Brum!
Brum!
Brum!
Suara bising sejumlah motor trail ugal-ugal memekakkan telinga semua orang saat melintas di jalanan.
Beberapa berandalan dengan tampilan sangar terlihat sedang melakukan pengejaran pada seorang pemuda yang sudah berusaha melarikan diri akibat pengeroyokan yang di lakukan oleh mereka sebelumnya. Yang pasti orang-orang itu tidak tahu asal muasal kenapa pemuda yang di kejar itu sampai berhubungan dengan mereka.
Tentu saja peristiwa mengerikan tersebut sangat mengejutkan seluruh penduduk kampung yang sedang bersantai. Sampai berhamburan menggendong anak mereka yang sedang bermain di depan rumah untuk masuk ke dalam.
Pasalnya para berandalan BMX adalah salah satu Pengenal kumpulan para anak muda yang terkenal sadis dan kejam. Mereka tidak perduli pada siapa mereka berhadapan. Sehingga tak ada satu pun penduduk kampung yang berani menegur anak-anak muda itu.
Apalagi mayoritas penduduk di sana, mencurahkan hidup dari bekerja pada para orang tua mereka yang memang punya derajat dan kedudukan yang tinggi di kampung Batuku Ayum.
Jadi wajar saja, jika para anak muda itu mempunyai sifat angkuh dan sombong. Hingga berbuat di luar batas kewajaran.
Kebetulan posisi komplek di sana sangat rapat oleh rumah-rumah penduduk yang hanya berjarak lima jengkal dari rumah satu ke rumah yang lainnya.
Sehingga tak ada jalan untuk pemuda itu berlari ke arah lain kecuali terus berlari lurus ke depan.
"Ampun Bang, ampun jangan kejar lagi!" Pinta pemuda bernama Malik. anak remaja yang masih berusia 18 tahun. Sedang yang mengeroyok dipastikan sudah berumur 2o tahun keatas.
"Berhenti Malik, kamu tidak akan bisa lari dari kami, hahaha...!" Timpal Farid yang berpakaian ala rocker.
Tak kuasa lagi untuk terus melangkahkan kaki karena kelelahan, Malik menghentikan keputusannya untuk melarikan diri lalu berlutut di depan 6 orang pria yang membentuk barisan di depannya seolah ingin berlomba paling cepat dan menunggu wasit meniup peluit.
"Ampun Bang, ampun. Malik benar-benar gak sengaja melempar motor Abang dengan botol air mineral tadi!" Mohonnya sangat cemas. Hingga lingkaran bola mata pemuda itu memerah menahan rasa takut yang tak bisa di jabarkan oleh kata-kata.
Salah satu dari berandalan itu mematikan motor trailnya, lalu berjalan ke arah Malik dengan gaya angkuh. Dimana mulutnya asyik mengunyah permen karet yang sesekali membentuk gelembung.
"Siapa namamu?" Tanya pemuda itu.
Dia adalah Athar Azmi anak dari seorang pemilik kebun kopi di wilayah itu. Kakeknya adalah sesepuh desa dimana beliau sangat di hormati karena kebaikannya di kampung itu.
Akan tetapi mereka tidak menyangka, Athar yang sejatinya di didik dan di besarkan agar menjadi orang yang berbudi pekerti malah tumbuh menjadi berandalan yang di takuti.
Sudah berapa kali Pak Dirga harus berurusan dengan keluarga dan pihak kepolisian hanya untuk membebaskan dirinya dari jeratan hukum dan makian keluarga korban yang pernah di sakiti.
"Ma- Malik Bang!" Jawab pemuda yang tersudut itu gelagapan.
"Oh... kamu tahu siapa aku?"
Pertanyaan Athar sebetulnya tidak untuk mengakrabkan diri. Tapi justru itu yang tidak ingin di hadapi semua orang yang sudah tersandung masalah dengannya.
"I- iya Bang, saya tahu betul sama Bang Athar!"
Bug!
Malik terkejut sampai terguling ketanah karena tanpa ada aba-aba tiba-tiba saja Athar menendang tubuhnya dengan sangat kuat. Padahal Malik pikir dengan memberikan jawaban, Athar tidak akan lagi berbuat culas.
"Ah... sakit Bang!"
Malik memegangi belikat sebelah kiri. Dengan wajah penuh keringat dingin. Malik yakin setelah ini hidupnya akan segera berakhir.
