Seorang wanita cantik terusik tidurnya saat mendengar suara kebisingan dari luar kamarnya, wanita itu adalah Shahlyla, atau yang lebih sering disapa Lyla.
Dengan mata yang tidak sepenuhnya terbuka saat rasa kantuk masih menyelimutinya, Lyla perlahan turun dari tempat tidur, melangkah gontai untuk keluar dari kamarnya.
Suara nyanyian serta pesta kejutan yang telah disiapkan oleh adik-adik Lyla membuat Lyla tersadar sepenuhnya. Mata yang sedari tadi masih terlihat mengantuk itu terbuka sempurna dan menatap haru pada apa yang dilihatnya.
Lyla merentangkan lebar kedua tangan nya, dan saat itu juga kelima adik asuhnya mendekat dan memeluk Lyla.
"Selamat ulang tahun, Kakak," ucap semuanya secara bersamaan.
"Terima kasih untuk semuanya," balas Lyla tersenyum senang.
Adik tertua Lyla memegang sebuah kue ulang tahun di tangannya dengan lilin bertuliskan angka dua puluh tiga tahun, jumlah umur Lyla sekarang. Lyla memejamkan matanya sebelum menghembuskan lilin yang ada di atas kue tersebut.
'Ya Tuhan. Aku hanya ingin membahagiakan orang-orang disekitarku. Aku mohon bantulah aku untuk menggapai itu semua.' Batinnya.
Lyla memotong kue dan memberikan suapan pada kelima adik asuhnya. Kenapa dikatakan adik asuh? Sebab kelima adik yang tinggal bersama Lyla adalah anak-anak yatim piatu yang tidak punya tempat tinggal. Lyla menampung anak-anak itu satu tahun yang lalu, menghidupi kelimanya dan menjadikan mereka sebagai adiknya. Hal yang sangat jarang dilakukan wanita seusia Lyla.
Itulah Lyla. Wanita yang saat ini resmi berusia dua puluh tiga tahun itu adalah seorang wanita cantik yang menjalani hidup yang sederhana di desa. Lyla juga merupakan yatim piatu, setelah kedua orang tua Lyla meninggal tiga tahun yang lalu.
Rasa sayang yang tulus Lyla berikan pada adik asuhnya, begitu juga rasa sayang yang tulus Lyla dapatkan dari mereka. Lyla menghidupi mereka semua dari hasil berjualan makanan online yang Lyla kerjakan selama ini. Kecintaan Lyla pada makanan dan hobi memasaknya, Lyla jadikan sebagai ladang penghasilannya.
"Sekarang waktunya kalian tidur. Ini sudah jam satu malam, bukankah besok kalian harus bersekolah," ucap Lyla pada kedua adik kecilnya yang baru menginjak kelas tiga sekolah dasar, melanjutkan sekolah mereka yang sempat terputus sebelumnya.
"Baiklah, Kakak. Selamat ulang tahun Kak Lyla, selamat malam," ucap kedua anak itu mencium sebelah pipi Lyla sebelum akhirnya masuk ke dalam kamar mereka.
Setelah kedua adik kecilnya pergi, tatapan Lyla beralih pada ketiga adiknya yang lain.
"Kalian juga tidurlah! Besok kita punya banyak pesanan," titah Lyla pada mereka yang juga dengan patuh menganggukkan kepala.
Setelah memastikan semua adiknya masuk ke kamar, Lyla juga memutuskan untuk kembali ke kamar. Melanjutkan tidurnya yang tertunda.
Terima kasih atas bertambahnya umurku, Tuhan. Jadikanlah aku manusia yang lebih baik dan berguna untuk mereka. ucap Lyla sebelum memejamkan matanya.
***
Esok harinya. Sama seperti hari-hari sebelumnya. Lyla menjalani kehidupannya dengan begitu baik bersama kelima adiknya.
Lyla yang saat ini tengah memasak, menyiapkan pesanan makanan dagangannya dibuat terkejut saat salah satu adiknya mengatakan ada beberapa pria sangar di depan rumah mereka.
