NovelToon NovelToon

Cinta Di Penghujung Rindu

Bab 1: Perjodohan

"APA?! Yang benar saja, Pah. Ini bukan zaman Siti Nurbaya yang harus ada jodoh-jodohan. Pokoknya aku gak mau kalau harus nikah karena dijodohin," tolak Degan. 

"Suka atau tidak, kamu tetap harus menerima perjodohan ini. Papah sudah menghubungi teman Papah, kalau besok kita akan berkunjung ke rumahnya dan menetapkan tanggal pernikahan kamu dan anaknya," tegas Pak Usman. 

"Tapi Pah. Bagaimana dengan Calista? Aku sangat mencintai dia dan akan menikahinya," ujar Dehan. 

"Tinggalkan dia! Dan terima perjodohan ini!"

Beliau pun beranjak dari duduknya, dan pergi meninggalkan Dehan di ruang tamu sendiri. Dehan Yakub Aydin Julian adalah anak semata wayang tuan Usman Julian bersama almarhum istrinya bernama Rahma Julian. 

Ia ingin anaknya memiliki pendamping hidup yang baik, maka dari itu beliau menjodohkan Dehan dengan anak temannya. Walaupun gadis yang ia jodohkan cacat fisik, tapi itu tak masalah untuk tuan Usman. Beliau menilai seseorang dari kepribadiannya, bukan dari fisik. Dan beliau yakin kalau gadis tersebut bisa merubah sifat Dehan menjadi lebih baik. 

Dehan memijit pelipisnya, ia dibuat pusing dengan permintaan papahnya untuk menerima perjodohannya. 

"Hai, Bro!" sapa Ilham. Ia berjalan menghampiri Dehan dan duduk di depannya. 

"Lo, kenapa? Kayak orang bingung?" tanya Ilham. 

"Gue dijodohin sama bokap," jawab spontan Dehan dengan masih memijit pelipisnya. 

"Bhaahaha!!"

"Kenapa lo ketawa?" tanya Dehan. 

"Ya lucu aja, bro. Seorang Dehan menikah karena dijodohin. Bhahaha!"

"Lo, bisa diam gak! Berisik tahu!" marah Dehan. 

"Sorry,sorry. Terus lo terima gak perjodohan ini?" tanya Ilham. 

"Tentu saja gue tolak," tegas Dehan. 

"Terus?"

"Gak ada penolakan. Mau gak mau gue harus terima perjodohan ini. Dan gue pun gak tahu gadis seperti apa yang bakal gue nikahin," ujar Dehan. 

Ilham kembali bertanya, "lalu bagaimana dengan Calista?"

"Entahlah gue bingung."

"Buat gue aja Calista kalau lo bingung. Gue rela jadi pengganti lo," celetuk Ilham. 

Dehan mengambil bantal kursi dan melemparnya. "Kurang ajar lo!"

Ilham pun terkekeh, "Kamal dah tahu kalau lo mau dijodohin?"

Dehan menatap tajam Ilham. "Iya, iya. Gue diam sekarang."

 🦋🦋🦋

Sedangkan di tempat lain, gadis yang akan di jodohkan dengan Dehan merasa resah. Ia takut kalau pria yang akan dijodohkan oleh ayahnya, tidak menerima dirinya yang sekarang tidak bisa melihat. 

"Apa yang kamu pikirkan, Nak?" tanya bu Fatimah. 

"Ibu," panggil Disha. Ia kaget dengan kedatangan ibu Fatimah ke kamarnya. 

"Disha, Ibu tahu kalau kamu tuh mengkhawatirkan perjodohan ini," ucap bu Fatimah. 

Disha hanya bisa tersenyum samar tanpa berkata sedikitpun. 

"Besok Pak Usman bersama anaknya akan datang kemari dan memperkenalkan kalian, sekaligus menentukan tanggal pernikahan."

"Secepat itu, Bu?" kaget Disha. 

"Iya, Nak. Ibu harap kamu menerima perjodohan ini dan bisa hidup bahagia."

"InsyaAllah, Bu. Disha akan menerima apapun keputusan Ibu dan ayah. Termasuk menerima perjodohan ini. Tapi jika anak teman ayah tidak bisa menerima keadaan Disha sekarang, Disha harap jangan memaksanya," jelas Disha. 

