NovelToon NovelToon

Suami Jalur Perjodohan

Part 1: Sakitnya kehilangan

...Tidak ada hal yang paling menyakitkan kecuali harus kehilangan seorang yang sangat dicintai dan harus tersiksa akan kerinduan yang tidak berkesudahan. Dan tidak ada obat paling mujarab bagi seorang yang dilanda kerinduan kecuali sebuah pertemuan....

Di sebuah kamar bernuansa putih dan abu-abu terdapat seorang wanita yang menatap lurus dengan tatapan kosong. Namun, terlihat jelas semburat kesedihan dari sorot mata coklatnya.

Sudah satu minggu suaminya meninggalkan dirinya, bukan sementara tapi selama -lamanya. Akibat kecelakaan tunggal waktu itu nyawa suaminya terenggut. Pria yang selalu ada untuknya dan selalu berlaku lembut padanya serta menatapnya dengan penuh cinta, kini telah meninggalkan dirinya dengan segala kedukaan yang mendalam. Setetes demi setetes air mata kembali membasahi pipi putih pucat itu, terdengar suara isakan kecil yang keluar dari bibir wanita itu mengingat masa-masa indah bersama mendiang suaminya yang kini hanya tinggal kenangan.

Khaliza Fatimah itulah nama wanita tersebut. Di usianya yang masih terbilang muda yaitu 22 tahun Ia harus menyandang status sebagai janda. Tidak pernah terbesit dalam pikirannya bila Danu akan meninggalkan dirinya secepat itu. Mereka berdua baru saja menikah dua bulan yang lalu tapi takdir memisahkan mereka melalui kematian.

Seorang wanita paruh baya masuk ke dalam kamar Liza. Syarifah menatap sedih melihat keadaan putrinya yang terlihat sangat menyedihkan. Lingkaran hitam yang ada di bawah kelopak mata Liza menggambarkan bahwa wanita tersebut jarang dan hampir tak tidur saat malam menjelang dan wajahnya yang terlihat pucat.

Syarifah mendekati putrinya dan mengelus lembut kepala Liza yang tertutup hijab. Merasa ada sentuhan Liza mendongak menatap sang bunda. Hanya mata yang sembab dan hidung yang memerah akibat terlalu lama menangis.

"Sudah Nak ikhlaskan Danu, dia sudah tenang di  sana, jangan buat dia merasa bersedih karna ketidak ikhlasanmu itu," ucap Syarifah seraya mengelus lembut kepala Liza.

"Aku belum bisa menerima kepergian mas Danu, kenapa secepat itu dia meninggalkan aku? " balas Liza. Air mata semakin mengucur deras hingga membasahi hijab hitamnya.

"Semuanya sudah ketentuan Allah, Nak. Ini merupakan takdir yang sudah Allah tetapkan, setiap sesuatu yang Allah ambil pasti ada gantinya atau mungkin bisa menjadi pelajaran bagi kita. "

Liza memejamkan matanya sejenak. "Iya Bunda, aku akan belajar mengikhlaskan kepergia mas Danu." balas Liza seraya menghapus air matanya. Walaupun sangat berat mengikhlaskan seseorang yang sangat dicintai pergi begitu saja.

Terkadang Allah mengambil sesuatu yang kita cintai untuk menguji keimanan dan juga keteguhan hati kita.

Dua tahun kemudian...

Dua tahun sudah kepergian Danu, namun kesedihan itu masih tertanam kuat di hati Liza. Setiap malam dia harus tersiksa dengan kerinduan yang tak terbalaskan oleh mendiang suaminya yang tenang di sana. Liza memilih untuk menjanda seumur hidup karna tidak akan ada yang bisa menggantikan posisi Danu dalam hatinya. Dia sangat mencintai suaminya tersebut.

Kini, di sebuah mesjid semua orang termasuk pria maupun wanita menghadiri sebuah pengajian yang selalu diadakan setiap malam kamis di mesjid Ar-rahman. Liza pun turut hadir dalam pengajian itu. Wanita tersebut tampak mengenakan pakaian syar'i berwarna coklat dan hijab hitam lebar serta cadar yang menutupi wajah Liza.

