NovelToon NovelToon

Pernikahan Semu

BAB 01 - Penolakan

"Zahira, aku minta kamu jangan berharap lebih padaku, karena aku tidak akan pernah menyentuhmu sampai kapan pun. Asal kamu tahu, aku menikahimu karena kedua orang tuaku. Selain itu, aku juga sudah memiliki wanita yang sangat kucintai, dan aku tidak akan meninggalkannya hanya karena pernikahan bodoh ini,"

Ucapan Mas Fahri begitu tajam menghunjam hatiku. seketika, kebahagiaan yang kurasakan sejak beberapa hari terakhir hancur berkeping-keping.

Sikap Mas Fahri sudah seperti penolakan bagiku. Entah apa yang sedang dipikirkan pria itu tanpa mempertimbangkan perasaanku dulu sebelum melontarkan kalimat itu.

Air mataku mulai mengalir membasahi pipi. Dadaku sesak, hatiku terasa perih. Apalagi mendengar penuturan pria yang sudah berstatus suamiku itu menyebut wanita lain yang telah lama ia cintai.

Bahkan Mas Fahri berkata tidak akan meninggalkannya hanya karena pernikahan bodoh ini?

Huh!

Apa dia pikir aku sangat menginginkan pernikahan ini??

Aku pun begitu, jika bukan karena Mama dan Papa aku tidak akan mau menikah dengannya

Ya, aku memang bahagia saat aku tahu akan dijodohkan dengan Mas Fahri. Pemuda tampan dan pintar yang dulu adalah kakak kelasku di bangku SMA.

Dia adalah murid paling jenius yang selalu dibangga-banggakan oleh para guru. Bukan hanya guru, hampir seluruh murid, khususnya murid perempuan yang sangat mengidolakannya. Bahkan, banyak diantara mereka berkhayal ingin menjadi kekasihnya.

Jadi, kalian pasti mengertikan bagaimana perasaanku saat aku tahu akan dijodohkan dengan pemuda idola itu???

Bahagia pastinya. Namun, ternyata kejeniusan Mas Fahri hanyalah daya tariknya saja. Nyatanya dia adalah pemuda yang begitu egois. Berbicara kasar sesuka hatinya.

Aku dan Mas Fahri dipertemukan kembali oleh kedua orang tua kami setelah beberapa tahun kami tak pernah bertemu semenjak kelulusan SMA.

Mas Fahri meneruskan kuliahnya di luar kota, sedangkan aku mengambil kuliah di daerah terdekatku saja.

Orang tua Mas Fahri adalah seorang pebisnis sukses yang menggandeng beberapa perusahaan kecil seperti perusahaan milik papa.

Dari hubungan bisnis itulah, persahabatan antara kedua orang tua kami terjalin erat hingga rencana perjodohan antara aku dan Mas Fahri terucap.

Acara pernikahan kami digelar sangat meriah di salah satu gedung ternama di kota ini. Mas Fahri terlihat sangat tampan dengan setelan jas yang iakenakan. Tak hanya diriku, semua keluarga dan para tamu undangan sangat bahagia.

Namun, sepertinya tidak dengan Mas Fahri. senyum yang dia ulas sejak tadi di pesta ternyata hanyalah kepalsuan.

Bagaimana dia bisa membohongi dirinya sendiri?

Jika memang tidak setuju dengan pernikahan ini kenapa harus menerimanya?

Andai saja aku tahu isi hati dan pikirannya, aku juga tidak akan mau menerima perjodohan ini.

Salahku, karena terlalu senang sampai gegabah menerima. Andaikan aku berpikir terlebih dahulu atau memberinya waktu, aku pasti tidak akan kecewa seperti ini.

Malam ini adalah malam pertama kami. Bukannya bermadu kasih layaknya pasangan pengantin baru, kami berdua malah tidur terpisah dan saling memunggungi.

Aku tidur di ranjang sedangkan Mas Fahri memilih berbaring di sofa panjang yang terletak agak jauh dari ranjang tempatku tidur.

Kulirik wajah yang mulai terlelap itu dari kejauhan.

