“Ada informasi apa?” tanya Arjuna Kamil sambil menyulut rokoknya. Leo, asisten Papi nya sudah menunggu sejak tadi, sementara Arjuna malah asyik berbagi adrenalin entah dengan wanita mana. Bahkan saat ini Arjuna hanya mengenakan bathrobe dan bisa dipastikan dia belum membersihkan diri.
Leo belum sempat menjawab apa yang ditanyakan Arjuna, terlihat seorang wanita keluar dari kamar berjalan menghampiri putra bosnya dan juga sahabatnya.
Cup!
Bibir mereka bertemu singkat, “Malam ini kamu hebat,” puji Arjuna membuat wanita tersenyum lebar karena bangga mendapatkan pujian dari sang casanova.
“Hubungi aku lagi ya, aku jamin kamu akan lebih puass,” bisik wanita itu tapi masih bisa didengar termasuk oleh Leo yang berdehem agar pasangan sesaat itu menghentikan interaksinya. Si wanita pun pergi setelah Arjuna melambaikan tangannya.
“Apa?” tanya Arjuna melihat Leo menatap aneh kepadanya kemudian meng_hisap dalam-dalam rokok dihimpit oleh kedua jarinya.
“Hentikan kebiasaanmu. Tidak bisakah kamu setia pada satu wanita? Cobalah mencintai seseorang dan ….”
“Aku tidak percaya cinta. Jadi, apa yang ingin kamu laporkan, tidak usah menceramahiku,” hardik Arjuna.
“Pak Abraham tetap pada keputusannya, ingin Ibu Zea yang menjadi CEO. Arjuna Kamil benar-benar tidak masuk ke dalam kandidat.”
Arjuna menghembuskan asap rokoknya, “Tidak perlu khawatir, aku masih ada dukungan dari para pemegang saham.”
“Mereka akan berpindah haluan kalau kamu berulah lagi, jangan sampai kenakalanmu ramai di pemberitaan. Selama ini aku sudah cukup menutupi semua kebusukanmu.”
“Come on, we are still young. Just enjoy your life. Aku bukan berulah tapi sedang menikmati hidup. Kirimkan data perempuan itu,” titah Arjuna.
“Untuk ?”
“Ck, itu urusanku. Apa sebenarnya hubungan dia dengan Papi, sampai kedudukan CEO akan diberikan kepadanya. Dia hanya seorang manajer, apa hebatnya? atau jangan-jangan dia simpanan Papi?”
“Hentikan pikiran burukmu, gunakan otakmu untuk memikirkan bagaimana posisi CEO jatuh kepadamu tanpa menjatuhkan atau mengancam orang lain.”
Arjuna Kamil, putra dari Abraham. Sangat menginginkan posisi CEO pada perusahaan orangtuanya, bersaing dengan Zealia Cinta satu-satunya kandidat dari sang Papi.
“Shitt,” maki Arjuna. Leo asistennya sudah sejak tadi meninggalkan apartemen. Sedangkan Arjuna memilih merebahkan tubuhnya di ranjang menatap langit-langit kamar.
“Zealia Cinta, ada hubungan apa kamu dengan Papi?”
...***...
Zea melempar tasnya ke sofa dan meninggalkan heels yang dia kenakan. Lampu apartemennya sudah menyala, artinya Gavin Mahendra suaminya sudah pulang. Malam ini Zea pulang lebih lambat karena ada rapat mendadak. Abraham, pemilik perusahaan jatuh sakit dan yang akan menggantikan sebagai CEO menjadi pembahasan membuat situasi bergejolak karena kubu-kubu yang mengusulkan nama pengganti CEO.
Zea membuka lemari es dan mengambil botol air mineral, menghabiskan hampir separuh isi botol yang cukup memuaskan dahaganya.
Brak.
Zea menoleh. “Mas Gavin sedang apa sih?”
Menaiki undakan tangga menuju kamarnya. Apartemen yang Zea dan Gavin tempati termasuk dalam kategori hunian mewah, dimana mereka tempati sejak dua tahun lalu setelah resmi menjadi suami istri.
