"Apa?" seketika amplop coklat yang berada di tangan Dara terjatuh saat menerima telepon dari tetangganya. Baru saja dia pergi dari rumah untuk mencari pekerjaan, tiba-tiba mendapat kabar ibunya terjatuh di halaman dan tidak bisa bergerak lagi.
"Tolong jagain ibuku sebentar ya, Tan. Aku akan segera pulang." pinta Dara yang kemudian langsung menutup panggilannya.
Dara mengedarkan pandangan berharap ada tukang ojek atau angkot yang lewat ke arah rumahnya. Tetapi sepertinya keberuntungan sedang tidak berpihak, tidak ada satupun angkot atau tukang ojek yang lewat.
Mau naik taksi tapi ongkos yang dia punya tidak cukup, mau jalan kaki juga jaraknya terlalu jauh, Dara sungguh gelisah memikirkan bagaimana keadaan ibunya.
Tin! Tin!
Sebuah mobil honda jazz merah tiba-tiba berhenti di hadapan Dara, dia mengernyit siapakah pemilik mobil tersebut? Apakah sebuah taksi online? Tapi Dara tidak memesan karena ongkosnya tidak akan cukup.
Perlahan kaca mobil terbuka dan memperlihatkan seorang wanita cantik tengah duduk dibalik kemudi.
"Hai, Dara! Kamu mau kemana?" sapa wanita tersebut.
Dara mengernyit heran kenapa wanita tersebut mengenalnya, "Maaf siapa ya?" ucapnya tak enak hati.
Wanita yang ada di dalam mobil tergelak, "Ya ampun Dara, masa kamu lupa sama aku sih? Aku Shyna, Margareth Shyna, teman SMA kamu."
Netra Dara terbelalak begitu mengingat sosok wanita cantik itu. Dia membekap mulutnya sendiri, "Sh-Shyna?"
Shyna mengangguk sambil tersenyum, "Masuk! Biar aku antar ke tempat tujuan kamu."
Sebenarnya Dara tidak enak hati jika merepotkan orang lain, tapi keadaan saat ini cukup genting dan membuatnya harus segera tiba dirumah.
Sontak Dara mengangguk dan masuk ke dalam mobil. "Kebetulan banget aku ketemu kamu, Na. Aku harus segera pulang, aku baru dapat kabar ibuku jatuh."
Shyna terbelalak dan segera menancap mobilnya. Sepanjang perjalanan mereka tidak banyak bicara karena tegang memikirkan bagaimana keadaan ibunya Dara.
Tak lama kemudian mobil yang mereka tumpangi berhenti di halaman rumah yang sederhana, terlihat ada beberapa warga sedang mengelilingi seorang ibu yang tergeletak di dipan teras rumah.
"Ibu!" seru Dara sambil keluar dari mobil dan berlari ke arah kumpulan para tetangganya. "Bu, Ibu." panggilnya seraya mengusap wajah sang ibu yang masih sadar, namun badannya terlihat kaku.
"Dda-Dara," panggil ibunya dengan suara yang tergagap dan hampir tidak jelas.
"Ibu kenapa? Mana yang sakit?" tanya Dara begitu panik.
Saat yang bersamaan Shyna bergabung juga, dia menatap pilu keadaan ibunya Dara.
"Dari, kita bawa ibumu ke rumah sakit saja ya." celetuk Shyna memberi saran.
"Tapi aku nggak ada uang untuk biaya rumah sakit, Na."
"Itu urusan gampang, keselamatan ibumu lebih penting."
Dara berfikir sejenak, hingga akhirnya dia mengangguk setuju. Dia meminta bantuan para tetangganya untuk menggotong sang ibu ke mobil Shyna.
Dara merupakan anak tunggal dan hanya tinggal bersama ibunya, ayahnya pergi dari rumah sejak Dara masih kecil. Dia bahkan tidak tahu seperti apa wajah sang ayah.
"Terimakasih banyak ya Om, Tante," ucap Dara kepada para tetangganya yang sudah mau menolong sang ibu. Dia kemudian naik di bangku belakang sambil memangku kepala ibunya.