"Apa yang kalian lakukan?" teriak Lyla menghentikan seorang pria yang terlihat menempelkan sesuatu di tembok depan rumahnya.
'Rumah ini disita karena sekarang menjadi milik, ibu Maya.' Begitulah tulisan yang tertera di kertas yang mereka tempelkan.
Lyla yang melihat itu semua tentu saja merasa syok. "Apa maksud kalian? Ini rumah orang tuaku, bagaimana bisa kalian menyita rumah kami?" tanya Lyla yang jelas tidak terima dengan semua itu.
"Kenapa tidak bisa? Dua tahun yang lalu keluargamu menggadaikan rumah ini pada Ibu Maya senilai seratus lima puluh juta. Keluargamu tidak pernah membayar atau sekedar mencicil bunga yang ada, sekarang tagihan keluargamu menjadi dua kali lipat. Kembalikan uang Ibu Mika jika ingin rumah ini kembali menjadi milik kalian," jawab salah satu pria bertato berwajah sangar itu pada Lyla yang terdiam coba mencerna apa yang didengarnya.
Ayah dan Ibu Lyla meninggal tiga tahun yang lalu, bagaimana bisa orang tuanya meminjam uang dua tahun yang lalu? Pikir Lyla.
"Kalian berbohong. Ayah dan Ibuku sudah meninggal tiga tahun yang lalu," ucap Lyla dengan tegas dan lantang.
"Untuk apa kami berbohong. Kau bisa tanyakan langsung pada bapak Rusli, dia datang membawa surut rumah ini lalu meminjam uang dengan jaminan rumah ini," jawab pria itu semakin mengejutkan Lyla mendengar nama yang mereka sebut.
"Tidak. Itu tidak sah, paman Rusli bukan pemilik sah rumah ini. Aku lah pemilik sah rumah ini sekarang. Kalian tidak bisa menipuku," sangkal Lyla yang belum bisa menerima semua kenyataan yang ada.
Rusli adalah saudara dari ibunya, dan tinggal di desa sebelah. Bagaimana bisa Rusli menggadaikan rumah mereka tanpa izin dan tanpa sepengetahuan Lyla.
"Ibu Mika memberikan waktu dua hari untukmu mengosongkan rumah ini, besok lusa kami akan kembali kemari," ucap pria itu yang sama sekali tidak menanggapi penolakan Lyla, setelah itu berlalu pergi dari sana, meninggalkan Lyla yang jatuh terduduk lemas di lantai, merasa terpuruk setelah mendengar semua itu.
Adik-adik Lyla yang sedari tadi menguping semua itu lekas menghampiri Lyla.
"Kak, apa semua itu benar? Apa kami akan kembali tinggal di jalanan?" tanya salah satu dari mereka membuat hati Lyla begitu sedih mendengarnya.
Lyla berusaha memberikan senyum terbaiknya seperti biasa. "Itu tidak akan terjadi. Semuanya akan baik-baik saja," jawab Lyla berusaha menenangkan adik-adiknya meskipun Lyla sendiri merasa sangat takut akan apa yang mungkin saja terjadi besok.
Lyla bangkit berdiri dipapah oleh adik-adiknya untuk masuk ke dalam rumah. Wanita cantik itu masih saja berusaha terlihat tenang menutupi semua ketakutannya. "Ya ampun, kakak terlihat seperti orang sakit jika kalian memapah kakak seperti ini," ucap Lyla tertawa, membuat adik-adiknya ikut tertawa.
Setelah berhasil menenangkan adik-adiknya, Lyla berusaha untuk tetap tenang menyelesaikan pesanan pelanggan nya setelah itu berpamitan pada adik-adiknya untuk pergi ke desa sebelah, memastikan semua itu pada paman Rusli.
"Kakak pergi dulu, ya. Kakak akan segera kembali. Kalian tidak perlu cemas, semuanya akan baik-baik saja," ucap Lyla pada mereka sebelum pergi.
