"Juan membuka mata, juan sadar!" Seorang wanita paruh baya terlihat berteriak histeris saat melihat putranya yang telah koma selama satu bulan akhirnya terbuka mata.
Pria itu terlihat menatap lurus kearah langit-langit kamar dengan bingung. Tubuh yang masih lemas membuat dia tak berdaya kecuali kedua bola mata yang terus memastikan dimana dia sekarang.
Seorang pria yang kira-kira berusia 55 tahun berhambur masuk dan langsung menghampiri Juan. "Juan, ini Papa. Apa yang kamu rasakan, Nak. Papa sangat bersyukur akhirnya kamu sadar."
Juan yang masih terlihat bingung hanya bisa mengedipkan matanya, sementara bibir begetar tak mampu mengucap meski satu kata.
Tak selang berapa lama, tim dokter yang menangani Juan, tiba. Seorang dokter pria mendekat dan langsung memeriksa pupil mata hingga denyut nadi Juan. "Ini sebuah keajaiban, Dokter Juan telah kembali."
Semua orang yang ada di ruangan itu diselimuti rasa haru setelah satu bulan hidup dalam ketegangan, antara pasrah dan tak rela dokter muda itu meregang nyawa.
Ya, Juan Imanuel. Seorang dokter spesialis bedah sekaligus putra tunggal pemilik rumah sakit tempat dia dirawat saat ini. Mimpinya yang baru saja dimulai, harus dia tunda sementara waktu.
Kecelakaan hari itu masih ditangani oleh pihak kepolisian tanpa ada titik terang tentang penyebab kecelakaan tersebut. Banyak yang berasumsi Juan menyetir dalam keadaan mengantuk.
Ada pula rumor yang mengatakan bahwa Juan dicelakai oleh seseorang. Untuk sementara waktu, semua hanyalah asumsi. Namun yang mengetahui semua secara jelas hanyalah Juan sendiri.
Beberapa saat tenggelam dalam kebahagiaan, dokter itu kembali fokus kepada Juan yang terlihat kebingungan dengan situasi saat ini. Hal mendebarkan pun kembali terjadi, karena sebelumnya kemungkinan terburuk sudah diprediksi oleh dokter itu.
"Juan, apa kamu ingat saya, ingat?" tanya dokter itu dengan hati-hati. Dia harap Juan masih mengingatnya karena mereka sudah saling mengenal dua bulan belakangan ini, karena bekerja dirumah sakit yang sama.
Juan nampak terdiam, melihat pria yang menatapnya dengan lekat. Selang beberapa saat dia mengerakkan kepalanya, menoleh melihat kedua orangtuanya yang berdiri di sisi kiri brankar rumah sakit. "Di-dia si-siapa, Ma, Pa?"
Sontak dokter bernama Rian itu langsung tertunduk lemas, hal yang dia takutkan benar-benar terjadi. "Sesuai hasil CT scan, Juan benar-benar kehilangan separuh ingatannya."
Mama Juan yang nampak syok mulai lemas sampai ditahan oleh sang suami. "Tidak, tidak mungkin. Bagaimana bisa Juan kehilangan ingatannya. Dia seorang dokter cerdas!"
"Sabar, Ma. Juan pasti akan mendapatkan ingatannya kembali," ucap Papa Juan yang mencoba untuk menguatkan meski dia sendiri mulai berderai air mata.
Juan yang tidak masih bingung dengan kondisinya hanya bisa terdiam sambil memandangi kedua orangtuanya yang menangis histeris meratapi nasibnya yang saat ini menjadi, Dokter Amnesia.
Aku baru saja terbangun dari tidur panjang, saat membuka mata kenapa aku merasa asing dengan semua yang ada disekelilingku, cahaya lampu, aroma apa ini, dan siapa mereka semua dan sebenarnya apa yang terjadi kepadaku, batin Juan.
***
Dua bulan berlalu, Juan yang semakin menunjukkan perkembangan, akhirnya bisa berjalan-jalan santai di taman belakang kediaman mewah milik keluarganya.
Selama dua bulan ini, dia benar-benar banyak berubah. Tidak ada lagi Juan Imanuel yang dulu begitu ramah dan murah senyum kepada siapapun. Sekarang dia lebih banyak menghabiskan waktunya dengan menyendiri.
"Juan, Mama boleh duduk disini?" Mariana, Mama Juan. Wanita berumur limapuluhan tahun itu, hampir setiap hari mengajak anaknya untuk mengobrol tentang banyak hal, dia juga terus menceritakan beberapa hal yang hilang dari ingatan Juan.
