NovelToon NovelToon

Terjerat Murid Vampir

Pemuda Bermata Merah

Skotlandia, 2023.

Bel sudah berbunyi sejak lima menit yang lalu, tetapi hal itu tidak menunjukan adanya tanda-tanda kelas ini akan hening. Semua siswa yang ada di dalam terlihat sibuk dengan kegiatan masing-masing, hingga suasana di sana sangat ramai seperti pasar.

Hingga...

Terdengar suara yang berasal dari pintu kelas yang terbuka, dan sebuah penggaris kayu yang dipukulkan ke papan tulis.

"Hei-hei kalian ini! Apa kalian pikir masih bisa main-main ketika kelas dimulai? Bel sudah berbunyi sejak tadi, cepat duduk!"

Seorang wanita dengan rambut yang dibiarkan terikat rapi dan kacamata tebal datang memasuki ruang kelas. Semua murid tahu, namanya Zeline Hallensa. Guru muda mata pelajaran matematika yang berusia dua puluh enam tahun.

"Kau yang di baris ketiga, kursimu diputar lima belas derajat ke kanan! Dan pakaianmu! Ada apa dengan dasimu! Perbaiki itu! Dan kau! Aku bilang jangan letakkan botol minum di dekat jendela! Berkonsentrasi pada studi kalian!"

Para murid serentak menjawab, "Y-ya, Miss. Zeline..."

Seperti biasa, sebelum memulai mengajar Zeline memperhatikan murid-muridnya sampai semuanya diam dan tenang. Semua murid berwajah tegang karena dia benar-benar sangat pemarah. Guru super killer.

Ck, Guru Matematika mulai lagi.

Menyebalkan sekali.

Wanita itu benar-benar sedang marah, mungkin dia sedang datang bulan atau semacamnya.

Bagaimana dia bisa menikah jika selalu marah-marah seperti itu.

Semua pria pasti ketakutan dibuatnya.

Aku sedang tidak ingin belajar! Kenapa dia tidak mati saj──

Sebuah kapur mendarat tepat pada kening seorang siswa.

"Akh!"

"Diam! Bukankah aku sudah memberitahu supaya tidak berbicara di kelas!" omel Zeline dengan meledak-ledak, rasa sabarnya sudah naik ke ubun-ubun.

"Ta-tapi aku tidak berbicara," protes siswa itu bingung, menelan saliva karena takut dengan sang guru killer.

Zeline menaikkan kacamatanya dengan jari telunjuk, "Tahu 'kan, apa hukumannya?"

Siswa itu menganggu, tidak bersuara lagi. Terlalu menakutkan untuk kembali protes. Dia sudah mengerti sekali bagaimana guru killer itu dengan cerdiknya memberi hukuman yang membuat murid kapok.

Me-menakutkan... Apa guru matematika bisa mendengar pikiran? Aku tidak akan mengumpatnya di dalam hati lagi, pikir siswa itu takut-takut.

Bibir mungil yang dipoles lipstik merah muda tersenyum tipis.

Pernahkah salah satu dari kalian berpikir untuk bisa mendengar pikiran? Jika kalian memiliki kemampuan super itu pasti akan merasa keren karena dapat mengintip isi kepala semua orang, mengetahui jawaban ulangan, dan mengetahui banyak rahasia lainnya.

Pasti kebanyakan orang menganggap seseorang yang dapat membaca pikiran di luar nalar, mengingat dunia yang ditinggali adalah realita, bukan dunia imajinasi yang bisa dikarang sesuka hati.

Aneh, bukan?

Namun siapa sangka, bahwa Zeline benar-benar memiliki kemampuan mendengar pikiran. Dia tidak harus menatap lawan bicaranya untuk mengetahui isi hatinya mereka. Semua isi kepala orang yang berada dalam jangkauannya, semua cemoohan, semua kegembiraan, semua kebencian, semua kesediaan mereka seolah-olah berbisik di telinganya.

