Xin Fai adalah seorang anak kecil berumur 9 tahun yang tinggal di pinggir daratan Kekaisaran Shang, orang tuanya bekerja sebagai nelayan yang hari-harinya dipenuhi dengan kesusahan ekonomi.
Daerah Peiyu yang berseberangan langsung dengan pantai itu kini ramai dilalui oleh banyak petualang, pendekar dan rakyat biasa. Xin Fai saat itu bersama Ayahnya, Xin Wao yang sedang mengangkat hasil tangkapan di laut. Langit mulai gelap kala itu, angin badai berembus kencang menabrak tubuh para nelayan.
Dahi Xin Fai mengerut sambil menatap Ayahnya.
"Apa jalur kita pernah seramai ini, Ayah?"
"Menurutmu? Ah... Sepertinya daerah kita mulai terkenal ya." Pria dengan baju lusuh dan wajah cerah itu menanggapi senang. Dia sangat mencintai tempat tinggalnya. Anaknya tak lagi banyak bertanya.
Xin Fai memutar pandangannya ke seluruh penjuru, para pendekar berbadan kekar menaiki pelabuhan sambil menenteng pedang panjang bercahaya merah. Perasaannya seketika buruk, namun Xin Fai tidak memberi tahu pada Ayahnya. Lelaki berbadan kekar itu menatap tajam padanya, seketika itu napas Xin Fai sesak tanpa alasan, dia jatuh berlutut sebelum akhirnya pria itu memalingkan muka.
Malam harinya keluarga Xin Fai berkumpul di sebuah rumah kecil atau lebih tepatnya gubuk, walaupun kehidupan mereka di bawah rata-rata namun tak pernah sedikitpun mereka mengeluh. Karena Xin Wao selalu mengajarkan hidup bersyukur pada anaknya, Xin Fai dan anak perempuannya yang kini berumur 8 tahun Xin Xia.
Istrinya datang menyiapkan makanan, sekeluarga itu duduk sambil bercerita tentang sebuah tempat. Daerah yang diyakini oleh keturunannya sebagai asal mereka.
"Daratan Yang, di sanalah kita berasal. Kau tahu? Nenekmu selalu menceritakan ini beberapa kali sampai aku muak." Xin Wao menjelaskan. "Kau tidak akan menemukan kedamaian sedamai di sana, kejernihan air mengalir yang indah, orang-orang yang tidak memandang derajat sebagai tolak ukur kemanusiaan."
"Mana ada orang seperti itu, Ayah!" Xin Fai menolak, dia sangat membenci orang-orang Kekaisaran yang dianggapnya semena-mena dengan rakyat kecil.
"Ayah tahu, mereka memperlakukan kita seperti sampah."
Xin Wao tak segera menjawab, lelaki berumur 30-an itu memberi jeda agar anak laki-lakinya kembali tenang.
Xin Fai mengikuti karakter ibunya yang berapi-api, keras kepala dan membenci orang yang memiliki status bangsawan.
Xin Wao melanjutkan ceritanya perlahan, "Di tempat kita tidak ada tempat yang sedamai itu, tumbuhan tumbuh dengan subur dan matahari yang sangat hangat di sana."
"Hm..." Xin Fai menanggapi malas, adiknya menguap setiap kali Ayahnya menceritakan itu berulang kali, namun Xin Wao tampak tak terusik dengan respon mereka malah semakin bersemangat menceritakannya.
Xin Wao menjelaskan bahwa daratan Yang terletak di daerah yang sama sekali tidak diketahui orang, daerah yang jauh dan penuh marabahaya. Tempat itu terletak di sebuah pulau di pertengahan samudra yang melintang di Benua Daratan Tengah. Dijelaskan juga bahwa daratan Yang terletak di balik bukit, namun sampai saat ini belum ada satupun orang yang berhasil menjangkau tempat itu karena dikelilingi oleh mahkluk laut yang ganas.
"Tapi kata Ayah, di sana sangat aman dan nyaman?"
Xin Wao mengerutkan dahinya, setelah puluhan kali mendengar cerita itu ia tak pernah berpikir seperti halnya anaknya. Lelaki itu hanya paham tentang laut dan kematian di pusaran ombak, jadi dia kurang pandai dalam hal logika.