Juan menoleh sebentar kemudian kembali menatap langit biru siang ini. "Apa setiap hari Mama harus minta izin untuk duduk di sampingku?"
"Mama tidak mau mengganggu ketengan kamu, sudah dua bulan ini Mama kehilangan sosok Juan yang dulu." Mariana segera duduk lalu menyadarkan kepalanya di pundak Juan. "Kamu pasti sembuh sayang, Mama yakin."
"That's okay." Juan mengangkat kedua telapak tangannya kedepan. "Jangan memperlakukan aku seperti orang sakit terus, Ma. Aku yakin bisa memulihkan ingatanku, khususnya ingatan saat kecelakaan hari itu."
Orang dengan amnesia retrograde dapat kehilangan keseluruhan ingatan atau hanya sebagian dari ingatannya. Kondisi tersebut tergantung pada bagaimana tingkat kerusakan otak yang dialaminya.
Dari hasil pemeriksaan berkala selama dua bulan belakangan ini, Dokter menyimpulkan bahwa Juan kehilangan memori 4 tahun belakangan. Ingatan Juan hanya sampai disaat dia baru saja masuk kuliah kedokteran.
Sementara pada kenyataannya sekarang dia sudah lulus kuliah, dia bahkan sudah bekerja di rumah sakit milik papanya dan seharusnya saat ini dia sudah mengambil alih posisi sang Papa sebagai kepala rumah sakit.
Bukan hanya itu, kasus kecelakaan yang dia alami saat ini telah ditutup karena tidak ada ada bukti yang mengarah ke kejahatan yang direncanakan seseorang, akhirnya kasus kecelakaan itu dianggap sebagai kecelakaan tunggal.
Setelah beberapa saat tenggelam dalam keheningan, Mariana mengangkat kepalanya, menatap sang putra. "Maafkan Mama. Setiap mengingat kecelakaan hari itu, rasanya ... ah sudahlah, oh iya lusa akan ada seorang pelayan baru yang bertugas untuk membantu kamu dalam berkegiatan, mau itu dirumah, atau saat kamu jalan-jalan ke luar."
Juan menoleh dengan kening mengkerut. "Why? Masih ada Mina kenapa harus ada pelayan baru?"
Mariana menghela napas panjang. "Mina mengundurkan diri kemarin sore dan dia adalah orang ke empat dalam dua bulan belakangan ini yang menyerah untuk menjadi pelayan pribadi kamu, Mama sampai tidak habis pikir, sebenarnya apa yang kamu lakukan kepada mereka?"
"Intinya mereka bekerja tidak sesuai dengan peraturanku. Jika Mama lelah, sebaiknya berhenti saja, aku bisa mengurus diriku sendiri." Juan bediri dari posisi duduknya lalu melangkah pergi dari tempat itu.
"Huuft, Tuhan kembalikan putraku seperti dulu," ucap Mariana sambil memandangi kepergian sang putra.
***
"Kyaaa!" pekik seorang wanita, saat melihat selembar surat, dia sangat syok sampai kedua tangan dan kakinya ikut bergetar. "Di pecat, saya dipecat?"
"Maaf Maudy, perusahaan sedang tidak baik-baik saja jadi kami harus memberhentikan kamu dan beberapa staf lain," ucap seorang pria berkepala plontos dengan nada suara yang terdengar datar.
Seketika isi kepala wanita bernama Maudy itu dipenuhi dengan cicilan motor, tagihan listrik, dan cicilan panci Ibunya yang masih menggunung. "Pak, tolong berikan saya kesempatan, saya ini karyawati paling rajin--"
"Paling rajin kasbon?" tanya pria itu memotong ucapan Maudy. "Sudah kamu keluar sana, saya juga lagi pusing ini, sana keluar."
Maudy yang tidak tahu harus bagaimana lagi, hanya bisa tertunduk lemas seraya mela melangkah keluar dari ruangan itu.
***
Pukul satu siang, Maudy duduk termenung disebuah halte bus. Seharusnya siang hari seperti ini dia sedang duduk santai di kantin perusahaan, menikmati makan siangnya.
"Apes apes!" Maudy kembali memekik tidak jelas. "Langit oh langit, bisakah kau turunkan seorang pangeran untukku?"
Krik krikk.