Liza begitu serius mendengarkan ceramah yang disampaikan oleh seorang ustadz. Setelah pengajian selesai Liza bergegas hendak pulang ke rumahnya sebelum hari semakin malam walaupun rumahnya tidak jauh dari tempat ini. Seorang wanita kisaran 39 tahunan mencekal pergelangan tangan Liza  dan menarik kasar hingga Liza berbalik badan menghadap wanita tersebut.

Plak

Sebuah tamparan lolos mengenai pipi Liza yang tertutup cadar itu dan membuat dia meringis kesakitan.

"Dasar wanita penggoda! Berani-beraninya menggoda suami saya!" Wanita itu mendorong Liza kasar."Percuma berpakaian tertutup bila sifat dan sikap mu tidak lebih seperti wanita murahan!"

Dada Lisa terasa sangat perih dan sakit mendengar tuduhan yang dilontarkan oleh wanita di depannya tersebut. Pandangan matanya memburam karna air mata yang membanjir di pelupuk mata. Wanita asing itu tiba-tiba saja menarik cadar yang menutupi wajah cantik Liza hingga kain tipis itu benar -benar terlepas dari wajahnya.

Orang-orang yang ada di sana termasuk para pria menatap kagum pada kecantikan yang dimiliki Liza. Tapi sayang wanita itu menyembunyikan kecantikan rupa yang Ia miliki dengan kain tipis itu.

"Kembali, kan, cadar saya..." ucap Liza lirih berusaha menggapai cadarnya di tangan wanita itu.

"Buat apa menutupi wajahmu, heh? Ingin kelihatan alim di hadapan orang-orang? Iya? Sedangkan kau berpakaian tertutup dan memakai cadar hanya untuk menutupi sifat busuk mu itu!" tuding wanita itu.

Liza menggeleng lirih membantah tuduhan wanita asing yang ada dihadapannya. Suara Liza tercekat dan tak sanggup untuk mengeluarkan sepatah kata pun untuk membela diri. Ia hanya bisa menangis dalam diam dan menutupi wajahnya dengan tangan tetapi kedua tangannya langsung ditarik paksa oleh wanita itu.

"Tidak usah di tutupi wajahmu itu. Biarkan semua orang tahu wajah wanita yang selalu menggoda suami orang!" ketusnya.

Namun tak di sangka sebuah kain sorban menutupi wajah Liza. Semua orang yang ada di sana tampak terkejut termasuk wanita asing yang masih mengenggam cadar Liza. Fariz memberikan tatapan tajam menusuk pada wanita itu.

"Separah apa kesalahannya sampai melepaskan cadar yang dikenakan wanita ini? Anda tidak seharusnya melakukan ini apalagi di tempat umum." ucap Fariz tegas.

"Kau tidak usah ikut campur! Dia itu wanita murahan yang sudah berani menggoda suami saya!" balasnya mendelik sinis.

"Apa anda yakin? "ucap Fariz."Memangnya anda pernah melihat sendiri wanita ini menggoda suami anda?" tanya Fariz tampak tak yakin dengan tuduhan yang dilontarkan pada Liza.

Wanita itu langsung terdiam. Dia memang tidak melihat secara langsung Liza menggoda suaminya tapi dia dapat informasi ini dari temannya.

"Saya memang tidak melihatnya, tapi teman saya yang memberitahu saya bila wanita murahan ini menggoda suami saya!"

"Kalau begitu panggil temen anda ke sini dan tanya apa ini wanita yang menggoda suami anda," suruh Fariz.

Wanita itu segera memanggil temannya . Setelah teman wanita itu melihat Liza dia mengatakan bukan wanita ini tapi wanita yang menggoda suami wanita itu yang memakai hijab saja namun tak bercadar. Sontak wanita tersebut malu dan juga merasa bersalah kepada Liza.

Fariz menoleh ke arah Liza yang ada di sampingnya. Tubuh wanita itu bergetar sempurna dan air mata yang menetes. Fariz menghela napas berat dan menyentuh tangan Liza yang memekik kaget dan langsung mundur beberapa langkah menciptakan jarak dengan Fariz.