Bahkan, wajah dengan alis tebal itu masih nampak sangat menawan walaupun dia sedang tidur.

kembali aku teringat akan ucapan yang baru saja keluar dari mulutnya beberapa menit yang lalu.

isshhh!

Wajah tampanmu itu tak sesuai dengan mulut pedasmu Mas!

Andai saja sikapmu kepadaku tidak seperti tadi, akan sangat sempurna karena aku menjadi istrimu, Mas.

Tapi apa?

Aku adalah istri yang mendapatkan penolakan di saat biasanya suami paling bersemangat untuk memintanya.

Bagaimanapun, aku harus tetap kuat demi papa dan mamaku. Aku akan terus menjalani pernikahan ini walaupun perlakuan Mas Fahri nantinya akan lebih buruk dari ini.

Demi orang tuaku, aku harus bertahan.

*********************

Keesokan harinya.

"Pagi, Sayang," sapa Bu Yuni, ibu mertuaku sambil tersenyum ke arahku.

Ibu mertuaku itu sedang sibuk menyiapkan sarapan pagi dibantu oleh seorang asisten rumah tangga.

"Pagi Tante," sahutku.

"Koq Tante sih? panggil Bunda dong," protes Bu Yuni sedikit mengerucutkan bibir.

"Eh, iya. Pagi Bunda," Aku berjalan mendekat ke arahnya.

"Ada yang bisa Zahira bantu Bun?"

"Ooohh, nggak usah Sayang, ini sudah hampir selesai koq. Koq kamu sendirian? Fahri nya mana?" ucap Bu Yuni balik bertanya.

"Mas Fahri masih tidur Bun,"

"Hahaha! Fahri keenakan mungkin Bun, sampai jam segini belum juga bangung," celetuk Ayah mertuaku yang tiba-tiba muncul dari balik ruangan.

"Ayah, jangan buat Zahira malu dong," sahut Bu Yuni menanggapi celotehan suaminya.

Aku hanya tersenyum melihat kelakuan ayah dan ibu mertuaku ini.

Kedua orang tua ini tengah sibuk membayangkan hal yang sebaliknya yang telah kami lakukan. Tapi ya sudahlah.

"Yah, rumah baru untuk Fahri dan Zahira sudah siap kan?" tanya Bu Yuni mengawali pembicaraan lagi.

"Iya Bun, sudah siap. Hari ini juga sudah bisa ditempati," jawab Ayah.

"Zahira Sayang, Bunda titip Fahri ya. Bunda tahu Fahri itu sikapnya sedikit kasar, tapi dia anak yang sangat baik. jadi, Bunda harap kamu bisa merubahnya lebih baik lagi," pesan Bu Yuni kepadaku yang membuatku agak bingung.

"Merubah? Maksudnya apa Bun?" tanyaku langsung.

Wanita yang sedang duduk di hadapanku ini tertegun sesaat lalu menatap ke arah suaminya.

"Ceritakan saja Bun, Zahira berhak tahu tentang hal ini," ucap Ayah mertuaku yang semakin membuatku penasaran.

Ada apa ini?

Raut wajah Bu Yuni seketika berubah sendu. ada kekecewaan yang kutangkap di sana. Semakin dalam Bu Yuni menghela napas panjang dan menghembuskannya dengan sangat berat.

Bu Yuni tertunduk dan mulai bercerita.

BAB 02 - Rahasia Mas Fahri

Bu Yuni menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan. "Zahira, maafkan Ayah dan Bunda karena sudah menarikmu masuk ke dalam kehidupan Fahri," ucap ibu mertuaku mengawali cerita.

"Sebenarnya, sebelum rencana perjodohan kalian, Fahri sudah terlebih dahulu berencana menikah dengan kekasihnya. Namun, wanita itu pergi meninggalkan Fahri ke luar negeri dengan alasan belajar di sana," jelas Bu Yuni lagi.