“Brengsekk, apa yang kamu lakukan Gavin,” teriak Zea yang berdiri di tengah pintu kamar, menyaksikan Gavin yang sedang berpacu di atas tubuh seorang wanita. Zea bukan tidak mengetahui kelakuan suaminya yang masih berhubungan dengan mantan atau pun wanita lain. Pernikahan mereka murni karena perjodohan, dengan tujuan memperkuat bisnis keluarga kedua belah pihak.
“Shitt,” maki Gavin lalu beranjak menuju pintu. Mendorong tubuh Zea lalu membanting pintu dan menguncinya dari dalam.
Zea kalap, terus memukul pintu dan berteriak agar Gavin keluar dari kamar.
“Gavin, sial*an kamu. Aku bilang jangan pakai kamarku dan jangan lakukan itu disini. Kita sudah sepakat, terserah kamu mau main gila di luar asal jangan di rumah ini.”
Tidak lama Gavin membuka pintu, sudah mengenakan boxernya. Mencengkram rahang Zea bahkan mendorong tubuh itu sampai terdesak ke dinding.
“Apa hakmu mengganggu bahkan berteriak seperti tadi. Apartemen ini milikku, terserah aku mau melakukan apa di sini.”
“Le-pas,” lirih Zea sambil memukuli lengan Gavin agar melepaskan tangannya. Zea sulit bernafas karena cengkraman tangan Gavin.
“Gavin kamu bisa membunuhnya,” ujar wanita pasangan Gavin yang tadi berada di bawah kungkungannya. “Aku pergi dulu ya,” ujarnya lagi sambil mencium pipi Gavin.
“Hati-hati, sayang.”
Gavin akhirnya melepaskan tangannya, membuat tubuh Zea merosot ke lantai. Zea menyentuh area bekas cengkraman Gavin sambil mengatur nafasnya.
Teringat awal pernikahan dimana mereka memutuskan beberapa kesepakatan karena pernikahan mereka berdasarkan perjodohan bukan rasa cinta.
“Jangan mengusik urusan pribadi ku, aku tidak akan menyentuhmu. Karena kamu bukan tipeku sama sekali,” ujar Gavin.
“Baiklah, justru aku senang. Jadi walaupun kita berpisah aku tidak akan merugi.”
Gavin terbahak mendengar ucapan Zea. “Rugi? Dilihat dari sisi manapun, kamu dan keluargamu sangat diuntungkan dengan pernikahan ini. Kamu jangan naif Zea, pernikahan kita bukan seperti novel benci jadi cinta atau bahkan aku akan menjadi bucin lalu kita akan bahagia menjalani pernikahan ini.”
Zea menatap Gavin dengan segala macam sabdanya. Memang benar, bisnis Ayahnya mendapatkan keuntungan dengan pernikahan mereka bukan berarti berimbas kepadanya. Bahkan Zea harus mengorbankan hidupnya dengan menikahi pria brengsek seperti Gavin.
“Terserah, yang jelas jangan nodai rumah ini dengan urusan bej*tmu. Dengan siapapun kamu ingin tidur, jangan lakukan di rumah ini. Kita akan tidur terpisah dan jangan pernah masuk ke kamarku.”
Zea kembali tersadar dari lamunannya lalu beranjak berdiri menuju kamar. Ranjangnya berantakan dengan noda cinta mengotori sprei. Bergegas menuju walk in closet, mengambil koper dan memasukan beberapa helai pakaian dan kebutuhannya untuk beberapa hari ke depan.
“Mau kemana kamu?” tanya Gavin yang berada di ruang tamu melihat Zea menyeret kopernya.
“Jangan saling mengusik urusan pribadi, harusnya kamu masih ingat hal itu. Kamu sudah melanggar kesepakatan kita dengan membawa wanita itu ke rumah ini apalagi kalian melakukannya di kamarku,” teriak Zea.