"Jangan sentuh saya!" ucapya tajam namun nada suaranya terdengar bergetar.

Kini, Liza sudah sampai di rumahnya dan masih mengenakan kain sorban yang diberikan pria muda itu.

Air mata Liza meluruh ketika sudah masuk ke dalam kamar dan memandangi foto almarhum suaminya yang tertempel di dinding. Setetes demi setetes cairan bening  berjatuhan ke pipinya.

"Mas, aku sangat merindukan mu. Sekarang tidak ada lagi yang melindungi ku dan aku selalu di fitnah karna status  ku ini..." lirih Liza.

Part 2: Pria Asing

...Tuhan selalu memiliki banyak cara untuk mempertemukan dua orang yang sudah ditakdirkan bersatu dalam sebuah ikatan pernikahan. Meski hati mereka menolak satu sama lain....

"Riz, kapan kau akan menikah?"

Gerakkan jari Fariz di keyboard laptop terhenti. Pria itu menoleh ke arah uminya, Fardah.

"Aku belum menemukan wanita yang cocok menjadi pendampingqku. Dan...aku juga sedang fokus dengan pekerjaan ku," balas Fariz kembali pada aktivitasnya.

Umi Fardah menghela napas berat. Wanita paruh baya itu menatap sekilas layar laptop Fariz.

"Lalu kapan kau akan berhenti bekerja di kota? Lebih baik kau melanjutkan usaha keluarga kita. Umi tidak ingin terus berjauhan darimu, Riz. Apalagi kau pulang dua bulan sekali," ucap umi Fardah protes.

Fariz memutar kursinya menghadap ke arah wanita paruh baya itu. Ia meraih kedua tangan umi Fardah dan mengenggamnya.

"Umi, aku tidak mungkin melepaskan pekerjaan ku begitu saja di perusahaan yang sudah aku impikan untuk bekerja di sana. Apalagi abah banyak mengeluarkan uang untuk biaya kuliahku di Jakarta kemaren. Minimal aku sudah bisa membeli rumah, mobil dan membuka usaha sendiri. Jadi, saat aku berhenti bekerja di sana, uang ku sudah terkumpul banyak," tutur Fariz.

"Terserah kau saja, lah, Fariz. Menikah tidak mau, di suruh melanjutkan usaha keluarga juga tidak mau. Sedangkan umur mu sudah dua puluh delapan tahunan, sudah cukup waktunya untuk berumah tangga."

"Menikah itu bukan hanya modal niat  saja Umi, tapi juga modal uang. Mau di kasih makan apa istri dan anakku nanti, sedangkan uang ku belum terkumpul banyak, tidak mungkin bertumpu pada penghasilan usaha toko kue, Umi."

"Rezeki bisa datang dari mana saja kalau niatnya ibadah, Riz." umi Fardah kembali melontarkan ucapannya dan Fariz mendesah.

"Umi tidak usah memikirkan kapan aku akan menikah, yang pasti aku sudah mempunyai calonnya." Ucapan Fariz kali ini membuat mata umi Fardah terbelalak.

"Siapa Riz? Siapa calonnya?" Pancaran kebahagiaan terbingkai jelas di wajah wanita itu.

"Nanti akan aku kenalkan. Sekarang sedang tahap pendekatan," balas Fariz tersenyum.

"Semoga secepatnya dia kamu lamar. Kenapa tidak bilang dari tadi," ucap umi Fardah tersenyum lebar.

"Kita tidak tahu kedepannya bagaimana. Setiap manusia memiliki banyak rencana tapi tetap Allah yang mengaturnya," ucap Fariz dan umi Fardah mengangguk setuju.

Hujan turun begitu derasnya mengguyur tanah yang mulai membanjir. Di sebuah saung yang lebih tepatnya di pos ronda tampak seorang wanita memeluk dirinya sendiri dengan tubuh gemetar sempurna. Liza melepaskan cadarnya yang basah kuyup. Pandangan matanya melihat ke atas langit yang tampak menghitam disertai kilat dan guntur. Ia baru saja dari warung membeli pesanan sang ayah dan sekarang harus terjebak hujan di sini.

