Kinanti, gadis biasa yang hidup di tengah keluarga yang jauh dari kata harmonis. Hubungan kedua orang tuanya tidak begitu akur tapi ayah ibunya menyayangi mereka, ia dan kedua adiknya.
Ayah dan ibunya sempat berpisah karena ibunya tidak tahan dengan tekanan keluarga dari ayahnya ditambah ayahnya memiliki penyakit tukang kawin.
Tersiksa tekanan batin membuat ibunya memutuskan pulang ke kampung halaman membawa Kinan dan kedua adiknya.
Sebagai anak paling besar, Kinan menyaksikan apa yang dialami ibunya. Berharap semoga kelak dia tidak merasakan apa yang dirasakan oleh ibunya.
Sayang, manusia punya harapan tapi dunia punya kenyataan. Kinan bukan tipe gadis cantik yang pandai bergaul. Temannya hanya bisa dihitung jari. Bukan gadis yang juga bisa bergaul dengan lawan jenis. Disaat temannya yang hitungan jari sudah mulai mengenal pria sejak duduk di bangku SMP, Kinan hanya bisa menatap iri dan bermimpi kapan ia akan dilirik oleh pria saat teman-temannya berbicara tentang pengalaman mereka berpacaran.
Hingga SMA, Kinan belum juga pernah merasakan bagaimana itu yang disebut dengan pacaran. Harusnya ini adalah sebuah anugerah, terhindar dari zina. Tapi akibat pengetahuan agama yang minim, Kinan menganggap itu musibah karena fisiknya yang biasa saja, tidak menarik sama sekali.
Hingga lulus SMA, masa-masa yang disebut sebagian besar orang sebagai masa-masa paling indah, terlewat begitu saja. Tidak ada yang spesial bagi Kinan.
Tamat SMA, Kinan memutuskan untuk merantau ke negeri jiran, Malaysia. Menjadi TKI. Hal itu ditantang oleh orang tuanya. Kinan dipaksa kuliah di universitas setempat. Kinan berusaha membujuk ayah ibunya karena menyadari keadaan ekonomi mereka yang tidak akan mampu membayar biaya kuliahnya. Namun, ibunya tetap memaksa, akhirnya ia pun mendaftarkan diri di kampus, mengambil jurusan keguruan.
Kinan tidak berharap bahwa masa-masa kuliahnya akan berjalan manis mengingat masa SMP, SMA-nya berjalan dengan suram. Tidak ada semangat berkobar menanti saat Ospek tiba.
Benar saja, hari pertama ia resmi menjadi mahasiswa diiringi dengan kepergian ibunya yang mendadak menghadap Sang Ilahi, sehari sebelum hari ulang tahunnya yang ke-18 tahun.
Kinan tidak menyangka akan ditinggalkan sang Ibu di usia yang bisa dikatakan masih muda. Kedua adiknya masih duduk di bangku SD dan SMA. Kini ia harus mengemban tugas menggantikan posisi ibunya. Menjaga kedua adiknya. Sementara ayahnya, sibuk dengan penyesalan yang tiada berarti.
Meski berat, hidup harus tetap berlanjut, bukan? Kinan mulai menjalani hidupnya sebagai mahasiswa dan juga sebagai ibu untuk kedua adiknya.
Seiring berjalannya waktu, Kinan mulai terbiasa dengan jalan hidupnya. Semester pertama berlalu, tidak ada yang spesial. Tidak ada teman yang berarti. Terpikir olehnya untuk berhenti kuliah, nasib baik ia mendapat beasiswa.
Satu waktu, Kinan dipertemukan dengan laki-laki yang nge-kost di samping rumahnya. Namanya Fadly Siahaan. Laki-laki yang menawarkan cinta padanya.
