..."Ya Allah, permudahkanlah (urusanku) dan janganlah persulit. Tuhanku, sempurnakanlah urusanku dengan kebaikan."...
Langit nampak mendung. Pada barisannya, langit menjulang tinggi menjadi atap alam semesta. Rintik air tak kunjung berhenti juga, mengguyur kota yang kini tak seramai biasanya. Jalanan pun sepi, hanya sedikit kendaraan yang berlalu lalang. Bahkan, tukang ojek yang biasanya sejak fajar menyongsong mangkal, kini tak terlihat batang hidungnya.
Seorang gadis bermata bulat dengan gaun selutut berjalan dengan dompet yang dijadikan payung untuknya. Semilir angin membuat rambut yang digerai oleh gadis itu terombang-ambing. Namun, hal tersebut tak membuatnya terganggu sedikitpun.
Mobil dengan merk pajero berwarna silver melaju dari arah berlawanan dengan kecepatan tinggi sehingga tak melihat bahwa di depannya ada genangan air.
"Anjing." Gadis itu mengumpat ketika genangan air itu mengenai tubuhnya yang menyebabkan gaun warna merah mudanya basah dan kotor.
Mobil itu berhenti beberapa langkah agak jauh dari gadis itu membatu. Dari dalam mobil, keluar seorang pria tampan yang menggunakan sarung dipadukan dengan jas warna hitam membawa payung di tangan kanannya.
"Astagfirullahalazim, maaf saya tidak tahu kalau di depan tadi ada genangan airnya." Gadis itu menatap pria di hadapannya dengan tatapan intimidasi. Atensinya menelisik penampilan pemuda itu dari ujung rambut hingga ujung kaki. Sedangkan pemuda itu memilih untuk menunduk dalam.
"Oke, gue maafin. Kenalin, nama gue Maria." Gadis yang kerap disapa Maria menyodorkan telapak tangan ke arah pemuda itu. Namun, ragu-ragu pemuda itu menangkupkan telapak tangan dan pandangannya tetap menatap tanah. Tak berubah sedikitpun dari beberapa menit yang lalu.
"Saya Amar." Maria menurunkan tangannya, gadis itu merasa bahwa ia telah direndahkan dan tak dihargai karena pria tersebut tidak mau berjabat tangan dengannya.
Maria maju beberapa langkah ke depan sehingga membuat langkah Amar mundur perlahan-lahan. Seluruh badannya gemetar, jantungnya berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya. Dalam hati, Amar terus merapal istighfar. Ilahi, selamat Amar dari gadis ini. Ia tak mau terjerumus dalam kejamnya godaan setan.
Bagi Raihan, godaan terbesar melampaui godaan setan ialah seorang perempuan. Bahkan dalam Al-Quran pun telah dijelaskan:
إِنَّ كَيْدَكُنَّ عَظِيمٌ
“Sesungguhnya tipu daya (godaan) kalian wahai para wanita begitu besar” (QS. Yusuf: 28).
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا تَرَكْتُ بَعْدِى فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ
“Tidaklah aku tinggalkan sepeninggalanku fitnah (cobaan) yang lebih berbahaya bagi kaum laki-laki, yaitu (fitnah) wanita” (HR. Bukhari dan Muslim).
"Gue perempuan baik-baik." Ujung kalimatnya sedikit ditekan.
"Lo ... muslim?" Kalimatnya menggantung. Allah, ia merasa seperti kehabisan oksigen. Sesak. Kini ia tak bisa membedakan antara keringat dengan bulir air hujan.
Tanpa berkata-kata, gadis itu berjalan menuju mobil yang terparkir di tepi jalan, tak jauh dari meraka beradu pandang. Amar meremas jemarinya yang saling menaut satu sama lain. Maria membuka pintu mobil, memutuskan masuk dan memilih duduk di bangku depan, tepat di samping Amar menyopir.
Amar memejamkan mata, istighfar tak henti-hentinya ia rapalkan. Hingga lamunan itu sirna kala suara Maria mampu menyadarkan Amar dari kegelisahan ini.
"Heh, ayo. Kamu mau di situ sampai kapan?" bentak Maria membuat Amar terperanjat sedikit terkejut.
Amar mengumpulkan segala keberanian dalam dirinya, menghela napas dan menghembuskannya secara perlahan. Telapak tangan yang awalnya mengepal, kini mulai Amar renggangkan.