"Maaf Bun, jika boleh tahu, kenapa Bunda dan Ayah malah menikahkan Mas Fahri denganku? Bukankah hal yang harus dilakukan Mas Fahri adalah menunggu hingga wanita itu menyelesaikan belajarnya di luar negeri dan kembali ke sini lagi?" sanggahku menanggapi cerita dari Bu Yuni.

Jika sudah tahu keinginan putra mereka, kenapa mereka malah menjodohkannya denganku?

"Bukan itu masalahnya, Sayang. Mereka berpisah bukan hanya berpisah tempat, tapi mereka benar-benar sudah tidak ada hubungan lagi. Wanita itu memutuskan Fahri sepihak. Tanpa menunggu pendapat Fahri, wanita itu sudah memutuskan hubungan dan pergi ke luar negeri," jelas Bu Yuni lagi.

"Berarti, Mas Fahri sudah mempersiapkan pernikahannya dengan wanita itu?" tanyaku mulai penasaran.

Aku teringat ucapan Mas Fahri tadi malam yang mengaku masih sangat mencintai wanita itu. Tapi, kenapa Ayah dan Bunda malah bercerita sebaliknya?

"Iya, kami sudah resmi melamar wanita itu. Bukan hanya itu, hampir semua persiapan termasuk undangan pernikahan sudah selesai dan siap. Namun, ketika beberapa hari menuju pernikahan, Arumi malah memutuskan semuanya,"

"Arumi? Apakah nama wanita itu Arumi?" tanyaku saat mendengar satu nama disebut oleh ibu mertuaku.

"Iya, namanya Arumi. Dia adalah teman Fahri saat kuliah dulu," terang Bu Yuni.

"Tapi kamu jangan berpikiran macam-macam dulu ya Sayang," ucap Bu Yuni sambil meraih tanganku.

Aku masih terdiam mencerna setiap kalimat yang diucapkan wanita yang ada di sampingku ini.

"Setelah kepergian Arumi, Fahri sangat sedih. Bisa dibilang Fahri depresi karena kekecewaan pada kekasih yang tiba-tiba memutuskannya," Bu Yuni kembali membuka suara.

"Seperti sudah hilang kendali, hampir tiap malam Fahri keluyuran dan jarang pulang. Hingga dia mengalami kecelakaan motor yang mengakibatkan separuh ingatannya hilang," Penjelasan Bu Yuni kali ini berhasil membuatku terperangah.

"Mas Fahri kehilangan ingatannya?"

"iya, Zahira. untuk beberapa memory dia masih ingat, namun jika tentang Arumi, dia masih terus merasa berhubungan baik dengannya," jelas Bu Yuni lagi yang membuatku semakin penasaran.

"Lalu? kenapa Mas Fahri mau dijodohkan denganku?" Akhirnya, aku berani mempertanyakan hal ini.

"Maafkan kami Zahira, kami berdua memaksanya karena kami tak ingin melihatnya terus menerus melamunkan Arumi yang tak kunjung datang," sahut Ayah ikut buka suara.

Hhhh, aku hanya bisa mendengus kecewa.

Kenapa harus aku yang menerima kesialan ini?

Jika saja mereka menceritakan semua ini sebelum meminta izin kepada orang tuaku, pasti kedua orang tuaku akan menolak lamaran mereka.

Tapi, mau bagaimana lagi?

Nasi sudah menjadi bubur. mengingat betapa bahagianya papa dan mama atas pernikahanku ini, membuatku kembali berpikir.

"Sayang, sekali lagi maafkan Ayah dan Bunda ya. Bunda tahu kamu gadis yang baik, makanya Bunda menginginkan kamu menjadi menantu Bunda," ucap Bu Yuni lagi sambil memelukku.

Aku masih terdiam, merasakan kegetiran hati setelah mengetahui kebenaran tentang suamiku yang sebenarnya.

Andai waktu bisa kuputar, aku ingin kembali di saat Mama dan Papa mengutarakan niat perjodohan ini, maka aku akan langsung menolaknya saat itu juga.

Tapi, mau bagaimana lagi?

Ya Allah, jika memang Mas Fahri benar-benar jodohku, dekatkanlah kami. Namun, jika sebaliknya, tunjukan jalan terbaik yang harus kupilih, batinku.