Dua jam berlalu, saat ini Lyla telah tiba di desa yang menjadi tempat tinggal pamannya. Lyla bergegas mendatangi rumah pamannya, tetapi betapa terkejutnya Lyla saat melihat orang lain yang keluar dari rumah pamannya.
"Maaf, kau mencari siapa?" tanya seorang wanita paruh baya pada Lyla.
Lyla jelas merasa bingung melihat wanita itu pasalnya wanita itu bukanlah istri pamannya ataupun keluarganya yang lain.
"Saya mencari paman Rusli. Ibu siapa? Kenapa ibu di rumah paman saya?" tanya Lyla dengan sopan pada wanita yang mulai mengerti maksud kedatangan Lyla.
"Oh… Keponakannya pak Rusli. Saya membeli rumah ini satu bulan yang lalu darinya," jawab wanita itu membuat jantung Lyla seakan berhenti berdetak mendengarnya.
Lyla tidak menyangka jika sang paman akan pindah dari rumah ini dan tidak mengabarinya sama sekali. Lyla juga tidak mengerti mengapa pamannya itu mendadak menjual rumah dan menghilang entah kemana. "Apa Ibu tahu mengapa Paman saya menjual rumahnya?"
"Saya tidak tahu, yang jelas dia mengatakan ingin pindah dari desa ini," jawab wanita yang kini pemilik rumah pamannya itu.
Lyla menghela napasnya berat, kepalanya terasa pusing memikirkan masalah yang datang secara beruntun. Lyla mencoba kembali menelepon sang paman, berharap pria itu mau mengangkat panggilan teleponnya. "Kenapa kau melakukan ini?" gerutu Lyla gelisah.
Lantaran tak juga panggilan teleponnya diangkat, Lyla lantas meminta bantuan wanita yang masih berdiri di depannya itu untuk menghubungi sang paman. "Panggilan teleponku tidak diangkat, mungkin saja jika kau yang menelepon dia akan mengangkatnya. Tolong aku."
"Baiklah, sebentar." Wanita tersebut lalu melangkah masuk ke dalam rumah untuk mengambil ponsel, sebelum kemudian kembali menghampiri Lyla. "Lebih baik kau masuk saja dulu, tidak enak kalau berdiri di luar seperti ini."
Lyla menurut, dia dipersilakan masuk dan duduk di sofa yang ada di rumah tamu rumah ini. Tidak banyak yang berubah dari rumah ini, wanita itu sepertinya memang tidak berniat untuk mendekorasi ulang. Lyla menunggu penuh harap, semoga saja pamannya itu mau menjawab panggilan telepon.
"Halo," ucap wanita itu ketika panggilan telepon dijawab oleh Rusli. "Ini keponakanmu mencarimu, dia meminta tolong padaku untuk meneleponmu."
Lyla langsung bangkit, dia segera mengambil benda persegi itu setelah wanita tersebut memberikannya padanya. "Halo, Paman? Saat ini kau ada di mana? Kau menjual rumah? Mengapa?" tanya Lyla memborbardir.
"Sudahlah, relakan saja rumah itu," jawab Rusli santai di ujung sana. "Aku sudah menggadaikannya pada lintah darat itu."
"Lintah darat?" tanya Lyla tak percaya dengan apa yang dikatakan sang paman. Entah apa yang ada di pikiran pria itu hingga tega melakukan ini kepadanya dan juga adik-adiknya. Jika rumah tersebut benar-benar disita, maka mereka harus tinggal di jalanan. "Apa yang ada di pikiranmu?!"
"Aku butuh uang, aku tak punya pilihan lain," sahut Rusli lagi diiringi suara isapan rokok di ujung sana.
"Lalu kami tinggal di mana? Apa kau tidak memikirkannya?!" Lyla mulai murka, dia sudah tidak tahu bagaimana menyelesaikan masalah ini. Dia sama sekali tidak punya uang untuk menebus rumahnya.