"Kau tahu? Untuk menaklukkan mahkluk ganas itu diperlukan kekuatan, hanya orang setingkat Pendekar Agung yang bisa melakukannya." Ayahnya menjelaskan tergagu-gagu karena dia pun kurang tahu tentang pemeringkatan para Pendekar.
Xin Fai mengembuskan napas pelan, dia memang selalu menganggap lelaki yang menjadi Ayahnya itu bodoh. Namun Ayahnya tak pernah tersinggung, senyuman penuh tulus itu selalu berhasil membuat Xin Fai tenang.
"Ayah.. kalau itu tempat yang sangat menyenangkan, kenapa kita tidak tinggal di sana?" tanya Xin Xia.
Xin Wao lagi-lagi tersedak napasnya sendiri sambil memasang wajah cemas, dia tak pernah berpikir untuk sampai di sana. Bagi kaum nelayan yang berpenghasilan kecil sepertinya, sangat mungkin nyawanya habis di perjalanan. Belum lagi bertemu dengan pendekar aliran hitam, pembunuh bayaran, perompak dan pembunuh berantai.
Dunia yang ada dipikiran Xin Xia tidak seperti pada kenyataannya, dunia jauh lebih kejam daripada yang ada di daerah Peiyu. Di luar sana banyak orang yang membunuh demi bertahan hidup, bahkan sampai membentuk organisasi, menentang Kekaisaran dan menjadikan jalan sesat sebagai arah kehidupan.
Di daerah mereka saja sering terjadi penculikan budak, perampokan dan pembunuhan meskipun Xin Wao selalu berusaha menyembunyikan hal itu dari kedua anaknya.
"Kurasa sekarang saatnya memberi tahu kalian..." Xin Wao mengela napas panjang.
"Dunia aliran putih dan hitam adalah perlambangan Yin dan Yang, kalian tahu? Masing-masing dari mereka berusaha mempertahankan diri dengan saling membunuh."
Xin Xia terdiam dengan raut bingung, hanya Xin Fai yang terlihat serius dengan perkataan Ayahnya.
"Kita memang tidak dilahirkan sebagai seorang petarung, bahkan, untuk menghidupi diri sendiri saja sudah kesusahan."
Pria itu melanjutkan, "Hanya seorang pendekar yang bisa mengelana di dunia ini. Mereka yang memiliki keahlian melindungi diri sendiri, orang lain dan menumpas segala kebatilan. Ya! Seorang pendekar!" Ayahnya menjadi semangat menceritakan tentang pendekar.
Bagi Xin Fai, pendekar tidak jarang dijumpai di tempatnya. Mereka sangat kuat, kekar dan berkharisma. Sosok seperti mereka sangat disegani di tempatnya.
"Pendekar yang paling pemberani, Yong Tao sang Pendekar Agung nomor satu yang selalu menegakkan keadilan. Aih, aku ingin sekali bertemu dengannya."
Xin Fai tersenyum pahit, menurutnya orang Kekaisaran akan langsung muntah ketika bertemu dengan Ayahnya. Sebagai nelayan, bau tubuh mereka terasa amis dan kumuh tidak menutupi juga bahwa orang-orang biasa pun akan mengusir mereka ketika bertemu.
"Ayah jadi banyak bicara," Xin Wao menatapi kedua anaknya hangat. Meskipun dirinya kelaparan namun ia tetap bahagia dalam kesederhanaan. Senyum pria itu melunak saat Xin Fai putranya angkat bicara. "Kalau begitu, aku harus menjadi pendekar agar bisa sampai di Daratan Yang."
Ayahnya membuka mulut lebar-lebar tak percaya sedangkan istrinya yang daritadi sibuk menyiapkan makanan pun terkejut.
"Kau yakin?"
"Tidak terlalu, Ayah."
Secercah harapan menghiasi wajah lelaki tua itu, dia memegang erat pundak anaknya. "Kalau begitu kau harus ikut Turnamen Pendekar Muda."