"Disha…."

Bu Fatimah beranjak dari hadapan Disha. Beliau tak mampu menahan air matanya, dan menangis dalam diam. Semenjak adik Disha meninggal akibat kecelakaan yang menimpa mereka berdua. Disha berubah menjadi pribadi yang cenderung banyak diam. Bukan karena ia kehilangan cahayanya. Namun, kehilangan adik tercinta menjadi pukulan terberat untuk dirinya. 

Semilir angin di sore hari menerpa wajah ayu Disha. Hijab panjang yang dikenakannya, bergerak kesana kemari bersama ujung gamis bewarna merah muda. Lamunan di waktu senja selalu membawanya kembali menerawang masa lalu. Masa dimana tawa canda selalu menggema. Derap langkah yang cepat disertai teriakan, terngiang selalu di telinga. 

Satu nama yang terucap 'Luthfi Rafisqy'. Dan seulas senyum serta do'a selalu mengiringinya. Setiap waktu Disha selalu merindukan adiknya. Namun, apadaya takdir berkata lain dan membawa Luthfi terlebih dahulu menghadap sang Khalik. 

Perlahan demi perlahan langit berwarna jingga berubah menjadi gelap. Selesai menunaikan ibadah shalat isya, Disha bersama ayah dan ibu makan bersama. 

"Disha," panggil ayah. 

"Ya, Yah."

"Apa kamu yakin menerima perjodohan ini? Ayah tidak akan memaksamu jika tidak mau."

"Insyaallah Disha yakin, Yah."

"Apa yang menjadi keputusan Ayah, Disha yakin itu yang terbaik."

"Tapi, Nak. Besok siang mereka akan datang dan langsung melamarmu. Tapi Ayah tidak yakin, kalau anak dari temen Ayah akan menerima kedaan fisikmu sekarang," cemas ayah. 

Disha mengelus punggung tangan ayah Gafi. "Ayah, jika pria tersebut tidak menerima keadaan fisik Disha, jangan memaksanya. Mungkin ia bukan jodoh Disha. Jangan terlalu mengkhawatirkan Disha, Yah."

"Nak…."

"Ya sudah, kita lebih baik makan sekarang, Disha sudah lapar banget dari tadi, Yah" rengek Disha. 

Seketika ayah Gafi dan ibu Fatimah tertawa mendengar rengekan puterinya. 

"Mau Ibu ambilkan nasinya?" tawar bu Fatimah. 

Segera Disha menolak, "tidak, Bu. Disha bisa sendiri kok, lebih baik Ibu melayani ayah saja."

"Baiklah, anak ibu yang mandiri."

Walau tidak bisa melihat, tak membuat Disha bergantung pada orang lain. Ia selalu berusaha melakukannya sendiri, walaupun awalnya membuat ia  kesulitan dan harus membiasakan diri. 

Di meja panjang, mereka makan bersama dengan khidmat. Hanya terdengar suara denting sendok dan piring yang saling beradu. Tak satu orangpun mengeluarkan suara, karena ayah Gafi melarang untuk berbicara ketika sedang makan. 

Malampun semakin larut, ditemani cahaya rembulan dan juga ribuan bintang yang berkelip. Rasa kantuk tak kunjung datang, membuat Disha akhirnya melakukan shalat sunnah malam. 

Dalam setiap do'a dan sujudnya, Disha berharap pria yang akan datang esok hari benar-benar jodoh terbaik untuknya dan bisa menerima segala kekurangan yang dimilikinya. Berharap rumah tangga yang akan dijalankan mendapat ridho dari yang maha kuasa, dan juga menjadi keluarga yang sakinah, mawadah warahmah. 

"Dek, besok akan ada laki-laki yang akan datang melamar kakak. Andai saja kamu masih disini," gumam Disha sambil memegang erat tasbih kecil pemberian Luthfi. 

*Flashback

"Kak, ini hadiah ulang tahun dari aku," ucap Luthfi. 

"Ini apa dek?" Tangan Disha mengambil kotak kecil di depannya. 