***

"Fahri, nanti siang pindahlah ke rumah baru yang sudah disiapkan Ayah untuk kalian," titah ayah kepada Mas Fahri.

"Jadi, setelah menikahkanku dengan wanita ini sekarang Ayah mengusirku?" sahut Mas Fahri sambil mendengus kesal.

"Bukan begitu Sayang, Ayah dan Bunda hanya ingin kamu hidup mandiri bersama istrimu," pungkas bunda menanggapi sikap Mas Fahri.

Ternyata, bukan hanya padaku saja Mas Fahri bersikap kasar. Tapi kepada kedua orang tuanya juga.

Hhhhh, percuma saja lulusan universitas ternama namun tidak berakhlak baik seperti ini. Andai saja kamu anak kecil, sudah kugetok kepalamu pakai sendok, Mas!

"Kenapa kamu melotot ke arahku? Hah?!" sentak Mas Fahri membalas tatapan mataku dengan tajam.

Aku terhenyak dan langsung menundukkan pandangan.

"Fahri." Dengan lirih, Bunda langsung menegur sikap anaknya.

"Kamu ini kenapa, pengantin baru koq hawanya pengen marah-marah terus?" celetuk Ayah di sela-sela mengunyah makanan.

"Ya, lagi kesal aja," sahut Mas Fahri sangat enteng.

"Kesal kenapa? Bukankah kalian sudah melewati malam tadi bersama?" goda Ayah lagi yang membuat wajah Mas Fahri semakin masam. Terlihat sekali Mas Fahri sangat kesal dengan gurauan Ayah.

"Aku akan pergi dulu," Mas Fahri beranjak berdiri meninggalkan meja makan.

"Diselesaikan dulu sarapannya, Fahri!" teriak bunda kepada Mas Fahri yang sudah berjalan cepat menuju luar rumah.

Aku hanya duduk tertegun sambil menghabiskan sarapanku perlahan. Melihat sikap kasar Mas Fahri membuat perutku langsung terasa kenyang.

"Anak itu kenapa semakin menjadi Bun?" keluh Ayah tentang sikap anaknya.

"Entahlah, Yah. Bunda juga sudah kehabisan akal," sahut Bunda.

Kenapa orang tua Mas Fahri begitu mencemaskan keadaannya?

Sedangkan Mas Fahri sendiri tidak ambil pusing dengan sikapnya kepada mereka.

Dan juga, apa maksud perkataan bunda tadi tentang memintaku agar bisa merubah sikap Mas Fahri?

Apa mungkin Mas Fahri mempunyai gangguan mental atau semacamnya?

Ya Allah ....

Sepertinya aku benar-benar sudah terjebak di tengah-tengah keluarga ini.

"Zahira Sayang, maafkan sikap Fahri ya. padahal, sikap Fahri dulu tidaklah seperti itu. Bunda harap Zahira bisa bertahan dengan Fahri ya," ucap Bunda kepadaku.

Aku hanya menanggapi ucapan ibu mertuaku itu dengan anggukan kepala.

"Yah, nanti siang paksa Fahri untuk mau pindah ke rumah baru. Bunda pengen Fahri mulai belajar mandiri bersama Zahira," ucap bunda lagi kepada Ayah.

"Iya, Iya Bund. Ini Ayah pergi ke kantor dulu," pamit ayah.

"Iya Yah." Bunda meraih tangan Ayah untuk menyalaminya.

"Zahira, Ayah berangkat kerja dulu ya. Kamu tidak usah memikirkan sikap Fahri tadi, Ayah yakin Fahri bisa menerimamu. Hanya saja, mungkin masih memerlukan waktu," jelas Ayah kepadaku sambil berpamitan.

"Iya Ayah," anggukku.

Ayah pun langsung berjalan melangkahkan kaki menuju keluar rumah.

*****

"Zahira!" teriak Mas Fahri dari luar rumah.

mendengar teriakan itu aku langsung berlari keluar. "Ada apa Mas?"