"Bismillah." Amar membalikkan badan. Namun, langkahnya terasa sangat berat tidak seperti biasanya. Ilahi, jika ini mimpi maka bangunkan ia dari mimpi buruk ini.
Setelah sekian lama, akhirnya mobil berwarna silver itu berhasil Amar kemudikan. Namun, ada keraguan dan gelisah ketika seorang wanita yang tak pernah ia kenal tiba-tiba masuk ke dalam mobilnya.
Hening. Kala itu hanya terdengar suara hujan yang terus-menerus mengguyur. Kabut tebal perlahan menutup jalanan membuat para pengendara kesulitan dalam melihat jalan sekitar. Dari dalam mobil, tak ada percakapan walau hanya sepatah kata saja. Namun, asma indah Ilahi, yakni asmaul husna menjadi penengah di antara keheningan tersebut.
Gadis itu memilih diam seraya memainkan benda pipih berwarna hitam miliknya. "Bisa diganti gak lagunya?"
Suara tersebut berhasil menyita perhatian Amar. Namun, ia tak memberi sedikitpun tanggapan. Entah itu anggukan kepala, atau hanya sekedar kata 'iya'.
Kesal karena tidak direspon, Maria memutuskan untuk mematikan murottal tersebut. Maria menghela napas berat seraya mengibas-ibaskan telapak tangannya. "Gerah."
"Kok dimatikan?" Maria menatap dalam wajah Amar. Pria itu kembali bungkam.
"Saya tegaskan ya, itu bukan lagu, tapi Asmaul Husna." Atensinya tetap menatap ke arah depan. Pria itu fokus dalam mengemudikan mobilnya. Seperti inikah rasanya berdua dengan seorang gadis yang tidak dikenal?
"Nanti turun di mana?" Setelah sekian lama merangkai kata-kata, akhirnya Amar memberanikan diri untuk bertanya kepada gadis tersebut.
Telunjuk Maria mengarah ke depan, menyentuh kaca depan mobil. "Maju terus, pertigaan belok kanan. Rumah warna putih."
Mobil itu masuk pada gang kecil yang terdapat beberapa rumah dan warung. "Itu rumah kamu?" Amar bertanya seraya menggerakkan kemudi mobilnya.
"Bukan." Amar tidak kunjung bergeming. Pria itu mencoba untuk mencerna perkataan yang diucapkan Maria. Ah, entahlah. Mungkin gadis ini hanya ingin mencairkan suasana dengan membuat gurauan kecil.
"Lantas ... jika bukan di situ, di mana?" Tidak ada tanggapan. Gadis itu melepas sabuk pengaman yang dikenakan. Lalu, badannya dicondongkan ke depan, mendekat ke arah Amar. Namun, pria itu tidak bisa berkutik lagi. Badannya tak bisa bergerak, bingung harus bergerak ke arah mana. Pria itu rasanya ingin berteriak. Namun, sepertinya sia-sia karena tempat ia berhenti sepi akan lalu lalang orang. Ilahi, tak adakah sebuah keajaiban?
Amar mencoba untuk membuka pintu mobil. Namun, nihil. Keringat dingin bercucuran, jantungnya berdetak dua kali lebih cepat, seperti pacuan kuda. Napasnya ngos-ngosan. Jemarinya masih berusaha untuk membuka pintu mobil tersebut.
"Tolong jangan mendekat!" Gadis itu tidak menghiraukan titah Amar. Rambutnya yang ikal ia kibaskan, membuat tanda lahir yang berada di bahu sebelah kanannya terlihat.
"Jangan takut." Suaranya yang begitu lirih membuat daun telinganya bergidik ngeri. Suaranya cukup membuat bulu kuduknya berdiri.
"Nona! Saya dan Anda bukanlah mahram, paham?" Suaranya bergetar, ia tetap berdoa kepada Sang Ilahi agar dilindungi dari gadis yang semobil dengannya. Tiba-tiba ....
"Tepikan mobilnya. Mobilmu ini menghalangi mobil yang lain untuk lewat." Suara ketukan berasal dari jendela mobil Amar membuat suasana yang menegang menjadi cair. Gadis itu memejamkan mata seraya berdecak kesal. Dengan tangan yang terbata-bata, Amar mengambil alih kemudinya dan mencari jalan yang cocok untuk mobilnya menepi.