Wanita itu duduk bersandar di pos ronda tersebut sambil menggosok-gosokkan kedua tangannya sampai menghangat lalu menempelkannya ke pipi.

"Kapan hujannya reda?" gumam Liza. Ada sedikit ketakutan menyentil hatinya apalagi hari sudah mulai menggelap. Wanita itu memeras cadarnya yang basah kuyup hingga serapan air dikain tipis itu berkurang.

Sorotan cahaya motor menerpa wajah Liza yang bergegas memasang cadarnya kembali. Seorang pria memberhentikan motor beatnya di pos ronda tersebut. Sorot netra hitam pekat pria itu terpaku pada wanita yang menundukkan kepalanya.

"Sudah lama berteduh di sini?" Pertanyaan itu Fariz lontarkan pada Liza yang diam membisu. Fariz tampak berdecak merasa di abaikan oleh wanita yang ada di pandangan matanya sekarang.

Pria itu ikut duduk di samping Liza yang langsung bangkit dari tempat duduknya.

"Kenapa berdiri? Sini duduk. Saya tidak akan macam-macam dengan mu," ucap Fariz seakan tahu apa yang tengah di pikirkan wanita itu.

Liza menggeleng." Tidak usah, biar aku berdiri saja." cicitnya pelan dan hampir tidak terdengar.

Wanita itu terperanjat kaget ketika mendengar suara petir yang memekikkan telinga. Hembusan angin yang cukup kencang dan udara dingin yang menusuk ke pori-pori kulit begitu menyiksa Liza yang semakin mengigil kedinginan dengan pakaiannya yang basah saat ini. Fariz yang memang sedari tadi memperhatikan wanita itu bangkit dari tempat duduknya. Ia membuka jok motornya dan mengambil jaket miliknya yang selalu Ia bawa.

"Pakailah jaket ini." Fariz menyodorkan jaket hitam miliknya. Liza hanya melihat sekilas dan menggeleng pelan.

"Tidah usah, pakai saja untuk diri mu sendiri," tolak Liza.

"Tidak apa-apa, ambil saja daripada kau kedinginan." Fariz kembali menyodorkan jaketnya. Meski Ia juga merasa kedinginan tapi menyampingnya keadaan dirinya sendiri demi wanita asing yang kini bersamanya.

Liza melirik pria itu sebatas ekor matanya. Dengan tangan gemetar karna kedinginan dan rasa gugup yang mendekap kuat dirinya. Ia mengambil jaket itu dari pria asing tersebut. Fariz menatap lekat tangan wanita itu yang keluar dari hijab panjangnya sebatas pergelangan tangan yang dilapisi handsock hitam.

"Terima kasih, ustadz..."

Satu alis Fariz terangkat mendengar ucapan terakhir wanita itu pada dirinya.

"Maaf, saya belum bisa mengembalikan sorban milik ustadz..." Liza kembali melontarkan ucapannya. Kedua sudut Fariz terangkat mendengarnya hingga membentuk sebuah senyuman. Ia jadi tahu bahwa wanita dihadapannya sekarang adalah wanita yang kemaren Ia tolong.

"Saya bukan ustadz. Kenapa sampai mengira saya ustadz?" ucap Fariz yang terkekeh pelan memperlihatkan kedua lesung pipinya.

Liza semakin menundukkan kepalanya. Ia mundur beberapa langkah ketika merasa jarak mereka berdua cukup dekat. Kedua Pipi Liza bersemu merah karna merasa malu yang mendekap dirinya. Ia pikir pria itu seorang ustadz.

Syarifah tampak mondar-mandir di ruang tamu dan sesekali menatap ke arah jendela luar. Ia benar-benar khawatir dengan putrinya, Khaliza. Muhsin menghela napas berat melihat sang istri terus mondar-mandir di hadapannya.