Gavin terkekeh, “Lalu kamu mau apa?”
“Aku ingin cerai,” ujar Zea.
“Oke, aku tunggu surat panggilan dari pengadilan. Kita lihat apakah keluargamu memperbolehkan kita bercerai.” Gavin berjalan menuju kamarnya meninggalkan Zea.
...***...
Zea menghentikan mobilnya di depan gerbang kediaman Omar Hasan, ayahnya. Seharusnya disaat seorang anak merasa kesulitan dan sedih seperti yang dia rasakan saat ini, keluarga adalah tempat terbaik untuk kembali. Tapi ini tidak berlaku bagi Zea, keluarga bukan tempatnya untuk pulang. Hanya menatap dari luar, mengingat kehangatan keluarga yang pernah dia rasakan dulu. Dulu, saat dirinya masih kecil dan Bundanya masih ada.
Tanpa Zea ketahui, Omar baru saja tiba. Mobilnya pun berhenti tidak jauh dari mobil Zea. Supir Omar menanyakan apakah dia harus turun untuk memanggil putri dari majikannya.
“Tidak usah, kita tunggu saja apa yang akan dilakukan olehnya,” titah Omar.
Tidak lama kemudian mobil yang dikemudikan Zea pun kembali melaju meninggalkan kediaman Omar. Omar hanya bisa memandang mobil yang dikendarai Zea perlahan menjauh. Sebenarnya dia rindu, sangat rindu dengan putri sulungnya tapi dia tidak berani mengungkapkan hal itu, terutama sejak dia meminta Zea untuk menikah dengan Gavin karena alasan bisnis.
Ternyata Zea pergi menuju apartemennya. Meskipun tidak semewah apartemen Gavin yang sudah ditempati selama dua tahun ini, paling tidak cukup nyaman untuknya beristirahat. Zea yang sudah membersihkan diri dan berganti piyama bersandar pada headboard ranjangnya.
Pandangannya kosong menatap ke depan. Lalu, “Aaaaaaa,” teriak Zea.
"Bu Zea, tadi dicari Pak Leo," ujar Nia salah satu staf divisi marketing ketika Zea baru saja tiba.
“Oh, ada pesan 'kah?”
“Nggak ada Bu, beliau nggak bilang apa-apa. Hanya tanya Ibu sudah datang atau belum.”
“Hm, biar aku temui beliau.” Zea menuju ruangannya sendiri.
Jabatan sebagai manager tidak membuat Zea mendapatkan fasilitas atau perlakuan spesial. Walaupun pemilik perusahaan sudah menyampaikan secara lisan kalau dia akan diangkat sebagai CEO. Zea baru saja duduk saat pesawat telepon di mejanya berdering.
"Zealia di sini." Zea menjauhkan gagang telepon dari telinganya karena pekikan seseorang di ujung telepon.
Informasi bahwa Pak Abraham akan mengangkat Zea Sebagai CEO menggantikan dirinya membuat sebagian petinggi perusahaan akhirnya berkubu. Tentu saja banyak yang tidak mendukung Zea, yang dianggap masih terlalu muda sebagai seorang CEO. Pada informasi yang beredar belum pernyataan resmi.
Seperti pagi ini, seharusnya Zea mengikuti rapat manajemen. Tapi tidak ada satupun yang menyampaikan kepadanya atau mendapatkan undangan rapat. Ini terjadi karena ketidaksukaan pada Zea.
"Selamat pagi, maaf saya terlambat," ujar Zea yang langsung menuju salah satu kursi kosong.
"Yang kayak gini mau jadi CEO, kerja terlambat hadir rapat telat. Mau dibawa kemana perusahaan," ejek salah satu peserta rapat.
"Mau dibawa kemana Perusahaan kalau baru ada gosip terkait pergantian CEO tapi sudah ada konspirasi untuk menyudutkanku dalam rapat. Kalian bisa cek di database kehadiran, berapa persen keterlambatan selama aku bekerja dan kamu," tunjuk Zea pada seorang wanita selaku sekretaris direktur operasional. "Pastikan peserta rapat sudah kamu hubungi semua. Aku bukan terlambat tapi tidak mendapatkan undangan tentang rapat hari ini,” ungkap Zea.