Di saat yang bersamaan, hal yang dianggap luar biasa ini, Zeline terkesan biasa saja dan juga sering kali risih sendiri.

Mengapa demikian? karena Zeline tidak hanya bisa mendengar pikiran baik, tapi juga bisa mendengar pikiran buruk. Yang dapat menyakiti hatinya.

Jadi jika kalian bisa mendengar pikiran seseorang. Kalian pasti bisa mengetahui segala hal buruk juga.

Dan Zeline merasa kesulitan dengan pengetahuan itu.

"Benar-benar tidak nyaman," gumam Zeline dengan menghela napas.

Ding Dong

Tidak terasa, bel berakhirnya pelajaran berbunyi nyaring. Waktu yang ditunggu para murid setelah berkutat dengan rumus matematika yang membuat pusing.

"Baiklah, kita akhiri pembelajaran hari ini. Silakan istirahat," ucap Zeline sebelum beranjak keluar kelas. Dia sempat mendengar betapa gembiranya para murid setelahnya.

Ketika berjalan menyelusuri koridor sekolah, Zeline berpikir apa yang membuat murid-muridnya bahagia.

Pacaran?

Dia tidak tertarik.

Para pria yang ditemuinya sejauh ini, semuanya memiliki kesamaan. Begitu menjijikan dan cukup membuat merinding dengan segala pikiran mesum. Jangan heran jika Zeline belum pernah berkencan dengan siapapun selama ini.

Wanita itu seolah-olah sedang berjalan di garis yang bagus, karena dia hanya perduli dengan hidupnya.

Dugh. Suara dentuman bahu dan kepala terdengar cukup keras. Zeline tidak sengaja menabrak seseorang karena terlalu berkutat dengan pikirannya. Buku-buku yang dipegangnya terjatuh.

Aduh, kepalaku sakit. Apa aku menabrak tembok?

Zeline mengusap keningnya yang terasa sakit, lalu dengan cepat mendongak.

"Maafkan aku."

Zeline membeku detik itu juga. Hal yang pertama kali dia lihat adalah manik berwarna merah menyala yang menatapnya tajam, milik seorang pemuda tinggi dengan rambut hitam tebal.

"Sial," desis pemuda itu, lalu pergi begitu saja.

Zeline masih terdiam, mulutnya ternganga karena apa yang dikatakan pemuda itu. Dan semakin dibuat terkejut dengan isi pikiran yang didengarnya.

Lapar, lapar, lapar.

Aku butuh darah.

Aku ingin minum darah.

Harus mengigit seseorang.

Zeline langsung berbalik untuk melihat pemuda itu, tapi sudah tidak terlihat lagi. Dia merasa bulu kuduknya meremang, jantungnya pun ikut berpacu makin kencang.

"Si-siapa dia? Pikiran menyeramkan apa tadi?" gumam Zeline dengan wajah yang memucat.

Sontak Zeline mengambil buku-bukunya yang terjatuh di lantai koridor, secara impulsif dia mengikuti pemuda itu.

Meskipun takut namun Zeline memberanikan diri. Dirinya tidak mungkin membiarkan orang yang berbahaya berkeliaran di sekolah.

Lapar. Darah. Darah.

Kembali mendengar pikiran yang membuatnya merinding. Zeline melihat si pemuda berambut hitam yang berbelok di ujung koridor.

"...line!"

"Miss. Zeline!"

Zeline melemparkan pandangan pada seseorang yang memanggilnya. Langkahnya berhenti.

"Aku tidak akan bermain ponsel lagi saat belajar. Kembalikan ponselku, Miss," ujar seorang siswi yang mengejar Zeline untuk meminta ponsel yang telah disita.

"Aku akan mengembalikan ponselmu ketika orang tuamu datang," Zeline berucap tegas.

Ayolah, ini bukan saatnya untuk berurusan dengan murid bandel.

"Kembalikan ponselku!" siswi itu menaikan nada suaranya.

Dahi Zeline mengeryit. Menghadapi murid yang keras kepala memang membutuhkan kesabaran. Sabar adalah kunci utama yang dipegang oleh guru.

