"Di tahun 2023 masih ada toko jaman dulu?! Pemiliknya bo*doh atau gimana sih? Jaman sekarang 'kan semua orang pada belanja ke mall. Toko kaya gini mana laku! Mana namanya aneh banget lagi, Memento Mori. Ngga banget deh!"
Aku mendengar seorang gadis berseragam sekolah menengah atas, sedang berbicara pada temannya, tepat di depan tempat usaha yang kubuka. Tempat usaha ini terletak di sebuah jalan yang terkenal, karena dipenuhi jejeran pertokoan berkonsep jaman dulu.
Sebutan toko jaman dulu tidak sepenuhnya benar, karena pada kenyataannya, tempat ini juga menjual berbagai macam barang yang modern. Namun memang benar, hampir semua pengunjung malah lebih tertarik pada barang-barang jaman dulu yang kujual daripada barang modern yang bisa mereka dapatkan dengan mudah di mana saja.
Netraku masih melihat keduanya dengan pandangan antusias, dan bertanya-tanya apakah mereka berdua akan masuk. Setelah beberapa saat menunggu dan tidak terlihat pergerakan sama sekali, aku membalikkan badan ke arah rak yang memajang banyak jajanan yang sudah jarang orang temukan di jaman sekarang.
Tring!
Suara bel yang berdenting di atas pintu menandakan jika ada masuk ke mari. Dengan pelan, aku berbalik dan menemukan dua orang gadis berseragam tadi sudah berdiri di depanku.
"Permisi Kak, toko ini ngejual apa aja ya?" tanya salah satu dari mereka.
"Apa aja," jawabku singkat.
"Maksudnya gimana ya?"
"Toko ini menjual apa aja yang pembeli cari. Kalian nyari apa?" tanyaku balik.
Keduanya sempat bertatapan sejenak sebelum mengedarkan pandang ke arah rak-rak yang memajang banyak barang. Gadis yang mengataiku bo*doh menghampiri rak berisi pajangan jajanan dan yang satu lagi terlihat tertarik melihat rak pajangan mainan.
"Ini apa ya Teh?" tanyanya memegang sebuah mainan kecil berbentuk kepala hewan lucu.
"Tamagotchi," jawabku datar.
"Cara maininnya gimana?" Gadis itu mendekat dan mengulurkan benda itu padaku.
"Maaf, saya akan tunjukin kalau barang sudah dibeli."
"Oh gitu, maaf Teh. Ini pasti mahal ya?" tanyanya lagi.
"Ngga juga. Harganya sebanyak uang yang ada di saku kamu saat ini."
Gadis itu menatapku heran sebelum merogoh saku seragam yang ia kenakan. Dengan pelan, ia mengeluarkan uang sebanyak tiga ribu rupiah.
"Cuma ada segini," sahutnya lemas. Sepertinya ia sangat ingin memiliki Tamagotchi di tangannya.
"Maka segitu pula harga barang itu." Aku masih menjawab dengan santai.
Sepasang mata di depanku menyiratkan keraguan, namun tidak lama kemudian, tangannya terulur dan memberikan uang di tangannya.
"Saya terima uangnya," ucapku lirih. "Semoga kebahagian selalu menyertai kamu."
"Terus ini gimana cara maininnya?" Gadis itu bertanya pelan.
Aku balik mengulurkan tangan dan meminta Tamagotchi yang ia pegang. "Pertama, nyalakan dulu dengan menekan tombol ini. Kamu akan mendapatkan sebuah telur, yang dalam beberapa saat kemudian akan menetas. Jika sudah menetas, sebuah hewan akan terlihat di layar kecil ini. Tugasmu selanjutnya adalah merawatnya dengan baik. Memberi makan, memandikan, dan mengobati ketika sakit. Jika kamu merawatnya dengan baik, ia akan berumur panjang. Dan jika tidak, ia akan ma*ti."
"Kalo ma*ti gimana?" tanyanya dengan nada penasaran.
"Kamu harus mulai dari awal. Dari sebuah telur."
"Oh gitu! Jadi kaya peliharaan ya?" tanyanya lagi.
Aku mengangguk mengiyakan. "Tapi, ada satu hal terpenting yang harus kamu lakukan pertama kali. Beri nama peliharaanmu, saat ia masih menjadi sebuah telur."
