Happy reading
~………………………~
"Tidak ada yang melanggar norma dalam hubungan kita. Kamu adik angkatku dan aku kakak angkatmu. Mungkin sekilas akan terdengar aneh, tapi hubungan kita sah-sah saja. Sebab, kita tidak sedarah."
Di bawah langit malam yang mendung. Berkabut tebal dengan warna gelap pekat yang meliputi permukaannya, ada dua orang anak muda yang sedang asyik berbincang. Mereka adalah Elyaz dan Alamanda, atau lebih akrab dipanggil El dan Manda.
"Bagaimana sekolahmu, Manda? Apa ada kendala?" tanya Elyaz pada Alamanda.
"Semuanya lancar, Kak. Aku punya banyak teman di sana, tapi hanya satu orang yang akrab denganku," jawab Alamanda.
"Benarkah? Kenapa begitu? Apa yang lainnya tidak menyenangkan?"
"Benar, Kak. Aku tidak bohong. Yang lain juga menyenangkan, hanya saja aku lebih suka berteman dengan Elina. Dia sederhana dan tidak neko-neko. Sama sepertiku."
Elyaz tersenyum sembari mengacak pelan rambut Alamanda. "Bertemanlah dengan yang membuat hatimu nyaman, hem."
Alamanda mengangguk seraya membalas senyum Elyaz. "Iya, Kak."
Ya, mereka adalah adik kakak, meski bukan saudara kandung. Alamanda adalah gadis desa yang diadopsi atau diasuh oleh orang tua Elyaz, dua tahun silam. Pengangkatan Alamanda sebagai anak oleh orang tua Elyaz terjadi saat suatu ketika kedua orang tua Elyaz, melakukan kunjungan ke sebuah sekolah di desa, di mana Alamanda tinggal. Kebetulan, kala itu kedua orang tua Elyaz menjadi donatur untuk sebuah sekolah di sana.
Diketahui, saat itu Alamanda tercatat sebagai seorang siswi berprestasi. Namun, karena ketidakmampuan orang tua Alamanda untuk membiayai sekolahnya, gadis itu terpaksa tidak melanjutkan sekolah ke jenjang Sekolah Menengah Atas atau SMA dan sederajatnya. Atas segala pertimbangan itu, kedua orang tua Elyaz yakni Kania dan juga Emir, memutuskan untuk menyekolahkan Alamanda dan mengangkatnya sebagai anak. Sejak saat itulah kisah Alamanda dan Elyaz dimulai.
"El! Manda! Cepat masuk. Udara di luar sangat dingin," seru Kania memberi titah pada keduanya.
"Iya, Bu!" jawab mereka kompak.
Keduanya pun bergegas masuk ke dalam rumah. Sepanjang waktu itu, tidak ada yang tahu perihal perasaan Elyaz terhadap Alamanda, kecuali dirinya sendiri. Dia sendiri tidak pernah menunjukkan perasaannya itu secara terang-terangan dan memilih menyembunyikannya dengan rapi. Meski, perhatiannya pada Alamanda tidak terelakkan. Akan tetapi, semua orang berpikir bahwa hal itu wajar terjadi, karena Elyaz merupakan kakak Alamanda, walau bukan kakak kandung.
"Manda, apa kamu memerlukan sesuatu untuk sekolahmu?" tanya Elyaz berbasa basi. Mereka tengah sama-sama berdiri di depan pintu kamar mereka, yang kebetulan bersebelahan.
Alamanda mengerutkan dahinya. "Tidak ada, Kak. Semuanya sudah cukup," jawabnya.
"Baiklah, kalau ada yang kurang katakan saja pada Kakak. Nanti kubelikan," lanjut Elyaz.
"Terima kasih, Kak." Alamanda melempar senyum simpul pada Elyaz, lalu masuk ke dalam kamarnya. Elyaz pun melakukan hal yang sama.
Sesampainya di dalam kamar. Elyaz menghempaskan diri ke atas kasur King Size miliknya. Pandangannya lurus ke atas langit-langit kamar.