Istrinya tak menyanggupi itu namun Xin Wao bersikeras tetap ingin anaknya pergi ke ibukota. Kota Shang terkenal sebagai ibukota paling maju dengan pendekar tingkat tinggi sangat banyak, jarak yang sangat jauh membuat Ibu Xin Fai khawatir. Bukan hanya keselamatan anaknya, melainkan biaya hidupnya ke depan nanti.
"Menurutmu untuk apa aku menjadi nelayan berpuluh-puluh tahun? Aku ingin dia menjadi seorang pendekar terhormat."
"Tapi..."
Ayahnya mengeluarkan sebuah kain lusuh berisi puluhan keping perunggu.
"Aku ingin kau mengikuti Turnamen Pendekar Muda-"
BOOM!
Saat itu seketika suasana pecah dengan teriakan melolong, mendengar hal itu Xin Wao kaget sehingga berlari keluar mencari penyebabnya.
"Manusia Darah Iblis telah datang!"
Ratusan pasukan dengan tato merah di tubuhnya memenuhi pemukiman, mereka berpencar membunuh warga.
"Manusia Darah Iblis...?"
"Mereka siapa, Ayah?"
"Mereka orang-orang yang menentang Kekaisaran Shang. Pemimpin mereka berhasil membunuh orang nomor dua di tempat kita, Wei Yuan. Sang Manusia Darah Iblis sempurna. Mereka.. siluman Iblis!"
***
**Halo! aku kakpit 😆
jadi... aku mau kasih tau, kalo aku masih pemula banget jadi cerita ini masih sangat jauh dari kata bagus😥 semoga kalian mau memahami dan memaklumi kalau ceritanya sangat amburadul dan jauh dari ekspektasi kalian.
hehe udah itu aja kalau mau lanjut baca boleh banget, makasih atas perhatiannya**~
Manusia Darah Iblis dikenal sebagai organisasi pembunuh paling tersohor, berasal dari aliran hitam dan mengandalkan siluman dalam menggerakkan anggota. Bukan hanya di Kekaisaran Shang, mereka juga melakukan pemberontakan besar-besaran di seluruh dunia persilatan. Tak heran, jika mereka mendapat banyak musuh.
Namun organisasi mereka tumbuh dengan sangat cepat, banyak pendekar hitam bergabung dengan atau tanpa paksaan hingga organisasi ini semakin kuat membuat organisasi aliran putih pun jika digabungkan akan sulit menaklukan mereka. Dua tahun lalu, di tengah pertempuran mati-matian yang berlangsung di Ibukota Shang, seorang Pendekar Agung nomor dua di Kekaisaran mengembuskan napas terakhirnya di tangan pimpinan Manusia Darah Iblis, Liu Fengying.
"Bunuh mereka hingga tak bersisa!"
Xin Wao memasuki rumahnya dengan raut wajah buruk, ia menggendong Xin Xia lalu memberinya kepada istrinya. "Jaga mereka, selagi aku menahan kaburlah secepat yang kau bisa!"
Istrinya, Li Wei menitikkan air mata lemah tak sanggup berkata apa-apa. Dilihatnya Xin Fai yang gentar, namun tak segera mengikutinya.
"Fai'er, kita harus lari..."
"Tidak! Aku tidak mau!" Xin Fai tetap keras kepala.
"Ayah ingin kau tetap hidup," pinta Ibunya sambil mengangkat kain lusuh berisi keping perunggu. "Jadilah pendekar, Fai'er."
Xin Fai tak sadar dirinya telah menangis, dia menatap sekitar dan mendapati dua pria dengan pedang bercahaya merah berdiri di depan Ayahnya.
"Serahkan nyawamu! Kami tidak akan mengampunimu!"
Xin Wao berlutut. "Kumohon ambil saja nyawaku, jangan istri dan putra putriku..."
"Kalian semua yang hidup di sini harus mati!" Pria dengan pedang bercahaya merah itu menebas leher Ayahnya tanpa belas kasihan.
"Ayah!"