"Tidak. Kau tahu sendiri, bukan? Untuk membawa ponsel ke sekolah saja dilarang."

"Tapi itu ponsel mahal. Bagaimana jika ponselku rusak atau hilang? Kau tidak mungkin bisa menggantinya meski dengan gajimu!"

Guru Matematika bangsat. Dia kira, dia siapa?

Namun, ada kalanya seorang guru tidak sabar dengan murid yang tidak mempunyai sopan santun.

Ok, lupakan pemuda bermata merah, ada sesuatu yang lebih penting sekarang.

**

Hari ini adalah hari Kamis, cuacanya nampak cerah.

Zeline memasuki ruang guru dengan langkah gontai, dan langsung menyadarkan punggungnya pada kursi. Terdengar helaan napas. Lelah.

"Kau terlihat lelah," tukas seorang wanita berambut pendek, guru sastra yang seumuran Zeline──Jenifer Miskha.

Dia adalah teman sekelas Zeline di kampus. Keduanya telah berteman selama bertahun-tahun dan merupakan rekan seperjuangan dengan cita-cita akademis yang sama.

"Tidak ada hari aku tidak lelah," jawab Zeline sambil memijit pangkal hidungnya, agak pening.

"Kupikir itu akan menjadi cara terbaik mengatur suasana hati. Kamu tahu, seperti berkencan?" ujar Jenifer memberi solusi.

Zeline menghela napas yang kedua kalinya, "Tidak membantu sama sekali."

Jenifer tersenyum dan menggelengkan kepala beberapa kali, "Kau salah. Bagaimana bisa kau berkata tidak jika belum pernah berkencan?"

Memilih tidak menjawab. Zeline memutar bola mata. Ayolah, dia lelah bukan karena membutuhkan pelukan dari seorang pria. Bosan saja, ketika semua orang mengatakan dia harus berkencan.

Seperti aku akan mati saja jika tidak berkencan, gerutu Zeline di dalam hati.

"Miss. Zeline, hari ini ada murid baru di kelasmu. Aku melihatnya di ruang wakil kepala sekolah," ucap guru lain.

"Ya, sebelumnya aku sudah diberitahu," sahut Zeline seraya mengeluarkan buku materi mengajarnya, bersiap-siap karena sebentar lagi bel akan berbunyi.

Murid baru pada awal tahun kedua? Namun, ini sudah dua bulan sejak semester baru dimulai. Pasti dia akan mengalami kesulitan bergaul dengan murid lainnya. Anak-anak cenderung sudah membentuk kelompok. Sepertinya Zeline harus lebih memperhatikan murid baru itu.

Knock Knock

Bunyi pintu yang diketuk menginterupsi. Lalu terdengar suara berat seorang laki-laki dari arah pintu masuk. Zeline memiliki firasat buruk untuk sesuatu.

"Permisi, apa ada Miss. Zeline?"

Dan saat mendengar namanya dipanggil, firasat buruk itu datang kepada Zeline dengan rasa realitas mendalam. Dia bangkit dari kursi, beranjak menghampiri seseorang yang datang mencarinya.

Terlihat seorang pemuda tinggi yang memakai seragam sekolah musim panas sedang tersenyum. Pemuda itu memiliki rambut hitam tebal, dahi yang kecil, mata yang menyipit karena tersenyum, hidung mancung, dan bibir tipis yang melengkung.

"Saya Athlas Aldridge, murid baru."

Sontak kedua mata Zeline terbelalak.

Dia, pemuda bermata merah yang kemarin.

_To Be Continued_

Siswa Baru

Terlihat seorang pemuda tinggi yang memakai seragam sekolah musim panas sedang tersenyum. Pemuda itu memiliki rambut hitam tebal, dahi yang kecil, mata yang menyipit karena tersenyum, hidung mancung, dan bibir tipis yang melengkung.

"Saya Athlas Aldridge, murid baru."