"Aku turun di sini saja, terima kasih." Gadis itu membuka pintu mobil dan berlalu pergi. Atensi Amar tak kunjung mengerjap. Ia masih tak percaya akan hal yang terjadi beberapa detik lalu.
Kejadian itu sungguh cepat. Allah, siapkah gadis itu? Amar diselimuti beribu pertanyaan akan gadis yang telah menggodanya. Tanpa ia sadari, pertemuan ini adalah awal dari segala rentetan kejadian yang akan menghiasi hidupnya.
Bersambung....
Pasuruan, 23 Januari 2023
..."Jangan katakan kepada Allah aku punya masalah besar, tapi katakanlah kepada masalah aku punya Allah yang Maha Besar."...
...(Ali bin Abi Thalib r.a)...
Di ruangan sepetak yang cukup luas berwarna putih dengan pernak-pernik corak tulisan arab. Sajadah panjang berwarna merah terbentang menutupi keramik putih masjid tersebut. Lautan manusia berbaris rapi duduk menyila seraya mendengarkan tausiyah dari seorang pria paruh baya dengan sorban di bahunya. Wajahnya yang dipenuhi dengan keriput akibat dimakan usia tak mengurangi kewibawaannya dalam mensyiarkan dinul Islam.
"Para jama'ah yang dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala, generasi muda zaman sekarang ini ... cerdas saja tidak cukup, tetapi juga harus memiliki iman yang tertancap dalam hati dan pikiran. Karena apa? Iman diibaratkan seperti akar pohon kelapa. Dari akar, maka keyakinan itu akan tumbuh seribu manfaat, tumbuhlah iman."
"Pada hakikatnya yang dialami generasi sekarang sangat dan sangat memprihatinkan. Degradasi moral, digadensi moral terjadi, karena apa? Karena agamanya tidak dibawa, agamanya tidak dipakai. Kenapa orang berbuat dosa? Karena iman dan agamanya tidak tertanam dengan baik di jiwanya."
"Begitu pula dengan generasi Islam. Dengan sebuah iman tumbuhlah beberapa khalifah sedermawan Abu Bakar As-Sidiq. Sekuat Umar bin Khattab, setangguh Ustsman bin Affan dan seshalih Ali bin Abi Thalib."
"Lalu bagaimana dengan perempuan, Kyai? Apakah Islam memandang bahwa perempuan itu lemah? Dengan iman tumbuhlah perempuan-perempuan sesetia Khadijah binti Khuwailid, secerdas Aisyah binti Abu bakar dan seshalihah Fatimah binti Muhammad."
"Tidak hanya berhenti di situ saja. Wanita bukanlah makhluk yang lemah. Buktinya jika di kalangan laki-laki ada Hamzah bin Abdul Muthalib yang dijuluki sebagai singa Allah, maka di kalangan perempuan ada Ummu Umarah yang mendapatkan julukan singa merah. Ada Khalid bin Walid yang mendapatkan julukan pedang Allah, perempuan juga memiliki pejuang tangguh yang dijuluki sebagai pedang Allah dan ada pula Nusaibah binti Ka'ab yang mendapat julukan perisai Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, beliau melindungi Rasulullah dan gugur membela Islam dalam perang Uhud."
"Orang beriman yang paling sempurna imannya adalah yang terbaik akhlaknya. Yang kita ketahui bahwa iman adalah dipercaya dalam hati, diucapkan dengan lisan, dan diamalkan dengan perbuatan."
Suara tegas pria paruh baya itu menyulut semangat. Sungguh, generasi muda Islam harus mempunyai yang namanya iman.
Mata Amar tak kunjung mengerjap, pria itu menghentikan bolpoinnya yang tengah asik menari di atas selembar kertas putih. Sedetik kemudian, ia menghela napas berat. Amar masih memikirkan kejadian petang tadi. Sampai sat ini ia diliputi rasa penasaran akan siapa gadis itu?
"Amar." Telapak tangan yang menepuk bahunya membuat Amar terperanjat sedikit terkejut. Amar menoleh, mencari sang empu yang telah menepuknya.
"Khalid, ada apa?" Kedua alis tebal itu ia naikkan bersamaan dengan seuntai pertanyaan yang Amar layangkan pada sahabatnya, Khalid.