Xin Fai menjerit melihat Ayahnya terkapar dengan darah mencuat liar dari lehernya membasahi lantai, dia mendongak menatapi wajah pembunuh dengan senyuman iblis itu. Ekspresi yang tidak akan Xin Fai lupakan seumur hidup, saat Ayahnya yang bodoh itu mati di tangan Manusia Darah Iblis. Xin Fai menggerutukkan giginya dengan wajah basah karena air mata.
"Aku akan membunuhmu!"
"Heh? Jadi kau anaknya? Siap-siap lehermu kupotong!"
"Jangan! Kumohin Jangan!" Li Wei menghadang, ia berdiri gemetaran. "Kau boleh bunuh aku."
Li Wei menoleh ke belakang, "Fai'er, dengar kata ibu. Kau harus menjadi pendekar seperti keinginan Ayahmu. Janji, kau harus menjaga Xin Xia tanpa kami. Suatu saat nanti... Kau pasti menjadi pendekar, ibu yakin itu. Jika saat itu telah tiba aku ingin kau menemukan Daratan Yang."
Sebuah kalung permata biru menyala dilemparkan ke arahnya, Xin Fai menangkapnya.
"Itu akan menuntunmu, sekaligus menyelamatkanmu dari marabahaya."
Seakan tak menunggu Li Wei berbicara lagi, pria di hadapannya segera mengangkat tinggi-tinggi senjatanya. Li Wei tersenyum lemah memandangi putra dan putrinya.
"Lari!"
"Ibuu!" Xin Xia menjerit, seketika itu juga Xin Fai menggendong adiknya untuk berlari. Mereka melewati setiap pembantaian dengan segenap rasa takut, sedih, marah, benci dan dendam. Dia bersumpah dalam hatinya ia akan membunuh siapapun itu yang bernama Manusia Darah Iblis.
Kemarahan dalam diri Xin Fai semakin menjalar ganas, ia berniat membunuh semua orang yang membunuh orang tuanya. Bahkan, rakyat desa yang dikenalnya kini dibantai satu per satu di depan matanya membuat Xin Fai merapatkan gigi penuh marah.
"Aku akan membunuh kalian semua!!"
Dalam satu teriakan itu membuat pasukan Manusia Darah Iblis langsung mengarahkan anak panah ke arahnya. Xin Fai semakin termakan emosi, tanpa sadar ia berlutut sambil berteriak menentang langit.
"Aku akan membunuh kalian! Semuanya! Tanpa terkecuali! Bunuh! Bunuh! Bunuh!"
Xin Fai menjerit lagi, sebuah panah busur bergerak dalam kecepatan tinggi dan tanpa dia sadari telah menembus jantung adiknya, Xin Xia.
"Hei, dia hanya anak kecil." Seorang pendekar yang terlihat paling lemah menggerutu.
"Pimpinan menyuruh kita membunuh semua orang di sini."
"Bukankah Pendekar Fengying hanya ingin membunuh pendekar aliran putih di sekitar sini?" Pria satu lagi berkomentar.
"Kudengar Pendekar Fengying ingin membunuh siapapun yang berasal dari aliran putih beserta keluarga, kerabat dan orang sekitarnya."
Xin Fai yang saat itu seperti kesurupan akhirnya berhenti melolong, dia melihat ke samping dan mendapati Xin Xia dalam keadaan tak bernyawa membuatnya kembali berteriak sekuat tenaga.
"Arrrgh!!!"
"Ah sebaiknya kita tinggalkan dia sendiri untuk meratapi kematian adiknya. Hahaha!" Pria itu tertawa lantang, berbalik badan bersama temannya. Xin Fai menggeram sampai bibirnya bergetar.
"Aku akan membunuhmu!"
Berulang kali Xin Fai merasa dendam dalam hatinya seperti terasa membakar dadanya. Ia tak peduli lagi, setelah gagal menepati janjinya menjaga Xin Xia ia bersumpah akan membunuh dua pemanah itu.
"Dia sudah hilang kewarasan sepertinya."
"Kau bunuh saja dia!"