"Siapa suruh cari gara-gara denganku. Farid, beri aku kayu paling kuat dan keras!"
Athar menengadahkan tangannya ke belakang. Tentu saja Farid langsung turun dari motor dan mengambil benda yang di minta Athar dari temannya yang lain.
"Menurutmu bagian mana yang ingin di lumpuhkan?" Tanya Athar pada pemuda di sebelahnya. Setelah kayu itu sudah berada di tangan Athar.
"Yang mana aja Thar. Yang penting dia punya kenang-kenangan istimewa dari kita, hahaha...!"
Athar dan semua berandalan itu tertawa sangat puas. Berbeda dengan Malik yang ketakutan dan berusaha beringsut mundur. Berharap ada keajaiban dari Tuhan yang akan datang menyelamatkan dirinya.
Tak jauh dari tempat itu, rupanya ada seorang anak yang mengintip perilaku mereka. Ia langsung berlari ke rumah Bibi Marwah untuk mengadukan apa yang di lihatnya.
Bertepatan dengan itu, Paman dan Bibi tidak di rumah. Hanya ada seorang gadis bercadar yang nampak sedang sibuk menyiram bunga kesayangannya. Setiap hari kebiasaan itu sudah menjadi pekerjaan wajib bagi gadis itu.
Dialah Alzena Asahy, keponakan Paman Ardy yang sudah tidak memiliki orang tua. Keduanya meninggal saat Alzena masih bayi. Kata Paman, meninggalnya orang tua Alzena karena telah di bunuh oleh seseorang yang dendam terhadap mereka.
Berkat kasih sayang dan ketulusan Paman Ardy dan Bibi Marwah yang mengirimnya ke pondok pesatren, gadis itu tumbuh menjadi wanita shalihah yang selalu menjaga auratnya dengan baik. Dia baru saja kembali lagi ke kampung itu beberapa waktu yang lalu. Sehingga tidak banyak orang yang mengenalnya.
"Kakak, Kakak Zena ada kabar buruk...!" Teriak Fahry dari kejauhan. Nafasnya terdengar memburu dan naik turun.
"Hey, Fahry ada apa? Kok gak ngucapin salam dulu?" Tanya Alzena yang lekas mematikan keran dimana airnya mengalir lewat yang di pakainya tadi. Kemudian berjalan menghampiri bocah sekitar 8 tahun itu.
"Maaf Kak buru-buru, itu Bang Malik di keroyok berandalan. Sepertinya mereka mau bikin Bang Malik lumpuh deh, ayo bantuin Kak kasihan Bang Malik!" Desak Bocah itu tak sabar.
"AstaughfiruLLahaladzim, dimana Dek? Ayo antar Kakak!" Pinta Alzena yang segera mengikuti langkah kaki anak kecil itu. Dengan berlari-lari kecil.
Sesampainya disana, Alzena di buat terkejut mendapati Malik meraung-raung kesakitan akibat ulah Athar yang memukuli salah satu kakinya.
"Aw, ampun Bang. Ampun sakit Bang, tolong hentikan Bang!"
Alzena yang melihat itu tak kuasa menahan amarah. Ia langsung bergerak cepat dan menghampiri Athar lalu mendorong tubuh pemuda itu dengan kuat.
"Hentikan jahanam!" Pekiknya dengan tatapan tajam kearah Athar. Namun sudah di pastikan telah berembun oleh air mata kemarahan.
Semua pemuda itu menatap heran. Mereka saling bertukar pandangan satu sama lain seperti ingin menanyakan adakah diantara mereka yang mengenal perempuan bercadar merah selaras dengan pakaian syar'i yang di kenakannya saat ini.
"Apa kalian ini adalah iblis? Sehingga tega berbuat zholim kepada sesama?" Sambung Alzena lagi tanpa melepas tatapannya cukup lama.
mendengar ucapan Alzena, Athar malah mengembangkan senyum meremehkan. Mana mungkin Ia mau perduli dengan ucapan dari wanita itu. Sedang mudah saja baginya membuat Alzena tak berdaya.
"Lalu apa maumu? Kau ingin kami melakukan hal yang tak terduga?" Seringai Athar seraya mengedipkan sebelah matanya ke arah Alzena yang melaknat tindakan pemuda itu.
"Aaa... Mbak Zena tolong. Kaki Malik sakit banget Mbak!" Teriak sepupunya itu meraung-raung. Malik tampak memegangi sebelah Kaki yang Zena sendiri tidak tahu seperti apa yang dirasakan bocah remaja itu.