"Kamu masih mau di sini? Kegiatan halaqohnya sudah selesai." Amar melihat ke sekitar. Ia melihat santri lain tengah memberesi seperangkat alat tulis mereka. Tak lupa Kyai Abdurrahman, abahnya telah turun dari mimbar khutbah dengan dituntun beberapa santri.
Astagfirullah, ia melamun sampai-sampai tidak tahu bahwa halaqohnya sudah usai. Ah, jika seperti ini terus lama-lama gadis itu bisa membuatnya gila.
"Ah, iya." Khalid memicingkan matanya. Menaruh pertanyaan akan gelagat aneh sahabatnya ini. Tidak seperti biasanya sangat antusias dengan halaqoh yang dipimpin abahnya.
Setelah membereskan beberapa buku dan seperangkat alat tulisnya, Amar beranjak dan berlalu pergi meninggalkan Khalid yang masih diam membatu dirundung kebingungan.
"Loh, kok ditinggal sih, Mar? Kan saya tadi nungguin kamu."Khalid merengek seraya menyusul langkah Amar yang cukup jauh. Oh Allah, pria itu cepat sekali jalannya.
"Amar." Napas Khalid tak beraturan, kini ia mensejajarkan posisi tubuhnya di samping Amar. Tak ada tanggapan dari pria dingin itu, atensinya fokus menatap objek yang ada di depannya. Sesekali ia tersenyum pada santri yang menyapa dirinya.
"Amar." Suara bariton itu? Dari kejauhan terdengar langkah kaki beradu menyerang jalan. Ditambah lagi beberapa santri yang menunduk seraya menyapa sesosok di belakangnya itu.
"Kyai." Amar melirik tingkah laku sahabatnya yang sama dengan santri lainnya.
Pria itu mengernyitkan dahinya. Setelah menyadari akan panggilan tersebut, Amar menoleh ke sumber suara. Sontak kedua pria itu menunduk dan maju beberapa langkah untuk mencium punggung telapak tangan pria paruh baya yang kini berdiri di depannya. Selayaknya seorang santri, Amar dan Khalid sedikit membungkuk dan menundukkan pandangan. Walaupun ia sendiri adalah putra dari pengasuh pondok pesantren tersebut.
"Wonten nopo Abah?" Pria paruh baya yang dikawal beberapa santrinya terlihat mengusap puncak kepala Amar.
"Melu Abah ning ndalem." Amar mendongak, tak lama kemudian pria itu mengangguk pelan.
Dengan menggandeng telapak tangan sang abah, Amar berjalan menuju ndalem kyai. Entah apa yang ingin dikatakan oleh abahnya. Namun, tak biasanya sang abah menghampiri Amar. Terkadang jika ada yang ingin dibicarakan, abah selalu menyuruh santri yang selalu mengawalnya untuk memanggilkan putra bontotnya itu. Ya, sang abah kini sudah tak cukup kuat lagi untuk berjalan. Usianya yang semakin bertambah membuatnya sering bepergian dengan didorong menggunakan kursi roda. Namun, semua itu tak menghentikan beliau untuk menyebarkan agama Islam kepada ribuan santri yang beliau asuh.
Dari dalam rumah, terlihat beberapa orang yang telah duduk menanti kedatangan abah dan juga Amar. Umma Maryam menyambut hangat sang suami, begitu juga dengan Amar. Tak jauh dari abahnya duduk, terlihat saudara tertuanya yang bernama Idrus juga hadir dalam pertemuan itu. Ah, mungkin lebih tepatnya jamuan malam karena di tengah-tengah terdapat banyak makanan dan kue.
"Mas, sebenarnya ini ada apa sih?" Samar-samar Amar berbisik kepada Gus Idrus. Namun, saudara laki-lakinya itu hanya mengulum senyum tanpa menjawab pertanyaannya.
Atensi Amar teralihkan ketika suara sang abah yang mencairkan suasana tegang kala itu. Tunggu, gadis dengan kerudung hitam itu ... siapa?
"Sebelumnya mohon maaf jika saya membuat kalian menunggu terlalu lama." Pasangan suami istri yang duduk tak jauh dari Abah Abdurrahman terlihat tersenyum sembari menganggukkan kepala.