"Emang harus?"
Aku mengangguk mengiyakan. "Berhati-hatilah dalam memberi nama. Karena nasib orang yang namanya kamu pakai, akan sama dengan nasib hewan di dalam situ."
Sepasang mata di depanku membola selama beberapa saat.
"Masih ada waktu jika kamu mau membatalkan transaksi jual beli ini," tambahku.
"Na, udah belum?! Ayo pulang, udah mau ujan. Bawain nih tas aku!" seru teman gadis di depanku yang ternyata sudah selesai melihat-lihat.
"Bentar Viona," jawabnya. "Kak, makasi ya? Saya pulang dulu." Gadis yang dipanggil Na oleh temannya ini pamit padaku, sebelum berbalik dan meninggalkan toko milikku dengan meninggalkan suara berdenting ketika pintunya ditutup.
***
Tring!
Aku menengok ke arah pintu yang ternyata masih tertutup rapat. Senyumku mengembang setelah melihat sebuah Tamagotchi yang minggu kemarin dibeli oleh seorang gadis pelajar, tergeletak di atas meja, tempatku minum teh beberapa saat yang lalu.
"Hahaha!" Aku tertawa saat melihat kertas kecil bertuliskan 'Viona' di bagian belakang Tamagotchi.
Mataku terpejam selama beberapa saat, sebelum menyalakan Tamagotchi di tanganku. Begitu menyala, sebuah gambar telur yang menunggu untuk menetas terlihat di layar.
"Viona terlalu bagus untuk menjadi nama seekor dinosaurus," ucapku pelan diantara senyuman sebelum menghembuskan napas panjang.
***
Tring!
Mataku berbinar dari balik meja konter, saat melihat gadis pelajar yang membeli Tamagotchi memasuki tempat ini. Dengan langkah ragu, ia tersenyum canggung dan berjalan mendekat.
"Kak, maaf. Tamagotchi yang kaya waktu itu aku beli, masih ada lagi ngga?"
"Kamu mau beli lagi?" tanyaku.
"Iya. Waktu aku beli beberapa hari lalu, tadinya mau aku kasih ke adik aku yang ulang tahun. Tapi, sepulangnya dari sini, Viona ngerebut Tamagotchi itu," jelasnya.
"Viona?"
"Iya, teman yang dateng ke sini sama aku," ia berkata lirih.
"Kenapa bisa Viona merebut barang punya kamu?" tanyaku lagi.
"Viona bilang, barang sebagus itu ngga pantes buat aku."
"Terus kamu ngasiin gitu aja?" Aku menatapnya lekat.
"Ya mau gimana lagi, Kak. Selama ini aku, mama, dan adik aku tinggal di rumahnya. Mama aku ART di rumah dia. Kalau aku nolak, perlakuan buruknya bakal lebih parah lagi. Dan bukan ke aku aja, ke mama dan ke adik aku juga."
Aku tersenyum sinis sebelum berjalan menuju ke arah rak yang memajang mainan. Setelah mengambil barang yang diinginkan gadis itu, aku berbalik dan berjalan mendekatinya dengan tangan terulur.
"Wah, ternyata masih ada!" serunya girang. "Tapi ini mirip sama Tamagotchi yang aku beli kemarin ya?"
"Bisa jadi," jawabku pendek.
"Tapi ngga mungkin sih. Viona kan udah ngerebut ini. Dan waktu aku ngeberesin kamarnya setelah dia meninggal, aku ngga nemuin Tamagotchi itu di mana-mana."
"Viona meninggal?" tanyaku memancing.
"Iya Kak. Dia sakit sampe akhirnya meninggal. Cepet banget lagi, cuma beberapa hari dari pertama kali jatuh sakit."
Aku hanya diam dan menatap gadis itu lekat hingga ia salah tingkah.
"Ini harganya berapa?" tanyanya memecah keheningan.
"Seharga apa yang ada di saku belakang celana kamu."
Gadis itu mengerutkan kening, lalu merogoh saku belakang celananya. Tangannya menggenggam tiga butir permen sebelum menatapku ragu-ragu.
"Cuma ada permen," ucapnya lirih.
"Maka seharga itulah Tamagotchinya." Aku mengulurkan tangan.