Shyna kembali mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi, "Ibu kamu ada riwayat jantung apa gimana, Dar?" tanya Shyna sambil terus fokus mengemudi.
"Nggak kok, Na. Hanya darah tinggi yang kadang suka kumat."
Shyna mengangguk paham, mungkin itu akibat dari darah tinggi juga. Beruntung rumah Dara cukup dekat dengan rumah sakit, sehingga tidak butuh waktu lama.
Begitu tiba Shyna langsung keluar mobil dan berlari meminta bantuan para perawat yang sedang berjaga. "Sus, tolong ibu temanku jatuh dan tidak bisa bergerak lagi!"
Seruan Shyna sontak membuat para perawat yang berjaga bergerak cepat, ada yang mengambil brankar, ada juga yang memanggil dokter.
Ibu Nisa alias ibunya Dara langsung dibawa ke UGD untuk ditangani. "Ibu yang sabar, ya. Nanti pasti sembuh." ucap Dara menatap ibunya dengan pilu.
Terlihat Bu Nisa ingin mengatakan sesuatu tapi sangat kesusahan, netra Dara langsung berkaca-kaca melihat keadaan ibunya yang tak berdaya.
Dara terduduk lemas di kursi tunggu selama ibunya ditangani, Shyna hanya bisa mengusap punggung teman lamanya itu, agar Dara bisa lebih tenang.
Klek!
Dara langsung berdiri begitu melihat dokter keluar dari ruang IGD. "Dokter, bagaimana keadaan ibu saya, Dok?"
Sang Dokter menghela nafas, "Ibu Nisa mengalami stroke, dan dia harus dirawat secara intensif disini."
Seketika tubuh Dara terasa lemas begitu mendengar keadaan ibunya. "Ibu saya masih bisa sembuh kan, Dok?"
"Bisa, tapi butuh waktu yang cukup lama. Bu Nisa harus menjalani beberapa fisioterapi jika selama dirawat di sini tidak menunjukkan perubahan."
"Kami boleh masuk, Dok?" Sambung Shyna yang ingin melihat keadaan ibunya Dara.
"Nanti saja, setelah pasien dipindahkan ke ruang rawat." Pungkasnya kemudian pamit pergi.
Saat yang bersamaan pintu ruang UGD kembali terbuka dan Bu Nisa keluar dengan didorong oleh para perawat. Dara dan Shyna langsung mengikuti kemana Bu Nisa akan di rawat.
"Sus, tolong bawa ke ruangan yang nyaman saja ya!" Pinta Shyna saat melihat suster sedang mengedarkan pandangan akan dibawa kemana pasiennya itu.
Dara terbelalak, "Na! Aku nggak punya uang, kenapa kamu malah minta ruangan yang nyaman?" Bisiknya.
Shyna mengibaskan tangannya, "Sudah tenang saja, itu urusanku."
Dara menghela nafas, entah beruntung atau apes namanya dia bertemu dengan Shyna. Dia beruntung karena ibunya bisa ditangani dengan baik, tapi merasa apes juga karena jadi memiliki hutang.
Setelah tiba di ruang rawat kelas medium, para suster pamit keluar. Tersisa Dara dan Shyna di ruangan tersebut menemani Bu Nisa yang hanya bisa mengerjapkan matanya.
Bu Nisa sudah tidak bisa mengucap lagi, padahal tadi saat dirumah masih bisa memanggil putrinya. "Ibu kenapa? Haus? Lapar?" Tanya Dara mengartikan pandangan sang ibu.
Terlihat Bu Nisa mengangguk, beruntung saat itu perawat kembali masuk dengan membawakan jatah makan untuk pasien.
Dara segera menyuapi ibunya, walaupun butuh waktu yang sangat lama, karena Bu Nisa kesusahan untuk membuka mulut dan mengunyah.
Setelah cukup kenyang, Bu Nisa terlelap, beliau tidak bisa minum obat, sehingga obatnya hanya melalui cairan yang disuntikkan ke infus.
"Huh! Aku harus cari uang kemana untuk pengobatan ibu?" Gumam Dara seraya menghempaskan tubuh di sofa tepat di samping Shyna.