"Oke, kita lanjutkan lagi,” lanjut Leo selaku pemimpin rapat. Saat ini posisinya sebagai asisten Abraham, CEO sekaligus pemilik perusahaan. Leo sendiri sebenarnya berpihak pada Arjuna putra Abraham untuk duduk di posisi CEO dibandingkan orang lain, termasuk Zea. Tapi pendapatnya ini hanya keinginan pribadi dan tidak dia ungkapkan termasuk juga sikapnya yang netral tidak berpihak kemanapun.
Zea memijat dahinya yang terasa pening. Urusan rapat manajemen pagi ini membuatnya emosi, ditambah kejadian semalam dimana dia menyaksikan suaminya bermain gila di dalam kamarnya. Merasa sudah cukup dua tahun pengorbanannya mengalah demi keluarga, menjalankan pernikahan yang bukan hanya tidak diinginkan tapi seperti hidup dengan seorang pemain. Sepak terjang Gavin sebagai seorang casanova membuatnya semakin membenci laki-laki dan tidak percaya cinta. Padahal namanya sendiri adalah Cinta, Zealia Cinta.
Drt Drt
Zea menoleh pada ponselnya yang bergetar.
[Datanglah ke Resto X nanti malam, Mami mengundang makan malam. Bersikaplah seperti biasanya]
Rasanya Zea ingin memaki Gavin setelah membaca pesan yang dikirimkan oleh pria itu. Bagaimana bisa dia harus bersikap dan berakting seakan hubungan mereka baik-baik saja. Jelas-jelas selama ini mereka hanya sandiwara. Gavin memiliki hubungan dengan banyak wanita.
“Oh, Tuhan. Demi apa aku harus tersiksa seperti ini,” keluh Zea.
Tok tok
Zea menoleh, ternyata Leo mengetuk pintu ruangan. “Boleh aku masuk?”
“Ck, masuklah dan berhenti bersikap menyebalkan.”
Leo terkekeh, “Aku hanya membiasakan diri. Kalau nanti kamu sudah menempati posisi CEO, tentu saja aku harus menghormatimu. Apa aku harus melakukan bow juga?” tanya Leo yang saat ini sudah duduk di depan meja Zea.
“Shittt. Pak Leo, sudah cukup pagi ini sangat menyebalkan jangan ditambah lagi dengan sikapmu.”
Leo kembali terkekeh. “Pak Abraham ingin bertemu denganmu, jadi aku kesini untuk mengajakmu ke Rumah Sakit. Kita temui beliau sekarang.”
Zea menghela nafasnya, karena merasa dilema. Menemui Abraham akan berkesan bahwa Zea benar-benar sedang menjilat dan serius menginginkan posisi CEO, tapi dia perlu menyampaikan keberatannya dengan usulan Abraham tersebut.
“Oke, aku ikut.”
...***...
“Hm, Zealia Cinta. Putri dari pengusaha Omar Hasan. Istri dari Gavin Mahendra, menarik.” Arjuna sedang membaca informasi mengenai Zea, siapa lagi yang mengirimkan kalau bukan dari Leo.
Dahi Arjuna berkerut membaca detail informasi tersebut dan memandang cukup lama pada foto Zea. “Cantik, malah sangat cantik. Tapi sayang kita harus berkompetisi merebutkan satu posisi, padahal kita bisa bekerja sama untuk hal lain. Misalnya, kerja sama di ranjang,” cetus Arjuna sambil tersenyum sinis.
“Pak Arjuna, sudah waktunya berangkat.”
Arjuna menatap wanita yang berjalan ke arahnya, sekretarisnya yang selalu mengenakan setelan dengan ukuran yang sangat pas di badan membuatnya terlihat begitu seksih. Wanita itu berdiri di samping Arjuna dengan tangan meraba dada bidang yang masih terbalut kemeja dan jas.