'Entah sampai kapan aku harus memendam perasaan yang setiap hari menjadi kemelut dan beban pikiranku? Alamanda, aku telah jatuh cinta padamu sejak pertama kamu hadir di rumah ini. Sudah kupastikan berulangkali, kukira perasaan ini hanya penasaran saja. Tapi ternyata tidak, Manda. Ini memang perasaan cinta.'
Tok!Tok! Tok!
Suara ketukan terdengar nyaring di daun pintu kamar Elyaz. Dia pun bergegas untuk membukanya. Dan saat pintu itu dibuka, terpampanglah wajah manis Alamanda yang sedang tersenyum padanya.
"Kakak, Manda boleh masuk tidak?" Pertanyaan itu berulang kali dilontarkan Alamanda, karena Elyaz hanya berdiri mematung dengan mulut bungkam membisu.
"Iih, Kakak kenapa, sih?" lanjut Alamanda yang tak jua mendapat respon dari Elyaz.
"I-iya ... masuk saja," jawab Elyaz pada akhirnya.
"Terima kasih, Kak." Dengan gaya polosnya, Alamanda pun masuk ke kamar kakaknya tersebut.
"Kakak, aku boleh cerita tidak?" kata Alamanda sambil duduk di tepi tempat tidur Elyaz.
"Hmmm, tentu saja. Memangnya ada tulisan dilarang cerita pada Kakak?" timpal Elyaz menyusul Alamanda untuk duduk di sana.
"Ada teman pria yang suka padaku. Dia ingin aku jadi pacarnya, tapi aku takut pada Ayah dan Ibu." Alamanda mulai bercerita.
DEG!
Perasaan serupa cemburu merebak di dada Elyaz. Dia hanya diam dan tidak mengatakan apapun. Raut wajah yang semula berseri kini tampak murung dan terlihat sangat kesal.
"Kakak ...," lirih Alamanda yang mulai tegang. Dia tidak biasa melihat Elyaz yang diam dengan raut marah seperti itu.
Elyaz berdiri, lantas berjalan memunggugi Alamanda. 'Tidak ada pria lain yang boleh mendekatimu, Manda. Aku tidak suka dan aku tidak akan pernah rela.' Elyaz kembali menoleh pada Alamanda.
Alamanda menunduk dengan mata yang berkedip tidak beraturan. Jari jemarinya bertautan satu sama lain. Dia sungguh takut melihat kemarahan yang tersirat di raut wajah Elyaz.
Bersambung ....
Halo, guys. Aku hadir kembali untuk menyapa kalian dengan sebuah karya. Semoga kalian suka. Jangan lupa dukungannya, ya. 🖤❤🖤❤🖤❤🖤❤🖤❤🖤
Masih dalam keadaan yang tegang, Alamanda seperti kebingungan. Antara ingin bertanya, tapi takut Elyaz akan semakin menunjukkan kemarahan. Hingga akhirnya, gadis itu berdiri. Namun, tanpa sengaja dia berbarengan dengan Elyaz yang hendak duduk, sehingga kepala Alamanda membentur ke dagu Elyaz.
"Akkhh!" Elyaz mengaduh.
"Kakak! Kakak tidak apa-apa?" tanya Alamanda cemas.
Elyaz masih tidak menjawab, tapi dia malah fokus memperhatikan wajah Alamanda dengan raut khawatirnya. Ada yang menghangat di dada Elyaz. Rupanya dia senang mendapat perhatian dari Alamanda.
"Aku tidak apa-apa, Manda. Kembalilah ke kamarmu dan tidur. Besok kamu sekolah, jangan sampai bangun kesiangan dan terlambat datang," usul Elyaz.
"Iy-ya, Kak," gagap Alamanda, lantas dia pun pergi dari sana menuju ke kamarnya.
Setibanya di kamar, Alamanda melangkah gamang menuju tempat tidurnya. "Kenapa Kak El begitu? Apa dia marah padaku? Tapi kenapa?" gumamnya penuh tanya.
"Huuuft! Sepertinya aku bercerita di waktu yang tidak tepat. Kurasa, kali ini Kak El lebih menakutkan daripada ayah dan ibu." Alamanda merebah di atas kasur dengan perasaan yang tak tenang.