Dengan pelan, tiga butir permen beralih ke tanganku, diiringin wajah berbinar gadis itu.
"Terima kasih, Kak! Saya pulang dulu," pamitnya sebelum berbalik menuju ke arah pintu.
"Tunggu!" seruku.
Ia berbalik ke arahku dan menatap heran. "Kenapa?"
"Ngomong-ngomong, nama apa yang mau kamu kasi buat Tamagotchi itu?"
Gadis itu terlihat berpikir sejenak sebelum bersuara. "Tamagotchi. Aku mau ngasi nama Tamagotchi aja."
Aku mengangguk dan tersenyum saat gadis itu melambai dan membuka pintu. Saat pintu sudah ditutup dengan diiringi suara dentingan, aku terkekeh. "Anak pintar! Sepertinya untuk beberapa waktu, Tamagotchi itu ngga akan mendapatkan mangsa baru."
Dengan perlahan aku menuju ke arah pintu, dan membalik papan yang tertempel, sehingga orang-orang diluar bisa tau, jika toko Memento Mori sudah tutup.
Tring!
Aku mengangkat wajahku dari buku yang sedang kubaca dan menemukan seorang gadis berdiri di depanku dengan ragu-ragu.
"Permisi. Di sini jual kosmetik?" tanyanya pelan.
"Cari apa?"
"Ada pemutih kulit?" tanyanya lagi. Aku bisa mendengar nada bersemangat dalam suaranya.
"Tunggu sebentar."
Aku meletakkan buku dan bangkit berdiri menuju ke rak di belakang meja konter. Setelah menemukan yang kucari, aku memberikan apa yang gadis itu inginkan.
"Ini gimana cara pakainya?"
"Dioleskan ke tubuh seminggu sekali," jawabku tersenyum. "Tapi, mohon maaf sebelumnya. Harga krim itu lumayan mahal."
"Ngga masalah. Berapapun harganya, akan saya beli."
Aku menyebutkan sederet angka sebagai harga dari krim pemutih tubuh di tangan gadis itu. Dan tanpa ragu, ia langsung memberikan sejumlah uang kepadaku.
"Cukup seminggu sekali ya? Jangan berlebihan," tambahku sebelum ia berbalik untuk pergi.
'Sayang sekali, sepertinya ia tidak mendengar perkataanku,' lirihku dalam hati dengan senyum mengembang.
***
Setiap dua minggu sekali, gadis itu kembali untuk membeli krim pemutih tubuh.
"Sepertinya, kamu ngga mendengarkan saran dari saya," ucapku ketika gadis itu kembali lagi untuk kesekian kalinya.
"Memangnya kenapa kalau saya menggunakan krim pemutih itu setiap hari? Kakak lihat sendiri bukan? Tubuh saya jauh lebih putih dari pertama kali datang ke sini," balasnya. "Lagi pula, kan saya beli! Jadi terserah saya, mau pakai kapan aja."
Aku terkekeh sejenak sebelum melanjutkan. "Benar sekali, kamu adalah pembeli. Kamu memiliki banyak uang yang tanpa ragu bisa kamu keluarin untuk barang yang kamu mau. Tapi apa kamu tau? Ngga selamanya kamu bisa ngelakuin apa yang kamu mau, dengan menggunakan uang. Ada banyak hal di dunia ini, yang ngga bisa sembarangan kamu langgar. Dan jika kamu sudah berani melanggar sebuah ketentuan, pada akhirnya uang sebanyak apapun yang kamu miliki ngga akan bisa membantu kamu."
"Udah ceramahnya? Saya ke sini mau membeli, bukan untuk diceramahi. Pernah denger kalau pembeli adalah raja? Itu berarti, penjual harus mengikuti apa kata pembeli."
"Saya ngga menceramahi. Saya sedang memberikan sebuah peringatan. Jangan menyalahkan saya jika sesuatu terjadi, karena keputusanmu sendiri. Dan ya! Pembeli memanglah raja, tapi di toko ini, penjual adalah dewa." Aku menyeringai.
"Udahlah Kak, cepet ambilin aja barang yang saya butuhin!"
Tanganku menyodorkan krim yang ia maksud dari balik konter. "Harganya naik menjadi dua kali lipat. Kamu sanggup?"