Sontak kedua mata Zeline terbelalak. Tidak berharap jika dia harus kembali bertemu dengan pemuda itu, terlebih menjadi murid baru di kelas yang menjadi tanggung jawabnya.

Anehnya, pemuda itu seperti orang yang berbeda dibandingkan dengan yang kemarin. Matanya tidak berwarna merah, tapi berwarna kuning keemasan. Juga terkesan ramah dan hangat.

"K-kau adalah..." kata-kata Zeline tercekat di tenggorokan.

"Hmm? Apa sebelumnya kita pernah bertemu, Miss?" tanya Athlas masih tersenyum.

"Kemarin──"

Ding Dong

Suara bel pertanda jam pertama dimulai menghentikan perkataan Zeline.

Apa hanya mirip? pikir Zeline sambil menatap intens pemuda di depannya.

Mata keduanya jelas berbeda, dia masih ingat betapa menakutkannya mata merah menyala yang kemarin dilihatnya. Pada akhirnya, Zeline memilih untuk tidak terlalu paranoid.

"Mari kuantar ke kelasmu," ujar Zeline pada akhirnya, yang dibalas anggukan.

Kemudian Zeline mengambil perlengkapan mengajarnya, dan berlalu bersama murid baru itu.

Di perjalanan ke ruang kelas suasana cukup sepi, karena para murid sudah memasuki kelas masing-masing.

Perasaan was-was menyelimuti. Ujung ekor mata Zeline melirik Athlas. Alangkah terkejutnya saat matanya bertemu dengan mata kuning keemasan milik si pemuda.

"Saya mengingatnya. Kemarin kita bertemu di koridor, bukan?" Athlas menyipitkan mata, terlihat tidak terkejut namun jelas tidak senang.

Langkah Zeline berhenti detik itu juga. Ternyata memang benar dia.

Aku bertanya-tanya apa dia yang menabrakku?

Apa dia melihat mataku yang berwarna merah?

Apa yang harus kulakukan?

Bunuh...?

Keringat dingin menetes dari pelipisnya dan jantungnya berdegup dengan kencang. Menatap horor saat mendengar isi pikiran Athlas Aldridge yang sedang tersenyum padanya.

Siapa yang menyangka, dibalik senyum yang tampan itu tersembunyi keinginan untuk membunuh.

Insting Zeline mengatakan jika pemuda itu benar-benar berbahaya.

Memang kenapa dengan aku yang melihat matanya yang berwarna merah? Sekarang dia memakai lensa kontak? Kenapa sampai harus berpikir untuk membunuhku? batin Zeline bertanya-tanya.

"Jadi... Apa kemarin kita bertemu di koridor?"

Mendengar suara berat yang mengulang pertanyaannya, Zeline menelan saliva dengan susah payah. Dia berusaha melawan rasa takut, karena dirinya seorang guru.

Ya. Guru!

Seorang guru yang harus mendidik muridnya, mari kesampingkan kepribadian si murid yang menakutkan. Zeline tidak boleh takut dengan muridnya sendiri.

Bukankah dia dikenal sebagai guru killer?

Membuat kedua matanya melebar sedemikian rupa, Zeline mencoba berekspresi garang. Dia mendekati tubuhnya ke arah tubuh Athlas dan menyentil dahinya.

"Dan kau tidak meminta maaf? Kau telah menabrak gurumu dan mengumpat di depan wajahnya! Di mana sopan santunmu?" omel Zeline.

Tangan Athlas terulur, menyentuh dahinya yang baru saja mendapatkan sentilan. Senyumnya hilang dan menatap tidak percaya.

"Kau──"

Zeline menghentikan protes yang hendak dilontarkan Athlas dengan manarik salah satu telinganya.

"Kau tidak boleh melawan gurumu! Cepat ke kelas!"

Athlas membelalakkan mata ketika mendapati dirinya tengah diseret menuju kelas, terlebih dengan cara dijewer.

"Lepaskan telingaku, Miss!"

