...*Bagi pembaca baru, sangat di sarankan untuk membaca novel Storge terlebih dahulu*...
...🍃🍃🍃🍃...
Nari di pilih menjadi anggota pengurus perpustakaan, tentu saja berita itu sangat cepat sampai kepada Alex. Tanpa berpikir panjang, dengan senang hati Alex menyerahkan diri kepada kepala sekolah, padahal sudah berkali-kali pak Simon membujuknya untuk bergabung menjadi pengurus perpustakaan dan tak sedikitpun Alex berniat mengabulkan permintaan sang kepala sekolah, saat itu.
"Ini menjadi tanda tanya besar lho Lex, kenapa kau tiba-tiba bersedia bergabung di perpustakaan??." Ujar pam Simon dengan logat bataknya.
"Yaaa...., pengen ngerasain aja pak, bentar lagi kan bakal ninggalin sekolah ini. Biar ada kenang-kenangan di perpustakaan, pak. Masa di lapangan basket terus."
"Bah...!!aku pikir kau tulus ingin bergabung Lex. Ternyata cuman mau main-main saja, tak usah lah!!," bersandar pada kursi yang sedang dia duduki, seraya melipat dua tangan di dada.
"Saya serius kok pak. Kan waktunya jadi banyak di perpustakaan, menambah ilmu pengetahuan juga, pak," penuh harap Alex mencoba meyakinkan pak Simon. Namun tetap saja hal ini sangat aneh bagi kepala sekolah itu.
Tapi setelah di telaah, pak Simon pun berucap"Oke lah. Tapi kau jangan main-main ya!!," ucap pak Simon."Kau harus bersedia membantu para guru dalam mengurus segala buku-buku yang baru masuk atau keluar dari perpustakaan."
"Dan juga, jaga kebersihan dan kerapian perpustakaan. Sayangi buku-buku berharga di sana!. Jangan sampai ada kotoran dan debu sedikitpun," sepasang netra pak Simon teratensi pada ujung jari kelingking, dia juga menunjukan isyarat itu pada Alex, menjadi sebuah penekanan.
Tak berhenti sampai di situ saja"Buku adalah jendela dunia Lex, kau tau itu kan??," tegasnya.
"Yang saya tau mbah Google lebih punya banyak pengetahuan pak," kesalnya, si Alex memberikan tanggapan asal-asalan.
"Hey...!!''Hardik pak Simon."Jangan kau sama kan dengan mesin pencarian otomatis itu. Pantas saja mata-mata kalian para anak muda sekarang sudah banyak berlensa minus dan plus bahkan silinder," kini jari telunjuk pria paruh baya itu menari-nari di depan wajah Alex"Belajar saja kalian lebih percaya kepada mbah Google itu dari pada buku."
"Apa kau tau Lex betapa berharganya buku dan kitab-kitab pada jaman dinasti Ming dan Qing??."
Alex menggeleng dengan cepat. Di otaknya kan hanya ada Nari dan bola basket"Entahlah pak, saya belum lahir di jaman itu."
Pak Simon mendengus, tapi kali ini kesabarannya tak setipis tisu"Orang-orang pada jaman itu menulis karya sastra dengan tangan mereka sendiri, bukan seperti manusia di jaman sekarang yang tinggal ketik-ketik saja di layar ponsel!!," terang pak Simon lagi. Begitu semangat guru yang satu ini jika membahas masalah buku, sontak Alex mundur satu langkah, sebab ada sedikir air terjun yang keluar dari mulutnya.
"Kau tau novel kisah tiga negara??."
"Enggak pak," jawab Alex spontan.
"Nah, coba kau cari di mbah Google mu itu, pasti sulit untuk mendapatkannya dan jelas di pertanyakan keasliannya."
"Waduh, panjang sekali penjelasannya pak. Dan otak saya benar-benar kusut untuk memahaminya pak."
Pak Simon menghela nafas panjang"Aku berlebihan menilai kau Lex."
Melihat pak Simon geleng-geleng kepala menatapnya, Alex hanya bisa tertawa.