"Kakak mau memeras saya?"
"Ngga. Seperti yang saya bilang, kamu bisa saja membeli barang yang kamu mau karena kamu adalah raja. Tapi saya adalah dewa yang bisa menentukan harga semau saya. Pilihan ada di tangan kamu," jelasku.
Wajah gadis di depanku mulai memerah. Dengan cepat ia melemparkan sejumlah uang ke arah meja konter yang sontak membuatku tertawa. Tepat ketika ia sudah mengambil kasar barang yang ia beli dan berbalik menuju pintu, aku berkata tajam serta penuh penekanan.
"Nama saya Zexlys. Dan jangan pernah mencari saya, jika sesuatu terjadi pada dirimu, Aline!"
Seketika ia berbalik dan menatapku dengan matanya yang membola.
***
Aku tiba-tiba tertawa saat kembali mengingat ekspresi gadis pembeli krim pemutih tubuh itu. Dia pasti bingung, kenapa aku bisa mengetahui namanya. Mudah saja, aku tau semua hal tentang para pembeli yang masuk ke Memento Mori. Aku bahkan tau jika gadis bernama Aline itu, menjual krim pemutih yang ia beli di sini kepada teman-temannya dengan harga berkali lipat. Sayangnya, ia berlaku curang dengan mencampurkan body lotion dengan krim itu. Ia mencurangi pembelinya tanpa tau, jika apa yang dia lakukan justru akan menyelamatkan mereka kelak.
Semakin bertambahnya waktu, Aline semakin sering mengunjungi tempat ini. Bahkan ia membeli dalam jumlah yang sangat banyak. Ini sama sekali bukan masalah untukku, karena bagaimanapun, aku mendapatkan keuntungan berkat kedatangannya. Kulit tubuhnya sendiri sekarang sudah seputih susu dan sebening pualam.
"Pintar sekali! Kamu menjual krim oplosan pada penjualmu dan menggunakan krim murni untuk dirimu sendiri," lirihku saat ia hampir pergi dari tempat ini.
"Bukan urusan Kakak!" balasnya sengit sebelum membuka pintu dengan suara berdenting kencang.
***
Tring!
Permisi, ada krim pemutih tubuh dijual di toko ini?" tanya seorang gadis yang datang bersama dengan kedua temannya.
"Krim pemutih tubuh?"
"Iya. Beberapa hari lalu, ngga sengaja saya ngeliat teman saya keluar dari sini dengan sebuah paperbag bertuliskan nama toko ini. Ngga lama kemudian, ia menjual krim yang biasa kami beli dengan membawa paperbag yang sama.
"Maaf, barang seperti itu ngga ada di sini," jelasku.
"Beneran ngga ada, Kak?" tanya seorang gadis yang lain.
"Ngga ada. Mungkin kalian bisa nanya langsung ke temen kalian, di mana dia mendapatkan krim yang kalian maksud. Atau kalau kalian ngga percaya, silakan lihat ke rak itu," aku menunjuk dengan daguku. "Dan lihat sendiri, apa krim yang kalian maksud ada di sana."
Ketiganya berjalan pelan menuju rak yang kutunjukkan, sebelum melihat beberapa kosmetik dengan merk yang mungkin terdengar aneh.
"Iya, ngga ada Kak," lapor mereka setelah cukup lama melihat-lihat. Aku sendiri hanya tersenyum simpul dan menatap ketiganya secara bergantian.
"Kalo gitu, terima kasih ya, Kak? Kami permisi."
Tanganku melambai pelan pada sosok ketiganya ketika keluar dari sini dan meninggalkan bunyi berdenting seperti biasa.
***
"Tolong Kak, kasih saya krim seperti biasa," seru Aline dengan napas terengah-engah di depan meja konter.
"Maaf, saya udah ngga punya lagi stok krim pemutih tubuh yang biasa kamu beli."
"Jangan bohong!" sentaknya kasar.
"Saya ngga bohong. Memang udah ngga ada. Saya kehabisan stok karena kamu memborong banyak setiap kali membeli. Dan saya belum bisa membuatnya lagi."
"Kakak yang membuatnya?" tanyanya tidak percaya.