Masa mudanya mulai berwarna. Fadly berasal dari kampung sebelah. Rupanya tidak tampan, malah bisa dikategorikan jelek. Maaf Tuhan, telah menghina salah satu makhluk ciptaan-MU. Tapi Fadly sangat menguasai seni berbicara yang membuat Kinan luluh seketika.
Kinan yang tidak memiliki pengalaman tentang pria mulai terbuai akan sikap dan tingkah laku Fadly. Empat bulan menjalin hubungan, kebusukan Fadly mulai tercium, ternyata Fadly sudah memiliki seorang kekasih. Kinan hanya dijadikan sebagai pengisi waktu luang. Dasar bangsat!
Kinan mengakhiri hubungan tersebut dan kembali menjomblo. Delapan bulan kemudian, salah satu teman kuliahnya memperkenalkannya pada seorang pria yang bisa dikatakan cukup tampan. Namanya Roy. Kinan kembali menjalin hubungan. Kejadian bersama Fadly terulang lagi. Kinan ternyata hanya dijadikan pengisi waktu luang juga.
Marah, kecewa dan minder, itulah yang dirasakan Kinan. Sering ia berdiri di hadapan cermin memandangi dirinya. Menyadari bahwa memang ia gadis yang tidak menarik sama sekali. Tubuhnya pendek, lengannya cukup besar, kulitnya putih dan rambutnya lurus panjang tanpa rebonding. Berat badannya 60 kilo, terlihat gemuk untuk gadis yang memiliki tinggi 150 senti.
Kinan akhirnya memutuskan untuk mengubah penampilannya dengan cara berdiet. Sebelum rencananya itu berjalan sukses, Kinan kembali diperkenalkan salah satu teman SMP-nya dengan laki-laki bernama Beni.
Kinan yang lugu mendekati bodoh kembali menyambut perkenalan tersebut. Awalnya berjalan mulus, lalu lagi dan lagi, Beni ternyata juga sudah memiliki seorang kekasih. Beni dan kekasihnya sedang memiliki masalah hingga Beni mencari hiburan.
Untuk kesekian kalinya, Kinan mengakhiri hubungannya dengan membawa sakit hatinya. Ia pun fokus untuk merubah penampilannya. Kinan mengkonsumsi pil diet dan akhirnya berhasil. Bobotnya berkurang hingga 9 kilo cukup mengubah penampilannya.
Mulai banyak pria yang mendekat tapi Kinan menolak. Hingga di tahun ketiga, Kinan kembali dipertemukan dengan Beni.
Beni meminta maaf kepadanya, berusaha mendekatinya lagi. Tak gentar usaha Beni ini hingga Kinan akhirnya luluh. Hubungan keduanya bertahan hingga tahun ke empat meski di tengah penolakan keluarga Beni.
Kinan yang mendapat serangan dari keluarga Beni mulai lelah. Tidak kuat menerima caci maki dari keluarga kekasihnya itu. Kinan kemudian memilih mengakhiri hubungan mereka dengan alasan bahwa hubungan ini tidak akan ada masa depannya tanpa restu dari orang tua.
Kinan mulai menjauh dari Beni, menghindari pria itu, mengabaikan panggilan dan SMS-nya.
Beni menyalahkan orang tuannya. Keributan tidak terhindarkan. Kinan tidak mengetahui hal itu. Beni mulai jarang pulang ke rumah, bersenang-senang di luar hingga terjerumus ke dalam pergaulan bebas. Dalam keadaan teler, Beni mengalami kecelakaan tunggal dan dilarikan ke rumah sakit.
Setengah sadar, Beni memohon kepada orang tuanya agar Kinan yang merawatnya. Melihat kondisi putra mereka, Rosa dan Untung, selaku kedua orang tua Beni pergi menemui Kinan untuk merawat putra mereka.
Kinan yang masih menyimpan rasa pada Beni pun bersedia. Dengan cara itu lah, Kinan mendapat restu dari Rosa dan Untung. Restu yang diberikan secara terpaksa.