"Mana koper pakaianmu? kenapa kamu belum juga siap? bukankah Bunda tadi pagi sudah bilang kalau kita akan pindah ke rumah baru?" cecarnya tanpa basa-basi. membuat tekanan darahku turun seketika.

Padahal aku juga sudah mengemasi seluruh pakaianku ke dalam koper. Tinggal mengangkatnya saja ke sini, tak perlulah teriak-teriak macam orang kemalingan.

"koq malah bengong di situ ngapain?!" bentaknya lagi yang membuatku beringsut langsung masuk ke dalam rumah.

Rumah sedang sepi karena ayah dan ibu mertuaku sedang ada urusan di luar.

Aku langsung menuju kamar untuk mengambil koper pakaianku.

"lelet banget sih! Cepetan!" Mas Fahri terlihat mengacak pinggang di depan pintu sambil berulang kali mendengus kesal.

"Iya Iya, ini sudah cepet banget loh," Setengah berlari akhirnya aku berhasil berdiri di dekatnya.

"Ayo, cepetan!" titahnya lagi.

Aku pun berjalan mengekor di belakangnya. Namun, tiba-tiba terdengar suara handphone Mas Fahri berbunyi sehingga menghentikan langkahnya.

"Zahira, kamu duluan masuk mobil," titahnya lagi. Dan anehnya, kenapa aku terus saja mau menuruti perintahnya.

Aku terus melangkahkan kaki dan masuk ke dalam mobil. Aku bisa melihat pria itu berdiri sambil berteleponan di tempat yang tidak terlalu jauh dari tempatku saat ini.

Terlihat jelas Mas Fahri sedang tersenyum ceria dengan lawan bicaranya di telepon. "Iya, iya, Sayang. Tunggu aku di tempat biasa ya,"

Hah?

Sayang?

BAB 03 - Pindah Ke Rumah Baru

"Okey, Sayang. Aku akan tiba di sana sekitar lima belas menit lagi ya,"

Mas Fahri begitu lembut saat berbicara dengan seseorang yang sedang ditelponnya itu. Berbeda sekali saat bicara denganku.

Tapi, aku tidak salah dengar kan?

Sependengaranku Mas Fahri mulai tadi berkali-kali menyebut kata sayang.

Apa mungkin, yang sedang diteleponnya saat ini adalah Arumi?

Tapi, kata bunda tadi pagi, Arumi sedang di luan negeri kan?

Atau mungkin ada wanita lain lagi yang telah menjadi kekasih hati Mas Fahri?

Aaaaarrrghh!

Sabar Zahira, sabaar.

Jangan tersulut emosi hanya karena mas Fahri memanggil seseorang dengan sebutan Sayang.

Untuk apa juga membawa perasaanmu dalam pernikahan terpaksa ini.

Jangan sampai!

Kamu harus mengingat sikap pria itu kepadamu. Kamu menikah dengannya hanya karena ingin membahagiakan kedua orang tuamu. Tidak lebih!

Hatiku bermonolog untuk memberi kekuatan pada diriku sendiri.

'Bleb!'

Mas Fahri menutup pintu mobil. Pria dingin itu sudah duduk di kursi kemudi tepat di sampingku. Dia langsung menyalakan mesin mobil dan melajukannya dengan kecepatan sedang.

Tak ada percakapan. Tak ada kata-kata. Masing-masing kami saling terdiam dan membisu. Hingga mobil yang kami naiki perlahan berhenti di depan rumah minimalis yang sangat indah.

"Sudah sampai, turun," titahnya.

Tanpa menjawab, aku langsung membuka pintu mobil lalu turun. Dengan susah payah, aku mengangkat koper yang berisi pakaianku keluar dari bagasi mobil.

"Kamu ini lelet banget sih!" sentak Mas Fahri menarik kasar koper yang kubawa. Setengah kaget aku hanya menurut dan pasrah.

"Aku ini ada janji penting, kalau kamu kayak siput gitu bisa memperlambat waktuku," omelnya sambil berjalan menuju pintu rumah baru kami.

Aku masih terdiam, karena aku memang tidak ingin mencampuri urusannya.