Xin Fai berlari kencang ke arah keduanya, ia melesat tak tentu arah membuat dua pria dewasa itu sulit mengarahkan anak panah. Meskipun berbadan kecil dan kurus namun tubuh Xin Fai tergolong lincah untuk anak seusianya dikarenakan Xin Fai sering berlatih selama pergi ke gunung, berenang di laut lepas, mengangkat kayu bakar dan menghindari binatang buas, dia melakukan semuanya tanpa sepengetahuan Ayahnya yang kini telah tiada.
Api kobaran dari rumah-rumah warga membuat dua pemanah itu bisa melihat jelas Xin Fai, tanpa menunggu lama salah satunya melepas panah yang meleset namun menggores lengan anak itu.
Xin Fai mengambil ranting kayu lalu melompat tinggi dengan perut pemanah itu sebagai pijakan, dia menancapkan ranting itu di kedua mata sang pemanah membuat musuhnya menjerit kesakitan.
"Aarggg!" Pria itu terkapar berguling-guling.
"Beraninya kau!" teriak pemanah yang satu lagi.
"Aku akan membunuhmu!"
Sadar tak sadar, setiap kali mengatakan hal itu dada Xin Fai semakin terbakar. Ia tak peduli lagi, saat jaraknya dengan satu pemanah itu dekat Xin Fai segera mengangkat tangannya.
Namun tanpa disadari pria itu mengeluarkan pisau kecil dari sakunya, lalu menghujamnya di jantung Xin Fai.
"Ahhhkkk!"
Pria pemanah itu mundur tiga langkah sambil memandangi anak kecil yang kini meregang nyawanya. Ia menggelengkan kepala saat mendapati luka goresan di tangannya.
"Lumayan juga."
Saat hendak meninggalkan tempat itu, tangan Xin Fai berhasil meraih kakinya.
"Ada yang ingin kau sampaikan sebelum kematianmu?"
"Aku..."
Xin Fai tak sanggup bersuara, darah memenuhi tenggorokannya.
"Aku akan membunuhmu! Setelah kematianku sekalipun!"
Burung-burung kecil hinggap di dahan yang tinggi, aroma khas pembakaran menyeruak di sekeliling desa. Mayat kehitaman terkapar kaku di balik abu rumah, pemandangan mengenaskan ini membuat utusan dari pemerintahan tak sanggup menahan mual.
Selain itu di beberapa tempat terdapat beberapa pendekar yang meninggal, mereka dibantai kemudian dilalap oleh api. Membuat Pasukan Seribu Kaki yang mendatangi Daerah Peiyu menggeram kesal, banyak teman mereka yang mati sia-sia di rumahnya sendiri. Bahkan orang tak bersalah pun turut jadi korban.
Puluhan sampai ratusan mayat dimakamkan dengan layak tanpa terkecuali. Pimpinan Pasukan Seribu Kaki yang bernama Zhishu Yan mengamati sekitarnya tajam, dia memusatkan pandangan ke arah seorang anak kecil yang sudah terbaring kaku bersama pendekar aliran hitam.
Zhishu Yan menghampiri bersama pengawalnya, ia memberi isyarat berhenti pada pengawal lalu berjongkok di depan anak kecil itu.
"Dia masih bernapas."
Pengawalnya saling memandang, mereka bukan orang buta yang tidak bisa melihat sebuah pisau menancap tepat di jantung anak kecil itu. Sedangkan pria dewasa di sampingnya sama sekali tidak terlihat terluka.
Seakan menjawab pertanyaan pengawalnya, Zhishu Yan berbicara. "Anak ini masih hidup, dan pria di sampingnya sudah mati."
Zhishu Yan memeriksa denyut nadi kemudian membuka baju lusuh milik anak itu, sebelum alisnya berkerut menatap sebuah bekas hitam di dadanya.
"Apa ini?"
Para pengawal dengan senjata lengkap memajukan diri berniat mendekat.
"Dadanya terbakar..." Gumam Zhishu Yan pelan, seingatnya warga yang terkena kobaran api itu akan langsung meninggal bahkan menjadi abu karena api yang digunakan Manusia Darah Iblis adalah api dari siluman Iblis ribuan tahun.
"Senior, sepertinya anak itu tidak terbakar api seperti yang lainnya."