"Sudahlah!!, kau bilang saja sama ibu Mona selaku ketua pengurus perpustakaan. Bahwa saya yang merekomendasikan kau."
"Siap pak," sahut Alex antusias.
"Yesss!!!Naria oh Naria, tunggu abang Alex yaa," teriaknya di dalam hatinya, sembari melangkah sesekali meloncat-loncat bahagia menuju perpustakaan.
...****************...
"Ayah punya resep baru!! sekarang di kedai kami juga menjual waffle dengan toping es krim."
Mendengar ucapan Arin, mulut Nari rasanya akan meneteskan air liur"Ayah kamu punya tangan ajaib ya Rin, pasti lembut banget waffle nya. Aduh!! es krim strowbery!!," imajinasi Nari bermain dengan bayangan waffle lembut di sertai lelehan es krim.
"Nanti sore mampir yuk, kamu ke toko bunga kan," ajak Arin.
"Aku nggak bisa, pulang sekolah di minta kasih cap buku-buku yang baru masuk ke perpustakaan," raut wajah Nari berubah sendu. Alih-alih sedih karena cowok, Nari lebih sedih karena nggak bisa mencicipi olahan terbaru ayah Arin.
"Cieee yang udah jadi anggota perpus,"goda Arin.
"Jangan usil dong, aku beneran kepikiran waffle itu. Jahat kamu Rin."
"Minta beliin sama kak Alex aja. Kan dia bisa nganterin ke perpustakaan, nanti," celetuk Arin.
Nari geleng-geleng"Nggak ah! aku nggak mau di bilang ngasih harapan palsu. Aku minta tolong bang Joen aja deh."
"Itu malah lebih bahaya Nari. Memangnya kamu bisa jamin para anggota perpustakaan nggak akan histeris, melihat abang kamu yang ganteng banget itu? kalo mereka sampai pingsan masal gimana??."
Nari memutar bola mata, jengah,"Hadehh, kamu jangan berlebihan. Jangan melihat buku dari sampulnya saja. Abang ku itu nggak sebaik yang kalian kira," ujar Nari lagi. Pesona Joen memang kadang-kadang nggak ada akhlaknya, namun para cewek-cewek nggak akan percaya kalo Nari cerita sifat asli nya si abang durjana nya itu.
"Kamu kan udah biasa Nar ketemu sama bang Joen. Lain ceritanya sama cewek-cewek lain, pesonanya nggak main-main meskipun sudah punya istri," ujar Arin lagi. Saat itu dia bersiap mengajak Nari ke kantin sebab bel tanda istirahat sudah berbunyi.
"Di bilangin nggak percaya!," tukas Nari.
"Lupain dulu masalah itu. Aku udah laper nih, kita makan ke kantin dulu ya," ujar Arin lagi.
To be continued...
Selamat membaca jangan lupa like fav dan komennya 🤗🤗🤗
Salam anak Borneo 🙏
Aron cemburu berat ketika melihat postingan Alex pada aplikasi gelembung hijau. Saudara kembarnya itu memasang foto nya bersama Nari. Terlihat hanya mereka berdua saja, padahal foto aslinya ada Arin juga di samping Alex. Demi kebaikan Alex dan Nari, maka Alex memangkas gambar Arin dalam bingkai mereka, ckckckck!!.
"Kurang ajar!! jadi kau ingin pamer padaku, hah!!?," gerutu Aron melempar ponsel tak bedosa itu ke tempat tidur. Beruntung nggak ke ubin, mama Daniza pasti akan menjitak kepalanya jika melakukan hal itu.
"Ck! mereka satu sekolah, tentu kesempatan Alex lebih besar dariku. Argh!!! gimana caranya biar mereka jauhan!?," Aron menggeram dalam kesal, memijat pelipisnya dan mulai berpikir keras.
Sementara Nari sedang berkemas di kelas dan bersiap melangkah ke Perpustakaan.
Alex udah nyampe duluan, tumpukan buku berukuran tebal dan tipis siap untuk dia takhlukan hari ini.