"Kamu nggak usah khawatir, Ra."
"Nggak Shyna, sudah cukup dari dulu aku merepotkan kamu. Masa sekarang juga harus merepotkan lagi? Lagi pula biaya pengobatan ini tidak sedikit, Na."
Shyna menghela nafas, dia tahu jika Dara itu anaknya tidak enakan, tak heran setelah lulus SMA Dara seperti menjauhinya.
Tak!
Shyna memetik jarinya, "Kalau begitu kamu kerja di tempat papahku saja." Ucapnya memberi solusi.
Dara mengernyit, bisnis papah Shyna cukup banyak, dia tidak tahu pekerjaan mana yang ditawarkan oleh Shyna itu.
"Maksud kamu aku harus kerja kantoran? Kamu kan tahu aku harus jagain ibu."
Shyna menggeleng pelan, "Aku tahu pekerjaan yang pas untukmu dan bisa menemani ibu disini juga."
"Apa?"
"Caddy" Sahut Shyna seraya menarik turunkan kedua alisnya.
Dara menautkan kedua alisnya. "Caddy? Maksud kamu aku jadi pelayan para bos besar yang main golf itu?"
Shyna mengangguk, "Jadi caddy tidak terlalu dituntut jam kerja, Ra. Kamu bisa memilih shift yang berapa jam, dan yang paling penting, tipsnya besar Ra."
Dara menggaruk kepalanya, dia sedikit ragu dengan pekerjaan tersebut. "Tapi aku kan nggak ada pengalaman tentang golf, Na."
"Nanti aku kasih tahu, aku akan bawa rekaman para caddy yang sedang bekerja nanti. Gimana?"
****
Dara menghela nafas, sebuah pilihan yang cukup sulit sebenarnya. Dia tidak begitu tertarik untuk menjadi caddy alias pramugolf. Selain Dara tidak begitu paham sistem permainan golf, seorang caddy kerap kali dipandang sebelah mata bagi sebagian orang.
Tapi, saat ini dia membutuhkan banyak uang untuk pengobatan ibunya. Tidak mungkin juga dia akan merepotkan Shyna terus, meskipun Shyna sendiri tidak keberatan.
Bagi Shyna mengeluarkan uang untuk pengobatan Bu Nisa sangatlah mudah, bahkan uang bulanan Shyna dari sang ayah melebihi biaya pengobatan ibunya Dara itu.
"Baiklah, aku terima tawaranmu itu." Pungkas Dara memberikan keputusan.
Shyna tersenyum dan memeluk sahabat lamanya itu, sejak lulus SMA Dara memang sengaja menjauhi Shyna. Karena Dara tidak ingin berhutang budi terlalu banyak terhadap Shyna dan keluarganya.
Namun sepertinya Tuhan masih mempercayakan Shyna dan keluarganya sebagai perantara untuk menolong Dara dan ibunya.
Jadi meskipun Dara sudah menghindar, bahkan sampai pindah rumah sekalipun, dia tetap dipertemukan dengan Shyna.
"Oke, sekarang aku pulang dulu untuk mengambil rekamannya. Nanti aku kembali lagi sekaligus membawa seragam caddy yang harus kamu gunakan saat bekerja nantinya."
Dara menganggukan kepalanya, " Terima kasih banyak ya, Na. Lagi-lagi aku merepotkan kamu."
"Nggak,Ra. Aku nggak pernah merasa direpotkan, justru aku merasa senang karena bisa membantu. Paling tidak uang jajanku sedikit berguna, bukan cuma untuk shopping."
Mereka berdua tergelak, akhirnya Shyna pamit kepada Bu Nisa yang masih terbaring kaku di ranjang pesakitan.
Dara menatap punggung Shyna yang menghilang di balik pintu. Dia menarik sudut bibirnya.
"Lihat, Bu. Kita merepotkan si anak sultan kembali. Tapi ibu tenang saja, karena kali ini Dara tidak akan menerima bantuan Shyna dengan cuma-cuma. Ibu nggak keberatan 'kan jika Dara harus bekerja sebagai pelayan di klub golf milik papahnya Shyna?"