"Buka aja!"

Disha pun merobek bungkus kadonya dan membuka kotak kecil didalamnya. 

"Masyaallah, Dek. Cantik banget,"  kagum Disha. 

"Kakak suka?"

Disha mengangguk senang. 

"Kak, jika aku kelak pergi terlebih dahulu. Tolong jaga ibu dan ayah, juga aku ingin Kakak menggunakan tasbih ini untuk selalu berdzikir," ucap Luthfi tersenyum. 

"Kamu bicara apa sih, Dek? Jangan bicara seperti itu lagi! Kakak gak suka!" rajuk Disha.

"Kak, coba lihat bedak ini."

Disha pun melihat bedak yang ada di  telapak tangan Luthfi. Dan… Uuhh.

"LUTHFI RAFISQY!" teriak Disha. Mukanya penuh dengan bedak yang ditiupkan oleh Luthfi ke muka Disha.

"Bhahaha! Mau aja Kakak nih aku kerjain." Luthfi berlari keluar dari kamar Disha. 

"Awas kamu ya, Dek!"

*Flashback off

Bab 2: Kedatangan Dehan

Mengingat sebagian kecil dari kenangan bersama Luthfi, membuat Disha menitikan air mata. Tasbih kecil pemberian sang adik tak pernah lepas dari genggamannya. Disha selalu membawanya kemanapun ia pergi.

Tak hanya tasbih, foto kebersamaan dengan Luthfi pun memenuhi galeri handphone Disha. Menjelang jam dua dini hari Disha baru bisa memejamkan matanya, pergi ke alam bawah sadar penuh mimpi.

Setelah menunaikan ibadah shalat subuh, ibu Fatimah meminta ayah Gafi untuk mengantarnya ke pasar.

"Disha," panggil bu Fatimah.

"Ya, Bu."

"Ibu sama ayah mau pergi ke pasar dulu. Tidak apakan kami tinggal sebentar?"

"Tidak apa-apa, Bu" jawab Disha.

"Kalau begitu Ibu sama ayah pergi dulu, jangan lupa pintu depan kamu kunci. Assalamu'alaikum."

"Waalaikumsalam."

Setelah kendaraan yang dinaiki ibu dan ayah terdengar menjauh. Disha segera mengunci pintu. Di dalam rumah ia mengerjakan pekerjaan rumah seperti biasa.

Tok... Tok...

"Assalamu'alaikum, Disha" teriak orang diluar.

"Waalaikumsalam."

"Hay, Disha. Maaf pagi-pagi kita datang ke rumahmu, soalnya ini darurat," ucap Anne.

"Iya gak apa-apa. Ayo masuk!" ajak Disha.

Anne dan Jahra pun masuk, mereka berdua adalah sahabat Disha, dan sekarang menjalin kerjasama dalam bisnis toko kue. Ibu dan ayah Disha tidak mengetahui bisnis yang ditekuni puterinya. Disha sengaja tidak memberi perihal tersebut. Karena ia ingin memberi hadiah untuk ayah dan ibu dari hasil usahanya sendiri.

"Jadi, darurat kenapa? Sehingga pagi-pagi sekali kalian sudah berkunjung ke rumahku," tanya Disha.

"Ada yang memesan kue dissert dalam jumlah yang lumayan banyak dan juga kue pengantin yang besar dengan tiga tingkat," jelas Jahra.

"Lalu?"

"Nih anak ngerti kagak sih tadi aku ngomong," kesel Jahra, "yang jadi masalahnya kita gak bisa bikin dissert seenak buatan kamu, Disha sayang."

Disha kekikikan mendengar ucapan Jahra.

"Tolong dong Disha ajarin kita bikin dissert," rengek Anneke.

"Ya, tar aku ajarin kalian bikin dissert. Tapi tidak hari ini."

"Kenapa?" tanya Anneke dan Jahra bersamaan.

"Siang nanti akan ada tamu, teman ayah akan datang berkunjung," jawab Disha.

"Iya gak apa, lagian pesanannya juga untuk dua minggu kedepan," ujar Anneke.