“Hentikan,” ujar Arjuna.
Wanita itu lalu duduk di atas meja tepat di hadapan Arjuna dengan kedua kaki agak terbuka, sengaja menggoda Arjuna. Bahkan tangannya saat ini berusaha melepaskan blazer yang dikenakan.
“Linda, apa yang kamu lakukan?”
“Kau tidak merindukannya?”
Arjuna terkekeh. “Pantang bagiku bermain lebih dari satu kali dengan wanita yang sama. Kecuali karena komitmen.”
“Aku siap berkomitmen, sebagai teman ranjangmu. Tidak akan menuntut materi atau pernikahan,” sahut Linda dengan kedua tangan berada di bahu Arjuna dengan sedikit menekan agar kembali duduk.
“Tapi aku tidak tertarik.” Arjuna beranjak dari duduknya meninggalkan Linda yang terlihat kesal, lagi-lagi mendapatkan penolakan.
“Lihat saja, aku pasti akan mendapatkanmu. Ini hanya soal waktu,” gumam Linda.
"Selamat siang, Pak Abraham. Bagaimana kondisi bapak hari ini?" sapa Zea ketika tiba di kamar rawat Abraham.
"Siang Zea, Leo. Entahlah ini sudah membaik atau belum. Yang jelas aku hanya ingin cepat pulang ke rumah lalu mempercepat RUPS untuk mengangkat kamu sebagai CEO."
Zea menoleh ke arah Leo yang memberikan kursi untuk Zea dan mengambil kursi lain untuk dirinya sendiri.
"Apa tidak sebaiknya Pak Abraham fokus dengan kesehatan dulu," usul Zea. Bukan tanpa alasan, dia tidak menerima tawaran tersebut karena tidak ingin berseteru bahkan tidak akur dengan banyak pihak yang tidak setuju dengan usul Abraham.
"Justru dengan memastikan posisi CEO di tangan yang tepat aku akan bisa memastikan kesehatanku baik-baik saja. Leo, pastikan dia siap dengan jabatan barunya."
"Siap, Pak."
Zea menghela nafasnya, menatap pria paruh baya yang sedang berbaring di ranjang rumah sakit dan yang menyedihkan adalah tidak ada anggota keluarga yang menemani.
Abraham sudah ditinggal oleh pendamping hidupnya beberapa tahun lalu. Putra pertamanya entah kemana, yang Zea tahu memang sibuk dengan perusahaan miliknya sendiri. Putri Abraham sibuk menghamburkan harta orangtuanya dengan berkeliling dunia.
Tidak aneh jika sebagian orang menduga kalau Zea ada hubungan dengan Abraham demi mencapai posisi CEO.
Ternyata kaya raya tidak menjamin kebahagian.
"Tenang saja Zea, aku akan tetap bantu dari belakang dan RUPS akan menetapkan kamu sebagai CEO."
Zea hanya mengulas senyum, baginya hal itu belum tentu terjadi. Masa depan akan menjadi misteri dan terjadi sesuai takdir. Termasuk persoalan pengangkatan dirinya sebagai CEO. Zea dan Leo masih setia mendengar ocehan Abraham, kedua orang itu paham dan berlama di sana hanya untuk menemani dan mendengarkan keluh kesah Abraham yang sepertinya kesepian.
Getaran ponsel membuat Zea membuka layar dan menatapnya untuk membaca pesan yang masuk. Ternyata grup para management termasuk manager.
[Foto]
[Wah, nggak kaleng-kaleng nih usaha untuk menuju puncak]
Zea menghela nafasnya melihat foto dirinya dan Leo memasuki kamar rawat Abraham. Tidak menduga para para senior di kantornya bisa berbuat sekonyol itu dengan mengupload fotonya di grup chat dimana Zea pun tergabung dalam grub tersebut.
Mereka menyindir dan membicarakan Zea bukan di belakang tapi di depan Zea juga.