"Demi cinta ku pada Nari, aku paksain mencintai kalian juga!!"gumamnya berbicara dengan buku-buku yang silih berganti mendapatkan cap dari benda di tangannya.
"Lex..kamu sehat??"komentar bu Mona. Wanita ini ternyata memperhatikan tingkah Alex sedari tadi. Karena ini di perpustakaan, Mona jadi berpikiran yang tidak-tidak, apakah hantu di tempat itu sedang bertingkah? dengan mengganggu jiwa Alex misalnya??.
Alex Abraham, cowok yang dulunya pendiam dan cool itu berubah 180 derajat gara-gara sebuah rasa yang di sebut cinta. Sekarang pria dingin itu berubah menjadi pecicilan. Naei yang awalnya mengagumi Alex justru berbalik tak menyukainya lagi. Rasa manis itu perlahan berubah hambar karena Alex selalu mendekatinya, yang bagi Alex itu adalah usaha untuk mencuri hati sang pujaan hati. Karena Nari bukanlah tipe cewek yang suka di goda, rayuan dan gombalan Alex mengocok tenggorokan, hingga rasanya ingin muntah.
Dan di sini, tingkah pecicilan dan menyebalkan itu kambuh lagi, saat menyapa Nari di depan Perpustakaan.
"Hai manis, kita berjumpa lagi," senyum-senyum nggak jelas. Alis di adu turun naik. Bukannya terpesona Nari malah menahan tawa melihatnya.
"Alex, ngapain di sini?ini bukan lapangan basket," seperti biasa, senyum si manis bermata indah ini membuat jantung Alex dangdutan.
Meletakan jari telunjuk dan jempol di bawah dagu,"Nariaaaa, please! bisa di kurangin sedikit nggak??" aroma gombalan receh mulai tercium.
"Apanya yang di kurangin??" si nona muda ini belum mengerti dengan maksud ucapan Alex si raja gombal newbie.
"Jadi cewek jangan terlalu manis dong. Ntar aku nya kena diabetes, kamu nggak kasian sama aku?."
"Oh Tuhan ku yang maha pengasih dan maha penyayang! kamu beneran sakit Lex??," pekik bu Mona. Matanya yang berbingkai kacamata mendadak melotot seperti ingin meloncat keluar.
Nari mendadak malu, sebagai anggota baru kesan pertama yang ada pada dirinya adalah di gombalin Alex si penguasa di lapangan basket.
Menggaruk tengguk yang tak gatal"Hehe, saya sehat banget kok bu. Sehat bugar banget malal," jawabnya senyum-senyum nggak jelas.
Bu Mona masih menatap Alex penuh tanda tanya, sorot matanya berpindah menyoroti Nari"Kamu anggota baru kan?."
Nari mengangguk"Iya bu."
"Coba kau senyum!!'' perintah bu Mona.
"Eh? senyum bu??" dalam bingung Nari menelan saliva. Apakah syarat terakhir menjadi anggota pengurus perpustakaan adalah yang memiliki senyum paling manis??
"Iya, obu mau lihat senyum kamu," ulang bu Mona.
Dengan canggung Nari memaksakan diri untuk tersenyum. Bahkan dalam kecanggungan pun senyum gadis ini masih terlihat menawan.
Bu Mona menghela nafas dalam-dalam, pantas saja Alex yang normal menjadi aneh, rupanya hati pemuda itu sedang di gonjang-ganjingkan cinta.
"Bu, ini Nari udah senyum. Udah boleh ikutan stempelin bukunya nggak?."
"Oh, boleh. Tentu saja boleh. Ini kartu anggota kamu, di kalungin ya biar nggak ilang."
"Iya bu. Alex aku duluan ya," ujarnya berbalik kepada Alex.
"Tunggu Nar, aku juga anggota pengurus di sini. Kita satu team malah."
GLEKKK!!!! Nari memutar bola matanya menatap Alex.
"Eiyyy!!jangan di liatin begitu, kalau aku jantungan gimana Nar?? kamu harus tanggung jawab. Dengan jadi pacar aku, misalnya."