"Njih Kyai, mboten nopo-nopo." Amar menatap Mas Idrus, berharap bahwa saudaranya itu akan menjelaskan apa yang terjadi kepadanya. Namun, nihil.
"Bagaimana, apakah perjodohan ini bisa dilanjutkan?" Amar membulatkan mata dengan sempurna. Pria itu mendongak disaat kata perjodohan terucapkan. Apakah ia tak salah dengar? Dijodohkan? Jadi gadis itu adalah calon istrinya? Dan pasangan suami istri itu adalah calon mertuanya?
" Tentu, Kyai. Kami sangat senang sekali dan merasa terhormat jika bisa besanan dengan njenengan." Pria paruh baya dari seberang itu menjawab dengan tegas dan sekali tarikan napas.
Ya Rabb, apa lagi ini? Belum selesai rasa penasarannya terhadap gadis yang ia temui di pinggir jalan tadi, kini gadis lain akan mengisi lembar kisah dalam hidupnya?
"Ah, tentu. Lebih cepat lebih baik, bukannya seperti itu?" Semua tertawa bahagia, kecuali Amar. Pria itu hanya menanggapinya dengan senyuman kecut. Sungguh, ia belum siap untuk menerima perjodohan ini. Namun bagaimana caranya mengatakan kepada abah dan ummanya jika ia belum siap? Pastinya, Amar tak mau membuat kedua orang tuanya sedih atas jawabannya. Ah, sudahlah. Ia sangat bingung. Amar tak percaya akan terjebak dalam masalah yang cukup rumit ini baginya.
"Namun, sebelumnya saya serahkan semua kepada putra saya. Kami selaku orang tua hanya bisa memberikan yang terbaik untuk Amar dan Fathia." Gadis itu terlihat sedikit tersenyum. Not bad, gadis itu memiliki paras yang cantik. Pipinya sedikit kemerahan, buku mata lentik ditambah dengan lesung pipi di sebelah kiri.
"Le, bagaimana ... kamu mau 'kan, Nak?" Telapak tangan selembut sutera itu menggenggam erat telapak tangan Amar. Cukup lama atensi mereka beradu pandang. Saat memandang manik indah milik ummanya, rasanya Amar tak kuasa. Ia ingin menolak. Namun, rahim kehidupannya itu membuatnya tak berdaya. Alhasil, Amar menundukkan kepala seraya mengangguk-angguk pelan.
Semua orang yang berada di ruangan sepetak itu merapal hamdalah, terpancar kebahagiaan dari raut wajah setiap orang. Bagi Amar, tak ada yang lebih berarti dibandingkan dengan senyum simpul kedua orang tuanya. Walau ia tahu, sulit bagi dirinya untuk meyakinkan diri bahwa semua ini adalah garis takdir yang Allah berikan untuknya.
***
Setelah acara selesai, Amar memutuskan naik ke atas dan mengunci diri dalam kamar. Sinar rembulan menerobos masuk ke dalam kamarnya lewat celah jendela yang sedikit ia buka. Terlihat beberapa bintang yang tak segan mengedip padanya. Begitu pula dengan suara jangkrik dan katak, menjadi teman dikala sang dewi malam tiba. Buliran tasbih melekat pada sela antara jemarinya. Bibirnya dibasahi dengan zikir.
Zikir adalah obat dikala hati dilanda resah dan gundah. Ia membaca beberapa kalimat tahmid, tahlil, dan tasbih. Dengan berzikir mengajarkan kita arti bersyukur dan sabar. Zikir juga dapat mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
"Amar." Pria itu tersentak. Matanya buram karena cairan bening menggenang di pelupuk matanya. Amar mengelas jejak air mata yang entah sejak kapan datangnya.
Tak ingin membuat orang di luar menunggu terlalu lama, Amar memutar gagang pintu itu dan betapa terkejutnya ia saat mengetahui bahwa sesosok yang mengetuk pintu kamarnya adalah Abah Abdurrahman.
"Abah." Tangan itu mengamit dengan cepat lengan Abah Abdurrahman dan menuntunnya untuk masuk ke kamarnya. Amar duduk menyilakan kaki di bawah seraya memijit pelan kaki sang abah.
"Jangan terlalu dipikir. In syaa Allah ini adalah yang terbaik buat kamu, Nak." Amar mendongak tatkala mendengar kalimat itu. Tunggu. Apakah abahnya tahu jika ia tengah bersedih?