Di sisi lain, Elyaz sedang tak kalah gundahnya. "Kenapa aku berperilaku bodoh seperti tadi? Kenapa aku tidak bisa menyembunyikan rasa kesal dan cemburuku setiap kali mendengar ada pria yang ingin dekat dengan Manda?" ucap Elyaz merutuki dirinya sendiri.
Malam semakin larut. Cahaya gemintang tak jua muncul menyapu kegelapan. Yang ada hanya gulita pekat, berhias hati yang nyaris sekarat. Ya, Elyaz tengah berada dalam siksa cinta yang entah kapan akan bermuara.
****
"El! Manda! Cepat turun, Nak. Sarapan sudah siap." Lagi, Kania memanggil kedua anaknya.
"Biarkan sajalah, Bu. Kebiasaan sekali mereka. Apa susahnya duduk di meja tanpa harus dipanggil-panggil dulu," timbrung Emir yang sudah sibuk dengan sarapan di piring hidangnya.
"Ya, namanya juga anak-anak, Yah. Kalau tidak rajin mengingatkan, mereka akan semakin lalai." Kania memberi pembelaan.
Tidak lama berselang, Elyaz dan Alamanda tiba di sana. Lalu, mereka menarik kursi dan mulai duduk. Tampak wajah canggung Alamanda tersirat pada setiap matanya menatap Elyaz. Mungkin, kejadian semalam masih membekas dalam ingatannya.
"Manda, cepat habiskan sarapannya. Hari ini Ayah ada meeting di awal waktu, jadi tidak bisa mengantarmu. Kamu diantarkan Kak El dulu, ya," ujar Kania mengingatkan.
"Emmm, Manda bisa berangkat sendiri kok, Bu," jawab Alamanda yang ragu.
"Elyaz akan mengantarnya, Bu. Jangan khawatir." Tiba-tiba saja Elyaz menyetujui titah Kania.
"Nah, begitu dong. Ibu 'kan jadi senang kalau melihat kalian akur," cetus Kania seraya tersenyum.
Emir sudah menyelesaikan sarapannya. Kania mengantarkannya sampai ke depan pintu sambil membawakan tas dan memasangkan jasnya. Sementara itu, Alamanda masih tampak salah tingkah dan takut untuk menatap Elyaz.
"Kalau kalian sudah selesai, berangkat saja, ya. Biar Bi Nari yang rapikan semuanya. Ibu ada arisan di rumah teman pagi ini."
"Baik, Bu," jawab Elyaz. Sedangkan Alamanda hanya menganggukkan kepalanya pelan.
Detik kemudian, keduanya sudah mengarah ke sekolah Alamanda. Di dalam mobil, Gadis berkulit putih itu hanya diam seribu bahasa. Dia enggan dan sekali lagi masih merasa takut pada Elyaz.
Elyaz melirik Alamanda dengan ekor matanya. "Kenapa diam saja? Apa tidak ingin bicara lagi pada Kakak?" lontar Elyaz secara tiba-tiba.
Alamanda mendongak, jauh menatap ke dalam mata Elyaz. "Memangnya Kakak tidak akan marah lagi kalau aku ajak bicara?" jawab Alamanda dengan polosnya.
Elyaz menyeringai geli. "Jadi, sejak tadi kamu diam saja, karena takut aku marah?" katanya.
"Iih, dasar aneh. Siapa yang tidak takut melaihat mata Kakak yang merah menyala seperti tadi malam?" imbuh Alamanda sembari mendumal.
"Aku tidak marah. Hanya saja, aku tidak suka mendengar anak kecil pacaran segala," elak Elyaz.
"Ihh, Kakak ... aku 'kan sudah 17 tahun. Aku sudah bukan anak kecil lagi," protes Alamanda tidak terima.
Elyaz menghentikan mobilnya secara tiba-tiba, sampai Alamanda terperanjat kaget. "Apa seragam ini tidak cukup menjelaskan bahwa dirimu masih anak kecil," kata Elyaz sambil menarik kerah baju Alamanda sampai wajah mereka nyaris beradu.
"Menyebalkan! Iya, iya. Baiklah, aku memang masih berseragam SMA, walau aku sudah bukan anak kecil lagi!" desis Alamanda sembari menepis pelan tangan Elyaz yang mencengkram kerah bajunya itu.