"Malik...?"
Alzena sangat khawatir dan ingin menghampiri Malik akan tetapi Athar menahan lengan gadis bercadar itu dengan kuat. Alzena yang geram menarik-narik lengannya. Tapi semakin Alzena berontak Athar malam memperkuat pegangannya
"Lepas Bang, kita bukan mahrom!" Pinta Alzena baik-baik.
Namun sayang Athar tak mengabulkannya dan malah menarik tubuh gadis itu masuk kedalam pelukan hingga mengundang gelak tawa seluruh teman Athar.
Alzena yang jijik dan merasa kotor, benar-benar terkejut langsung mendorong tubuh Athar menjauh darinya. Pemuda itu sudah tega karena berani melecehkan tubuh yang selama ini selalu Ia jaga agar tidak pernah bersentuhan dengan lawan jenis.
"Ya Allah, lepas Bang. Jangan kurang ajar. Zena tidak suka Abang bertindak semena-mena seperti ini," Marah Zena pada Athar dan seluruh pemuda yang menatapnya begitu lekat.
"Buka saja Hijabnya Thar, aku penasaran secantik apa gadis itu? Yang benar saja, di jaman modern seperti sekarang ini. Masih ada aja yang memakai penutup cuma kelihatan matanya doang," pancing Farid dan kawan-kawan yang lagi-lagi tertawa menghina.
Athar mengerling nakal, dan berusaha melakukan apa yang mereka minta. Ia juga penasaran seperti apa wajah Alzena sebenarnya.
"Tidak Bang, jangan lakukan itu. Saya mohon hargai saya!"
Athar tidak perduli dengan hal itu hingga Ia nekat menarik hijab Zena bertepatan dengan beberapa penduduk yang datang menghampiri mereka.
"Woy, berandalan!" Teriak mereka emosi.
Athar dan seluruh kelompoknya sangat terkejut, namun Ia sempat Syok dapat melihat sekilas kesempurnaan yang dimiliki gadis itu. Hingga Athar kembali melemparkan hijab Alzena yang menangis atas tindakannya. Lalu bergegas naik keatas motor Trail yang sudah di nyalakan sahabatnya meninggalkan tempat itu dari masyarakat yang bisa. saja mengeroyok mereka.
Sebelum semua orang tahu, Alzena buru-buru memakai hijabnya lagi. Akan tetapi Ia tidak tahu kemana cadarnya. Hingga Ia menutupi wajah yang sejak lama di sembunyikannya itu dengan ujung hijab panjang melewati dadanya.
"Zen, Malik, kalian tidak apa-apa?" Tanya Pak RT khawatir. Mereka segera membantu Malik yang masih saja merintih kesakitan.
"Tidak Pak, Alhamdulilah," jawab Zena singkat. Ia menundukkan kepalanya pada para bapak-bapak itu agar tidak ada yang tahu seperti apa wajah yang di 6lindunginya itu.
Sejak berniat menggunakan cadar, Alzena telah berikrar hanya akan memperlihatkan wajahnya pada suami yang kelak bersedia meminangnya karena Allah.
Sebab Ia merindukan suami yang sholeh, pandai dalam ilmu keislaman agar kelak dapat membimbingnya menjadi wanita yang lebih baik lagi.
Mereka yang tidak ingin mengambil keputusan yang salah membawa Malik ke klinik memilih berduyung-duyung untuk mengantar keduanya pulang dan bertemu Paman Ardy dan Bibi Marwah yang tak kalah kagetnya melihat kondisi Malik karena kesulitan berjalan.
"Pak Rt, ada apa dengan Malik Pak? Kenapa dia sampai pincang begitu?" Tanya Bu Marwah sangat khawatir. Sebab Malik adalah satu-satunya anak mereka.
"Tadi Malik dan Alzena digoda anak berandalan itu lagi Pak, Bu. Mereka di keroyok hingga kaki Malik cidera seperti ini," jawab Pak Rt menerangkan.
"AstaughfiruLLahaladzim, Makasih ya Bapak-bapak. Kami akan segera mengantarnya kerumah sakit sekarang!" Ucap Pak Ardy dengan kerendahan hati. Sudah mendapat pertolongan mulia itu dari mereka.
"Sama-sama Pak, Assalamualaikum!" Pamit mereka sebelum pergi.
"Wa'allaikum salam!"