Bu Nisa hanya mengerjap-ngerjapkan netranya dan sedikit menganggukan kepala. Dara tersenyum dan langsung memeluk satu-satunya keluarga yang dia tahu itu.
Dibalik pelukannya sebenarnya Dara tengah menangis, dia tidak menduga ibunya harus terbaring tak berdaya seperti ini.
'Ini semua gara-gara Bapa. Coba saja Bapa tidak meninggalkan kami, Ibu tidak akan kepikiran dan punya riwayat darah tinggi. Awas saja kalau aku ketemu Bapa, aku tidak akan memaafkannya.'
Dara membatin seraya mengepalkan tangannya, dia benar-benar marah dengan keadaan saat ini.
Dara merawat Bu Nisa dengan telaten di ruangan yang begitu nyaman itu. Bagi orang sekelas Dara, jika dirawat dirumah sakit palingan akan dimasukan ke ruangan kelas tiga alias satu kamar rame-rame.
Dia berdecak kagum menatap ruang rawat yang lebih mirip kamar hotel. "Ini baru kelas medium, bagaimana kelas VVIP?" Gumamnya seraya geleng-geleng kepala.
Sore harinya Shyna benar-benar kembali datang dengan membawa barang-barang yang sudah janjikan pada Dara.
Saat dia datang Bu Nisa sedang terlelap, sehingga Shyna memelankan suaranya. "Hai, Ra. Ini coba kamu pakai dulu, pas apa nggak? Ukuranmu masih sama denganku 'kan?"
Shyna menatap tubuh Dara yang memang masih sama, hanya bagian dada dan belakang yang sepertinya bertambah volume.
"Wuh, ternyata kamu jauh lebih seksi dari aku." Goda Shyna sambil mengedipkan satu netranya.
"Ish, genit amat sih kamu." Sungut Dara seraya melempar buah jeruk yang tergeletak di nakas.
Beruntung Shyna bisa langsung menangkapnya. Meskipun Dara mengenakan pakaian tertutup, tetapi tubuh seksinya tetap terlihat.
"Udah, buruan sana dicoba dulu, kan nggak mungkin juga besok harus membenarkan ukuran sebelum bekerja?"
Dara terbelalak, "Besok? Maksud kamu aku sudah mulai bekerja besok?"
Shyna tersenyum seraya menaik turunkan kedua alisnya. "Aku sudah bilang sama Papah, kata Papah kamu bisa langsung mulai kerja besok."
Dara semakin terkejut, "Please deh, Na. Aku bahkan belum tahu sistem kerjanya, masa sudah main diterima saja? Nggak ada acara melamar pekerjaan atau interview kek paling tidak untuk formalitas."
Shyna menggelengkan kepalanya, "Nggak perlu, Na. Papah kan sudah tau kamu, secara fisik kamu sudah sangat memenuhi standar sebagai seorang Caddy, masalah skill bisa diasah sambil jalan katanya."
Dara menggaruk kepalanya, jujur dia bingung harus merasa bangga atau tidak memiliki tubuh yang proporsional seperti itu. Dengan tinggi badan 165cm, kulit putih bersih bahkan berat badan selalu ideal meskipun pola makannya sering berantakan.
Tubuh macam Dara itu begitu mudah untuk masuk dunia semacam Caddy, permodelan atau bahkan pramugari sekalipun.
Namun sayangnya Dara tidak tertarik dengan pekerjaan yang terkesan menjual fisik seperti itu. Dia lebih suka pekerjaan kantoran dan semacamnya, hanya saja kondisinya yang hanya lulusan SMA cukup sulit mendapatkan pekerjaan impiannya itu.
Meskipun sebenarnya Dara termasuk kategori cerdas, tetapi rival dalam mencari pekerjaan kebanyakan memiliki title, jadi Dara sudah kalah satu langkah dengan mereka.
Melihat Dara yang masih berdiam diri sembari menatap paperbag berisi seragam kerjanya besok, membuat Shyna geregetan dan akhirnya menyeret Dara ke kamar mandi.