Alih-alih marah, Elyaz justru tampak sangat menikmati sutuasi tersebut. Situasi di mana posisi dirinya nyaris tidak berjarak dengan Alamanda. Walaupun saat itu, Alamanda bersikap sangat ketus padanya.
Bersambung ....
Jangan lupa dukungannya, gangs! 🗡🗡🗡🗡🗡🗡🗡
"Kenapa diam saja? Ayo jalan, Kak. Nanti kalau aku terlambat bagaimana?" imbuh Alamanda.
Elyaz menggelengkan kepalanya sambil membuka kaca jendela mobilnya. "Kita sudah sampai di depan gerbang sekolahmu, Manda. Dasar pemarah!" goda Elyaz.
Alamanda tersenyumsambil tersipu malu dan salah tingkah sendiri. "Hehehe! Terima kasih, Kak. Aku masuk dulu," ujarnya seraya membuka pintu mobil dan ke luar dari sana.
Elyaz hanya mencebikkan bibirnya, lantas tersenyum melihat tingkah lucu Alamanda. "Bahkan hanya melihatmu tersenyum saja, debar jantungku menjadi lebih dahsyat dari debur ombak," gumam Elyaz. Lantas, dia pun pergi menuju ke kampusnya.
Di dalam kelas, Alamanda duduk melamun di bangkunya. Dia masih terpikirkan akan sikap Elyaz tadi malam, yang membuat dirinya sempat ketakutan. Walaupun, keadaan tegang itu sudah mencair. Namun, tidak serta merta ingatannya lupa begitu saja.
"Manda, kamu sudah mengerjakan PR belum?" Lantang terdengar suara tanya dari Elina, sahabat sekaligus teman sebangku Alamanda.
Lamunan Alamanda buyar seketika. "Eeh, Elina. Kamu udah lama datang?" ujar Alamanda.
"Ya ampun, Manda. Kamu lagi kenapa, sih?" kata Elina sembari menyentuh dahi Alamanda dengan punggung tangannya.
"Iih, kamu itu yang kenapa, Elina? Aku tidak apa-apa," sangkal Alamanda sedikit ketus.
"Tidak apa-apa, tapi sejak tadi melamun saja. Aku tanya pun jawabnya tidak nyambung," imbuh Elina.
"Sudah diam. Guru kita datang, tuh!" peringati Alamanda. Lantas semua siswa dan siswi di kelas itu duduk dengan rapi dan mempersiapkan diri untuk belajar.
****
Sepulang sekolah, Alamanda kembali dijemput oleh Elyaz, yang ternyata sudah menunggunya sedari tadi. Gadis itu berjalan sembari menyimpulkan senyum menuju ke mobil Elyaz. Dan di dalam mobil itu, ada jantung yang berdegup sangat kencang di sana, di dalam dada Elyaz.
"Hai, Kak," sapa Alamanda sembari menyembulkan kepala dari pintu mobil yang sudah dia buka.
"Hmmm, cepat naik!" perintah Elyaz. Alamanda pun langsung naik tanpa menunggu lagi.
"Sudah makan?" tanya Elyaz seraya mengemudikan mobilnya.
"Sudah, waktu istirahat tadi. Aku makan di kantin sekolah bersama Elina."
"Makan apa?"
"Mie instant," jawab Alamanda singkat.
"Tidak baik makan mie instant terlalu sering," imbuh Elyaz dengan pandangan yang tetap fokus ke depan.
"Hidup Kakak sama sekali tidak asyik. Ini itu tidak boleh," komentar Alamanda sambil mengerucutkan bibirnya. Gadis itu tampak jengah dengan nasehat yang dilontarkan Elyaz padanya.
"Dasar pembangkang. Begitu saja marah. Aku 'kan hanya mengatakan yang sebenarnya," gerutu Elyaz.
"Hidup Kak El kaku seperti batang kayu," lanjut Alamanda mengolok Elyaz.
"Biar saja, yang penting selamat." Elyaz menjawab dengan santai.