Langit bahkan tak mau menanggapi permintaan seorang pengangguran. "Oh baiklah." Maudy berdiri dari posisinya dengan semangat. "Lihat saja, aku akan merubah takdirku, aku akan mendapatkan pekerjaan baru, menjadi wanita karir yang sukses tanpa hutang!"
"Apa, kamu dipecat?" Ibu Maudy yang belum selesai mengunyah makanannya langsung berdiri saking kagetnya. Seolah baru saja mendengarkan kabar buruk jika sumber pemasukan keluarga, kini terancam surut dan bisa saja kering kerontang.
Maudy sudah bisa memprediksi ekspresi sang Ibu pasti akan seperti itu, dia pun sebenarnya sudah mulai memutar otak, pekerjaan apa yang dia lakoni untuk menghidupi keluarga.
Sejak Ayahnya meninggal dunia, Maudy telah bertransformasi menjadi tulang punggung untuk membiayai sekolah adiknya, dan memenuhi kebutuhan sehari-hari.
"Maudy, jadi gimana? Ibu belum bayar cicilan panci, Sanyo, sama mesin cuci. Belum lagi si Raphael mau bayar SPP. Uang dari hasil jual kue cuma cukup buat bayar token listrik," jelas Ibu panjang lebar.
"Lagian Ibu kenapa sih, nambah cicilan banyak amat. Maudy juga lagi mikir ini, terutama si Raphael, pokoknya dia tidak boleh putus sekolah. Jangan sampai dia tahu kalau Maudy dipecat, nanti fokusnya untuk kompetisi matematika jadi buyar," ujar Maudy yang nampak tak tenang.
Setelah bicara dengan sang Ibu, fikiran Maudy malah semakin bercabang-cabang. Dia segera beranjak dari posisi duduknya, seraya mengenakan jaket yang sejak tadi dia genggam.
"Mau kemana kamu?"
"Mau cari kerja."
Maudy mencium tangan sang Ibu lalu berbalik pergi. Entah kemana dia akan mencari pekerjaan, namun dia adalah seorang gadis pantang menyerah, dia yakin jalur rezeki seseorang bisa datang dari mana saja asal ada kemauan dan usaha.
Kurang lebih satu tahun bekerja di perusahaan swasta, mungkin ini adalah salah satu cara semesta menggiring dia ke dunia baru, yang tidak akan pernah Maudy bayangkan terjadi didalam hidupnya.
Ya, sedikit lagi. Dia sedang melangkah kearah titik itu. Dimana sedih, bahagia penuh perjuangan akan segera dimulai.
Matahari sudah semakin tinggi, saat Maudy duduk di sebuah taman dengan memakai topi dan jaket over size kesayangannya. Hari pertama menjadi pengangguran benar-benar berat, seperti orang yang kehilangan arah, harus apa dan bagaimana.
"Maudy!"
Mendengar suara seseorang dari arah belakang membuat Maudy segera berbalik dan melambaikan tangan. Ya, saat ini sahabat karibnya Lolyta, atau kerap disapa Loly sedang berlari kecil kearahnya.
Loly menghentikan Langkahnya sesaat setelah sampai dihadapan Maudy. Dipandanginya sang sahabat dari atas sampai bawah. "Ck, apa-apaan ini. Apa sekarang kamu mulai mendalami karakter sebagai seorang pengangguran."
"Sekarang saja kamu bilang gitu. Biasanya juga aku seperti ini, santai." Maudy terlihat begitu bangga dengan penampilannya, yang mengenakan celana training, sendal jepit, jaket over size dan juga topi hitam.
Banyak orang yang memakai topeng demi menjaga citra dirinya, dengan pakaian, tas dan sepatu dari butik, tapi lupa akan jati diri yang sesungguhnya.
"Ya, sebenarnya aku tidak perlu heran lagi." Loly segera duduk di samping sang sahabat. "Jadi sekarang rencana kamu apa? Aku tahu kamu pasti sedang berpikir keras, sebentar lagi Raphael akan masuk universitas."
Lagi dan lagi, Maudy menjadi lemas, dia menegadah keatas menatap langit cerah siang ini. "Dulu Ayah pernah berkata bahwa anak-anaknya semua harus sarjana. Meski Ayah sudah meninggal tapi bagiku keinginan itu harus terpenuhi, setelah aku sekarang Raphael, dia harus lulus dan berkuliah di universitas terbaik, harus."