Kali ini gombalan receh Alex tak mendapat tanggapan. Nari mempercepat langkah, setidaknya hingga terlepas dari tatapan bu Mona.
Di sela-sela kesibukan, Nari berpose manis dengan memamerkan kartu anggota di lengan kanannya.
"Buku-buku berharga. Barkan aku menjagamu," tulis Nari beserta potret dirinya pasa pembaharuan status aplikasi gelembung hijau.
Berbeda dengan Alex. Dia curi-curi selca bersama Nari. Mengunggahnya ke akun media sosial dan itu jelas mengundang emosi Aron kembali.
"Oh!, kalian sama-sama jadi staf perpustakaan," gumamnya kesal.
"Alex!! lama-lama makin nyebelin!," sentak Aron memukul udara.
Melihat putranya menekuk wajah tanpa berkata apa-apa, mamah Daniza merasa khawatir"Ron, kamu kenapa nak? jangan uring-uringan begitu, ayo erita sama mamah. Siapa tau mamah bisa bantu."
"Alex tu mah. Makin getol deketin Nari. Mentang-mentang satu sekolah sama Nari pamer foto bareng terus. Sekarang mereka jadi staf perpustakaan, mah."
"Ya berarti itu rejekinya Alex. Kok kamu sewot sih sama saudara sendiri. Kalian itu saudara kembar, jangan bertikai hanya karena perempuan," Daniza merasa lucu saat melihat Aron cemburu.
"Cari gadis lain aja ya Ron. Banyak kan cewek cantik di sekolah kamu," tambah Daniza.
"Nggak ada ada yang pas di hati mah. Lagian pada belagu cewek-ceweknya. Nggak kaya Nari yang humble sama semua orang."
"Belum ketemu aja, kamu sabar dong, sayang."
"Nggak!!Aron mau nya Nari. Mamah bujuk Alex aja deh cari cewek lain. Ngalah kek sama saudara," kini Aron merengek seperti anak kecil pada sang mama.
Daniza hanya bisa terus tersenyum dengan tingkah Aron"Waktu begitu cepat berlalu, nggak terasa kalian udah besar," gumam Daniza masih tersenyum.
...****************...
Sudah berhari-hari sejak terakhir kali Andrea memberi kabar tentang kesembuhannya yang hampir sempurna. Jung semakin nggak sabar ingin segera bertemu. Kerinduannya pada gadis cantik itu udah sangat mendalam.
"Bae, kau mau jalan-jalan nggak? bagaimana jika kita ke taman kota?," dengan wajah gembulnya Bae hanya cuap-cuap nggak jelas di panggkuan Jung.
"Ghin, gendongannya mana? aku mau ngajak Bae jalan-jalan."
"Kemana bang?," tanya Ghina lagi.
"Ntar di kira orang anak kamu bang!! Nonono!," dengan tegas Joen menolak.
"Pelit amat sih Joen. Ayolah Joen, aku bosan di rumah terus. Kita ke taman kota kek!, belanja-belanja kek!, pokoknya jalan-jalan deh," celoteh Jung panjang lebar.
Setelah berpikir sejenak, Joen sepakat dengan saran Jung"Kamu yang gendong Bae ya!! tu bocah berat banget!!."
PLETOK!! sentilan jemari telunjuk Ghina mendarat di kening Joen"Itu anak kamu mas! bagus dong kalo bobotnya naih terus. Kenapa kamu mengeluh??."
"Enggak! bu...bukan begitu, sayang," cicit Joen memegangi kening. Ghina melengos kesal dengan tatapan tajam pada Joen.
"Huh, papah kamu memang somplak Bae. Kamu sama ayah Jung aja!," Jung bergegas membawa Bae turun.
"Eh!! eh!! .bajunya di ganti dulu bang! Jumper papahnya tuh,'' seru Ghina.
"Aku aja yang gantiin bajunya, kalian buruan siap-siap."