Lyla mendengar suara nada panggilan yang terputus, dia semakin kesal lantaran sang paman bahkan tidak mau peduli dengan ulah yang dilakukannya. Lyla memegang kepalanya nyeri, sekarang lebih baik dia menemui lintah darat itu. "Apa Ibu tahu dengan rentenir yang ada di desa ini?"
"Aku tahu yang namanya Mika, dia cukup terkenal di daerah ini," jawab wanita tersebut memberikan informasi yang dia tahu.
Lyla harus mencari tempat tinggal Mika dan menanyakan tentang kebenaran tersebut, dia juga ingin menyuruh sang paman bertanggung jawab atas perbuatannya. "Baik, terima kasih telah membantuku. Aku harus pergi sekarang."
Desa yang terkenal dengan kesejukannya ini biasanya selalu bisa membuat pikiran Lyla tenang, tetapi sekarang dia hanya bisa menghirup banyak-banyak udara yang menerpa kulit putihnya. Setitik air mata akhirnya jatuh dari pelupuk, meskipun telah berusaha untuk tetap kuat dia tetap tidak bisa menyembunyikannya.
Lyla mulai melangkahkan kakinya, mencari-cari tujuannya sambil sesekali bertanya dengan beberapa penduduk di sini. Hingga akhirnya dia tiba di sebuah rumah yang cukup mewah dan berada di antara sawah. Di sekitarnya sepi, seperti tidak ada orang. Namun, Lyla tetap mengetuk pintu kayu tersebut sampai seseorang membukakan pintu untuknya.
"Saya ingin bertemu dengan Mika," ucapnya langsung tanpa basa-basi. Dia ingin pria tambun yang membukakan pintu untuknya itu bisa langsung mengetahui maksud dan tujuannya datang kemari. "Apa dia ada di rumah?"
Pria tersebut mengangguk dan memandangnya dengan heran sebelum beranjak untuk memanggil Mika. Lyla hanya berdiri di depan pintu, menunggu sosok yang dia cari muncul. Tak lama kemudian, pria tambun itu datang kembali. Namun, dia tidak sendiri. Ada seseorang wanita yang gelagatnya bak wanita angkuh dengan kipas kayu di tangannya.
"Saya ingin bertanya, apa benar paman saya telah menggadaikan rumah padamu?" tanya Lyla menatap lebar ke arah wanita bersanggul itu.
Mika mengernyit bingung, tidak mengenal paman yang disebutkan oleh Lyla. "Siapa nama pamanmu? Ada banyak orang yang menggadaikan rumahnya padaku."
"Rusli," jawab Lyla cepat.
"Ah, dia. Iya-iya benar." Mika membenarkan apa yang dikatakan Lyla.
Lyla membuang napasnya kasar, dia sangat tidak menyangka jika pamannya sendiri yang begitu dia percayai telah tega melakukan ini. "Lalu berapa yang harus kubayar agar rumahku bisa kembali?"
"Sebentar." Mika mengambil buku catatannya yang sudah dipersiapkan oleh sang asisten dan mulai mencari nama Rusli di dalamnya. "Kau harus membayar 300 juta, itu sudah mencakup semua bunga."
Lyla ingin menjatuhkan dirinya saja ke jurang, agar dia bisa lari dari masalah ini. Darimana dia bisa mendapatkan uang sebanyak itu, untuk membiayai adiknya saja dia cukup kesusahan. Tak ada pilihan lain, Lyla memang harus menyerah kali ini.
"Hanya satu minggu waktu yang bisa kuberi untukmu menebusnya," ujar Mika lagi sebelum menutup buku catatannya.
"Tapi, aku ditipu! Ini semua ulah pamanku! Kami tidak menggadaikan rumah kamu!" Lyla tidak tahu harus bagaimana menjelaskan sebagai bentuk permohonan pada Mika. Tidak mudah untuknya mendapatkan uang sebanyak itu dan rasanya memang sangat mustahil. "Jangan ambil rumah kami! Tidak bisakah kau memberi kami kesempatan?"