Paman Ardy segera menggandeng Malik masuk terlebih dahulu, sedang Bu Marwah memperhatikan Alzena yang masih terisak-isak.
"Sayang, ada apa nak? Kenapa menangis begitu?" Selidik Bibi Marwah keheranan.
"Bibi, Zena kesal. Pemuda itu sudah melecehkan Zena dengan membuka hijab Zena!" Timpalnya lirih. Berhambur memeluk Bibi Marwah.
"Apa? AstaughfiruLLahaladzim, keterlaluan sekali para berandalan itu. Tapi mereka tidak melakukan hal yang lain kan?"
Bi Marwah mengusap-usap kepala keponakannya itu dengan lembut. Dia sudah seperti Ibu kandung bagi Alzena karena sangat penyayang dan baik padanya.
"Alhamdulilah tidak Bi, tapi Zena merasa sudah kotor. Karena Zena maunya hanya suami Zena nanti yang lihat wajah Zena!"
"Iya, iya, Sabar Ya Ndok. Semoga mereka mendapat karma atas perbuatan mereka padamu!"
Bu Marwah membawa Alzena masuk dan mempersiapkan kebutuhan mereka untuk membawa Malik kerumah sakit.
Setelah di periksakan, ternyata benar kalau kaki Malik cidera dan tidak bisa berjalan dahulu sampai kondisinya kembali membaik.
"Ya Allah ya Robb, jadi Malik akan seperti ini terus Dokter?" Tanya Bibi Marwah sangat sedih. Begitu juga Paman Ardy dan Zena.
Bagaimana mungkin para berandalan itu tak punya hati sampai Malik harus mengalami hal itu. Apa lagi dia masih sekolah untuk menimba Ilmu dan mengajar anak-anak mengaji pada sore hari.
"Mereka benar-benar tak punya hati Bi, Alzena tidak percaya saat melihat mereka memukuli kaki Malik dengan balok hingga seperti ini. Sampai kapan pun Alzena tidak akan memaafkan mereka sebelum mereka datang dan meminta maaf!" Tukas Alzena kian Kesal. Ia tak pernah semarah ini sebelumnya. Tapi para berandalan itu tidak pantas di beri hati oleh siapa pun juga yang pernah di aniaya.
"Istighfar nak, jangan sampai kita menyimpan dendam karena itu adalah sifat syaiton!" Ucap Bibi Marwah menasehati dan sangat sabar menerima hal itu.
"Tapi Bi, mereka sangat keterlaluan. Jangan sampai deh, Alzena punya suami seperti mereka," timpalnya lagi masih belum ridho.
Apalagi mengingat bagaimana Athar tadi melihat Wajahnya tanpa hijab dan cadar hingga rambutnya yang sebahu jatuh berserakan di punggung.
Bu Marwah hanya menimpali dengan menghela nafas panjang lalu tersenyum ke arah Zena. Ia tak menyalahkan gadis itu karena Zena memang tidak pernah ingin wajahnya yang imut di lihat laki-laki yang bukan siapa-siapanya.
Usai pemeriksaan selesai, mereka di perbolehkan pulang. Malik tidak perlu di rawat inap karena cideranya hanya sementara saja.
Sesampainya di rumah, keluarga itu berkumpul di ruang tamu. Dimana rumah milik Paman Ardy sebenarnya sangatlah sederhana. Hanya memiliki 3 kamar dan beberapa ruangan yang tidak terlalu besar. Masih terbuat dari bata yang kasar sudah dari dua tahun yang lalu saat ada acara bedah rumah dari pemerintah. Beruntung Paman Ardy punya tabungan buat nambah-nambahin kala itu Maka berdirilah bangunan yang sekarang mereka tempati.
"Paman, Bibi, Zena ke kamar dulu ya mau mandi. Sebentar lagi azan soalnya!"
"Iya Sayang, kita juga mau mandi kok. Kamu di elap aja ya Malik!" Ucap Bibi Marwah begitu sayang.
"Iya Bu, maaf kalau Malik udah nyusahin!"
"Gak papa nak, anggap saja ini cobaan dari Allah buat kita ya!"
Hari berangsur-angsur semakin gelap, tepatnya setelah sholat isya dan Makan malam Paman Ardy dan Bibi Marwah mengajak Alzena mengobrol serius. Nampaknya ada sesuatu yang ingin mereka sampaikan pada gadis itu.