Tak lama, telapak tangan itu mengusap puncak kepala Amar. "Jalani saja dulu, abah tidak memaksa kamu untuk menerima perjodohan ini. Namun, abah hanya ingin memberitahu jika Fathia akan tinggal di pondok pesantren ini dalam beberapa bulan. Ia datang ke sini semata-mata untuk menjadi seorang santri, bukan berstatus sebagai calon istri Gus Amar."
Abah Abdurrahman terkekeh pelan seraya mengacak-acak rambut Amar. Ya, Abah Abdurrahman memberikan kasih sayang lebih kepada Amar karena putra bontotnya itu mengidap jantung bocor sedari kecil. Beliau khawatir tak ada perempuan yang mau menikah dengannya karena penyakit itu. Oleh karena itu, selagi mereka bisa segala upaya Abah Abdurrahman dan Umma Maryam lakukan demi kebahagiaan sang putra. Walau nyawa sekaligus taruhannya.
Bersambung....
Pasuruan, 23 Januari 2023
..."Dunia ini ibarat bayangan. Kalau kau berusaha menangkapnya, ia akan lari, tapi kalau kau membelakanginya, ia tak punya pilihan selain mengikutimu."...
..._Ibnu Wayyim Al Jauziyyah. ...
Terik. Kemilau emas nampak melaju mendampingi gumpalan kapas yang memutih di atas sana. Cahaya sang surya menyilaukan mata siapa saja yang menatap keindahannya. Dedaunan kering terombang-ambing terbawa angin lalu. Suasana pondok kala itu masih sama seperti biasanya, terlihat para santri yang lalu lalang dengan mendekap kitab di tangannya.
Hawa panas tak menyurutkan semangat mereka dalam menuntut ilmu agama. Siang itu, Amar dan Gus Idrus tengah berada di ruangan tempat abahnya beristirahat. Terlihat keakraban kedua pria tampan itu tatkala mereka saling berebut untuk memijat kaki Abah Abdurrahman. Sungguh, kebahagiaan yang tak ternilai harganya. Namun ....
"Amar, kamu sakit?" Menyadari wajah Amar yang pucat, sontak Gus Idrus melayangkan pertanyaan yang membuat abahnya mengalihkan atensi kepada Amar.
Sikap Amar berubah gelisah dan gugup saat Gus Idrus bertanya tentang kondisinya. Ia tak menanggapi pertanyaan sang kakak, pria itu hanya menggelengkan kepala seraya menundukkan pandangan dan terus memijat kaki abahnya. Ah, itu hanya alibi Amar saja supaya ia lolos dari tatapan intimidasi Gus Idrus. Ya, lebih tepatnya ia ingin menyembunyikan kondisi tubuhnya yang beberapa terakhir ini menurun drastis.
Abah Abdurrahman bangkit dari tidurnya dan duduk menatap Amar. Telapak tangan yang keriput itu memegang wajah lugu Amar, membawanya untuk saling beradu pandang.
Wajahnya pucat pasi, bawah matanya berwarna cokelat legam seperti orang yang terlalu banyak begadang. Telapak tangannya berkeringat, begitu pula dengan napasnya yang berat. Ekspresi Abah Abdurrahman berubah, oh Allah apakah kondisi putra kesayangannya ini kembali memburuk? Sejak kapan?
"Sejak kapan kamu kembali merasakan sakit itu, Nak?" Suara itu terdengar serak, tercekat di tenggorokan. Abah Abdurrahman tak kuasa menahan derai air mata. Entah apa yang membuat beliau bersedih. Apakah karena kondisi Amar?
"Amar." Beliau mengguncangkan badan Amar pelan. Tak lama, isak pilu kembali terdengar. Pria itu tergugu dalam dekapan sang abah. Amar meremas erat dadanya, di atas bahu sang abah, pria itu mencoba agar isak pilu tidak sampai terdengar oleh beliau. Ya, Amar berhamburan ke dalam pelukan hangat abahnya.
"Abah, apakah Fathia mau menikahi Amar dengan segala kekurangan yang Amar miliki? Siapkah ia mengurus Amar jika suatu saat penyakit ini kambuh?" Dalam dekapan itu, Abah Abdurrahman dan Amar saling melepas sedih satu sama lain. Pertanyaan itu selalu menghantui Amar. Rasa takut itu selalu bersemayam dalam benak Amar. Ya Rabb, apakah dengan Engkau berikan penyakit ini pada Amar termasuk penggugur atas dosa-dosanya?