Mika menggeleng pelan, aturan tetaplah aturan untuknya. "Maaf aku tidak bisa, lebih baik kau bahas masalah ini dengan pamanmu."
Belum sempat Lyla berbicara lagi, Mika dan asistennya sudah masuk dan menutup pintu. Lyla hanya bisa terdiam dan termangu di depan pintu sebelum akhirnya memutuskan untuk pergi. Lyla terisak pelan, dia menangis tanpa suara sambil terus berjalan menuju tempat yang dulu pernah dia kunjungi yaitu sebuah Danau yang senantiasa menjadi tempat terindah untuknya menangis tanpa takut ada yang tahu.
Danaunya masih sama, hanya banyak pohon yang kini mulai lebih banyak tumbuh. Seperti sebelumnya, danau ini masih saja sepi. Mungkin hanya sekitar 5 orang saja perhari, itupun terkadang mereka hanya ingin berswafoto saja. Lyla belum pernah menemukan seseorang menangis seperti dirinya di danau ini, mungkin saja mereka yang datang adalah orang-orang yang hidupnya sudah bahagia.
Lyla duduk di tepi danau, di belakangnya terdapat sebuah pohon yang rindang. Lyla menghela napasnya berkali-kali, sembari menutup matanya yang dipenuhi air mata. "Maafkan aku Ayah, Ibu, aku tidak bisa lagi menahan air mataku. Aku ingin menangis."
Tangisan Lyla tiba-tiba terdengar oleh seseorang yang duduk beberapa langkah dari tempatnya. Lyla mencoba menghiraukannya, tetapi orang tersebut malah menghampirinya dan berdiri di hadapannya. "Siapa kamu?"
"Bolehkah aku membantumu?
Satu bulan yang lalu, Arham mengira bahwa hari itu akan menjadi hari terindahnya bersama kekasihnya, Linda. Dia sudah memikirkan semuanya secara mendetail. Pria keturunan Pakistan itu sangat mengenal selera Linda. Makan malam mewah di restoran berstandar Michelin, satu buket mawar merah simbol cinta, dan yang paling penting, sebuah cincin berlian dari Cartier, brand favorit Linda.
“Kali ini, Linda pasti akan menerima lamaranku,” pikir Arham.
Sudah cukup lama Arham menjalin hubungan spesial dengan Linda, dan sudah sangat sering dia mengirimkan sinyal-sinyal kepada Linda kalau dia ingin melanjutkan hubungan mereka ke jenjang yang lebih serius. Namun, Linda selalu menemukan cara untuk menghindar.
Arham melirik jam tangannya, sudah lewat tiga puluh menit dari waktu kesepakatan mereka untuk bertemu. Pria itu menarik napas lalu mengembuskannya pelan-pelan, sepanjang dia mengenal Linda, wanita itu memang selalu datang terlambat.
Penantiannya berakhir dengan kedatangan seorang wanita cantik bergaun lembayung, gaun rancangan desainer, dengan tas berwarna perak dan sepatu stiletto berwarna serupa yang tidak dijual di sembarang toko.
“Linda!” Arham menyambut kedatangan wanita itu dengan lega sekaligus terpesona.
“Hai, Arham!” Linda mengecup pipi Arham lalu duduk di kursi yang sudah dipersiapkan oleh Arham.
“Kau cantik, Linda.” Arham duduk di hadapan Linda sambil mencium tangannya. “Aku sudah mempersiapkan ini untukmu.”
Arham menepuk tangannya, kemudian seorang pelayan muncul membawa buket besar bunga mawar.
“Untukmu, yang wajahnya lebih cantik dari bunga-bunga ini.” Arham memberikan buket mawar itu kepada Linda.
Di luar dugaannya, Linda menolak pemberian Arham.
“Aku tidak suka ini. Aku tahu, kau akan melamarku lagi, bukan? Aku tidak mau, Arham.”