"Eh, Na. Kamu apa-apaan sih?" Protes Dara sambil melepaskan cengkeraman Shyna.
"Lah kamu disuruh nyobain baju malah bengong aja, gimana sih?"
Dara melenggang ke tempat duduk, "Nggak perlu dicoba lah, ukurannya sudah pas sama kamu 'kan?" Melihat Shyna mengangguk membuat Dara semakin yakin. "Ya udah berarti pas juga di badanku, ngapain dicoba lagi?"
Shyna tertegun, tapi dia tak ingin berdebat dengan Dara hanya karena masalah baju saja, akhirnya dia mengiyakan saja.
"Ya udah terserah kamu aja deh," Shyna beralih mengambil ponselnya dan membuka rekaman yang sudah sempat dia salin dari dokumen tentang cara kerja pramugolf.
"Ini, lihat baik-baik cara kerja mereka." Ucap Shyna seraya menyodorkan ponselnya.
Dara terbelalak saat melihat seorang caddy yang sedang menyetir. "Lah, aku harus bisa nyetir mobil juga?"
"Ini bukan mobil seperti pada umumnya, Ra. Buggy car alias mobil golf ini cuma dikendarai di lapangan, asal bisa mengatur gas dan rem kamu sudah bisa mengelilingi lapangan mengajak tuan kamu menikmati pemandangan yang ada."
Nyali Dara semakin ciut, dia bahkan tidak bisa mengendarai motor matic sekalipun. "Duh, Na. Kayaknya aku bakalan mundur aja deh."
"Dara! Kamu jangan membuat papahku marah ya, nama kamu sudah dimasukkan daftar kerja besok, dan besok kamu sudah harus menemani tuanmu bersama salah satu senior."
Dara membulatkan netranya hingga nyaris terlepas dari tempatnya. Kini dia tidak mungkin mundur lagi, mau tidak mau dia harus mencoba dan menjalani tugas sebagai seorang caddy besok.
Hanya masalah menyetir buggy yang memberatkan Dara, jika membawakan tas atau sekedar memungut bola baginya cukup mudah.
"Na, tolong jagain ibu bentar ya. Aku mau browsing tentang golf dulu, jadi butuh konsentrasi penuh."
"Dih, lebay kamu mah, kaya mau ujian aja."
Dara meringis menunjukkan deretan gigi putihnya, dia kemudian duduk sambil memperhatikan video yang sudah berhasil dia unduh.
Hampir satu jam Dara menonton permainan golf, bukannya paham dia malah jadi pusing. "Gimana, Ra? Udah paham?"
Dara menggeleng lemah, kemudian menyandarkan kepalanya. Dia pasrah untuk hari pertama kerja besok.
****
"Ra, bangun!" Seru Shyna seraya mengguncangkan tubuh sahabatnya itu. Setelah browsing tentang permainan golf, Dara tertidur hingga pagi.
Shyna terpaksa harus menginap di rumah sakit, untuk berjaga-jaga jika sewaktu-waktu Bu Nisa butuh sesuatu. Dia tidak tega membangunkan Dara yang terlihat begitu lelah dan lelap.
Lagipula Shyna malah senang, dia jadi punya kegiatan. Biasanya pekerjaannya hanya main dan shopping setiap hari, itulah mengapa dia suka bergaul dengan Dara.
Shyna jadi mengerti arti kehidupan jika sering bersama dengan Dara, semenjak Dara menjauhinya pasca lulus SMA, Shyna yang rajin kembali berubah menjadi malas dan tidak menghargai waktu.
Itu juga salah satu alasan bagi Tuan Robert tidak perlu pikir panjang, saat Shyna merekomendasikan Dara untuk bekerja di klub golf miliknya.
Berkat Dara, putri kesayangannya perlahan memiliki sifat yang manusiawi, tidak semena- mena seperti sebelumnya.
Dara menggeliat dan mengucek netranya saat tidur lelapnya merasa terganggu. "Apa sih, Na? Kalau kamu juga ngantuk tinggal tidur aja."
Hooam!