Jung mengambil baju yang di berikan Ghina untuk Bae"Hohoho, kita jalan-jalan Baee!!," ucapan Jung di balas tawa renyah si baby rock and roll.
"Ngomong-ngomong ada kabar terbaru Andrea nggak??."
Jung berhenti tertawa, teringat sang kekasih hati yang jauh di mata seketika memangkah kebahagiaannya saat itu. Joen emang paling pandai membuat hati Jung ketar-ketir.
"Assh!!" punggung Joen tersengat cubitan Ghina.
"Nggak berperasaan," sentak Ghina"Maaf ya bang, lidahnya abis makan cabe, jadi ngomongnya pedas nggak berakhlak," Ghina berujar.
"Hehehe, its ok. Ayah yakin sentar lagi bunda Andrea bakal pulang, ya Bae?!," Jung kembali tersenyum menekan-nekan pipi empuk Bae.
"Anak aku!!" pekik Joen kesal"Itu Om ya Bae, bukan Ayah!."
"Nggak dengar!! Bae nggak dengar," Jung membawa kabur Bae yang sudah selesai berpakaian.
"Biarin saja, sayang," ujar Ghina sambil merapikan pakaian Joen.
"Ayah!! ayah!! Kamu mau punya dua suami?."
"Sayang! itu cuman kebiasaan bang Jung. Bae juga kalo di bilang ada ayah Jung langsung bereaksi. Cemburunya di kondisikan dong."
"Uluh-uluh, suami aku yang tampan jangan marah dong," Ghina menggoda Joen yang berwajah kesal.
"Aku yang ngidam kok, dia enak-enak di panggil Ayah." Ghina masih tertawa ketika Joen menyusul Jung dan Bae.
Memang beginilah cara mereka mengungkapkan rasa kasih sayang antar saudara. Dengan ejekan bahkan hinaan, bahkan penyiksaan yang sering mereka lakukan kepada Nari.
Di ruang tamu Bae beralih ke gendongan Nyonya Sook. Masih dengan kesal Joen melewati mereka.
"Hei!! hei!! ini si Bae kenapa di lewatin doang?," sindir Nyonya Sook.
"Ayah nya tuh di pojokan!," seru Joen kesal menunjuk Jung dengan mulutnya.
''Hahah, suka-suka aku. Biarin nah, hari ini dia jadi supir yang bakal mengantar kemanapun kami mau. Iya kan Bae?."
Joen makin kesal mendengar gelak tawa Bae yang menanggapi ucapan Jung.
"Ugh!!itu made in Joen!! bukan made in Jung!," gerutunya menuju mobil.
Tak berapa lama Ghina pun turun dan bersiap mengambil Bae dari gendongan sang nenek. Namun sepertinya sama seperti Jung, hari ini Bae merasa lebih nyaman jika bersama Jung. Dengan gelak tawa mengulurkan tangan kepada Jung ketimbang menerima uluran tangan Ghina.
"Sudahlah, Ghina. Hari ini kalian kencan aja, biar Bae sama aku," ucap Jung.
Nyonya Sook merasa senang namun juga sedih. Seharusnya sekarang Jung juga sudah menimang momongan"Semoga kamu cepat kembali Andrea"bisik hatinya.
Beberapa pasang mata memperhatikan Jung dan Bae yang berjalan-jalan di sepanjang sungai pinggiran kota. Jelas mereka memuji visual dua kelaki beda dekade itu.
"Omo!! ganteng sekali, mana namanya?," seorang ibu-ibu nggak bisa menahan rasa gemesnya terhadap Bae. Dengan rambut coklat lebat dan pipi merah yang gembul, Bae sukses menyihir para pengunjung lainnya.
"Namanya Bae Nyonya," sahut Jung.
"Berdua saja, mana ibu nya?," tanyanya lagi. Akh! Jelas saja orang akan menanyakan pasangan Jung namun dengan santai Jung menjawab..
"Lagi di luar negeri, sedang ada kerjaan."