**

Suasana kelas cukup bising. Namun, begitu Zeline membuka pintu, sontak semua murid sibuk mencari kursi mereka. Sepertinya mereka tidak ingin sang guru killer marah-marah lagi.

Salah satu murid perempuan berkabut panjang meletakan cerminannya setelah merapikan bedaknya. Dia berdiri, lalu memimpin teman-temannya memberi salam.

"Selamat pagi, Miss. Zeline," murid-murid itu mengucapkan dengan kompak.

Zeline memberi isyarat duduk pada murid perempuan berambut panjang itu. Bisa dilihat tatapan-tatapan akan rasa penasaran dari para murid pada pemuda tampan yang datang bersamanya.

Belum sempat mereka bertanya, Zeline membuka suara terlebih dahulu, "Ya, baiklah, anak-anak, hari ini kelas kalian kedatangan murid baru. Aku berharap semua orang akan bersikap baik kepada murid baru itu, oke?"

Athlas tersenyum hingga menyipitkan mata, jika diperhatikan terdapat cekungan kecil di pipi kanannya, "Halo semuanya, namaku Athlas Aldridge. Mari bergaul dengan baik."

Kedatangan murid baru yang tampan tentu saja disambut dengan antusias. Zeline juga mengakui bahwa ketampanan Athlas di atas rata-rata. Jika saja isi pikirannya sebagus tampangnya, itu pasti tidak akan membuat Zeline merasa paranoid.

Salah satu siswi mengangkat tangan, "Aku punya pertanyaan!"

Zeline menyipitkan mata, ingin tidak setuju tapi mengalah, "Apa itu? Lanjutkan."

Padahal dia baru ingin memberitahu mereka untuk bergaul dengan si murid baru saat jam istirahat, tapi hanya satu pertanyaan tidak masala...

"Ceritakan tentang ciuman pertamamu, Athlas!"

What the...!

Zeline terbatuk, tersedak salivanya sendiri.

"Ah, ciuman pertamaku?" Athlas tersenyum menanggapi pertanyaan itu, yang membuat Zeline mendelik tidak percaya karena menanggapinya, "Itu terjadi sudah lama sekali, bahkan aku tidak ingat dengan siapa aku melakukannya."

Seketika seisi kelas menjadi ribut, terlebih para anak perempuan yang berteriak histeris. Mereka membicarakan betapa berani dan kerennya Athlas. Bahkan para siswi merasa iri dengan gadis yang dicium pemuda itu, ada juga yang menyatakan cinta dan mengajak pacaran.

Kening Zeline berkedut. Bisa-bisanya mereka mengangkat ciuman sebagai topik pembicaraan di kelasnya yang suci ini.

Bocah-bocah ini... Aku saja belum pernah berciuman... batin Zeline teriris.

Meraih penggaris kayu untuk memukul papan tulis beberapa kali hingga menimbulkan suara yang nyaring, sontak suasana kelas kembali kondusif.

"Sekarang..." ucap Zeline penuh penekanan, menyapu kelas dengan tatapan garang, lalu berakhir menatap Athlas yang berdiri di sampingnya, "Ayo kita duduk..."

Para murid menelan saliva dengan susah payah. Tidak terkecuali Athlas, yang telinganya masih terlihat memerah kerena habis dijewer, dia tidak mau dijewer lagi.

"Ayo kita lihat," Zeline berpose dengan tangan yang memegang dagu, mencari kursi kosong yang dapat diduduki si murid baru, "Bagaimana dengan kursi terakhir sebelah kanan? Di dekat jendela? Apa itu terdengar bagus?"

"Ya, Miss," jawab Athlas seraya mengangguk pelan. Seperti tidak ambil pusing. Lalu dia langsung melangkah menuju di mana kursinya berada.

"Sekarang, ayo kita mulai kelas!"

Tidak ingin membuang waktu lagi, Zeline memutuskan memulai pembelajaran matematika. Ketika dia menulis di papan tulis, dapat dirasakan tatapan tajam pada belakang lehernya.

Lehernya terlihat enak.