"Ya sudah, kamu bantu aku saja di toko setengah hari. Setelah itu kamu bisa bekerja ditempat lain lagi. Ayolah kamu harus semangat, mana nih Maudy yang heboh, kok lemes."
Loly menyenggol-nyenggol pundak Maudy sambil memasang ekspresi lucu. Hal tersebut terkesan receh namun berhasil membuat senyum manis Maudy kembali berseri.
"Iya ini sudah senyum!"
"Nah gitu dong."
Mereka tertawa bersama, ditengah cuaca terik siang ini. Setelah beberapa saat Maudy kembali mengangkat tangannya, melambaikan tangan kepada seorang wanita. "Mina, sini!"
Wanita bernama Mina itu, melangkah lemas dan langsung duduk di samping Loly. Mina adalah tetangga Maudy, tidak terlalu akrab namun mereka cukup sering mengobrol bersama.
"Min, kamu kenapa? Ekspresi kamu sama seperti Maudy, seperti orang yang baru saja dipecat." Loly kembali menoleh melihat Maudy dan benar saja, ekspresi sedih mereka hampir sama.
"Lebih tepatnya aku mengundurkan diri. Sebenarnya aku tidak sedih karena pergi dari rumah mewah itu, tapi Nyonya meminta aku untuk mencari pengganti. Hari ini adalah kesempatan terakhir, tapi sampai sekarang aku belum menemukan seseorang pun."
Tiba-tiba saja pandangan Loly beralih ke Maudy. Seolah memberikan kode jika itu adalah kesempatan bagus, untuk seseorang yang sedang membutuhkan pekerjaan seperti Maudy.
"Kenapa kamu melihatku seperti itu?" tanya Maudy kepada Loly.
"Ini kesempatan bagus, bukankah kamu mencari pekerjaan?" Loly kembali menoleh menatap Mina. "Kalau tidak salah kamu hanya bekerja setengah hari 'kan? Siang sampai malam."
"Iya benar." Mina menyorongkan tubuhnya agar bisa lebih jelas melihat Maudy yang duduk disebelah Loly. "Apa kamu berminat, Maudy?"
Dengan tegas Maudy menggelengkan kepalanya. "Leherku bisa ditebas sama Ibu kalau dia tahu aku jadi seorang pelayan. Aku tidak bermaksud merendahkan pekerjaan itu, tapi Ibuku kamu tau sendirilah, kalau marah seperti apa."
"Hufft, iya juga sih. Padahal gajinya tiga kali lipat dari gaji pegawai kantoran," sahut Mina.
Sontak Maudy kembali menegapkan posisinya. "Be-benarkah?" Mendengar gaji tinggi, berhasil membuat pendirian Maudy goyah. "Memangnya berapa gaji perbulannya?"
"Emm..." Mina nampak sedang berpikir, menghitung gaji pokok, uang transportasi dan uang lembur. "Kira-kira lima belas jutaan lah."
"Hah!" Maudy berdiri, saku celananya pun bergetar mendengar angka yang menurutnya sangat besar untuk ukuran gaji seorang pelayan. "Aku mau kalau begitu, kapan aku bisa kesana, sekarang, sore ini, atau malam?"
"Tunggu, tapi kalau gajinya sebesar itu, kenapa kamu berhenti Min?" tanya Loly yang terlihat penasaran. Siapapun tidak akan menolak uang sebanyak itu bukan.
"Iya aku tidak betah karena Tuan mu--"
"Aku tidak masalah kok." Potong Maudy. "Lagi pula hanya setengah hari 'kan? Paginya aku akan bekerja di toko bunga Loly, siangnya aku bekerja jadi pelayan. Tapi kalian jangan beritahu Ibuku ya."
"Dy, kamu serius?" tanya Loly memastikan.
"Iya Lol, aku lagi butuh uang. Sebentar lagi Raphael akan masuk universitas," jawab Maudy tanpa ragu.
"Ya sudah kalau begitu, sekarang juga kamu pulang bersiap-siap, aku akan mengantar kamu kesana," sahut Mina.
***
Pukul tiga sore, Maudy yang sudah selesai bersiap-siap terlihat ragu untuk keluar dari kamar. Sejak tadi dia hanya mondar mandir tidak jelas sambil berpikir alasan apa yang akan dia sampaikan kepada Ibunya.
"Huuft, aku harus keluar sekarang, Mina pasti sudah menunggu." Dengan segala keberanian, akhirnya Maudy keluar dia melangkah mengendap-endap ke pintu depan.