Di tempat yang tak jauh, Joen dan Ghina benar-benar seperti sepasang kekasih yang sedang berkencan
"Aueeyy!lihat gaya nya itu. Bae juga menyebalkan hari ini.ckckckck!" Joen memandang mereka penuh rasa iri dengki dan rasa cemburu.
"Sabarrr,.kita nikmati saja waktu kencan kita," Ghina menyapu pandangan ke setiap stan makanan dan jajan yang tersedia di pinggir jalan.
"Wisata jajanan ringan yuk."
"Jangan yang pedas!"pinta Joen.
"Siap pak boss!!"
Kalau sudah urusan wisata jajanan, Ghina akan tersenyum manis dengan mata melengkung bahagia. Lidahnya sudah lebih dulu mengecap rasa apa yang akan memanjakan lidahnya hari ini. Waktu makan sudah di mulai!!!
To be continued.
~~♡♡happy reading.jangan lupa like dan komen ^,^
Salam anak Borneo.
Jung sangat cekatan dalam memperlakukan Bae. Dia menjelma menjadi sosok Ayah yang sangat baik terhadap Bae. Dengan sebuah gendongan yang menghadap ke depan pria itu terlihat leluasa membawa bayi gembul itu berkeliling, menikmati suasana sore yang cerah.
"Pak Jung!!!," panggil seseorang. Pemuda berperawakan sedang berlari ke arah Jung.
"Wuiiii, udah nikah sama Andrea pak??, ini anak nya, ya??," Riko memandang gemas kepada Baby Bae yang begitu lucu.
"Terserah kamu mau bilang apa," jawab Jung sekenanya. Keberangkatan Andrea ke luar negeri sudah menjadi rahasia umum, pertanyaan Riko sungguh melelahkan jika harus di jawab.
"Heheheh, ya molly pak. Don't be angry," Riko cengengesan sembari meminta maaf dengan bahasa gaul, untung saja Jung mengerti dengan ucapan dan bahasa campur sari Riko ini"Begini pak, kebetulan kita bertemu di sini, saya mau nanya masalah pelajaran."
Jung menatap sekeliling, kebetulan ada sebuah kursi panjang yang kosong"Ikut saya!," ujarnya tegas.
"Pak, mukanya jangan tegang dong. Nggak cocok sama bapak," celetuk Riko cengengesan.
"Huh, mau saya pelintir lidah kamu??," ancam Jung. Namun Riko yang memang sudah tau betul dengan watak Jung, tak merasa takut mendengar ancaman sang dosen. Dia pasti hanya menggertaknya saja.
"Hehehe, memangnya lidah sapi pak pake di pelintirin segala."
"Yang bilang lidah sapi siapa?? kalau begitu secara nggak langsung kamu mengaku sapi dong," kali ini Jung balas mengejek Riko.
Yah!! kena kan. Riko tersenyum masa"Iya ya pak, akh! saya kalah deh," sahut Riko lagi sambil bersandar di kursi panjang itu.
Setelah riko memperlihatkan tugas nya pada Jung,"Wahahahhaha, nggak bisa begini! kamu harus menuliskan 20 puisi cinta karya para sastrawan dengan tanganmu sendiri. Jangan lupa hiasan hiasan menariknya ya!."
"Di bingkai pak?."
Jung mengangguk.
"Tapi kemaren bapak nggak bilang di bingkai!."
"Tapi saya bilang di frame, bukan?."
Kedua alis Riko terangkat naik, dengan pasrah Riko mengangguk"Iya sih pak."
"Tapi pak, masa 20?, bukanya bapak bilang kemarin cuman 8," elak Riko lagi.
"Lagipula, apa salahnya di print begini? kan lebih rapi Pak."
Jung menggeleng pasti di sertai seringai mencemooh Riko"Karena lidah sapimu itu aku menambahkan 12 puisi lagi. Dan juga aku sudah bilang kan kemarin, TULISKAN!!bukan PRINTKAN!. Kamu atau aku sih yang jadi dosen di sini?."
"Waahhh saya nggak percaya ini," Riko tertunduk lemas"Ayolah pak, berikan saya kemudahan," manik pemuda ini berkaca-kaca, nampaknya akan segera turun hujan air mata.