Dua jam kemudian,  ayah dan ibu pulang dari pasar dengan menenteng barang belanjaan. Ayah membuka pintu menggunakan kunci yang dibawanya. Namun, beliau heran dengan pintu yang tidak terkunci.

Dengan perasaan gelisah, dengan cepat ayah Gafi menerobos masuk kedalam rumah.

"Assalamu'alaikum, Disha.?"

"Waalaikumsalam," jawab Anneke dan Jahra bersamaan.

Ayah bernapas lega, ternyata Disha kedatangan dua sahabatnya.

"Ada Anneke sama Jahra," ujar ibu.

Anneke dan Jahra menghampiri ibu juga ayah Disha. Mereka mencium tangan kedua orang tua Disha.

"Sudah lama?" tanya ayah.

"Baru datang, Yah" jawab Jahra.

"Ibu sama ayah baru pulang dari pasar?" tanya Jahra.

"Iya, soalnya nanti siang akan ada temen ayah datang berkunjung."

"Kalau begitu kita akan membantu ibu di dapur," tawar Anneke.

"Wah, boleh tuh. Ayok kita ke dapur!"

Ibu bersama Anneke dan Jahra pergi ke dapur. Sedangkan ayah Gafi duduk disamping Disha.

"Kamu tidak ikut ke dapur juga," tanya ayah.

"Tidak, Yah. Ada Anneke dan Jahra yang membantu ibu," jawab Disha.

"Terus kamu?"

"Disha mau siap-siap untuk menyambut teman ayah. Disha harus terlihat cantik bukan biar gak malu-maluin," ucap Disha sambil cekikikan.

"Sampai kapanpun kamu tetap puteri tercantik ayah, bagaimanapun keadaanmu. Kecantikan bukan terlihat dari fisiknya, melainkan dari hati," ujar ayah.

Disha tersenyum. " Ayah mau Disha buatkan kopi?"

"Nanti saja. Ayah mau menyiram anak-anak ayah dulu, kasihan pasti mereka haus."

Ayah Gafi beranjak dari duduknya dan pergi keluar untuk menyiram semua tanaman bunganya. Ayah memang menyukai  bunga, hingga beliau menanam berbagai aneka bunga yang menghiasi halaman depan rumahnya.

Jarum jam sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi. Beberapa aneka lauk sudah dihidangkan di atas meja dengan rapi. Begitu pula aneka kue yang tertata apik di meja ruang tamu.

Sebuah mobil mewah memasuki halaman depan rumah Disha. Orang yang mengendari mobil tersebut keluar bersama ayahnya.

"Ini rumah teman, Papah?" tanya Dehan.

"Iya, ayok kita masuk!" ajak Tuan Usman.

Dehan bersama tuan Usman berjalan menuju pintu depan yang sudah terbuka.

"Assalamu'alaikum."

"Waalaikumsalam," jawab ayah Gafi, " akhirnya datang juga tamu yang ditunggu."

"Maaf kami datang lebih cepat."

"Tidak apa. Bagaimana kabarmu sobat?" tanya ayah Gafi.

"Alhamdulillah baik. Oh ya, perkenalkan ini anakku Dehan."

Ia pun langsung mencium punggung tangan ayah Gafi.

"Kemana istrimu?" tanya tuan Usman.

Sebelum ayah Gafi menjawab, bu Fatimah datang menghampiri sambil membawa beberapa gelas minuman.

"Pak Usman dan anaknya sudah datang ternyata. Gimana perjalanannya?" tanya bu Fatimah.

"Alhamdulillah lancar. Dimana anakmu Gafi?"

"Disha masih di kamarnya. Sebentar lagi ia pasti turun," jawab ayah.

Sambil menunggu Disha datang, ketiga orang tua tersebut berbincang-bincang. Sedangkan Dehan malah asyik memainkan handphonenya. Suara derap langkah pun terdengar, semua orang yang berada di ruang tamu menoleh pada asal suara tersebut. Terkecuali Dehan, ia seakan tidak peduli dengan apa yang disekitarnya.

Seorang gadis dengan pandangan kosong dan tongkatnya berjalan mendekat. Gadis muslimah dengan pakaian dan juga make up yang sederhana. Bu Fatimah berjalan menghampiri dan mendudukan Disha di sampingnya.