"Ya, dan saya kehabisan bahan baku pembuat krim tersebut."
"Kakak bohong! Pasti di dalam sana, ada kan?!" tanyanya sembari menunjuk sebuah pintu hitam besar di belakangku.
"Saya ngga bohong."
"Tolong Kak. Sekujur tubuh saya saat ini sedang kepanasan. Ini sudah saya rasain dari sejak lama, namun ketika memakai krim itu, rasa panas di tubuh saya langsung menghilang," jelasnya dengan suara memelas.
"Ah, rupanya udah bereaksi ya?" Mataku berbinar tanpa bisa kucegah. "Tapi sayang sekali. Seperti yang tadi saya bilang, krim yang kamu maksud sudah habis."
"Bohong!" teriaknya sebelum berjalan cepat menuju ke pintu hitam dan membukanya dengan kasar. Ia melangkah masuk ke dalam, dengan mata yang liar melihat ke segala arah. Dengan terkekeh, aku mengikutinya dari belakang sebelum duduk di sebuah kursi dengan meja besar yang sering kugunakan ketika makan.
"Bilang Kak! Di mana Kakak nyembunyiin krim itu!"
"Ngga ada. Saya bilang, saya kehabisan stok," jawabku sembari menatap lekat matanya.
Aline mulai menggila dan memporak-porandakan seisi ruangan, untuk mencari barang yang ia maksud. Aku sendiri masih menatapnya lekat dengan senyuman lebar.
Brug!
Tubuhnya jatuh bersimpuh di lantai dan dengan cepat ia mengusap sekujur tubuhnya.
"Panas ... Panas ... Tolong saya!"
Aku menyandarkan punggung dan dengan rasa antusias yang tidak bisa kujabarkan, menanti hal yang akan terjadi. Aline sendiri sudah berteriak-teriak seperti orang kesurupan, karena rasa panas yang ia rasakan. Bahkan ia sudah merebahkan diri di lantai marmer hitam untuk membantu meredakan panas. Sayangnya itu tidak membantu sama sekali.
Kepulan asap tipis yang keluar dari tubuh Aline semakin membuatnya histeris, dan dalam beberapa saat, serpihan abu yang berasal dari tubuhnya mengotori lantai. Aku terkekeh saat ia melolong kesakitan sebelum tubuh itu sepenuhnya berubah menjadi abu dan menyisakan tulang belulang yang berwarna putih.
***
Tuk tuk tuk tuk!
Tanganku dengan lihai menghaluskan tulang belulang yang beberapa waktu lalu kupungut dari lantai.
"Akhirnya ... Krim pemutih tubuh akan segera dibuat setelah bahan baku didapat. Sayang sekali, satu-satunya pembeli krim itu, sekarang sudah menjadi bahan baku dari krim yang sering ia gunakan," aku berbicara sendiri sebelum menatap ke arah dinding di mana tulisan Memento Mori yang berarti 'Ingatlah Akan Kematianmu' terpampang dalam bingkai hitam besar.
Tring!
"Permisi Kak, telepon di ujung sana bisa dipakai? Baterai ponsel saya habis," tanya seorang pemuda dengan napas terengah-engah.
Aku melirik untuk sesaat ke sudut yang ia maksud sebelum mengangguk. "Bisa, tapi kadang suka ada gangguan koneksi. Coba aja dulu."
Dengan segera, ia melangkah tergesa-gesa ke depan meja kecil dengan telepon hitam tua di atasnya, lalu menepuk dahi kencang sebelum kembali ke depanku.
"Saya lupa nomor telepon yang mau saya hubungi. Bisa ikut numpang mengisi daya, Kak? Tapi saya juga lupa bawa charger."
Tanpa bertanya aku mengulurkan tangan untuk menerima ponsel pemuda itu, lalu berjalan menuju pintu hitam, masuk ke dalam ruangan pribadiku.
Pemuda itu sendiri memilih duduk di meja minum teh dan menatap sekeliling tempat ini. Dengan segera, aku memutuskan membuat teh untuknya.
"Diminum dulu, sambil nunggu," kataku sembari menaruh secangkir teh.
"Terima kasih, Kak. Maaf ngerepotin," balasnya lirih. "Besok peringatan satu tahun meninggalnya papa saya, dan saya lupa ngasih kabar ke mama, kalau saya ngga bisa datang."