Namun, air mata buaya yang akan luruh dari kedua mata Riko, tak menyentuh relung hati Jung sama sekali"Itu sudah mudah. Awalnya aku hendak meminta kalian merangkum puisi puisi itu menjadi sebuah makalah yang tertata rapi, lengkap dengan penciptanya, dengan dekorasi yang sangat bagus, dengan embel-embel yang menyiratkan kecintaan kalian pada sosok pencipta dari puisi tersebut" Jung berhenti sejenak untuk menarik napas"Yah...seperti album kenangan." Tanpa perasaan Jung mengutarakan niat awalnya memberikan tugas untuk para mahasiswanya.
"Cukup Pak, baiklah. Saya pamit diri saja."
Wajah masam Riko sebuah pemandangan indah bagi Jung"Riko, informasikan kepada yang lain ya. Tugasnya di tulis tangan, oke!?," kedipan mata yang meledek itu, menambah kekesalan dalam diri Riko.
"Wajah sama cara kerja bapak sangat bertolak belakang. Diam-diam bapak berharap terlalu banyak dari kami pak," keluh Riko sembari mengemasi lembaran-lembaran tugasnya.
"Oh iya, cuma mau ngingetin. Besok pagi jam 7 kelas kita akan di mulai. Saya janji nggak akan terlambat lho," lagi dan lagi, senyuman yang sangat menawan Jung pamerkan di hadapan Riko. Juga lambaian tangan montok Bae kepada Riko sebagai pertanda perpisahan mereka. Dosen itu bahkan masih tersenyum meski sudah cukup jauh meninggalkan Riko.
Pandangan Riko hampa. Dia hanya bisa menatap kepergian dosen idola di kampusnya itu. Seandainya dia nggak menanyakan tugas itu kepada Jung, sepertinya dia nggak akan menginap di warnet malam ini. Ckckcck!
...****************...
Ghina begitu senang menikmati makanan yang dengan lancar masuk ke dalam mulutnya.
"Nyam-nyam!!, habis ini aku mau makanan yang di sana," belum habis sate kerang di hadapannya, dia sudah menginginkan bakso bakar yang di jual pedagang sebelah.
"Oke, tapi hati-hati sakit perut, sayang. Kalau Bae cerewet nanti malam terus kamunya juga ikutan cerewet, kalian berdua aku usir ke balkon, bobo sambil berkemah di balkon."
"Heh!!," tatap Ghina tajam"Memangnya kamu tega?."
"Iya dong. Papah Joen harus tegas sama anak dan istri," sahut Joen dengan senyuman.
"Papah Joen memang tega. Tapi Ayah Jung pasti nggak akan rela melihat Bae yang bulat seperti guling itu bobo di luar kamar."
Ghina mengurai tawa"Kalau nggak bisa bersikap kejam, jangan memaksakan diri, sayang," ujar Ghina manja.
"Ya!, ya! kamu pasti tahu aku nggak akan tega melakukan hal itu," sahut Joen menekan hidung kecil sang istri.
"Kalian baru jadian ya. Kalian mesra sekali, jadi ingat masa muda kakek dulu," ujar kakek si penjual sate kerang.
"Bukan baru jadian kek kami ---."
"Iya nih kek, anak ingusan ini baru saya takhlukan seminggu yang lalu," Joen menatap nakal Ghina. Sedangkah Ghina mengerutkan kening menatap Joen.
"Beruntung kamu nak, dia gadis yang cantik. Meskipun gadis ini bertubuh mungil tapi dia sangat manis dan menggemaskan."
Joen mengulum bibirnya menahan tawa.
Sedangkan ghina manyun-manyun mendengar ocehan sang kakek"Terimakasih atas pujiannya kek," ujar Ghina masih melahap sate kerang. Ada sedikit rasa kesal sebab si kakek menerka mereka adalah pasangan muda-mudi yang belum terikat tali pernikahan. Apakah dia sekecil itu hingga di kira masih remaja? hello!! dia sudah jadi seorang ibu!!.