"Disha, paman Usman datang bersama anaknya," ucap ayah.

"Bagaimana kabarmu, Nak?" tanya tuan Usman.

"Alhamdulillah baik, Paman?".

"Apa ayahmu sudah cerita maksud Paman datang hari ini?"

"Ya."

"Paman datang kesini untuk meminangmu menjadi istri dari anak Paman bernama Dehan Yakub Aydin Julian. Apa kamu menerima pinangan tersebut?"

Dehan yang merasa namanya di sebut, menoleh. Dan ia terkejut dengan gadis yang ada di depannya. Seorang gadis tanpa cahaya penglihatan. Gadis yang sebentar lagi akan menjadi istrinya. Dalam hati ia mengumpat, bagaimana bisa ia memiliki seorang istri yang buta, walaupun ia tak memungkiri kalau Daisha lebih cantik dengan dandanan sederhananya dibanding Calista, kekasihnya.

"Papah," bisik Dehan.

Namun, tuan Usman tidak mengindahkannya.

"Sebelum saya menjawab pinangan Paman. Bolehkah saya berbincang sedikit dengan anak Paman?"

"Kalau begitu kami akan meninggalkan kalian untuk mengobrol terlebih dahulu dan  memperkenalkan diri," ucap ayah.

Ayah, ibu dan juga tuan Usman meninggalkan Disha dan Dehan di ruang tamu.

"Siapa namamu?" tanya Dehan ketus.

"Daisha Zian Syafrina."

"Aku Dehan Yakub Aydin Julian. Apa kamu akan menerima pinangan ayahku?"

"Kamu sendiri? Apa menerima perjodohan ini?" tanya balik Disha.

"Tentu saja tidak! Karena aku sudah mempunyai kekasih yang akan aku nikahi."

Deg...

'Ya Allah, ternyata dia sudah memiliki pilihannya sendiri," batin Disha.

"Tapi papah tidak menerima penolakan. Mau tidak mau aku harus menerima di jodohkan denganmu," ucap kembali Dehan.

"Lalu bagaimana dengn kekasihmu? Apa kamu juga akan menerima gadis buta seperti aku sebagai istrimu," tanya beruntun Disha.

"Entahlah, aku belum memikirkan apa yang harus aku lakukan kepada kekasihku. Yang pasti dengan terpaksa aku akan menikahimu, ya... Walaupun kamu buta."

Bab 3: Gadis Buta

Disha tersenyum miris, mendengar pertanyaan Dehan yang memiliki kekasih dan terpaksa menikah dengan gadis buta seperti dirinya. Disha sudah bisa menebak kalau Dehan kecewa dengannya.

"Jadi aku harus bagaimana? Apa aku harus menerima pinangan ini atau tidak?" tanya Disha.

"Kenapa kamu bertanya padaku? Itukan keputusanmu."

"Baiklah, maka akan aku katakan kepada papahmu kalau aku menolak pinangannya. Karena aku tahu kalau kamu kecewa dengan aku yang buta ini. Aku sadar akan hal itu. Dan aku minta maaf atas perjodohan ini," jelas Disha.

Dehan di buat melongo mendengar penjelasan Disha. Setegar itukah gadis di depannya ini.

"Bolehkah aku bertanya?"

"Silakan."

"Apa kamu buta sejak lahir?"

"Tidak, aku buta karena sebuah kecelakaan yang menimpaku dan juga almarhum adikku," ucap Disha.

"Kamu punya adik?"

"Ya, namanya Luthfi Rafisqy."

Disela perbincangan Disha dam Dehan, Bu Fatimah datang.

"Disha, nak Dehan, ayok makan dulu! Ayah sama tuan Usman sudah menunggu di meja makan."

"Iya, Bu. Sebentar lagi kami menyusul."

Disha berdiri diikuti dengan Dehan. 

"Wah, jadi merepotkan," ucap tuan Usman.

"Tidak merepotkan kok, Pak. Ayok silakan dicicipi, maaf lauknya sederhana."

Bu Fatimah mengambilkan nasi untuk tuan Usman dan Dehan, kemudian untuk ayah Gafi.  Sedangkan Disha mengambil nasi sendiri. Dehan yang duduk di depan Disha, mengamati setiap pergerakan wanita di depannya.