"Tapi mengapa dia tetap hidup walaupun sebuah pisau menancap di jantungnya?" pengawal yang lain bertanya. Mereka mulai kebingungan hingga Zhishu Yan bersuara pelan.
"Anak yang menarik."
Zhishu Yan tidak terkejut karena anak itu masih hidup dengan darah habis di dadanya, melainkan pertanyaan besar. Mengapa pria dewasa yang tubuhnya segar bugar itu meninggal.
"Menyerap energi kehidupan? Apakah dia..." Zhishu Yan menepis pikiran itu, menyuruh pengawalnya membawa anak itu ke tenda.
Xin Fai mengerjapkan mata berkali-kali melihat sebuah atap rendah berwarna hijau di atasnya. Seingatnya malam itu dia sekarat sambil memegang kaki seorang pemanah. Saat pemanah itu hendak melepaskan tiba-tiba dia menjerit lalu tersungkur di tanah. Selebihnya, Xin Fai kurang ingat.
Xin Fai terbangun memegang kepalanya yang sakit, sambil memegang dada kirinya. Ia menyatukan alis heran karena tidak terdapat satupun luka di sana.
"Kau heran kenapa lukamu tidak ada di sana?"
Xin Fai mendongak kaget, mendapati seorang pria bertubuh kekar serta garis wajah tegas sedang menatapinya. Dia menunduk ketakutan sambil berusaha menjawab.
"Ti-tidak."
"Sepertinya tidak ada yang memberitahumu."
"Tentang apa Tuan Pendekar?" Xin Fai berusaha sesopan mungkin.
"Jika aku memberitahumu mungkin kau akan diincar seluruh pendekar di dunia ini."
Kaki Xin Fai bergetar dibuatnya meskipun tidak paham apa yang dikatakan oleh Zhishu Yan.
"Kau memiliki tubuh yang istimewa."
Mendengarnya Xin Fai hanya terdiam membisu.
Zhishu Yan menggelengkan kepala. "Tapi keistimewaanmu membawa marabahaya."
"Apa?" kaget Xin Fai, dia mengeluarkan sebuah kalung permata biru dari sakunya. "Selagi aku memiliki ini, Ibu bilang aku tidak akan berada dalam bahaya."
Zhishu Yan menaikkan alisnya.
"Kau memilikinya?"
Keduanya saling menatap, tak lama Zhishu Yan tertawa lantang sambil mendekat.
"Kau sungguh anak yang menarik."
Tak bisa berkata apa-apa membuat Xin Fai hanya bisa membungkam mulutnya karena di hadapannya ada salah seorang pendekar terhormat yang selama ini dipuja oleh Ayahnya. Hati Xin Fai kembali berkabung mengingat seluruh keluarganya yang dibantai dalam satu malam oleh Manusia Darah Iblis.
"Apa Tuan Pendekar mengenal Fengying?"
Senyuman di bibir Zhishu Yan memudar.
"Kutebak pasti kau ingin membalaskan dendammu?"
"Bisa dibilang begitu." Xin Fai menjawab tanpa menutupi wajahnya yang penuh dengan dendam.
"Hahahaha!" Tawaan menggelegar dari suara berat lelaki itu, dia sungguh tak habis pikir dengan jalan pemikiran bocah kecil di hadapannya.
"Kau sungguh di luar dugaanku. Siapa namamu?"
"Namaku Xin Fai, pendekar."
Senyuman kembali menghiasi wajah Zhishu Yan, ia mengeluarkan tatahan besi yang membentuk ukiran teratai.
"Kuil Teratai."
Xin Fai menangkap tatahan itu sambil memperhatikannya.
"Kondisi tubuhmu tidak banyak orang ketahui, dan hanya muncul sebagai legenda saja. Jika benar dugaanku, maka kau adalah anak yang hanya muncul seribu tahun sekali."
Zhishu Yan melanjutkan, "Tao Wei seorang Penderma paling sepuh di Kuil Teratai, sekaligus satu dari sepuluh Pilar Kekaisaran Shang. Dia memiliki jawaban atas kondisi tubuhmu saat ini."