Kinan dan Beni mulai menata hubungan mereka kembali. Merasa ada yang lain dan berbeda dari kekasihnya, Kinan bertanya kepada Beni. Beni pun jujur bahwa dirinya sudah terjerumus ke liang narkoba.
Kinan terang saja terkejut. Ia menangis dan dengan berat hati mengatakan ingin mengakhiri hubungan mereka. Beni bersembah sujud, memohon ampun dan maaf di kaki Kinan. Berjanji akan berubah asal Kinan bersedia menerima lamarannya.
Kinan gadis bodoh yang lugu, memberi kesempatan pada Beni. Percaya bahwa Beni-nya akan berubah.
Singkat cerita keduanya pun menikah dengan harapan Beni benar-benar berubah. Tapi yang terjadi justru sebaliknya, Di bulan kedua pernikahan, Kinan menyadari kesalahannya.
Tiada hari tanpa pertengkaran. Beni semakin menjadi. Narkoba sudah menjadi candunya. Sifat buruk sudah menguasai Beni. Masalah pun mulai datang tiada henti. Perselingkuhan pun terjadi bahkan KDRT.
Ini bukan rumah tangga menuju surga, tapi neraka.
Akankah Kinan mengakhiri pernikahan mereka atau tetap bertahan dengan harapan Beni akan berubah?
Ini bukan hanya novel fiksi semata, ini kejadian nyata yang terjadi di tengah-tengah kehidupan kita. Tetangga, saudara atau mungkin salah satu dari kita ada yang mengalaminya. Sinema ikan terbang, dimana istri yang selalu terdzolimi. Banyak yang mengatakan bodoh, gila dan konyol, faktanya, kejadian seperti demikian sering terjadi di tengah masyarakat.
Lantas, apa yang harus dilakukan jika itu terjadi pada aku, kamu, kita? Memilih sabar dan tetap bertahan atau memilih untuk mengakhiri dengan berani. Apa pun keputusannya, tidak ada satu pun dari orang lain yang memiliki hak untuk berkata bodoh kepada kita.
Mungkin apa yang dialami dan akan dilakukan Kinan bisa menjadi contoh bagi kita semua. So, silakan baca dan nikmati cerita ini. Akan ada banyak air mata yang berakhir tawa. Akan banyak luka yang berakhir bahagia. Akan ada sabar yang berbuah manis.
"Bu, kenapa kita tidak tinggal bersama Ayah?"
Ibu Fatima yang saat itu sedang menjahit, menghentikan goyangan kakinya. Kinan yang masih berusia tujuh tahun belum bisa mengartikan ekspresi sedih di raut wajah ibunya yang kurus yang terlihat delapan tahun lebih tua dari usia seharusnya.
Kinan bersama ibu dan kedua adiknya tinggal di kampung. Sementara ayahnya, Mustofa Rahman, tinggal di kota.
Kinan masih terlalu kecil untuk mengetahui problema rumah tangga ayah dan ibunya. Sejak usia empat tahun, mereka tinggal berempat. Itulah yang menjadi tanda tanya pada Kinan sementara gadis kecil itu jelas tahu bahwa ayah mereka masih hidup. Kinan suka iri melihat teman-teman sebayanya yang sering diajak jajan sama ayah mereka.
Sementar Kinan dan adik-adiknya, boro-boro diajak jajan sama ayah mereka, ia dan adiknya bahkan tidak pernah jajan kecuali di hari kamis. Hari di mana ibunya menerima gaji dari hasil jahitan. Hari kamis, seperti hari raya bagi Kinan dan kedua adiknya, meski nominal yang diberikan oleh ibunya recehan yang hanya bisa membeli permen karet dua biji.
"Kinan rindu sama Ayah?"
Kinan menganggukkan kepala hingga poninya menari-nari.
"Nanti kalau sudah libur sekolah, Kinan bisa mengunjungi Ayah."