Joen menahan nyeri di ujung jemari kakinya, sebab sepatu flat Ghina menginjak kakinya tanpa perasaan.
"Sakit sayang," bisik Joen.
"Aku kan kecil. Injakan ujung kakiku nggak akan sesakit itu kali, sayang," Ghina balas mengejek sang suami.
"Alamak," pekik Joen lagi.
Setelah selesai di stan kerang Ghina bergeser ke stan bakso bakar"Waahhh....pedasnya menggoda sekali."
Telunjuk Ghina pun menari kesana dan kemari memilih makanan gurih dan pedas kesukaanya.
Joen menggelengkan kepala"Ckckck, kemana perginya makanan itu?, tubuhnya kecil mini begini."
"Terserah mau bilang apa." Dia melirik ke sana kemari lagi.
"Kyaaa!! ada cendol."
Mendengar kata cendol, Joen pun mengikuti arah pandang sang istri. Demi apa? mereka menemukan penjual cendol di tempat ini, minuman kesukaan Joen.
Setelah menyantap habis bakso bakar and friends, Ghina berjalan ke stan yang menjual bermacam minuman tradisional nusantara.
"Bang Jung memang The Best, nggak salah dia mengajak kita untuk jalan-jalan ke sini. Di sinilah surga makanan," pekiknya dengan mengapit lengan kekar Joen.
"Oh Tuhan, aku nggak menyangka gadis yang baru jadian dengan ku ini begitu rakus," goda Joen menenteng es cendol di dalam plastik, layaknya kemasan es cekek.
"Bukankan kamu harus jaga image di hadapan pacar baru kamu ini??".
"Hehe, Oppa mianhae, pesona mu kalah sama makanan yang menggiurkan ini."
"Oh, kalau begitu pesonamu kalah sama es cekek cendol ini dong."
Serta merta Ghina memberengut, dirinya di samakan dengan cendol?? ck! dasar Joen!.
Joen kembali terkekeh"Pelan-pelan minumnya, aku nggak akan minta minuman kamu kok, sayang. Habis ini kamu mau makan yang mana lagi??," sempat cemberut karena ocehan Joen, Ghina kembali tersenyum senang ketika Joen menawarkan makanan lain.
"Tahu begini, aku akan ajak kamu sering-sering ke sini dari dulu, sayang," Jemari Joen membantu menyelipkan rambut Ghina yang menutupi tepi wajahnya.
"Kamu sih, sibuk kerja terus."
"Iya maaf, aku kerja kan untuk kamu dan Bae juga. Ini poninya udah mulai panjang, sudah masuk ke mata lho, sayang."
Ghina mengukur rambut depannya yang memang sudah mulai panjang itu, menyampirkan ke samping. Sedangkan Joen tersenyum gemas hanya karena melihat tingkah Ghina, seperti bocah.
Lelaki di hadapannya ini bagaikan malaikat. Mengangkatnya dari lubang penderitaan dan memandikannya dengan kebahagiaan.
"Janji ya lain kali ke sini lagi," kedipan manja dari kedua mata Ghina semakin mengundang tawa Joen.
"Mbak pacar kelilipan ya?," godaan Joen di sambut sikap manis dan manja Ghina.
Ghina memukul pelan lengan Joen"Ish!! mas pacar bisa aja."
"Aku sudah kenyang, duduk di sana ya sama Bae dan bang Jung."
"Berangkat!!," Penuh kasih Joen membelai pucuk kepala Ghina dan menggengam jemarinya berjalan menghampiri sang buah hati.
Belum apa-apa Bae sudah punya banyak Fans. Beberapa gadis muda bergantian mengajaknya bercanda dan membuatnya tertawa. Entah memang gemes dengan Bae atau alibi hendak mendekati Jung, yang pasti dua lelaki itu menjadi idola di pinggir sungai sore ini.
To be continued....
Selamat membaca jangan lupa like fav dan komennya 🤗🤗🤗
Salam anak Borneo.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!