"Tidak usah mengkhawatirkan Liza, Bun. Dia sudah besar dan bisa menjaga dirinya sendiri," ucap Muhsin dan Syarifah menoleh ke arah suaminya.

"Bagaimana Umi tidak khawatir, Yah, kalau sampai sekarang Liza belum pulang ke rumah dan sebentar lagi sudah memasuki waktu magrib. Kenapa tadi Ayah tidak meminta Ihsan saja yang ke warung bukan Liza," gerutu Syarifah protes.

Muhsin menghela napas berat." Ihsan baru saja pulang kerja dan tidak mungkin Ayah langsung meminta dia ke warung. Kasihan dia kelelahan setelah bekerja seharian. Ayah juga meminta Liza ke warung agar anak itu tidak terlalu mendekam di dalam rumah dan hanya keluar saat akan pergi ke pengajian. Bunda tahu sendiri, kan, anak kita yang satu itu jadi bersikap tertutup semenjak suaminya meninggal. Sudah beberapa lamaran dari pria kampung sebelah dia tolak. Ayah sudah muak dengan sikap Liza yang selalu beralasan masih mencintai Danu hingga tidak ingin membuka hati. Sampai kapan putri kita terus mempertahankan statusnya sebagai janda? Kita juga tidak mungkin selalu bersamanya. Liza butuh pria yang bisa menjaga ."

Syarifah terdiam mendengar penuturan suaminya.

Part 3: Rencana perjodohan

...Tuhan memberikan cobaan padamu bukan untuk melemahkan tapi memperkuat rasa sabar dan mentalmu....

Liza semakin mengeratkan jaket yang Ia kenakan sekarang. Hujan mulai mereda dan hanya gerimis kecil. Liza menatap ke arah pria asing yang kini menyalakan sepeda motornya.

"Ayo naik, biar saya antar pulang. Tidak baik bila wanita pulang malam-malam sendirian," ucap Fariz menoleh ke arah Liza yang bergeming.

Liza menatap pria itu sekilas dan kembali menundukkan pandangannya. Ia benar-benar bingung apa harus ikut pria asing itu atau pulang jalan kaki saja.

"Ayo naik, jangan terlalu banyak berpikir. Bisa saja orang tuamu sangat khawatir karna kau belum pulang." Fariz kembali melontarkan ucapannya membuat Liza mengerjapkan matanya berkali-kali.

Fariz menghela napas berat melihat wanita itu tidak bergerak sama sekali mendekat padanya. Andai boleh, sudah Ia gendong wanita itu dan mendudukkannya di atas jok motor. Satu langkah kaki Liza melangkah mendekat pada Fariz yang terus menatap wanita itu.

Liza mulai menaiki motor tersebut dan memberikan jarak agar tidak terlalu merapat pada pria tersebut.

"Sudah siap?" tanya Fariz.

"Iya..." cicit Liza hampir tidak terdengar.

Fariz mulai menjalankan motor beat birunya. Sesekali Ia melirik dari kaca spion melihat Liza yang tampak memegangi kain penutup wajahnya agar tidak tertiup angin dan berakhir tersingkap.

"Rumah kau di mana? Karna saya tidak tahu jalan menuju ke rumah mu," ucap Fariz mengeraskan suaranya menembus kebisingan mesin motor yang terus melaju di jalan yang remang-remang cahaya.

"Lurus saja, nanti ada perempatan lalu belok kiri!"

Tidak terlalu lama kini motor beat biru yang keduanya tumpangi sudah sampai di depan rumah yang tampak sederhana dengan chat putih yang sudah terkelupas dari tembok rumah itu.

Liza segera turun dari motor tersebut dan bertepatan pintu rumah terbuka. Syarifah tersenyum menatap putrinya dan raut khawatir tercetak jelas di wajah wanita paruh baya itu.

"Kau ke mana saja, Nak? Bunda khawatir kau kenapa-kenapa," ucap Syarifah memeluk putrinya sekilas.

"Tadi aku terjebak hujan jadi berteduh di pos ronda, Bun," balas Liza dan Syarifah mengangguk paham.