Netra Kinan berbinar seketika. Saat ini Kinan masih duduk di kelas satu SD dan kebetulan sedang ujian. Mendengar liburan dan bertemu dengan Ayah jelas menciptakan imajinasi yang menyenangkan dalam benaknya.
"Benaran, Bu?"
"Iya," jawab ibunya singkat. Ibu Fatimah bukanlah wanita yang romantis terhadap anak-anaknya. Akibat beban mental yang dialaminya yang jelas belum dimengerti oleh anak-anaknya.
Kinan bersama ibu dan kedua adiknya tinggal di rumah panggung yang tidak memiliki aliran listrik juga kamar mandi. Rumah pemberian salah satu sepupu jauh ibunya yang merasa kasihan pada mereka. Sebelum tinggal di rumah panggung ini, mereka tinggal mengontrak yang selalu berujung diusir oleh pemiliknya karena bayaran yang tidak tepat waktu. Sangat kasihan.
"Asiiikkk..." Kinan berseru kegirangan.
"Pelankan suaramu, Kinan. Valdi dan Vita sedang tidur. Jangan membangunkan mereka."
"Kita juga harus tidur, Bu."
"Kamu tidur saja duluan, Ibu masih mau menyelesaikan jahitan ini. Besok pagi, Ibu Liza akan datang mengambilnya," ibu Fatimah menguap berulang kali.
Dengan bingung, Kinan memandangi ibunya yang jelas-jelas sudah mengantuk. Anak seusianya mana faham dengan apa yang disebut kejar setoran.
"Lampunya juga sudah mau mati, Bu." Kinan menunjuk lampu sumbu yang menyala dengan kekuatan minyak tanah.
"Ambilkan minyak tanah sebelum kamu tidur."
Kinan segera berlari ke dapur yang menimbulkan bunyi akibat hentakan kakinya di lantai papan. Dia membawakan minyak lampu dan memberikanya kepada ibunya kemudian segera masuk ke dalan kamar, bergabung bersama kedua adiknya. Entah jam berapa ibunya bergabung dengan mereka karena Kinan terbangun saat matahari sudah bersinar.
"Kinan, bangunlah."
Seperti biasa, suara ibunya lah yang menjadi alarm untuknya. Selain tidak memiliki kamar mandi dan listrik, rumah mereka juga tidak mempunyai jam yang dipajang di dinding.
Rumah mereka hanya memiliki satu lemari pakaian yang diletakkan di ruang utama, di dekat mesin jahit ibunya. Kinan tidak tahu apakah lemari itu dibeli ibunya atau pemberian orang lain. Mereka memiliki satu ranjang, tidak besar tapi cukup menampung mereka berempat. Di ruang utama, mereka juga memiliki sepasang kursi dari rotan. Kursi yang memang sudah ada di rumah itu sejak mereka datang ke sana. Di dapur, terdapat rak piring kecil yang diisi perlengkapan makan dari plastik. Ada kompor dengan ukuran kecil, 16 sumbu. Kompor yang cukup terkenal pada zamannya. Kompor Hock.
"Kinan masih mengantuk, Bu."
"Kamu akan terlambat sekolah." Ibunya memberikan handuk kecil yang tidak mampu menyerap keringat sama sekali. Tidak lupa ibunya juga memberikan perlengkapan mandi yang cukup komplit untuk ukuran orang kurang mampu. Sikat gigi satu untuk semua lengkap dengan pasta giginya, bukan Pepsodent, melainkan odol murah dengan ukuran besar, rasanya cukup pedas dan panas di mulut, kemudian sabun mandi Lark dengan wangi yang cukup menyengat juga sampo emeron warna hitam.
"Bawakan air untuk memasak," ibunya memberikan ember jinjing yang terkenal dengan logonya 'anti pecah'.
"Pulang sekolah nanti, kamu isi ember kita sampai penuh."