"Pendekar, aku–"
"Jika kau tidak punya kemampuan untuk pergi ke sana," kata Zhishu Yan sambil mengeluarkan sekantong koin emas. "Pergilah. Aku yakin kau tak akan mudah mati, apalagi dengan Permata Cahaya Biru itu."
Lagi-lagi Xin Fai dibuat kebingungan oleh pria berusia 40 tahun itu, namun ia tak punya daya untuk membantah.
"Aku yakin tujuanmu sama denganku," tambah Zhishu Yan pelan. Dia hendak meninggalkan tenda sampai terdengar suara gemetar Xin Fai di belakangnya.
"Mungkinkah pendekar mengalami hal yang sama denganku?"
"Benar. Orang tuaku meninggal karena pembunuhan berantai, aku hidup demi membalaskan dendamku."
Zhishu Yan menghampiri Xin Fai sambil menepuk pundaknya.
"Jangan biarkan Iblis Hati menguasai pikiranmu."
Lelaki itu menunjuk bekas luka bakar di dada Xin Qian, anak itu melebarkan netra matanya sambil meraba dadanya. Sebelumnya ia tidak memiliki itu.
"Iblis Hati?"
"Kematian orang tua dan saudarimu membuat tubuhmu dipenuhi oleh dendam. Sekarang, coba katakan apa tujuan hidupmu?"
Zhishu Yan duduk bersila sambil menepuk dudukan di sampingnya. Sedangkan Xin Fai diam sambil berpikir mengingat sebagian besar pikirannya tertuju pada kematian Ayah, Ibu dan adiknya, Xin Xia.
"Aku ingin membunuh semua Manusia Darah Iblis."
Meskipun agak terkejut mendengarnya Zhishu Yan tetap berusaha tenang. "Kau tahu? Pria yang kau sebut Fengying itu adalah pemimpin Manusia Darah Iblis, dan dia telah membunuh pendekar Agung nomor dua di Kekaisaran kita."
Seakan mengerti maksud Zhishu Yan, tangan kecil Xin Fai mengepal di atas pahanya.
"Aku tetap akan membunuhnya."
"Oh, ku akui keberanianmu. Tapi, itu tidaklah cukup. Bisa jadi sepuluh tahun ke depan Organisasi Manusia Darah Iblis semakin besar, mereka bahkan menjadi pembunuh aliran hitam paling mematikan di Asia."
Xin Fai mengangkat wajahnya tak menyangka, ia ingin membalas dendam namun tak menyangka langkahnya masih sangat jauh. Jika umurnya seribu tahun pun, ia tidak yakin bisa menepati sumpah yang telah diteriakkannya dari semalam itu.
"Aku..."
"Tidak perlu berkecil hati."
Pria itu melanjutkan dengan wajah tenang. "Di dunia ini banyak orang tak bersalah yang mengalami hal sepertimu. Kau bisa membunuh orang yang membunuh, menyelamatkan orang yang tidak bersalah dan menjadi tonggak keadilan bagi seluruh orang di Kekaisaran Shang." Zhishu Yan melanjutkan, "Aku akan menanti namamu terkenal sebagai Pendekar Agung Kehormatan."
"Apa itu keren?"
Mendengar ucapan polos itu Zhishu Yan tersedak ludahnya sendiri. "Pendekar Agung Kehormatan adalah orang yang ditunjuk langsung oleh Kaisar sebagai Pilar Kekaisaran."
Sejenak lelaki itu dapat menangkap binar cerah di mata Xin Fai, anak kecil itu masih layaknya anak pada umumnya meskipun dia sadar apapun yang dialami Xin Fai sangat berat. Mungkin orang dewasa pun ingin bunuh diri, namun melihatnya bisa melewatinya seorang diri membuat Zhishu Yan lega.
"Saat kau memiliki kekuatan, di saat itu kau bisa menegakkan keadilan. Jika kau ingin membunuh Manusia Darah Iblis itu tidak mudah," jelas Zhishu Yan lemah.
"Bisa kau beritahu caranya, Pendekar?"