Klek.
Dia membuka pintu perlahan hingga -- "Astaga." Maudy terperanjat kaget saat melihat Ibunya bediri dibalik pintu itu. "Ibu buat kaget saja."
Sejenak Ibu terdiam memandangi Maudy dari ujung kaki hingga ujung kepala. "Mau kemana kamu?"
TBC 💕
Jangan pernah lupa jika apapun yang kita lakukan harus dan wajib mendapatkan restu orang tua, namun bagaimana jika hal yang akan kita lakukan adalah sebuah larangan?
Maudy menelan saliva sekuat tenaga dan tangannya mulai bergerak tidak jelas karena panik. "A-anu ... itu si Loly butuh batuan, Maudy. Sambil nyari lowongan kerja, lumayan 'kan buat bayar cicilan panci anti lengket, anti kempot yang baru Ibu beli itu, haha."
Ibu masih saja memicingkan matanya. "Di toko bunga punya orang tuanya itu?" Lagi-lagi pandangan Ibu mengarah ke penampilan sang putri, yang mengenakan rok span dan kemeja putih. "Ya sudah sana, asal jangan jadi pembantu, boleh saja. Semangat ya."
Ibu menepuk pundak sang putri lalu melanjutkan langkahnya masuk kedalam rumah.
Tuh kan, belum jujur saja sudah di kasih SP1, gimana kalau aku bilang mau jadi pelayan, otw di coret dari KK, batin Maudy.
***
Gedung IMB Hospital.
Juan baru menyelesaikan terapi okupasi yang di bimbing langsung oleh Dokter Rian. Terapi okupasi yang dilakukan bertujuan untuk memperoleh informasi baru dan menggantikan ingatan yang hilang.
Terapi okupasi juga dilakukan untuk membimbing pasien amnesia agar dapat mengingat dan berpikir seperti semula. Selain itu, terapi ini juga menggunakan ingatan yang ada atau masih tersimpan untuk menggali informasi baru.
Namun sejauh ini, belum ada perkembangan yang signifikan. Ingatan yang mulai bermunculan terlihat samar-samar, seperti cahaya matahari yang menyilaukan, hingga kabut asap yang menghalangi pandangan.
Meski begitu, Dokter Rian tak patah arang, dalam waktu dekat jika sesuai jadwal Juan akan terbang ke Singapura untuk menjalani terapi dengan teknologi medis yang lebih baik.
"Apa harus di sana? Aku lebih nyaman menjalani terapi disini," ujar Juan yang masih berbaring di brankar rumah sakit, yang ada di ruangan Dokter Rian.
Mendengar pertanyaan itu, Dokter Rian malah bedecak. Dia menoleh, menatap pasien VVIPnya itu. "Juan, kamu juga seorang dokter, kamu menempuh pendidikan kedokteran di sana, jadi kamu pasti tahu bagaimana bagusnya rumah sakit di negara itu. Pokoknya ikuti saja saranku."
"Ya setidaknya aku ingat tujuanku kuliah disana waktu itu. Tapi sekarang aku hanyalah seorang Dokter Amnesia yang tidak berguna." Juan mengangkat kedua telapak tangannya kedepan. "Apa tangan ini benar-benar sudah pernah menyetuh pisau bedah?"
Penyesalan terbesar Juan adalah, tidak ada satupun memori dalam ingatannya saat dia menangani pasien, padahal hal itu adalah mimpi terbesarnya. Sekarang setiap menyentuh peralatan medis, kedua tangan itu tremor seperti orang mengalami trauma.
Rian mendekati Juan dengan tangan yang sudah memegang alat suntik. "Tentu saja, kamu adalah Dokter spesialis bedah syaraf yang berpotensi, dan semua itu adalah bakat dari lahir, karena kamu adalah putra dari Sandi Imanuel pemilik IMB Hospital."
"Ck, entahlah aku rasa sekarang Papa sedang menyesal karena hanya punya satu anak," ucap Juan.
***
"Jadi kamu bekerja di sini, dari jam satu siang sampai jam delapan malam, jika lembur saya akan tambah uang lembur. Peraturannya hanya kamu harus sabar dan cekatan saja. Jika kamu setuju, kamu harus tanda tangan kontrak selama 6 bulan, selama dikontrak, kamu tidak boleh mengundurkan diri," jelas seorang pria paruh baya kepala pelayan kediaman keluarga Imanuel.