Mas Fahri memutar kunci pintu dan membukanya dengan perlahan. "Masuklah," titahnya padaku yang langsung kuturuti.

Suasana rumah yang cukup indah dan bersih. Walaupun dalam kategori minimalis, tapi rumah ini terasa sangat mewah. Dibandingkan dengan rumah orang tuaku, pastinya.

Mas Fahri terus berjalan menuju dia pintu kamar yang saling berhadapan. "Zahira, kamu tidur di kamar sini, dan aku akan tidur di kamar sana," ucap Mas Fahri memberikan aba-aba.

"Maksdunya Mas? Bukankah kita suami istri? Apakah harus tidur di kamar yang terpisah?" protesku. Walaupun dia tidak mau menyentuhku, setidaknya tidur dalam satu kamar adalah hal yang wajar, walaupun masih tetap tidur secara terpisah seperti yang kami lakukan tadi malam.

"Tidak! Ini rumahku, dan kamu harus menuruti aturanku!" bantahnya.

Hhhhh, kasar sekali. Untung saja aku sudah menguatkan hatiku tadi. Jika tidak, aku pasti sudah nangis bombay karena ucapannya ini.

"Iya, baiklah," patuhku. Aku langsung membuka pintu kamar yang sudah ditunjukkan Mas Fahri untukku. Aku lalu menarik koper dan membawanya masuk ke dalam kamar.

"Lakukan apapun yang kamu mau. Tapi ingat, jangan pernah masuk ke dalam kamarku," perintah Mas Fahri lagi dengan nada penuh penekanan.

Memangnya kenapa?

Apa dia memelihara sesuatu yang aneh atau semacamnya?

Atau mungkin, dia sedang memelihara tuyul pesugihan?

Ahhhh, terserahlah!

Aku tidak menggubris ucapan pria itu lagi, dan malah menutup pintu kamar. Terdengar Mas Fahri melangkahkan kaki keluar rumah. Mungkin, dia akan pergi ke tempat pertemuannya dengan sayangnya yang diteleponnya tadi.

Terserahlah Mas, yang penting aku akan melaksanakan tugasku sebagai istri demi membahagiakan kedua orang tuaku.

***********

Malam hari tiba. Mas Fahri masih belum juga menampakkan batang hidungnya.

Aku berjalan menuju dapur untuk mencari sesuatu yang bisa mengganjal perutku. entah kenapa perutku terasa begitu lapar padahal tadi sore sebelum berangkat ke sini aku sudah makan di rumah mertua.

Langkahku terhenti di lemari pendingin pintu dua yang berada tak jauh dari meja makan. segera kubuka lemari pendingin itu, namun, tak kudapati apapun di dalamnya.

Hhhhh, Kulkas cuma bagus luarnya saja, tapi dalamnya, zonk!

Apa aku harus keluar cari bahan makanan?

Tapi aku harus naik apa?

Jika berjalan kaki rasanya pasti akan lama, mengingat jarak rumah ini cukup jauh dari pusat kota. sedangkan toko-toko kecil yang ada di sekitar sini pasti sudah tutup semua, karena saat ini sudah sangat malam.

Apa aku harus meminta bantuan kepada Iqbal saja ya? Aku yakin Iqbal mau menolongku.

Iqbal adalah sahabatku sejak kecil. Rumahnya tak jauh dari rumahku sehingga mulai kecil kami selalu melakukan sesuatu bersama-sama. Mulai dari main sampai menempuh pendidikan pun bersama-sama.

Dia adalah sahabat terbaikku, karena selalu ada di setiap waktu untukku. mulai dulu, tanpa pamrih dia selalu menolongku dalam setiap masalah yang ku hadapi.

Aku merogoh handphoneku dari saku celana lalu menghubungi kontak yang bertuliskan nama Iqbal Si Terbaik.

Panggilan pun tersambung. "Assalamu'alaikum Zahira," sapa Iqbal dari seberang telepon.

"Wa'alaikum salam Bal,"

"Ada apa Ra? Malam-malam koq nelpon?" tanyanya penasaran.