"Adakah orang yang baik dan setulus Abah, Umma dalam merawat Amar?" Pria paruh baya itu mencium kening putranya. Gus Idrus memalingkan muka dengan membungkam mulutnya agar tangis itu tidak terdengar oleh Amar dan abahnya.
"Jodoh tidak akan tertukar, Nak. Jika Fathia ditakdirkan untuk kamu. Seburuk-buruknya kekuranganmu, Fathia akan menerima Amar dengan tangan terbuka." Keadaan Amar semakin melemah, lama kelamaan isak tangis itu tak kembali terdengar oleh abahnya. Amar merasakan kepalanya yang pusing dan pandangannya semakin buram. Telapak tangan Amar yang memeluk erat abahnya perlahan terlepas, dekapan itu semakin lama semakin ringan. Hingga akhirnya, Amar tak sadarkan diri dengan cairan kental berwarna merah yang keluar dari kedua lubang hidungnya.
Abah Abdurrahman mengguncang-guncangkan badan Amar dengan pelan, berharap putranya akan segera sadar. Namanya berulang kali disebutkan. Namun, Amar tak kunjung membuka mata. Panik. Pria paruh baya itu berteriak yang membuat Ummu Maryam berlari menuju kamar. Sedangkan Gus Idrus berusaha menyadarkan adiknya.
Tangis itu kembali pecah disaat Ummu Maryam tiba di dalam kamar. Ia melihat dengan kedua matanya sendiri keadaan putra bungsunya yang tak sadarkan diri dengan cairan bening masih menetes dari pelupuk mata sebelah kiri.
Abah Abdurrahman mendekap erat tubuh Amar, tanpa menunggu waktu lama Gus Idrus menggendong adiknya menuju mobil yang telah ia siapkan beberapa menit lalu.
Bertahanlah Amar, saya akan melakukan apa saja asalkan kamu sembuh.
***
Derap langkah terdengar ganjil. Tapak kaki beradu saling menyerang lantai. Terdengar pula suara kursi roda yang melaju membelah keramaian pada ruangan putih dengan bau khas obat-obatan. Kini, mereka telah sampai di sebuah gedung tua yang tak pernah sepi dari orang. Terlihat orang-orang yang lalu lalang bergiliran saling membuka dan menutup pintu bertuliskan instalasi gawat darurat.
Raut wajah panik terpatri dari Abah Abdurrahman dan Umma Maryam. Kedua tangan saling bertaut dengan bibir yang tak hentinya merapalkan doa untuk sang buah hati. Tasbih yang melingkar tidak berhenti bergulir digerakkan oleh sang empu seraya berzikir. Sedangkan Gus Idrus mondar-mandir seraya menunggu pria paruh baya dengan jas putih keluar dari ruangan. Ya Rabb, hanya satu pinta mereka, yakni kesembuhan Amar.
"Idrus." Pria itu menghampiri sang ibunda dan memeluknya. Berharap rahim kehidupannya itu sedikit tenang. Bagaimana bisa jika ini menyangkut nyawa dari salah satu putranya? Putra yang digadang-gadang akan meneruskan jejak abahnya dalam mengasuh pondok pesantren.
"Bi idznillah, Umma. Bismillah, serahkan semuanya kepada Allah." Gus Idrus mengelus punggung ummanya. Pria itu berusaha terlihat tegar, sebisa mungkin cairan bening itu tak jatuh membanjiri wajahnya.
"Bagaimana jika adikmu--" Dengan cepat Gus Idrus menggelengkan kepala. Ya, cairan itu luruh bersamaan dengan hatinya yang seperti disayat-saya ribuan silet. Hancur. Adik yang menjadi sumber kebahagiaan untuknya kini terbaring lemah dengan beberapa selang yang melekat di tubuhnya. Tidak, ia tak boleh lemah. Siapa yang akan menguatkan kedua orang tuanya jika ia sendiri lemah seperti ini?
"Umma tidak boleh berbicara seperti itu. Husnudzon ya, Umma. Bismillah, Adik akan baik-baik saja."Pria itu melerai pelukannya dari Umma Maryam. Gus Idrus menggenggam erat telapak tangan sang ibu, lalu mengelusnya dengan pelan.