"Walaupun kamu buta, tapi kamu cukup mandiri juga," celetuk Dehan.

Disha tersenyum mendengar penuturan Dehan.

"Dari kecil Disha wanita yang mandiri, kebutaan yang dialaminya sekarang tak membuat Disha bergantung pada orang lain sepenuhnya," tutur ibu.

"Ehem," dehem tuan Usman.

Perkataan Dehan mengenai Disha membuat suasana makan menjadi canggung. Selesai makan Ayah Gafi dan tuan Usman duduk di bangku panjang teras depan, sedangkan Disha bersama ibu Fatimah membereskan meja makan.

"Usman, apa kamu yakin akan menjodohkan Dehan dengan anakku?" tanya ayah Gafi.

"Aku sangat yakin, karena menurut aku hanya Disha yang bisa menjadi pendamping Dehan. Dan aku  minta maaf atas ucapan Dehan tadi."

Sejenak mereka pun terdiam.

"Lebih baik kita kedalam dan mendengar keputusan Disha," ucap ayah Gafi.

Kini Disha duduk diantara ayah Gafi dan ibu Fatimah. Tangannya di atas paha, memegang erat baju gamis yang dikenakannya. Terdengar hembusan napas dari mulut wanita tersebut, dan dengan mengucapkan basmalah dalam hati ia pun mulai membuka mulut.

"Paman Usman,  saya me...."

"Menerima pinangannya. Bukan begitukan, Disha?" sela Dehan.

Disha mengerngit, bukan itu sebenarnya yang ingin ia katakan.

"Diam kamu! Biarkan Disha yang bicara," hardik tuan Usman.

"Saya...."

Disha terdiam, keputusan yang sudah diambilnya membuat ia ragu dengan apa yang dikatakan Dehan barusan. Bagaimana mungkin pria tersebut bisa berkata seperti itu, lalu bagaimana dengan kekasihnya?.

"Jadi apa keputusanmu, Nak? " tanya lembut tuan Usman.

"Saya... Menerima pinangan Paman," ucap ragu Disha.

"Alhamdulillah."

Tuan Usman begitu senang, tapi tidak dengan ayah Gafi dan juga ibu Fatimah. Mereka khawatir dengan rumah tangga yang akan dijalani Disha nanti.

"Baiklah, pernikahannya akan kita laksanakan dua minggu lagi. Apa kalian setuju?"

"Apa itu tidak terlalu cepat, Usman?"

"Lebih cepat, lebih baik bukan."

"Paman bolehkah aku meminta satu hal?" tanya Disha.

"Apa itu?"

"Disha ingin pernikahan ini hanya dihadiri kebarat terdekat saja dengan sederhana," pinta Disha.

"Kenapa?"

"Disha tidak ingin mempermalukan Paman karena memilih gadis buta untuk menjadi menantu."

"Jangan berkata seperti itu. Kita akan mencarikan donor mata untukmu, dan lagi pula Paman tidak malu dengan keadaanmu, semua orang punya kekurangan. Tapi Paman tetap menghormati apa yang menjadi keinginan mu."

Hari pun beranjak malam, tuan Usman dan Dehan pamit pulang. Mereka harus mempersiapkan mahar untuk pernikahan juga beberapa barang seserahan.

Sedangkan Disha masih bergelayut dengan pikirannya yang terus berkecamuk. Ia tak ingin menjadi penghalang kebahagiaan Dehan dan kekasihnya, tapi disaat ia akan memutuskan Dehan justru menyela perkataan Disha.

Ada apa sebenarnya dengan Dehan?

🦋🦋🦋

"Kamal kau sudah datang?" tanya Dehan hendak menuruni tangga.

"Ini sudah jam berapa? sebentar lagi kita harus menghadiri meeting dengan klien dari Jerman," omel Kamal.

"Ayok kita berangkat sekarang!" 

Dehan bangun kesiangan, karena merasa lelah setelah pulang dari kediaman Disha. Hingga ia lupa dengan meeting yang dijadwalkan pagi ini. Beruntung Kamal si asisten sekaligus sabahat Dehan selalu mengingatkan nya.