Tanpa berkata apa-apa, aku ikut duduk di salah satu kursi terdekat. "Kamu sibuk kerja?"
"Bisa dibilang gitu, Kak. Saya merantau dua tahun yang lalu. Dan sejak bekerja di kota ini, sekali-kalinya saya pulang ke kampung, waktu papa saya meninggal. Itu juga terlambat, karena saya cuma bisa ngeliat pusaranya aja. Padahal, banyak yang mau saya sampaikan pada beliau."
"Kamu bisa cerita ke saya, kalau kamu mau. Sambil menunggu ponsel kamu terisi," ucapku menyandarkan punggung.
Pemuda itu hanya tersenyum dan menyesap tehnya pelan. "Papa saya itu adalah seorang papa yang keras pada anak-anaknya. Beliau mengajarkan kemandirian dari sejak saya, serta adik dan kakak saya kecil. Kami dibiasakan untuk mengurus diri kami sendiri. Bahkan, papa menuntut kami untuk bisa mengerjakan pekerjaan rumah sederhana untuk membantu mama, di saat anak yang lain sibuk bermain. Ucapan beliau adalah perintah yang ngga bisa dilanggar."
"Galak?" tanyaku.
"Bisa dibilang begitu. Waktu itu saya pikir beliau galak dan juga kejam. Beliau ngga ragu memu*kul atau mencubit betis kami kalau kami ketahuan bolos mengaji, atau bercanda waktu lagi sholat berjamaah di mushola.
Beliau juga sering marah, kalau kami pulang bermain dalam keadaan menangis karena dipukul oleh temen. Papa bilang, kalau ada yang memukul, balas! Tapi, jangan mulai duluan." Pemuda itu menghembuskan napas panjang.
"Saya sempet nanya dalam hati, kenapa papa ngga seperti papa teman-teman saya yang keliatan sayang pada anak-anaknya. Papa jarang banget memeluk dan mencium kami. Bahkan waktu kami jadi juara kelas, papa cuma senyum dan mengusap kepala kami, tanpa memeluk atau mengucapkan selamat. Pokoknya papa saya berbeda dari papa kebanyakan."
Aku tersenyum simpul dan menatap pemuda itu lekat. "Ngga semua orang tua bisa dengan gampang mengekspresikan atau menunjukkan kasih sayang ke anak-anak mereka. Kadang, beberapa terlihat seperti ngga peduli. Tapi, saat anak-anak mereka dalam keadaan yang sulit, para orang tua ini biasanya yang pertama turun tangan untuk melindungi."
"Iya Kak, dan saya baru sadar itu sekarang, waktu saya harus merantau jauh dari keluarga. Didikan papa yang keras membuat saya bisa menempatkan diri di manapun. Saya ngga kaget lagi dengan kehidupan yang keras. Saya bisa mandiri, dan ngelakuin semuanya sendiri tanpa harus tergantung pada orang lain. Saya pengen banget bilang terima kasih ke papa, tapi sayangnya saya terlambat."
Kriiing!
Suara telepon yang terdengar nyaring menyela pembicaraan kami berdua. Denga pelan, aku bangkit dan berjalan ke arah sudut ruangan.
"Halo ...?" sapaku ketika sudah meletakkan gagang telepon di telinga.
" ... "
"Baik, tunggu sebentar," balasku.
Aku kembali berjalan menuju ke arah pemuda itu. "Ada yang mau ngomong tuh."
Wajah di depanku ini sontak terkejut untuk beberapa saat. Namun pada akhirnya, ia berdiri dan melangkah pelan menuju ke arah telepon.
"Halo?" sapanya sembari duduk di kursi kecil tepat di depan pesawat telepon. Netraku dengan jelas melihat begaimana napas pemuda itu tercekat dengan wajah shock. Ia terdiam selama beberapa saat.
"Papa? Ini Papa ...?" tanyanya berusaha meyakinkan.
" ... "
Mata pemuda itu menatapku lekat, yang kurespon dengan anggukan.
"Pa, gimana kabarnya? Angga kangen sama Papa. Maap, Angga terlambat pulang untuk menemui papa," ucapnya terbata-bata.