Sementara beberapa meter di depan sana, sosok lain tengah berdiri seraya menundukkan kepala, salah satunya adalah Khalid. Mereka terdiam, membiarkan untuk orang itu saling menenangkan satu sama lain. Bukan ia tak peduli, terutama Khalid. Ia sangat peduli pada sahabat karibnya. Bahkan, mereka sudah menganggap Khalid seperti keluarga sendiri. Namun, ada saatnya di mana ia harus diam dan ada saatnya di mana ia harus bertindak.
Tak berselang lama, keluar pria paruh baya dengan memakai jas berwarna putih yang diikuti beberapa suster di belakangnya.
"Keluarga dari saudara Amar?" Suara dokter itu terdengar memecah keheningan. Sontak, semua mendongak, terutama Abah Abdurrahman.
"Iya benar, Dok. Bagaimana kondisi putra saya? Apakah baik-baik saja?" tanya wanita itu sesaat mendekat ke arah petugas medis.
"Alhamdulillah kondisi pasien berangsur-angsur membaik. Pasien hanya sedikit stres saja, hal itulah yang membuat kondisinya memburuk." Semua orang merapalkan hamdalah. Setidaknya, rasa cemas itu telah sedikit berkurang dari sebelumnya.
"Namun ...." Kalimat itu menggantung membuat semua orang menatap dengan raut wajah penasaran.
"Kenapa, Dok?"
"Pasien tidak bisa terus-menerus hidup dengan keadaan jantung yang tak sempurna. Jantung saudara Amar semakin hari semakin memburuk, hal itu yang dapat membahayakan nyawanya jika tidak ditangani lebih lanjut." Wanita itu kembali menangis ke dalam pelukan putra sulungnya. Seperti tak siap untuk kehilangan permata berharga dalam hidupnya.
" Astagfirullahalazim. Adakah cara agar adik saya bisa hidup selayaknya manusia normal biasanya?" Dokter itu mengangguk dengan menyimpan stetoskop miliknya ke dalam saku jas putih.
"Ada, caranya dengan transplantasi jantung."
"Lakukan apa saja yang penting putra saya sembuh dan kembali seperti sedia kala, Dok. Jika perlu ... ambil jantung saya." Pria paruh baya itu memecahkan suasana. Ucapannya penuh harap dengan menangkupkan telapak tangan di depan dadanya. Sontak, seluruh mata tertuju pada Abah Abdurrahman yang duduk tak berdaya di atas kursi roda.
"Saya mohon, Dok. Saya mohon." Kalimat itu yang diulang beberapa kali. Tak tega melihat itu semua, Khalid berjalan menuju arah Abah Abdurrahman dan memeluk beliau dari arah belakang. Dalam dekapan erat itu, memori tentang Amar kembali diputar. Kenangan yang selama ini ia jalani bersama-sama membuatnya tak kuasa menahan tangis. Ah, dapat dari manakah Khalid keberanian itu? Namun, sudahlah.
***
Di dalam ruangan yang dipenuhi dengan selang dan alat-alat medis, lantunan ayat suci Al-Quran kembali terdengar. Lembar demi selembar Abah Abdurrahman bacakan yang beliau peruntukkan demi kesembuhan sang putra. Tangan yang telah dimakan usia itu tak hentinya menggenggam erat telapak tangan Amar.
Aktivitasnya berhenti ketika jemari telunjuk Amar mulai bergerak. Tak lama, kelopak mata Amar mulai terbuka. Dengan lirih, pria itu memanggil-manggil nama ummanya. Terus, berulang-ulang sampai kelopak itu benar-benar terbuka lebar.
"Amar, Nak." Mereka tak dapat mendeskripsikan betapa bahagianya dikala Amar telah siumanan. Walau belum seratus persen sadar. Namun, setidaknya mereka lega mengetahui bahwa Amar baik-baik saja. Benarkah? Akankah ia seterusnya baik-baik saja?
"Cepat panggil dokter!" Titah itu tak bisa ditolak. Gus Idrus bergegas keluar. Sedangkan telapak tangan itu tidak berhenti membelai dahi Amar seraya merapal hamdalah begitu dalam.
Bersambung....
Pasuruan, 23 Januari 2023
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!