Tangan yang memegang kapur berhenti. Zeline merinding dibuatnya.

Membayangkan betapa nikmatnya menancapkan gigi taringku pada lehernya dan menyaksikan dia mati kehabisan darah.

Tubuh Zeline gemetar dan perut terasa terlilit. Merasa mual karena ngeri dengan apa yang dia dengar. Bahkan tangannya lemas hingga kapur yang dia pegang jatuh begitu saja.

Aku bertanya-tanya bagaimana rasa darahnya. Manis atau...

Dengan cepat Zeline berbalik untuk melihat si pemilik pikiran itu. Dapat dilihat Athlas yang juga menatapnya.

Melongo, terbelalak, tertegun. Sebut saja semua ekspresi terkejut yang ada. Itulah wajah Zeline saat ini.

Siapa Athlas? Tidak lebih tepatnya apa?

Well, tubuhnya akan digores sana-sini hingga mengucurkan darah yang lumayan deras. Terakhir aku akan melenyapkannya.

Zeline menunduk ketika melihat pemuda itu tersenyum padanya.

Bagaimana bisa dia tersenyum di saat memikirkan sesuatu yang mengerikan?

Zeline yakin, jika Athlas Aldridge lebih membahayakan dari apa yang dia bayangkan.

_To Be Continued_

Rumor Para Taring

Begitu kelas berakhir, Zeline kembali ke ruang guru. Hanya sedikit guru yang berada di tempatnya.

Duduk termenung, Zeline nampak sedang memikirkan sesuatu.

Bertanya-tanya siapa sebenarnya Athlas Aldridge. Imajinasinya terlalu jauh untuk mengartikan apa maksud isi pikiran mengerikan pemuda itu.

Apa dia orang gila yang senang mengigit orang lain? Apa dia seorang psikopat yang senang melihat darah? Atau murid barunya itu bukan manusia? Jika bukan manusia, lalu apa?

Apapun itu, Athlas sangatlah berbahaya. Zeline sadar. Murid baru itu bisa mencelakai orang-orang.

"Miss, aku sudah menulis surat permintaan maaf."

Zeline tersadar dari lamunannya, dia menolah pada siswi yang dia tugaskan untuk membuat surat pemintaan maaf karena sudah berprilaku tidak sopan padanya kemarin.

"Surat permintaan maaf?" Zeline menerima kertas itu.

Aku minta maaf karena sudah tidak sopan padamu. Aku menyesal sudah berteriak pada guru. Aku tahu bahwa perilaku tersebut bertentangan dengan peraturan sekolah. Mulai dari sekarang aku berjanji bahwa itu tidak akan terjadi lagi. Tolong maafkan aku. Begitulah isi kertas yang diserahkan siswi itu.

"Baiklah, kau boleh pergi. Jangan terlambat besok. Dan pastikan kau berada di ruang kelas!" ujar Zeline setelah membacanya.

Siswi itu menatap Zeline dalam diam. Seperti ada yang ingin dia katakan.

"Apa? Kenapa? Apa ada sesuatu yang ingin kau katakan?" tanya Zeline tidak tahan dengan tatapan siswi itu.

"Ngomong-ngomong, kenapa anda tidak mencoba berdandan? Jika diperhatikan anda lumayan cantik jika melepas kacamata dan merubah cara berpakaian. Anda bisa menjadi populer."

Zeline memang selalu tampil dengan kacamata tebal dan stelan klasik kedodoran. Tapi dia tidak menyangka, siswinya akan blak-blakan mengomentari penampilannya. Cukup berani setelah menulis surat permintaan maaf.

Menghembuskan napas lelah dan menutup mata, "Hidup tidak berjalan sesuai komentar orang. Aku memakai apa yang menurutku nyaman."

"...Tetap saja, menjadi cantik dan disukai banyak orang pasti akan membuatmu bahagia. Aku berusaha menjadi cantik karena itu," ucap siswi itu.

Kedua mata Zeline mengerjap lebar.