Ya, selama kurang dari dua bulan terakhir, sudah banyak pelayan yang mengundurkan diri menjadi pelayan pribadi Juan, untuk itu kepala pelayan memutuskan untuk mengubah peraturan dengan sistem kontrak kerja.
Mendengar hal itu, Maudy hanya mengangguk paham, padahal otakknya sedang bertranformasi menjadi kalkulator untuk menghitung jumlah gaji yang bisa dia dapatkan.
Ternyata besar juga, jauh sekali dari gaji ku saat bekerja sebagai staf di perusahaan swasta, batin Maudy.
"Bagaimana, Maudy apa ada pertanyaan?" tanya pria paruh baya itu lagi.
Tanpa membuang waktu, Maudy langsung mengulurkan tangannya. "Saya setuju. Jadi saya harus tanda tangan sekarang?"
Begitulah Maudy, saat dia yakin dengan apa yang dijalani, dia tidak perduli dengan resiko dan semua rintangan. Karena baginya kesempatan baik harus dicoba, jika gagal maka harus berdiri lagi, coba lagi. Tidak ada kata menyerah pada keadaan selama kaki masih berpijak di bumi.
***
Matahari hampir tenggelam di bawah garis cakrawala, sebelah barat. Cahaya jingga yang menyilaukan mata, membuat Juan menetap sejenak, bediri di depan teras rumah seraya menegadah.
Ada apa dengan senja? Hingga ketika waktu itu tiba, Juan begitu betah berdiri menunggu hingga cahaya senja hilang di telan pekatnya malam. Semua orang yang bertugas mengawalnya pun ikut berdiri meski merasa bosan.
"Tuan, hari mulai gelap. Apa anda masih ingin berdiri disini?" tanya seorang pengawal bertubuh kekar.
Juan hanya melirik sebentar kemudian kembali memandang kearah langit sore. "Sedikit lagi, satu... dua... tiga."
Kini cahaya jingga itu benar-benar hilang, dan detik itu juga Juan berbalik masuk kedalam rumah. Hari ini dia banyak menghabiskan waktu di rumah sakit, untuk mengingat kembali memory tentang profesinya sebagai seorang dokter.
Langkah demi langkah dia tapaki saat naik kelantai dua hingga akhirnya sampai di depan pintu kamar. Sebelum masuk, dia menoleh kearah balkon utama. "Tumben jendela balkon sudah tertutup, apa Mina sudah kembali ...."
Tak ingin ambil pusing, Juan segera melanjutkan langkahnya masuk kedalam kamar. Rasanya dia ingin segera berdendam di bathtub dengan air hangat, tubuhnya terasa pegal karena bepergian seharian.
Dia membuka baju yang menutupi tubuh atletisnya, hingga celana katunnya ikut dia lepaskan juga. Kini yang tersisa dari tubuhnya hanyalah celana pendek diatas paha.
Sambil memijat tekuk leher yang terasa pegal, Juan meraih handel pintu kamar mandi dan segera masuk. Namun seketika langkahnya terhenti, saat melihat seorang wanita asing berada didalam bathtub. "Si-siapa kamu?"
Ya, siapa lagi kalau bukan Maudy. Dia langsung ditugaskan untuk membersihkan kamar mandi sebelum Juan pulang.
Mendengar suara seseorang dia segera berbalik, tiba-tiba mata Maudy langsung terbelalak, melihat pria setengah polos bediri dibelakangnya. "Huaaaa!!!!"
Merasa syok karena untuk pertama kali mata suci itu melihat pria setengah polos, membuat Maudy panik, dia berdiri dan hendak turun dari bathtub, tapi kakinya malah tersandung.
"Aak!"
Juan membulatkan matanya saat seorang gadis asing hendak jatuh kearahnya, entah kenapa tubuhnya menjadi kaku, seolah tak mampu untuk menghindar. Hingga akhirnya--
Bug.
Kiss...
Maudy jatuh tepat dipelukan Juan, namun sialnya bibir mereka juga menyatu tanpa sengaja.
Waktu seakan berhenti, saat tubuh keduanya membeku. Disaat bersamaan tiba-tiba pandangan Juan menjadi buram, kepalanya sakit dan dia mendengar suara tabrakan yang sangat keras.
Dalam hitungan detik matanya terbelalak, karena tiba-tiba saja potongan memory saat dia mengalami kecelakaan beberapa bulan lalu terputar di kepalanya.
Bersambung 💕
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!