"Tentu saja. Kau harus memiliki kekuatan sendiri, menjadi seorang Pendekar Agung saja belum tentu cukup. Kau harus bisa menggerakkan seluruh pendekar aliran putih untuk memberantas mereka."
"Menjadi pendekar Agung Kehormatan?"
"Tepat sekali." Zhishu Yan melebarkan senyumnya, senyum yang selama tiga puluh tahun ini tak pernah terlihat, jauh sebelum kedua orangtuanya dibakar hidup-hidup di depan matanya. Zhishu Yan memiliki ambisi yang sama seperti Xin Fai dan merasa harus membantu anak itu.
"Apakah aku bisa menitipkan tujuan hidupku padamu?"
"Aku tidak keberatan, Pendekar."
Kali ini Zhishu Yan tak lagi tersenyum disertai dengan ekspresinya yang mencekam dipenuhi dendam.
"Aku ingin kau menumpas segala kebatilan, kejahatan, dan pembunuhan. Sebisa yang kau mampu."
Kini ekspresi Zhishu Yan memancar lebih cerah seakan beban berat telah terangkat dari pundaknya.
"Aku akan memberikanmu ini."
Sebuah pedang pendek dengan garis kehijauan tersodor padanya.
"Ini adalah pedang anakku yang sudah meninggal dua tahun yang lalu."
"Pendekar, aku berjanji akan menjaganya." Xin Fai menunduk hormat, ia sangat berterimakasih padanya.
"Aku tidak keberatan, anggap saja aku Ayah angkatmu, hahaha!" Tawa menggelar seketika membuat Xin Fai kaget tak alang kepalang.
"Pendekar terlalu bermurah hati.."
Wajah Zhishu Yan yang kharismatik membuat Xin Fai sungkan, ia berusaha menjaga sikap sebaik mungkin.
"Tentang Kuil Teratai, kau bisa menempuhnya dengan mengandalkan petaku."
Zhishu Yan mengeluarkan peta kecil, ia menandai sebuah tempat.
"Mungkin jika kau cepat bisa sampai dalam tiga bulan perjalanan."
"A-apa?"
Lelaki itu tentu tidak heran dengan raut terkejut Xin Fai, dia paham betul bahwa sangat aneh membiarkan anak kecil sepertinya pergi ke tempat berbahaya.
"Tidak ada pilihan, Xin Fai. Kau harus menjalaninya agar bisa bertahan hidup. Dunia tak seindah buku dongeng, kau harus bertaruh nyawa meskipun sedang berjalan di tempat yang ramai."
"Pendekar, aku tidak bisa.."
"Jika orang aliran hitam menemuimu di sini mungkin mereka akan menggunakanmu untuk menghancurkan dunia persilatan."
Belum sempat ingin membantah lebih jauh sekarang Zhishu Yan kembali memberinya sebuah kalung berbentuk kerang.
"Jika kau dalam bahaya, cukup tiup kerang itu dan anggota Pasukan Kaki Seribu akan menyelamatkanmu."
"Pendekar, bagaimana aku menerima ini semua sedangkan aku tidak punya apa-apa untuk diberikan kepadamu?" tanya Xin Fai gugup. Tentu harga semua barang di tangannya tidak cukup dengan dia banting tulang selama puluhan tahun.
"Aku ingin kau menjadi Pilar Kekaisaran untuk membunuh semua kejahatan di dunia ini. Hanya itu saja, sudah cukup bagiku."
Xin Fai belum sadar bahwa tanggung jawab yang akan diembannya cukup berat, namun ia memilih diam. Dia juga memiliki dendam yang harus dibalaskan pada Manusia Darah Iblis.
"Pergilah, Xin Fai. Dengan peta ini seharusnya kau bisa sampai di kota Zhu. Hati-hati jika malam hari, banyak pembunuh yang berkeliaran."
"Baiklah pendekar."
Setelah memberi hormat dan salam perpisahan Xin Fai meninggalkan Desa Peiyu menuju kota Zhu yang menjadi tujuannya. Ia tak pernah menyangka kehidupannya akan berubah dalam semalam.
***
ada pergantian nama tokoh utama, maafkan keteledoran saya kalau terdapat typo ya...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!