"Ya, Bu," dengan bekas iler yang tercetak jelas di wajah, Kinan berjalan menuju pemandian umum yang berjarak sepuluh menit dari rumahnya.
Di kampungnya, memang masih banyak warga yang tidak memiliki kamar mandi pribadi. Memiliki kamar mandi pada masa itu bisa dikatakan sultan. Jadi tidak heran jika di pemandian umum itu sangat padat sekali saat pagi hari. Belum lagi yang antri untuk boker.
Kinan duduk diantara anak tangga, masih menahan kantuk dan dingin. Udara di kampungnya memang hampir sama dengan kota Brastagi.
"Kinan,"
Aswita, teman sekelasnya datang menyapa dengan keadaan yang hampir sama dengannya. Bekas iler yang masih membekas, handuk yang melilit di tubuh juga ember berisi sabun. Bedanya, Aswita tidak membawa ember anti pecah untuk diisi air lalu dibawa pulang. Ya, Aswita memiliki tiga kakak perempuan yang bisa melakukan tugas tersebut.
"Kamu menonton Panji Manusia Milenium, tidak tadi malam?"
Kinan menggeleng pasrah, "Meli tidak mau membuka rumah mereka. Aku tidak bisa mengintip untuk menonton."
"Kenapa tidak pergi ke warung Elsa?" warung kopi Elsa adalah satu-satunya warung yang mengerti keinginan anak-anak. Meski isinya penuh dengan bapak-bapak, tapi pemilik warung selalu memutar siaran anak-anak pada jam-jam tertentu. Sungguh mulia hati Pak Amin, selaku pemilik warung.
"Jauh. Aku tidak berani pulang malam sendiri. Kamu nonton di sana?"
"Ya. Aku ingin menikah dengan Panji kalau sudah besar. Panji ganteng ya, Kinan."
"Ho'oh. Aku juga ingin menikah dengan Panji."
"Kita berdua menikah dengan Panji?"
"Mana boleh."
"Terus, kenapa kamu mau menikah dengannya? Kan aku duluan yang ingin menikah dengannya?" Aswita cemberut.
"Kamu menikah dengan Ucil saja."
"Ucil kan tuyul, aku tidak mau!"
"Nanti kamu banyak uangnya. Suruh Ucil mengambil uang Doni." Doni teman sekelas mereka. Anak laki-laki penjual lontong di kampung itu yang cukup laris. Lontong buatan pak Pagul, ayah Doni memang sangat enak.
"Itu mencuri."
"Suruh Ucil buka baju dulu biar tidak kelihatan."
"Aku tetap akan menikah dengan Panji! Kamu tidak boleh merebutnya!'
"Ya sudah, aku akan bilang sama Erni, Isra, Neni dan Diana juga anak-anak yang lain untuk memusuhimu."
Aswita terdiam sesaat. Wajahnya masih cemberut dan hampir-hampir menangis. Dengan pasrah dan mengalah serta terpaksa, Aswita berkata, "Ya sudah, kamu menikah dengan Panji. Aku menikahnya dengan Primus saja."
"Nah, begitu kan enak. Wah, odolmu closeup," Kinan mengintip ke ember sabun milik Aswita. "Aku minta dikit, boleh?"
"Nanti Ibuku marah, kenapa pasta giginya cepat habis. Kamu 'kan punya odol?"
"Odolnya Maxam."
"Bu, Kinan juara 1 lagi...." Kinan berseru dari luar rumah.
"Assalamualaikum." Kinan melongos masuk ke dalam rumah.
"Waalaikumussalam," sahut ibunya tanpa mengalihkan tatapan dari sulamannya. Selain menjahit, ibunya memiliki pekerjaan lain, menyulam juga menenun. Ibunya bekerja sesuai permintaan. Kalau tidak ada orderan, ibunya bahkan akan bekerja di sawah jika ada yang memanggil. Tiga puluh ribu, gaji yang diterima ibunya jika bekerja di sawah seharian. Dari jam delapan pagi hingga jam lima sore.