"Pa, papa bener. Dunia ini terlalu keras buat Angga. Kehidupan di luar sini ternyata kejam. Angga sekarang tau susahnya nyari uang, susahnya menahan lapar di waktu Angga ngga punya makanan, susahnya bergaul dengan orang-orang baru, bahkan susahnya bertahan diantara orang-orang sekitar yang meremehkan Angga.
Tapi ... Karena ajaran dan didikan papa, pada akhirnya Angga bisa mengatasi semua ... Angga baru sadar, didikan keras papa selama ini, justru untuk kebaikan Angga sendiri. Angga sekarang ngga pernah melalaikan waktu sholat, dan ibadah yang lain. Angga ngga pernah ambil pusing kalau ada yang mengganggu Angga di kantor, ngga seperti waktu dulu Angga digangguin temen-temen bermain. Angga bahkan bisa membela diri Angga sendiri, sewaktu banyak pihak yang menyudutkan Angga. Dan itu semua karena papa ... Berkat papa, Angga bisa menjadi pribadi yang tangguh." Pemuda itu mengusap matanya pelan.
"Maaf, Angga terlambat dateng buat ketemu papa. Angga cuma mau bilang makasi banyak, buat semua yang udah papa lakuin ke Angga. Papa sering nyubit Angga waktu Angga melalaikan sholat dan mengaji, itu karena Papa ngga mau Angga melalaikan perintah Allah. Papa ngga pernah memuji atau bertingkah berlebihan saat Angga jadi juara kelas, itu karena papa ngga mau Angga jadi anak yang sombong. Papa selalu marah dan nyuruh Angga ngebales orang yang udah nyakitin Angga, itu biar Angga bisa membela diri sendiri. Dan papa menempa Angga agar mandiri dari kecil, itu agar Angga bisa mengurus diri Angga sendiri. Angga baru sadar sekarang, setelah jauh dari papa."
Aku masih menatap datar pemuda itu yang kini telah berlinang air mata.
"Makasi banyak Pa, buat semuanya. Makasi udah membuat Angga menjadi pribadi yang ngga mudah menyerah, yang bisa melakukan semua sendiri, yang bisa bertahan hidup di tempat asing, yang bisa tegak berdiri di dalam badai. Makasi banyak Pa.
Maafin Angga, belum bisa bikin papa bahagia. Maafin Angga kalau dari kecil cuma bisa nyusahin papa. Maafin Angga kalau udah bikin papa khawatir selama ini. Andaikan Angga bisa dilahirin kembali, berapa kali pun Angga tetap ingin menjadi anak papa. Makasi banyak pa, buat semuanya. Angga sayang papa." Pemuda itu menaruh gagang telepon, lalu menutup wajahnya sebelum menangis tersedu-sedu. Aku sendiri bangkit menuju ke ruang pribadiku, dan kembali dengan membawa ponsel yang sudah terisi setengah.
"Makasi, Kak," sahutnya ketika aku menyodorkan ponsel yang bergetar karena ada panggilan masuk.
"Halo Ma? Iya ... Angga pulang kok. Ini mau ke terminal. Tunggu ya, Ma? Angga pulang ...," ucapnya lirih sebelum menutup telepon.
"Jadinya mau pulang aja?" Aku memancing.
"Iya Kak ... Saya sekarang cuma punya satu orang tua. Saya ngga mau nyesel lagi. Sejauh apapun jarak, selama masih di dunia, masih bisa diusahain untuk bertemu. Saya ngga mau nyesel lagi seperti waktu papa meninggal. Saat ini, secanggih apapun transportasi, sebanyak apapun uang yang saya punya, tetep aja ngga akan bisa bikin saya bertemu dengan papa saya lagi."
Aku hanya tersenyum dan mengangguk.
"Makasi ya Kak. Udah dibolehin numpang di sini. Ternyata saya dapet kejutan luar biasa," sambungnya bangkit berjalan, dan mengambil tasnya di meja minum teh. "Saya pamit dulu."
"Hati-hati di jalan," balasku singkat sebelum ia melambaikan tangan dan berjalan ke luar. Dentingan bel di atas pintu, mengisi indera pendengaranku saat sosok pemuda itu berjalan menjauh dari Memento Mori dan berbelok di ujung jalan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!