"Maaf mengganggu Bal. kamu lagi ngapain? bisa antar aku nggak?" sahutku langsung meminta bantuan kepada Iqbal.

"Nganterin ke mana? Kan kamu sudah punya suami sekarang. Kenapa masih ganggu aku sih?"

Ish! Iqbal ini kenapa? Tak biasanya dia menginterogasiku dulu jika aku meminta bantuan.

"Suamiku sibuk Bal, nggak bisa diganggu," Sibuk sama wanita lain, mungkin.

"Memangnya kamu di mana?" tanyanya lagi. Sepertinya dia bersedia mengantarku.

"Aku di rumah baru, agak jauh sih dari rumahmu,"

"Alamatnya di mana?" tanyanya lagi.

"Di jalan Melati blok Duren 100 Z,"

"Oohh, iya. Aku tahu alamat itu. Tunggu sebentar, aku akan ke sana," sahut Iqbal menyanggupi permintaanku.

selang beberapa menit, terdengar suara motor gede Iqbal menghampiri rumah yang kutinggali ini. mendengar suara itu aku langsung beranjak berdiri menuju pintu lalu keluar.

"Ra, ini rumah siapa?" tanya Iqbal saat aku sudah berdiri di samping motor yang dinaikinya

"Rumah suamiku Bal, aku sekarang tinggal di sini," terangku.

"Oooohh," Iqbal hanya mengangguk paham.

"Ini kamu mau diantar kemana?" tanyanya lagi.

"Ke supermarket yang masih buka, aku mau cari bahan dapur," jawabku.

"Bahan dapur?"

"Iya Iqbaaal, sudah, nggak usah banyak nanya ya," pungkasku.

"Iya, iya, naiklah," titahnya.

"Iya," Anggukku menuruti ucapan Iqbal dan langsung naik di jok belakangnya.

Di sepanjang perjalanan Iqbal banyak berbagi cerita. Dia menceritakan kegiatannya selama tugas di luar kota dan pengangkatan jabatannya di kantor tempatnya bekerja.

Sedang aku? Tak ada yang kuceritakan. Aku lebih memilih menjadi pendengar baik saja.

Sesekali Iqbal memancingku untuk membahas pernikahanku, namun aku tak begitu menanggapinya.

Beberapa menit berlalu akhirnya kami menemukan satu supermarket buka 24 jam yang terletak di tengah-tengah kota.

"Ayo Bal temani aku," Aku turun dari motor Iqbal dan langsung berjalan menuju pintu masuk. Iqbal terlihat berjalan mengekoriku dari belakang. Aku pun langsung saja memulai memilih barang dan bahan yang benar-benar kuperlukan.

kurang lebih satu jam, akhirnya aku mengakhiri petualanganku dari tiap sudut rak belanja yang ada di supermarket ini.

"Ra, masih lama kah? Aku dah ngantuk banget nih," Iqbal mendekatiku dengan wajah cemberut. Terlihat jelas dari matanya, dia sudah sangat kelelahan.

"Iya, ini sudah koq," Aku langsung berjalan ke kasir dengan troli yang penuh terisi.

Setelah pembayaran selesai, aku kembali diantar Iqbal pulang ke rumah Mas Fahri.

Tiba di depan rumah, Iqbal langsung berpamitan pulang.

Terlihat, mobil Mas Fahri sudah terparkir di tempatnya.

Sejak kapan Mas Fahri pulang?

Ada perasaan takut yang mengganjal di hatiku. Aku takut jika Mas Fahri akan marah kepadaku karena pulang terlalu larut.

Dengan sangat hati-hati, aku langsung melangkah masuk ke dalam rumah sambil menenteng beberapa kantong besar yang berisi barang belanjaan. Kuharap Mas Fahri sudah tertidur di kamarnya.

Melewati ruang tamu aku langsung menuju ke dapur untuk meletakkan barang belanjaan.

Dengan sangat pelan, aku membuka lemari pendingin dan memasukkan beberapa bahan dapur ke dalamnya.

"Dari mana kamu!?"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!