Pemikiran seorang siswi sekolah menengah yang naif. Namun, Zeline sudah belajar banyak dalam beberapa tahun terakhir.

"Kau tidak bisa menghakimi seseorang berdasarkan standar atau ukuran. Hidup banyak pilihan. Mau mengejar kebahagiaan, mau menikmati kebahagiaan, atau mau menciptakan kebahagiaan? It’s up to you!"

Ya, hidup memang selalu tentang pilihan.

Sebelum melakukan sesuatu, dulu Zeline selalu mendengarkan orang lain dan mengukur kapasitas diri sendiri. Namun, meski sudah berusaha menjadi orang yang disukai, masih saja ada yang tidak menyukai dan menjelekan kita dibelakang.

Dengan kemampuan mendengar pikiran orang lain, Zeline telah mengalami banyak rasa sakit dari pemikiran mereka. Oleh karena itu, dia lelah mengutamakan apa yang dipikirkan orang lain untuk menentukan hidupnya.

Hidup tanpa memikirkan penilaian negatif dari orang lain terhadap dirinya, adalah pilihan Zeline saat ini.

Namun... Di dunia ini, ada sesuatu yang tidak berjalan sesuai dengan keinginan.

Seperti murid baru yang telah membuat pikiran Zeline tidak tenang.

**

Esoknya.

Di pagi hari yang cerah, matahari perlahan-lahan muncul, burung-burung berkicau, angin musim panas terus berhembus.

"Eline, sarapan dulu," ucap seorang wanita lanjut usia menyuruh Zeline sarapan. Zeline memang tinggal bersama nenek yang merawatnya sejak kecil.

"Nanti saja, Nek. Aku sarapan di sekolah," jawab Zeline sambil menghampiri sang nenek untuk berpamitan, dan mencium pipi yang sudah keriput.

"Ya sudah, jangan lupa sarapan," ujar sang nenek membelai rambut Zeline.

"Ya, Nek. Zeline berangkat dulu, ya."

"Hati-hati di jalan."

Sang nenek memperhatikan Zeline hingga hilang di balik pintu. Heran saja, dia dapat melihat kantung mata sang cucu yang menghitam meski terhalang kacamata.

"Apa dia baik-baik saja?" gumam si nenek.

Dan benar saja, semalam Zeline sulit tidur. Setiap menutup mata maka akan terbayang mata merah yang menakutkan. Dia menjadi nampak suram.

Zeline menepuk kedua pipi. Mengingatkan dirinya untuk berhenti berpikir paranoid.

Karena alasan yang tidak dapat dijelaskan, setiap hari saat fajar, Zeline naik kereta pertama dari kota kediamannya untuk bergegas menuju sekolah tempatnya mengajar. Dia harus berdesak-desakan sehingga seperti ingin mati, terlebih dengan banyaknya pikiran semua orang yang membuatnya pening.

Tidak heran, jika moto Zeline adalah 'Tidak ada hari aku tidak lelah'.

"Semangat!" seru Zeline penuh semangat.

Jika bukan dia yang menyemangati dirinya sendiri, lalu siapa lagi?

Zeline berdiri di dalam kereta bawah tanah, satu tangannya memegang pegangan tangan dan menggunakan tangan lainnya memeluk tas miliknya. Hari ini pun dia berdesak-desakan dengan puluhan orang.

Aku benar-benar akan mati...

Hati Zeline menjerit frustasi.

Begitu banyak orang di sini. Zeline mencoba menjaga keseimbangan sambil mendengarkan obrolan dua wanita di sampingnya.

"Hei, apa kau melihat diskusi online? Itu berada di pencarian atas."

"Maksudmu diskusi tentang rumor para taring? Aku lihat. Tapi ayolah, itu tidak mungkin."

"Ayolah, vampir itu omong kosong."

"Tapi ada terlalu banyak bukti untuk mengabaikan kemungkinan itu."

"Bisakah berhenti dengan teori omong kosong itu?"

"Aku bilang padamu, monster itu nyata. Mahkluk sialan itu berada di luar sana."