Tatapan wanita paruh baya itu beralih menatap ke arah pria yang sedari tadi diam memperhatikan kedua wanita beda usia itu mengobrol.

Syarifah menyikut lengan Liza yang langsung menoleh ke arah sang bunda.

"Dia siapa?" bisik Syarifah seraya melirik Fariz.

"Dia yang mengantarkan ku pulang, Bun," balasnya berbisik juga. Mata Syarifah sedikit melebar mendengar itu.

"Kalau begitu kau ajak masuk ke dalam rumah. Tidak enak bila dia langsung pulang apalagi sudah mengantarkan kau pulang ke rumah."

"Tidak usah, Bun. Tidak baik pria berkunjung ke rumah malam-malam begini," alibi Liza yang memang tidak memperkenankan pria asing itu masuk ke rumahnya.

Syarifah menggeleng pelan." Tidak sopan langsung menyuruh dia pulang, setidaknya tawarkan dia masuk ke dalam rumah sekedar memberikan minuman."

Liza hanya bisa menghela napas panjang.

"Ayo masuk ke dalam rumah dulu, Nak," ajak Syarifah pada Fariz yang mengangguk dengan senyuman yang terukir di bibirnya. Pria itu tampak tak menolak dengan ajakkan Syarifah.

Liza menatap keduanya masuk ke dalam rumah. Mata wanita itu tak sengaja melirik sepeda motor hitam yang terparkir di depan rumah. Sepertinya ada tamu yang datang.

"Ayo masuk Nak, jangan malu-malu," ucap Syarifah menggiring Fariz yang mengikuti dari belakang.

"Abah..."

Suara Fariz membuat dua pria yang sepantaran usianya itu kompak menoleh.

"Lho? Kau kenapa ada di sini?" tanya Hasan yang bangkit dari sofa dan tampak terkejut dengan kemunculan putranya.

"Dia anakmu?" Kini Muhsin yang buka suara.

Hasan mengangguk." Iya, dia anakku. Baru satu minggu yang lalu pulang dari kota."

"Ternyata sudah dewasa dan sangat tampan. Sudah lama aku tidak melihatnya," ucap Muhsin menepuk-nepuk bahu kokoh Fariz yang terlihat tersenyum. "Apa sudah menikah?"

"Belum, Paman. Masih mencari yang cocok," jawab Fariz sekenanya. Muhsin manggut-manggut.

"Silahkan duduk,"

"Bun, tolong buatkan teh untuk Fariz," pinta Muhsin yang di angguki sang istri.

*

*

"Astagfirullah, Liza..." Syarifah mengusap dadanya terkejut dengan kemunculan Liza yang masuk lewat pintu belakang.

"Kenapa lewat sini? Kan bisa lewat pintu depan," ucap Syarifah yang kembali mengaduk-aduk teh untuk diberikan pada Fariz.

"Di ruang tamu ada teman ayah, aku malu bila harus lewat sana."

"Ya sudah, sekarang kau ganti pakaian mu. Nanti masuk angin."

"Iya, Bunda."

Liza melangkahkan kakinya menuju ke kamar. Suara tawa ketiga pria terdengar jelas di ruang tamu. Entah apa yang mereka bicarakan.

"Kalau kau setuju, bagaimana bila Fariz dan Liza kita jodohkan saja. Jadi, hubungan kita bukan hanya sebagai sahabat tapi besan," ucap Muhsin pada Hasan.

Sementara itu gerakkan tangan Liza terhenti ketika hendak memutar tuas pintu kamarnya. Ucapan sang ayah terdengar jelas di kedua telinganya. Tubuh wanita itu langsung mematung.

Suasana di ruang tamu itu mendadak hening. Fariz dan abah Hasan saling pandang setelah mendengar usulan Muhsin.

"Kalau urusan tentang itu aku serahkan pada Fariz. Kalau Fariz setuju di jodohkan dengan Liza, aku akan mendukung penuh," balas abah Hasan.

Sedangkan dibalik tembok kaki Liza melemas mendengar itu. Ia menggelengkan kepalanya lirih, air mata perlahan membanjiri pelupuk matanya. Kedua tangannya mencengkram kuat gamis yang Ia kenakan.