Sedangkan di tempat berbeda, Arjuna didampingi sekretarisnya menuju lokasi pertemuan lelang proyek. Acara belum dimulai saat mereka datang, Arjuna sendiri memilih berbaur dengan para CEO perusahaan lain yang dia kenal.
Pandangan Arjuna terpaku pada sosok pria yang tampak tidak asing, dia pun membuka ponselnya untuk memastikan sesuatu lalu tersenyum.
“Kebetulan sekali, kita cari tahu dulu apakah dia tahu istrinya ada main dengan Papi,” gumam Arjuna lalu berjalan menghampiri pria yang dimaksud.
“Selamat siang, Pak Gavin,” sapa Arjuna sambil mengulurkan tangannya.
“Siang,” jawab Gavin menyambut uluran tangan pria dihadapannya sambil menatap heran pada pria di hadapannya karena merasa belum mengenal pria tersebut.
“Saya Arjuna Kamil.”
“Owh, putra Pak Abraham?” Arjuna mengangguk pelan. Keduanya terlibat pembicaraan mengenai perusahaan masing-masing berusaha mengakrabkan diri. Siapa yang tidak kenal dengan Abraham, maka dari itu Gavin berusaha menjalin hubungan dengan baik.
Berbeda dengan Arjuna yang ingin mencari tahu lebih dalam mengenai Zea. Dari komunikasi tersebut dapat disimpulkan kalau Gavin tidak tahu mengenai usulan pengangkatan Zea serta kedekatan Zea dengan Abraham.
Gavin dan Zea memang selalu berpura-pura seakan hubungan mereka tidak ada masalah, serta selalu menunjukkan kebahagiaan. Padahal kenyataannya kebalikan, Zea merasa tersiksa dengan pernikahannya.
“Aku tidak menyangka bisa bersaing di lelang ini dengan putra Pak Abraham,” seru Gavin. Arjuna hanya tersenyum menanggapi ucapan Gavin.
Kalau bukan karena mencari tahu tentang istrimu, mana mungkin aku menyapa lebih dulu, batin Arjuna.
...***...
“Bersikap seolah kita tidak ada masalah,” bisik Gavin saat mereka memasuki restoran mewah dimana orangtuanya sudah menunggu. Beruntung dia bertemu dengan Zea di parkiran, ada kesempatan untuk menekan Zea.
“Tidak Mas, aku akan sampaikan ke Papi dan Mami kamu bagaimana hubungan kita sebenarnya. Aku capek dan aku muak dengan semuanya.”
Gavin terkekeh lalu meraih dagu Zea, “Berani kamu lakukan itu, aku pastikan kerja sama dengan perusahaan Ayahmu akan berakhir. Bagaimana kalau para pemegang saham mulai menarik kembali dana mereka?"
Zea mendengus kesal mendengar ancaman Gavin. Apa pria dihadapannya ini tidak punya hal lain, selain urusan bisnis sebagai tameng.
“Bagaimana kalau aku sudah tidak peduli akan hal itu.”
Gavin menarik tangan Zea lalu berjalan cepat kembali menuju parkiran. “Lepaskan tanganku Mas.”
“Kamu memang tidak tahu terima kasih, kita lihat apa jadinya kalau keluarga kamu tahu kamu kurang ajar seperti ini.”
“Bagaimana kalau kita balik keadaannya, bagaimana jika orangtua kamu tahu putranya kurang ajar begini. Aku sudah lelah terus bersandiwara, dengan kebrengsekan kamu.”
Gavin terkekeh, “Aku curiga, apa kamu ada pria lain hingga sangat ingin berpisah denganku.”
“Bukan ada pria lain, tapi aku tidak ingin terus menerus dibodohi. Aku berhak bahagia,” ungkap Zea lalu berlari ke mobilnya sendiri untuk menyelamatkan dirinya.
“Zea, buka!” teriak Gavin sambil mengetuk kaca mobil.
“Dasar gila.” Zea menghidupkan mesin mobil dan mulai melaju meninggalkan area restoran.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!