Arham menunduk lemas, dia bahkan belum sempat mengeluarkan cincinnya. “Kumohon, menikahlah denganku, Linda. Kau bilang, kau mencintaiku. Tidakkah kau mau berkorban sedikit untukku?”
“Cinta dan pernikahan adalah dua hal yang berbeda, Arham. Keluargamu menuntut hal yang tidak bisa aku penuhi. Aku tidak mau mengubah diriku menjadi orang lain hanya untuk menyenangkan kedua orang tuamu.” Linda berkata penuh emosi, “Seperti inilah diriku. Aku menyukai kemewahan, aku tidak mau menjadi seorang menantu yang kerjanya seperti seorang pelayan. Tidak!”
Setelah berkata seperti itu, Linda langsung berdiri dan meninggalkan restoran.
Penolakan Linda mematahkan hati Arham. Sekeras apa pun mencoba, dia tidak bisa melupakan wajah cantik Linda dan senyumnya yang menawan. Namun, keputusan Linda untuk tidak mau menjadi bagian dari keluarganya sudah bulat, tak tergoyahkan.
Arham mengatasi semua sakit hatinya dengan memutuskan pindah ke kota kecil. Dia sengaja menerima sebuah pekerjaan yang jauh dari kantor pusat tempatnya biasa bekerja selama itu.
Kota kecil itu adalah kota kelahiran Arham, kota di mana jauh dari ingar-bingar dan kehidupan glamor seperti yang biasa dia jalani.
“Di sini, aku tidak akan lagi melihat sosokmu, Linda, dengan begitu, aku mungkin bisa melupakanmu,” batin Arham.
Kesibukan demi kesibukan ditelan Arham bulat-bulat. Hanya dengan bekerja, maka bayangan Linda hilang dari pikirannya.
“Pak Arham, jam kantor sudah selesai, tidak pulang?” Salah seorang rekan kerjanya menegur Arham. “Pak Arham ini masih muda. Jangan menghabiskan waktu terlalu lama hanya untuk bekerja, cobalah bersenang-senang sedikit, jalan-jalan ke alun-alun, misalnya. Kalau malam, lumayan ramai, banyak orang jualan.”
Arham mengangguk sopan. Dia merasa kalau saran rekannya tidak jelek. Suasana baru mungkin dapat membantunya menghilangkan semua beban rindunya kepada Linda.
Sesuai dengan perkataan rekannya itu, malam hari di alun-alun memang semarak. Jalanan cukup terang oleh lampu-lampu kota. Dengan santai dia mengunjungi satu demi satu penjual kaki lima yang ada di sana. Sebagian besar menjajakan makanan khas daerah, sisanya menjual pakaian-pakaian, sepatu, tas, dan bermacam aksesoris. Tidak ada toko khusus, para penjual itu cukup memamerkan barang dagangannya di atas meja kecil atau digantung sembarangan di rak-rak gantungan sederhana.
“Linda tidak akan mau kuajak berbelanja barang di sini,” gumam Arham.
Linda hanya memakai pakaian-pakaian bermerk dan pergi ke tempat-tempat perbelanjaan yang ada pendingin ruangannya, berlantai marmer, ada liftnya. Bukan pasar dadakan seperti yang sedang Arham kunjungi malam itu.
“Ah, kenapa aku lagi-lagi mengingat Linda!” Arham kemudian memaki dirinya sendiri dalam hati.
Entah bagaimana, sosok Linda melekat begitu erat, tak terhapuskan dari dalam kepalanya. Arham hampir frustasi karena itu. Ke mana pun dia pergi, dia selalu melihat sosok Linda. Malam itu pun sama.
Arham melihat seorang wanita bergaun sederhana sedang asyik memilih-milih kalung imitasi di sebuah kios aksesoris. Wajah wanita itu tidaklah asing di mata Arham.
“Linda!” Kerongkongan Arham tercekat sebab wanita yang dilihatnya mempunyai wajah persis seperti Linda.