Shyna geleng-geleng kepala melihat Dara yang masih terlihat mengantuk, padahal sudah cukup tidur.
"Woy, lihat sudah jam berapa?" Shyna kembali berseru seraya menyodorkan layar ponselnya yang menunjukkan pukul tujuh pagi.
Dara mengernyit seraya menatap lekat layar ponsel tersebut, sontak dia terbelalak. "Hah? Ini sudah jam tujuh pagi, Na?"
Shyna menganggukan kepala, dan kamu hanya memiliki waktu satu jam untuk bersiap dan sampai di klub.
Dara benar-benar tidak menyangka dirinya bisa ketiduran selama itu, bahkan dia belum sempat makan malam kemarin.
"Kenapa kamu baru bangunin aku sih, Na?" Keluh Dara seraya bangkit dan menuju kamar mandi.
Dara mandi dengan kecepatan kilat, "Aduh, aku nggak bawa baju ganti lagi. Gimana dong, Na?" Keluh Dara dari balik pintu kamar mandi, hanya kepalanya yang sedikit disembulkan keluar.
"Wah, aku juga nggak bawa, Ra. Kan aku juga belum pulang dari kemarin." Shyna tiba-tiba teringat sesuatu, dia segera mengambil paper bag yang tergeletak di ujung sofa.
Shyna menyodorkan paper bag tersebut, "Langsung pakai seragam kerja saja, jadi disana nggak perlu ganti baju lagi kan?"
Dara mengacungkan jari telunjuknya tanda setuju, daripada harus memakai pakaian yang sudah dibawa tidur semalaman, lebih baik langsung pakai baju kerja bukan?
Dara langsung meraih paper bag, "Thanks, Na," Ucapnya seraya kembali menutup pintu kamar mandi.
Shyna menghela nafas, Dara yang terburu-buru, dia yang ikutan engap.
"Aaahhh! Shyna!"
Shyna terkejut, baru saja dia akan kembali duduk disamping Bu Nisa, tiba-tiba terdengar teriakan Dara yang cukup memekakan telinga, padahal kondisinya sedang berada di dalam kamar mandi.
Bagaimana jika Dara sedang di depan Shyna? Mungkin telinga Shyna langsung berdengung karena saking kerasnya teriakan sahabatnya itu.
Shyna sontak menerobos masuk ke kamar mandi, kebetulan Dara lupa untuk kembali menguncinya. "Ada apa sih, Ra?" Shyna mengernyit saat melihat Dara sedang berdiri di pojokan sambil menutupi tubuhnya dengan handuk rumah sakit yang baru saja dia gunakan.
"Kamu nggak salah ini seragam untuk kerja?" Dara menyingkirkan handuk yang digunakan untuk menutupi tubuh, dengan ragu-ragu.
Sebuah dress putih dengan kancing hidup full di bagian depan, terlihat begitu pas di tubuh Dara. Dengan panjang sepuluh senti meter diatas lutut membuat Dara semakin terlihat seksi.
Apalagi bagian depan dan belakang Dara memang sudah seksi, dengan mengenakan dress tersebut tentu saja membuat mata para pria langsung tertuju kesana.
Shyna mengernyit, "Ya, itu memang seragam para caddy di club golf papahku. Kenapa kamu terkejut begitu?"
Dara geleng-geleng kepala tidak percaya, "Kamu jangan coba-coba menjebakku Shyna, aku masih ingat betul seragam caddy di tempat papah kamu. Dulu kan kita sering main ke club kalau pulang sekolah."
Shyna tergelak, "Ya ampun, Dara. Itu berapa tahun yang lalu? Bahkan club golf saja sudah mengalahkan berbagai perubahan, tentu seragam juga sudah dua sampai tiga kali ganti."
Dara masih menatap Shyna penuh selidik, hal itu membuat Shyna geregetan dan segera mengambil ponselnya yang berada di tas.
"Nih, kamu lihat kan? Ini foto keluargaku bersama semua para caddy. Masih nggak percaya?"
Dara terbelalak, "Kenapa kamu tadi saat memberikan rekaman para caddy yang bekerja masih menggunakan seragam lama?"