"Ibu, Kinan naik kelas dan juara satu!!" Kinan menunjukkan raportnya yang berwarna merah.
"Ya, buka seragammu, letakkan di ember kotor beserta kaos kakinya. Sepatumu taruh di tempatnya."
Senyum di wajah Kinan pudar seketika. Harapan untuk makan telur rebus, pupus sudah. Tradisi di kampungnya, jika anak-anak mereka juara dan naik kelas, ibu mereka akan merebus telur untuk si anak. Apakah ibunya yang orang yang anti tradisi atau ibunya tidak memiliki uang untuk membeli telur ayam?
Apa pun alasannya, Ibu Fatimah memang bukan ibu yang romantis, bukan berarti Fatimah, ibu yang buruk. Ibu Fatimah wanita kuat yang sangat sabar.
"Baik, Bu." Kinan segera melaksanakan apa yang dikatakan ibunya. Tidak berapa lama, ia kembali bergabung dengan ibunya. Vita sedang mengayun Valdi di dekat ibunya.
"Kamu isi ember kita sampai penuh. Nanti kamu bantuin Ibu menyusun manik-manik itu," Ibunya menunjuk pada bungkusan manik-manik yang tersusun di sudut ruangan. Jika begitu, biasanya ibunya memiliki orderan untuk menghias kain tenun. Satu kain biasanya dihargai sebesar tiga ribu rupiah. Dan ibunya akan menggajinya satu manik yang disusun ke benang sepanjang 50 cm sebesar lima puluh rupiah. Biasanya Kinan akan mengajak teman-temannya untuk bekerja dengannya.
Kinan mengambil ember anti pecah juga derigen lima liter. Lebih dari satu jam, ia bolak balik dari rumahnya ke tempat pemandian umum untuk mengambil air bersih. Setelah ember mereka penuh, Kinan kemudian mengisi tenaga, makan siang dengan lauk seadanya. Habis makan, ia pun mulai bekerja demi bisa jajan di hari kamis.
"Bu, tadi Kinan mengajak Aswita dan Diana untuk bekerja."
"Hmm."
"Bu, kapan kita pergi berlibur ke kota bertemu dengan Ayah?"
"Besok kamu pergi."
"Kinan sendiri, Bu?"
"Ya, Ibu antar sampai loket."
"Kinan mana berani, Bu," Semangat Kinan meredup seketika berubah menjadi sebuah kecemasan. Pasalnya, jarak antara kampung dengan tempat ayahnya tinggal memakan waktu dua jam. Tidak terlalu jauh sebenarnya, tapi untuk ukuran anak kecil yang masih berusia tujuh tahun, itu perjalanan yang tidak menyenangkan jika dilalui dengan sendiri.
"Nanti Ibu titip kamu sama Pak Lubis. Pak Lubis nanti yang bawa busnya sampai ke kota."
"Tapi, Bu...?"
"Percaya sama Ibu, Kinan. Uang Ibu sudah tidak ada untuk membeli beras lagi. Kinan mau kita tidak makan?"
Kinan menggelengkan kepala. "Nanti Kinan minta beras sama Ayah, Bu?"
"Nanti nenekmu yang akan memberikannya. Nenek kan punya sawah yang luas. Ini lagi musim panen."
"Jadi Kinan berlibur untuk menjemput beras, Bu?" Ia bertanya dengan kepolosan yang hakiki.
"Kamu 'kan rindu sama Ayah."
Keesokan harinya, Kinan diantar ibunya ke loket bersama kedua adiknya. Valdi berada di gendongan ibunya, sementara Vita digandeng ibunya.
"Bu, Kinan mual dan mau muntah," asap bus membuatnya seketika merasakan pening luar biasa.