"Aku tidak mau..." lirih Liza dengan suara tercekat di tenggorokan.

Fariz, pria itu terdiam sejenak dengan kepala menunduk dan mata yang bergulir menimang-nimang tawaran dari Muhsin.

"Beri aku waktu beberapa hari untuk memikirkan ini," ucap Fariz membuat kedua sudut bibir Muhsin berkedut.

"Tentu, tentu Paman akan memberikan kau waktu. Semoga saja kau menerima perjodohan ini dan menjadikan Liza sebagai istrimu. Paman sudah pusing memikirkan Liza yang selalu menolak pinangan dari pria lain," ucap Muhsin yang tidak bisa menyembunyikan kebahagiaan dari raut wajahnya. Walaupun belum pasti Fariz menerima perjodohan ini, tapi tetap saja rasa gembira membuncah di hatinya.

"Tapi, bagaimana bila Liza menolak perjodohan ini?" tanya Fariz dengan kening mengernyit.

"Kau tenang saja, kali ini Liza tidak akan menolak perjodohan ini," balas Muhsin menyakinkan Fariz.

*

*

Butiran air mata berjatuhan membasahi foto pria yang tersenyum hangat. Liza tertunduk sembari memandangi foto mendiang suaminya. Ia mendekap erat figura foto itu dengan rasa perih dan sesak yang meremas kuat.

"Li-liza tidak mau menikah lagi, Liza ingin tetap menjanda sampai kematian menjemput Liza dan kita bisa kembali bersama lagi, mas. Liza hanya mencintai mas Danu dan tidak ada yang bisa menggeser posisi mas Danu di hati Liza."

Liza memejamkan matanya merasakan lelehan air mata mengalir membasahi wajahnya.

Meski sudah dua tahun suaminya meninggal, kenangan manis bersama Danu masih hangat di ingatannya. Tangan Liza terulur mengambil baju kaos yang tergeletak di atas kasur. Ia menyesap aroma wangi parfum suaminya yang masih menempel di baju kaos hitam itu. Sakit, sesak dan rindu bercampur menjadi satu mendekap erat benak Liza.

Dua tahun Ia tersiksa akan kerinduan pada mendiang suaminya yang takkan bisa terbalaskan. Kenapa Tuhan mengambil seseorang yang sangat Ia cintai dan membiarkan Ia tersiksa dengan perasaan cinta seorang diri dan kerinduan yang menyesakkan.

Ceklek

Suara pintu terbuka membuat Liza segera menghapus air mata yang membanjiri wajahnya. Muhsin menghela napas berat melihat putrinya.

"Sampai kapan kau terus seperti ini, Liza?"

Wanita itu tertunduk dalam mendengar lontaran sang ayah yang berjalan menghampiri dirinya.

"Ayah tidak melarang kau untuk terus mencintai mendiang suamimu itu. Tapi tolong pikirkan dirimu juga, tidak mungkin kau hidup seorang diri tanpa ada pasangan. Ayah, bunda, dan Ihsan tidak mungkin selalu bersamamu dan melindungimu setiap saat. Ada waktunya di mana kami akan meninggalkan kau seorang diri..." tutur Muhsin tegas.

Liza mendongak menatap sang ayah. " Ta-tapi sangat sulit bagi ku menerima pria lain, Ayah. Aku tidak ingin kembali menjalin hubungan pernikahan dengan pria lain sedangkan hati ku mencintai mas Danu."

"Terserah kau ingin bicara apa, tapi Ayah tekankan kalau kau sudah Ayah jodohkan dengan Fariz. Mau menerima ataupun tidak dengan perjodohan ini, kau akan tetap menikah dengan dia! Ayah sudah sabar dengan sikap mu ini. Tidak ada wanita yang menghabiskan hidupnya mencintai pria yang sudah tidak ada di dunia ini!"

Rasa sakit begitu menusuk di hatinya mendengar ucapan Muhsin. Bagaimana bisa Ia menjalani sebuah pernikahan tanpa ada cinta di dalamnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!