Mereka pun sampai di tempat tujuan. Sebuah restoran mewah dengan interior ala Eropa menjadi pilihan tempat dimana Dehan dan kliennya melakukan meeting.

"Maaf saya terlambat datang," ucap Dehan.

"Tidak apa, saya juga baru datang."

Dehan dan Kamal pun duduk, mereka terlihat serius dengan pembicaraan kerja sama yang akan dilakukan kedua belah pihak. Dua jam sudah berlalu dan sebuah kesepakatan pun terjadi. Beberapa kertas surat kontrak ditandatangani oleh kedua pihak perusahaan tersebut.

"Semoga kerja sama ini berjalan lancar, dan saya ucapkan terima kasih."

"Sama-sama. Kalau begitu saya harus pergi sekarang."

Klien Dehan berlalu meninggalkan restoran terlebih dahulu, tak berselang lama  Dehan dan Kamal juga meninggalkan tempat tersebut. Sesampai diparkiran Dehan meminta Kamal untuk mengantarnya ke toko perhiasan.

"Untuk apa kita kesana?" tanya Kamal.

"Membeli mahar pernikahan."

Ciitt...

Ban mobil yang bersentuhan dengan aspal, mendadak berhenti, daan kening Dehan membentur jok depan mobil.

"AWW ... Lo, bisa nyetir gak sih?!" bentak Dehan.

"Lo mau nikah? sama Calista?"

"Bukan!"

Kamal mengernyit. " Terus sama siapa?"

"Panjang ceritanya, cepat anter dulu gue kesana. Sebelum bokap marah."

Kamal pun kembali melajukan mobilnya menuju toko perhiasan. Sesampainya disana Dehan dibuat bingung dengan ukuran cincin kawin untuk Disha.

"Tolong bungkus ini saja," pinta Dehan.

"Baik, Tuan."

Satu set perhiasan mahal di beli Dehan dengan sepasang cincin kawin, tanpa peduli cincin yang dibelinya cukup atau tidak dipakai Disha. Ketika Dehan beranjak dari duduknya, dengan tidak sengaja ia bertemu Calista.

"Hay Sayang, sedang apa kamu disini?" tanya Calista.

"Aku sedang menemani Kamal membeli perhiasan untuk kekasihnya," jawab asal Dehan.

Kamal geleng-geleng kepala melihat Dehan berbohong pada Calista. Tanpa ingin berbicara lebih lama lagi, ia segera pergi meninggalkan Calista, membuat si empu merasa heran. Dering handphone di saku jasnya berbunyi. Terlihat sebuah pesan yang dikirim Calista membuat Dehan tersenyum setelah membacanya.

"Berhenti disini!" pinta Dehan.

"Lo mau kemana lagi?"

"Ada urusan sebentar," jawab Dehan.

Kamal memutar malas bola matanya. Ia sudah tahu kalau Dehan akan bertemu dengan Calista, dan ia pun harus turun dari mobil juga kembali ke kantor sendiri. Aplikasi taksi online menjadi pilihan Kamal.

"Inget! Lo jangan lama-lama. Masih ada beberapa dokumen yang harus ditandatangani, gue gak mau kalau harus lembur lagi," ucap Kamal.

"Cerewet!"

Kamal turun dari mobil dan menunggu taksi online pesanannya. Sedangkan Dehan langsung pergi meninggalkan si asisten di pinggir jalan. Beruntung tak lama taksi online datang menjemput Kamal.

Dehan kembali ke toko perhiasan tadi dan menjemput kekasih tercintanya. Calista tersenyum manis begitu melihat mobil yang di kendarai Dehan datang dan berhenti di depannya. Ia membuka pintu dan langsung masuk ke dalam.

"Sekarang kita kemana?" tanya Dehan.

"Antar aku pulang ke apartemenku saja."

Kembali mesin mobil Dehan nyalakan. Melaju membelah jalanan beraspal. Waktu yang ditempuh menuju apartemen Calista sekitar 30 menit. Jalanan cukup senggang memudahkan Dehan untuk cepat sampai di tempat tujuan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!