Shyna menghembus kasar, memiliki teman yang sangat kritis memang terkadang menguras energi untuk menjelaskan segala sesuatu dengan detail.
Akhirnya Shyna harus sabar menerangkan bahwa rekaman tersebut memang rekaman lama, masa iya harus merekam setiap kali ada pergantian seragam?
Dara mengangguk paham, "Ya sudah buruan make-up, nanti kamu semakin terlambat. Klien hari adalah orang-orang yang sangat berpengaruh di club, jadi tolong jangan mencari masalah."
"Ah, kamu belum apa-apa sudah bikin aku takut, Na." Keluh Andara. Mereka berbicara sambil keluar dari kamar mandi, lantas Dara segera menguncir rambut panjangnya dan mengenakan topi seragam.
Tidak lupa dia memakai sepatu yang Shyna bawakan juga, semua seragam di berikan cuma-cuma oleh Tuan Robert. Padahal kalau orang yang benar-benar melamar kerja sebagai caddy, harus membayar uang seragam dengan memotong gaji pertama mereka.
"Aku berangkat dulu ya, Na. Nitip ibu sebentar." Ucap Dara sambil meraih tas selempangnya.
"Eh, tunggu-tunggu!"
Dara yang sudah berjalan sampai depan pintu kembali menoleh, "Apa lagi sih, Na? Nanti aku telat, ini hari pertamaku kerja."
Shyna berjalan mendekati Dara dan memperhatikan wajah sahabatnya itu, "Kamu yakin akan seperti ini dalam bekerja?"
Dara mengernyit, dia menatap pakaian serta sepatu yang dia kenakan. "Shyna, kan tadi kamu sendiri yang bilang katanya sekarang seragamnya begini. Kenapa malah balik tanya?"
Shyna semakin geregatan, dia segera menarik tangan Dara agar kembali duduk di sofa. Shyna mengambil tasnya dan mengeluarkan peralatan make-up yang selalu ada di tasnya.
Dara menahan tangan Shyna yang sudah siap membuat wajahnya sedikit berbeda. "Kamu mau ngapain, Na? Kamu tau sendiri kan aku nggak suka begituan?"
"Ini bukan waktunya melakukan sesuatu yang kamu suka Andara Chikita. Jadi caddy sudah pasti dituntut tampil cantik dan menarik."
Shyna tetap melanjutkan aktivitasnya untuk memoles wajah sahabat yang paling kritis itu. Mendengar ucapan Shyna, Dara akhirnya pasrah.
Meskipun dia merasa risih setiap kali wajahnya menggunakan make-up, dia terbiasa hanya menggunakan pembersih dan pelembab muka, selebihnya dibiarkan terlihat natural.
"Nah, kalau begini kan lebih enak dipandang mata." Gumam Shyna merasa puas dengan hasil karyanya di wajah Dara.
Dara segera meraih cermin kecil yang tergeletak di tas make-up Shyna. Dia tercengang melihat pantulan dirinya di cermin.
"Na, ini beneran aku?"
Shyna tersenyum dan mengangguk pelan, "Gimana? Suka kan? Kamu tenang aja, aku nggak mungkin membuatmu terlihat menor seperti ondel-ondel. Cukup flawless aja biar lebih fresh."
Dara ikut tersenyum dan mengangguk setuju, "Thanks, Na. Baru kali ini aku suka melihat wajahku di poles."
Shyna tergelak, "Udah, sana berangkat. Ini ongkos buat naik taksi, nggak mungkin kan kamu pakai begituan naik angkot?"
Dara segera meraih uang tersebut, terimakasih Shyna cantik. Kini Dara menghampiri ibunya yang masih betah dialam mimpi.
"Bu, Dara berangkat kerja dulu ya. Do'a ini Dara semoga bisa bekerja dengan baik dan bisa bayar pengobatan Ibu."
Netranya mulai berkaca-kaca, tak ingin membuat karya Shyna menjadi rusak karena air matanya, Dara segera beralih melambaikan tangan pada Shyna, kemudian melenggang pergi.
****
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!