusus jama'ah wanita.
Namun sebelum itu ia berhenti. Karena ada sesuatu yang menggangu pandangannya. Ia pun menoleh sejenak, ke arah bagian buku-buku yang berada di sisi kiri. Tepatnya di samping ujung tangga yang menuju lantai dua.
Fokus Safa bukan pada rak buku di situ. Melainkan, ada seorang pemuda dengan jaket kulit berwarna coklat, sedang duduk menyandar ke dinding. Wajahnya tidak terlihat jelas, karena tertutupi buku bertuliskan 'kematian tak menunggumu menua.'
Dia tidur, kah? Bukannya sholat, malah... Gadis itu buru-buru membungkam mulutnya sendiri ketika batinnya tiba-tiba meng-ghibah dengan sendirinya.
"Astaghfirullah al'azim... memang iman ku sudah sebaik apa sampai menistakan orang lain," sambungnya, dia pun masuk setelah di sapa salah satu wanita asing dengan senyumnya, karena dia juga hendak masuk.
🍂🍂🍂
Di kawasan kaki lima...
Seorang ayah dan anak, tengah menyantap hidangan sate taichan yang tergolong sebagai makanan kesukaan Safa. Ulum sengaja memesan sekitar lima puluh tusuk sate untuk mereka makan berdua.
Agak berlebihan sebenarnya menurut Safa, terlebih-lebih sate di kedai ini kan lumayan mahal. karena terkenal dengan bumbunya yang enak, serta potongan dagingnya yang besar-besar. Sungguh sangat puas jika memakannya.
"Banyak banget pesannya, Yah?" Safa berbisik saat makanan itu tersaji di depannya.
"Nggak papa, Ayah cuma mau bikin kamu seneng."
"Tapi nggak gini juga. Bisa-bisa nggak habis, nih."
"Kan bisa di bungkus," usulnya sambil terkekeh. Gadis itu pun merespon dengan helaan nafas. Ayahnya memang seperti itu, selalu berusaha untuk menyenangkan anak-anaknya walau terkadang akan membuatnya susah sendiri. "Di makan, jangan di pelototi saja."
"Iya Ayah..."
"Lontongnya sengaja terpisah biar kalau nggak habis, bisa kita bawa pulang tanpa ke acak-acak semuanya."
"Iya." Safa menanggapi sambil tersenyum. Gadis itu mengambil satu tusukan satenya dan mencobanya.
"Enak, kan? Enak, dong. Kan kedai legen! Dulu ayah cuma bisa beli satu atau dua porsi untuk di makan sekeluarga. Sekarang Ayah bisa beli lima porsi sekaligus buat kita makan berdua." Tertawa yang di ikuti dengan Safa juga.
Sekilas ia mengingat itu, dan bersyukur. Karena sekarang kondisi keuangan keluarganya sudah mulai membaik. Walau tidak banyak, tapi setidaknya keluarga mereka tidak kekurangan lagi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!