"Mau ngomongin apa ya Paman? Kok tumben Paman sama Bibi ngajak Zena berbicara, tak seperti biasanya kita yang ngobrol bareng sambil dengerin guyonan Malik?" Tanya perempuan itu dengan sopan. Ia sangat menghormati pasangan paruh baya yang begitu besar jasanya itu di hidupnya.
Bukannya menjawab, keduanya malah saling senggol. Sepertinya mereka masih bingung mau memulai pembicaraan itu dari mana.
Paman dan Bibi takut ucapan mereka nanti malah di anggap salah oleh Alzena yang bisa saja mengira mereka akan mengusir Zena dari rumah itu.
"Paman, Bibi, katakan saja. Zena siap banget dengerin apa kata kalian. Sebab Paman dan Bibi udah kayak orang tua Zena sendiri?" Sambung Alzena lagi. Masih setia menunggu keduanya mengungkapkan apa yang ingin mereka sampaikan padanya.
"Em... I- itu Ndok, sore tadi Pak Dullah meminta kami datang kerumahnya. Kamu tahukan Pak Dullah pemilik kebun kofi?" Tanya Paman Ardy memastikan.
Alzena mengangguk kecil, siapa sih yang tidak kenal dengan orang berada di kampung itu. Meski Pak Dullah haji tiga kali, rumahnya ada tiga, tapi Istrinya ada tiga pula, serta Anak laki-lakinya juga tiga. Entah mengapa Pak Dullah tidak punya anak perempuan dari ketiga istrinya. Kemungkinan karena bibit punya Pak Dullah hanya akan subur jadi anak laki-laki selamanya.
"Emang kenapa dengan Pak Dullah Paman?"
Zena mulai tak enak hati mendengar kelanjutan dari ucapan Paman dan Bibinya.
"Tadi beliau berniat meminang Zena," jawab Bu Marwah hingga Alzena tersendat kaget.
"Aduh, Ndok kamu kenapa sayang?"
Bibi Marwah buru-buru mengambil air putih yang di berikan kepada Zena hingga perempuan itu meneguknya sampai habis.
Beberapa saat setelah melihat Alzena tenang, Paman pun menjelaskan semuanya secara mendetail. Keponakannya itu pasti salah paham mengira Pak Dullah lah yang akan meminangnya.
"Maksud Paman dan Bibi gini Zen, Pak Dullah itu sedang mencari perempuan shalihah untuk menjadi istri dari salah satu putranya yang sulit di atur. Ia yakin putranya itu bakal berubah jadi lebih baik jika menikah denganmu!"
"Kenapa harus Zena Paman? Bukankah Paman tahu, Zena hanya akan menikah jika di pinang pria yang jelas Agama dan perilakunya?" Tukas perempuan itu agak segan.
"Ya, itu karena Paman punya hutang dua puluh juta buat mondokin kamu Zen. Tapi bukan maksud Paman mengungkit apa yang sudah Paman berikan. Paman cuma pengen kamu punya kehidupan lebih baik dari sekarang?" Jelas Paman Ardy yang jadi serba salah.
Alzena nampak murung, bagaimana mungkin Ia menolak permintaan Pamannya itu jika masalahnya demikian. Emang benar Zena tak pernah melakukan apa pun untuk membantu keduanya. Ia benar-benar numpang hidup dan semua biaya yang ada saat ini itu semua atas kebaikan keduanya.
"Ndok, maaf jika kami jadi mengatakan ini. Tapi menurut kami, kamu akan bisa hidup layak disana. Tugasmu cuma merubah tabiat anak Pak Dullah itu saja!"
Alzena menatap keduanya lekat-lekat lalu mengembangkan senyum. Jujur sebenarnya Alzena sedih tidak menikah dengan pria seperti dalam angan-angannya selama ini. Akan tetapi Ia juga tak ingin mengecewakan keduanya kalau sampai Ia menolak pinangan itu.
"Beri Zena waktu untuk berpikir lebih dulu Paman? Sebab ini menyangkut sebuah pernikahan yang suci. Zena hanya ingin menjalani pernikahan seumur hidup sama suami Zena nanti. Bukan seumur jagung yang bosan lalu berpisah seenaknya," jawab Alzena sayu.
Keduanya mengangguk setuju. Mereka tidak akan memaksakan kehendak, jika memang Zena akan menolak pinangan dari Pak Dullah untuk menikah dengan putranya.