"Ibu beli antimo dulu," Ibu Fatimah kemudian membeli obat anti mabok juga minuman. Wanita berusia 32 tahun tersebut itu juga meminta kantongan plastik dan memberikannya kepada Kinan.
"Plastiknya untuk apa, Bu?" Kinan mengernyit merasakan pahitnya obat yang ia minum.
"Nanti kalau Kinan masih ingin muntah, masukkan ke dalam kantongan ini. Jangan lupa untuk mengikatnya agar muntahannya tidak tumpah saat kamu meletakkannya di bawah."
"Bu, kenapa tidak pergi bersama-sama. Kinan takut ada penculik anak." Kinan mencoba membujuk ibunya dengan nada merengek. Ketakutan itu sebenarnya tidak dibuat-buat. Bukankan anak-anak memang selalu memiliki imajinasi yang bisa membuatnya parno sendiri.
"Aswita mengatakan bahwa penculikan anak sedang musim, Bu. Nanti kepalanya akan dipenggal lalu diletakkan di bawah jembatan. Kinan takut, Ibu." Berita tentang penculikan anak yang kepalanya akan dipotong dijadikan tumbal jembatan memang sedang marak-maraknya di kalangan anak SD. Entah dari mana berita itu berasal, tapi beberapa anak memang mengalami ketakutan, termasuk Kinan yang saat ini akan berlibur ke kota tanpa ada yang menemani.
"Ibu sudah menitipkanmu kepada Pak Lubis. Tidak ada yang perlu kamu takuti."
Pak Lubis yang disebut pun datang memberitahu bahwa bus akan segera berangkat. Sembari menahan tangis, Kinan pun naik ke dalam bus. Mual dan pusing semakin menyerang. Benar-benar sangat menyiksa. Kinan melihat ibunya berbicara dengan Pak Lubis sembari memberikan uang sebesar 2500 rupiah. Apakah itu untuk ongkos, Kinan juga tidak mengetahuinya.
Pak Lubis pun naik ke dalam bus, mesin dinyalakan. Air mata Kinan mulai meluruh. Dengan kedua tangan yang menempel di jendela kaca bus, Kinan memandangi ibunya yang juga sedang menatapnya. Vita melambaikan tangan padanya dengan senyuman, berbanding terbalik dengan mimik wajah Kinan yang sudah tersedu sedan.
Mobil mulai berjalan, ibunya tetap bergeming, tidak memintanya turun atau pun ikut naik ke bus untuk menemaninya. Mobil akhirnya benar-benar melaju. Kinan pasrah, menunduk menyembunyikan tangisnya.
Perjalanan yang sangat buruk. Baru lima menit perjalanan, Kinan sudah mual dan memuntahkan isi perutnya. Sakitnya tidak bisa ia jelaskan. Perutnya seakan diremas paksa.
Tidak ada yang peduli dengannya dan Kinan juga tidak meminta bantuan siapa-siapa. Di usianya yang baru menginjak tujuh tahun, Kinan sudah dipaksa untuk berjuang sendiri agar bisa bertahan dan selamat sampai tujuan di tengah ketakutan luar biasa yang menyerang.
Perjalanan dua jam itu bagaikan mimpi buruk baginya. 120 menit seakan bertahun-tahun lamanya. Kapan bus ini akan berhenti? Hanya itu yang ada di benaknya.
Obat anti mabuk yang diberikan ibunya tidak memberikan efek sama sekali. Sepanjang perjalan Kinan hanya muntah. Kantongan kecilnya hampir saja penuh.
Akhirnya penderitaannya di dalam bus berakhir seiring dengan berhentinya bus di loket. Semua penumpang turun, Kinan masih mematung. Tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Tempat itu begitu asing, benarkah ia sudah sampai di kota tempat ayahnya tinggal? Lalu di mana ayahnya? Bagaimana caranya ia bisa bertemu dengan ayahnya?
"Kinan, kita sudah sampai." Pak Lubis akhirnya mendekatinya.