Arham menggosok-gosokan mata, mengira dirinya mungkin sedang berhalusinasi. Tetapi, meski kelopak matanya sudah memerah karena dia gosok, sosok wanita itu masih ada di sana, nyata.
Menyadari apa yang dilihatnya adalah sungguhan dan bukannya mimpi, Arham melesat menuju ke arah wanita itu. Dia berpikir bahwa dia harus menemuinya.
Serombongan anak kecil tiba-tiba melintas persis di depannya, menghalangi langkahnya. Perhatian Arham menjadi teralihkan, dan saat itulah dia kehilangan sosok wanita yang mirip dengan Linda.
Arham tidak menyerah. Dia berlari kecil, menembus keramaian, matanya terus mencari-cari keberadaan wanita itu. Tetap, dia tidak berhasil menemukannya. Arham kemudian memutuskan untuk kembali ke kios aksesoris, tempat terakhir dia melihat wanita itu.
“Bang, ini saya beli semuanya.” Arham menunjuk deretan kalung imitasi berwarna-warni.
Si penjual dengan semangat melayani Arham.
“Bang, kenal sama wanita yang barusan datang ke sini? Rambutnya panjang, pakai baju biru, orangnya cantik?” tanya Arham sambil membayar.
“Oh, itu Lyla! Ini kota kecil, saya tinggal di sini sejak lahir, saya kenal hampir semua orang, kecuali dengan Bapak. Nah, Bapak pasti orang baru dari kota yang datang bekerja di sini, kan?”
Arham tersenyum ramah. “Lyla, ya, itu namanya. Apa Abang tahu di mana saya bisa ketemu dengan dia?” Arham mengeluarkan lagi beberapa lembar uang ratusan ribu, lebih banyak dari harga kalung-kalung yang telah dibayarnya tadi, menaruhnya di atas meja dagangan si penjual.
Si penjual terkekeh-kekeh senang. Dengan cepat dia meraup semua lembaran uang itu dan memasukannya ke sakunya, kemudian berkata, “Rumahnya tidak jauh dari sini. Bapak bisa ambil jalan lurus ke sana, nanti ketemu perempatan lampu merah, belok ke kanan, ada jembatan kecil, pangkalan ojeg, nah, rumahnya tidak jauh dari situ. Bapak tidak akan kesulitan mencarinya karena rumahnya dekat dengan danau.”
Arham mencatat baik-baik semua informasi yang baru saja dia terima. Saat itu sudah terlalu gelap untuk mencari-cari keberadaan Lyla, wanita asing yang memiliki wajah mirip Linda. Dia berencana untuk melanjutkan pencariannya itu esok hari.
Menemukan tempat tinggal Lyla ternyata tidak semudah yang Arham kira. Dia hampir menyerah sampai akhirnya melihat sebuah danau, persis seperti yang dikatakan si penjual aksesoris. Arham kemudian melangkah ke sana.
Danau itu menyimpan keindahan dalam ketenangan airnya. Sepi, tidak ada siapa-siapa selain seorang wanita. Itu Lyla.
Lyla tidak menyadari kehadiran Arham yang sedang memerhatikannya dari belakang. Dia menangis sambil bicara sendiri.
“Tiga ratus juta! Ya, Tuhan, berikan aku tiga ratus juta! Dari mana aku bisa mendapatkan uang sebanyak itu untuk menebus rumahku? Rumah peninggalan mendiang ayah ibuku?”
Arham tetap diam di tempatnya sambil masih mendengarkan semua jerit hati Lyla. Matanya tak berkedip memandang betapa miripnya wajah Lyla dengan Linda. Bahkan orang tuanya pun nanti pasti tidak akan dapat membedakan antara Lyla dengan Linda.
Senyuman tersungging di wajah Arham. Sebuah ide gila tercetus di dalam benaknya.
“Lyla! Aku akan memberimu tiga ratus juta.” Arham berseru sambil melangkah mendekati Lyla.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!