Selepas obrolan berakhir, Zena berpamitan masuk ke dalam kamar lalu berbaring di ranjang sambil menatap langit-langit. Ia memikirkan ulang perkataan Paman dan Bibinya itu soal siapa pemuda yang akan datang meminangnya.
"Ya Allah, hamba serahkan jodoh Zena kepadaMu. Tolong kirimkan pemuda yang baik untuk Zena. Bukan seperti para berandalan itu yang sudah menghina Zena, Aamiin," gumam perempuan itu seorang diri. Hingga tak sadar Ia terlelap bersama mimpi-mimpinya.
Berbeda halnya yang terjadi di tempat lain, teman Athar yang sejak sore tadi datang ke diskotik bersamanya merasa sangat aneh akan tingkah mereka. Karena sejak tadi mereka terus saja terpingkal-pingkal melihat ada yang tak biasa dengannya.
"Ada apa sih? Kok liatin aku terus?" Tanya Athar yang sangat terganggu dengan tingkah konyol para sohibnya itu.
"Sepertinya perempuan bercadar tadi akan menjerat dirimu Athar," timpal Farid yang tertawa lagi sampai harus menambah volume suaranya jadi lebih besar.
"Bener banget tu, sampai betah banget nyantol disana," Imbuh Riky pas duduk di sebelah Radit. Pemuda satu-satunya yang memiliki rambut keriting dari yang lainnya.
"Nyantol apaan?"
Athar bergegas memeriksa diri dari pucuk kepala lalu turun ke pundak. Sampai akhirnya tertunduk dan melihat ada cadar perempuan itu masih nyangkut di kancing jaketnya.
Pemuda itu pun melepas cadar itu dan mengamatinya secara seksama. Ia teringat lagi dengan apa yang sudah dilakukannya tadi hingga dapat melihat bagaimana ayunya seorang Zena. Meski hanya sekilas, Athar sangat yakin penglihatannya tadi tidaklah salah.
"Kenapa Lo? naksir ma Ukthy sok alim tadi ya Thar?" Ganti Radit yang menggoda.
"Bukan urusan kalian, cepat minum sepuasnya aku yang traktir malam ini!" Sengaja Athar mengalihkan topik pembicaraan agar para temannya itu tidak banyak bicara lagi mengenai wanita yang mereka Zholimi barusan.
"Asyik, Athar emang the best banget deh. Kalau di jadiin Bos," Ucap Yudi senang.
Tanpa sepengetahuan mereka yang sibuk meneguk bir, Athar memutuskan menyimpan Kain tipis dan wangi yang masuk dalam satu genggamannya itu buru-buru ke dalam saku lalu melanjutkan pesta mereka untuk berulang dan senang-senang.
Pagi-pagi sekali sekitar pukul tujuh tepatnya, Cahaya penghangat telah muncul dari ufuk timur tersenyum begitu indah, menembus embun di pagi buta hingga bersinar dengan sangat terang. Melepaskan rasa dingin yang semalam seakan menusuk sampai ke dasar tulang.
Keluarga Pak Dullah nampak tengah berkumpul di meja makan. Meski ketiga istrinya tinggal dalam satu atap rumah yang megah. Mereka bisa hidup begitu rukun dan damai.
"Bun, anakmu kemana?" Tanya Pak Dullah pada istri pertamanya. Sedang dua istrinya yang lain masih pada diam. Karena mereka selalu merasa iri jika Pak Dullah lebih perhatian pada Bunda Alika.
"Belum pulang Bah?" Jawab Bunda Alika lirih.
Selalu saja Athar yang sering di tanyakan Pak Dullah meski Ia punya 3 anak laki-laki yang sangat jarang sekali berada di rumah dan lebih memilih menginap di rumah sahabat mereka atau justru menghabiskan waktu di luar untuk mencari hiburan yang dapat membebaskan otak mereka dari stress. Jujur saja sebagai anak mereka merasa segan tinggal dengan para Ibu dari istri Pak Dullah yang sejatinya adalah saingan Ibu mereka.
"Pagi Mimi!" Sapa Alan yang baru pulang dari dugem. Membawa tubuh yang lemas dan mata yang sedikit susah diajak terbuka.
Ia pasti habis minum banyak dan tidur di sembarang tempat. Karena sikap itulah Pak Dullah sampai pusing tujuh keliling akan sikap anak-anaknya yang suka sekali berbuat liar. Tidak tahu dengan cara apa lagi Pak Dullah menasehati ketiga putranya itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!