"Aku tidak melihat ayahku, Kek." Pak Lubis memang sudah beruban. Setiap orang yang beruban, selalu dipanggil Kakek olehnya.
"Kinan harus naik becak dulu. Ayo, Kakek antar naik becak."
Ketakutan baru menyerangnya. Jika di dalam bus, masih ada yang ia kenal, yaitu Pak Lubis. Lantas, bagaimana dengan becak? Tempat ini begitu asing meski ia lahir di sini. Saat usianya empat tahun, ia sudah dibawa ibunya pergi dari kota ini.
Namun apa yang bisa ia lakukan selain menurut? Dengan membawa serta kantongan muntahannya, Kinan mengikuti Pak Lubis.
Pak Lubis kemudian mendatangi seorang tukang becak yang mangkal di depan loket. Kinan memperhatikan mereka berbincang dan sesekali menatap ke arahnya.
"Kinan," panggil Pak Lubis kemudian setelah Pak Lubis memberikan uang seribu rupiah kepada sopir becak tersebut. "Naiklah, Kakek sudah menjelaskan alamat rumah Nenekmu."
Dengan ragu-ragu, Kinan masuk ke dalam becak. Rumah neneknya memang cukup mudah di ingat. Posisinya berada di komplek sekolah di pinggir jalan.
Sepanjang perjalanan Kinan memperhatikan jalan, mengasah ingatannya yang sudah samar-samar.
Memasuki komplek pelajar, ia mulai merasa aman. Lokasi yang masih jelas dalam ingatannya.
"Berhenti, Pak. Rumah nenekku ada di sana yang berpagar besi yang ada buah jambu juga pepayanya."
Ketakutan yang Kinan pendam sirna sudah. Rasa lega menyelimutinya. Kinan berteriak memanggil neneknya. Tidak berapa lama, seorang gadis remaja yang merupakan adik Ayahnya keluar.
"Kinan," gadis itu memekik sembari berlari untuk membuka pintu pagar.
"Tante Sania!!!"
"Astaga, Kinan datang bersama siapa?" Sania menoleh ke kiri dan ke kanan dan tidak menemukan siapa-siapa.
"Sendiri. Ayah ada, Tan?"
"Tidak."
Liburan yang ia harapkan bisa bertemu dan menghabiskan waktu bersama sang Ayah hanya isapan jempol belaka. Ayahnya ternyata tidak tinggal bersama neneknya. Ayahnya senang bertemu dengan Kinan tapi kesibukan ayahnya membuat mereka jarang bertemu. Selama sepuluh hari berlibur di sana. Ayahnya hanya mengunjunginya tiga kali dan hanya dalam hitungan jam.
Liburan selesai. Seperti yang dikatakan ibunya, neneknya memberikan satu karung beras. Karung dalam ukuran sedang. Ia juga diberikan uang saku dan ayahnya menitipkan uang sebesar lima puluh ribu rupiah untuk ibunya. Kali ini, Kinan tidak pulang sendiri. Ayahnya menyuruh seseorang mengantarnya hingga ke kampung.
Begitulah seterusnya setiap kali Kinan libur sekolah. Saat ia kelas tiga SD, ia tidak pergi sendiri lagi, tapi berdua bersama Vita. Vita ternyata lebih jago darinya, adiknya itu tidak mengalami apa itu yang disebut dengan mabok darat. Masih sama seperti sebelum-sebelumnya, Pak Mustofa jarang meluangkan waktu untuk mereka. Saat pulang, mereka diberikan beras dan uang saku. Uang titipan kepada ibunya. Hanya itu. Bahkan saat lebaran tiba, tidak ada kiriman baju lebaran dari ayahnya. Apakah mereka anak-anak yang terlupakan. Apa sebenarnya masalah ayah dan ibunya? Kenapa harus hidup terpisah. Apa ayah mereka tidak merindukan mereka?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!