Alamanda mulai lelah dengan perlawanannya sendiri. Kini, dia pun hanya diam. Hingga tidak terasa, mereka telah sampai di rumah.
Seperti layaknya seorang adik, Alamanda terhitung manja pada Elyaz. Tidak jarang secara tiba-tiba dia bergelayut, bahkan naik pada gendongan Elyaz. Seperti yang dilakukannya saat ini, tepat sejak keduanya ke luar dari dalam mobil.
Tidak ada siapa pun di rumah itu, kecuali seorang asisten rumah tangga yang bekerja. Mereka pun disambut ramah dengan salam selamat siang, dan dipersilakan untuk makan. Namun, saat itu keduanya belum lapar dan belum ingin makan.
"Manda, turunlah! Kakak tidak mungkin menggendongmu sambil menaiki tangga," titah Elyaz.
"Tidak mau! Pokoknya Manda ingin digendong. Ayolah, Kak. Kasihanilah adikmu yang kelelahan ini," rajuk Alamanda.
"Huuuft! Kamu tidak tahu saja, Manda. Kelakuanmu yang seperti ini membuat jantungku tidak aman," batin Elyaz merasa tidak berdaya.
Pemilik alis tebal itu mau tidak mau tetap menggendong Alamanda menuju ke kamarnya. Dengan napas yang sedikit tersengal, karena menaiki anak tangga yang lumayan banyak, Elyaz pun berhasil mengantarkan Alamanda.
"Terima kasih, Kakak," ucap Alamanda seraya melompat dari atas gendongan Elyaz tanpa aba-aba. Hal itu, tentu saja membuat Elyaz terkejut.
"Ya ampun, Manda! Kenapa tidak hati-hati? Bagaimana kalau kamu jatuh nanti, huh?!"
"Hehehe! Maka Kak El akan menyelamatkanku, benar 'kan?" jawab Alamanda dengan santainya.
"Anak nakal!" cerca Elyaz seraya menjewer telinga Alamanda.
"Awwkh! Sakit, Kakak," keluh Alamanda.
"Ini balasan untuk anak nakal sepertimu!" tandas Elyaz sambil berjalan menyurung Alamanda ke kamarnya.
Tanpa sengaja, kaki mereka saling bersandungan dan membuat keduanya jatuh dengan posisi saling bertindihan.
Elyaz yang kala itu menindih Alamanda, dengan segera mengganti posisi. Dia membalikkan tubuh Alamanda sehingga berada di atasnya. Sementara itu, Alamanda hanya diam dengan napas yang sedikit tersengal.
Cukup lama posisi itu membekukan mereka dalam tatapan yang beradu. Sebelum akhirnya, keduanya tersadar dan langsung bangkit dari rebah mereka. Lagi-lagi, detak jantung Elyaz berdegup bagai dentuman.
"Gara-gada Kak El, sih. Tanganku jadi sakit tertindih tadi!" rajuk Alamanda yang masih biasa saja. Dia tidak tahu Elyaz hampir mati menahan sesuatu yang mendesak di dalam dada dan bagian bawahnya.
"Ha? Apa itu sakit? Mana ... biar Kakak obati." Elyaz langsung panik mendengar keluhan Alamanda.
Alamanda menjulurkan tangannya yang sakit pada Elyaz. "Rasanya sedikit keram," ujar Alamanda lagi.
"Apa kita butuh krim pereda nyeri?" tanya Elyaz sembari mengusap-usap lembut lengan Alamanda tersebut.
"Tidak perlu, Kak. Sekarang sudah lebih baik kok."
"Baiklah, Kakak minta maaf, ya." Elyaz memberi usapan lembut di pipi Alamanda yang masih sedikit mendumal. Gadis itu hanya mengangguk pelan.
"Kenapa Kak El masih di sini? Sana pergi ...." Alamanda menyurung pelan Elyaz hingga ke luar dari kamarnya.
"Iya, iya! Tidak perlu mendorongku juga. Aku bisa ke luar sendiri, Manda." Elyaz lantas berlalu dari sana.
Bersambung ....
Dukungannya jangan lupa, ya. ❤🖤❤🖤❤🖤❤🖤❤🖤❤🖤❤
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!