"Mereka benar-benar mengerikan."

Sementara itu, Zeline terdiam dibuatnya. Garis wajahnya menjadi kaku seketika. Bibirnya terkunci sekian detik. Sekelebat teringat tentang mata merah menyala yang mirip seperti sang predator, serta betapa mengerikannya isi pikiran seorang Athlas Aldridge.

Dia mencoba menghubungkan dalam satu titik dengan obrolan yang baru saja dia dengar.

"Itu tidak mungkin, 'kan?" gumam Zeline berpikir kritis.

**

Dilihat dari bekas gigitan misterius korban.

Dan para peneliti percaya bahwa itu adalah perbuatan para vampir.

Ini adalah laporan eksekutif oleh reporter Jesse.

Saat ini kami di daerah Edinburgh Old Town, Mr. Clark merupakan salah satunya yang melewati jalan terpencil ini, menemukan korban yang pingsan di tempat serta memanggil ambulans, sampai saat ini korban tidak sadarkan diri...

Zeline mengigit kuku jari, Sepasang mata biru turquoise yang bersembunyi di balik kacamata tebal nampak fokus pada video layar komputer di depannya. Dia sengaja melewatkan jam makan siang hanya untuk mencari tahu tentang kebenaran rumor para taring yang dibicarakan akhir-akhir ini.

Benar-benar sesuatu yang tidak bisa dia baikan begitu saja.

"Vampir itu cukup misterius dan menarik, bukan?"

"Gyaa!"

Zeline dikejutkan oleh keberadaan Athlas yang tiba-tiba berdiri di samping mejanya. Sontak saja, Zeline langsung menutupi layar komputer dengan kedua telapak tangannya meski sangat percuma, karena Athlas sudah terlanjur melihat.

Menelan saliva berat, dengan terbata Zeline bertanya, "K-kau... Kau ada perlu apa ke ruang guru?"

"Aku membawa tugas anak-anak di kelasku yang harus dikumpulkan pada saat jam makan siang," jawab Athlas sambil meletakkan beberapa tumpukkan buku di meja. Hari ini adalah hari kedua dia belajar di sekolah barunya.

Memang benar jika Zeline meminta salah satu murid untuk mengumpulkan tugas, tapi dia tidak berharap jika Athlas yang akan melakukannya.

Kini, Zeline merasa gelisah dan takut. Sebab hanya ada mereka berdua di ruangan ini, karena guru yang lain sedang menikmati makan siang mereka.

"Y-ya, terima kasih, kau boleh pergi..."

"Apa anda berfikir bahwa vampir itu ada, Miss?" tanya Athlas mengabaikan usiran sang guru matematika.

"Hal ini dilaporkan di media begitu sering, bahkan hampir tidak mungkin bahwa mereka hanyalah fiksi. Dan juga ada beberapa bukti yang menegaskan bahwa adanya keberadaan mereka," Zeline mau tidak mau menjawab, dia hanya ingin pemuda itu pergi setelahnya.

"Apa... Anda merasa jijik pada mereka?" Athlas justru kembali mengajukan pertanyaan, "Lagi pula mereka memakan darah manusia yang tidak bersalah. Kebanyakan manusia yang saya temui, nampaknya sangat membenci para vampir."

Manusia?

Zeline merasa janggal dengan apa yang dikatakan Athlas, terkesan menegaskan jika dia bukan manusia.

"Coba kita lihat.." Zeline menggaruk alisnya yang mendadak gatal, "Aku belum memikirkan sebelumnya, tapi kurasa mereka tidak menjijikkan. Pendapatmu akan berubah jika kau menjadi salah satunya."

Athlas nampak tertegun sesaat, lalu tersenyum miring.

Benarkah? Lantas apa yang akan kau lakukan jika tahu bahwa aku adalah seorang vampir?

Deg. Sontak jantung Zeline berpacu dengan cepat. Wajahnya menjadi pucat pasi.

Jadi Athlas...

Benar-benar seorang vampir?

_To Be Continued_

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!