Di dalam sebuah bar, seorang gadis kecil duduk di satu meja. Dia mengenakan jubah panjang dan topi melingkar dengan ujung runcing — topi penyihir — yang keduanya berwarna hitam hingga membuat penampilannya misterius. Rambutnya yang berwarna hitam gelap tergerai lurus berwarna hitam. Mata gadis itu terpejam. Dia terdiam dan memisahkan diri dari keramaian bar.
"Benar-benar berani, ya?" Seorang pria — yang merupakan pemilik bar — menyapa gadis itu. "Untuk gadis sepertimu berada di tempat orang dewasa. Tidak takut kalau ada yang 'memakanmu', gadis kecil?"
Gadis kecil itu membuka matanya dan menunjukkan pupilnya yang hitam seluruhnya. Dia menatap pria tadi dengannya. "Itu bukan urusanmu," ucapnya dingin, "Juga, aku sangat yakin dengan kekuatanku."
"Hahahaha… sangat berani, ya?" Pria tadi tertawa. "Apa yang ingin kau pesan? Kurasa kau masih terlalu muda untuk meminum bir."
"Dan aku tidak suka minuman yang memabukkan," tambah gadis itu. "Berikan aku jus jeruk. Akan enak kalau ada esnya."
"Dasar, apa kau pikir bisa mendapatkan es batu di musim panas?" celetuk si pria. "Sudahlah, kau tunggu saja. Akan segera kuurus pesananmu."
"Terima kasih."
Gadis kecil tadi kembali memejamkan matanya. Dia memfokuskan indera pendengar, mencuri dengar apa yang saling dibicarakan dan dibahas pengunjung lain. Ada yang bilang, bar merupakan tempat tukar-menukar informasi dan di sana ialah tempat tepat untuk mencari informasi yang tak resmi — gosip. Yah, sayang sekali kelemahannya adalah informasi yang didapat tidak jelas kredibilitasnya.
– "Katanya ada penyihir yang ditangkap."
– "Tch, mereka main tangkap saja."
– "Tidak bisakah mereka berhenti?"
– "Bukankah bagus bila mereka dieksekusi?"
– "Cara eksekusinya terlalu brutal."
– "Benar, ini sangat buruk."
Mendengarkan informasi simpang-siur yang didengarkan, gadis tadi pun membatin, 'Di dunia ini penyihir dibenci dan diburu, ya?' Dia menghela napas dan bergumam, "Merepotkan saja."
Selanjutnya orang tadi — pemilik bar tadi — menghantarkan gelas berisikan jus jeruk. Gadis itu kembali membuka matanya dan memandang gelas kayu yang digunakan.
"Silahkan pesananmu." Pria itu memberikan gelas yang diterima si gadis kecil.
"Terima kasih." Langsung saja gadis itu meminumnya.
Si pria pemilik bar tidak pergi, justru dia duduk di kursi samping gadis kecil itu. "Jika kau tidak keberatan, bisa kau ceritakan dari mana asalmu dan apa tujuanmu? Ini aneh ketika melihat seorang gadis kecil bepergian seorang diri."
Gadis kecil itu meletakkan gelas dan melotot.
"Ma-Maaf, tidak perlu menjawabnya."
"Tidak, tidak apa-apa," kata gadis itu, "Aku adalah pengelana, mudahnya begitu. Lalu tujuanku, begini-begini aku adalah pemburu penyihir."
"Pem-Pemburu penyihir?" Pria tadi bertanya-tanya. Dia terdiam.
Dari tempat lain, suara tawa keras terdengar. "Pemburu penyihir? Kau pikir gadis kecil sepertimu bisa melakukannya, hah!" cemoohnya, "Anak kecil sepertimu, sebaiknya kau minum jus dan bermain saja!"
Jelas, dia yang mencemooh adalah pelanggan lain. Sosoknya adalah seorang pria bongsor berotot dengan tubuh besar. Sangat berkebalikan dengan gadis kecil tadi yang memiliki perawakan kecil. Pria itu juga memiliki sebilah pedang yang disarungkan di pinggangnya. Penampilannya sendiri, dia nampak seperti orang yang menghabiskan waktunya di luar.
Lelaki yang mencemooh tadi seakan mengintimidasi. Namun si gadis kecil tetap tenang dan minum sisa jus dari gelasnya hingga habis. Sampai setelahnya, dia meletakkan gelas itu dan berdiri dari tempatnya. Matanya menuju ke pria tadi dengan dirinya yang terdiam.
"Apa? Apa kau tidak terima, gadis kecil?" gambar pria tadi.
"Paman, ada baiknya untuk tidak menilai orang dari penampilannya, lho."
Gadis itu melompat tinggi — melesat ke udara — dan dari balik jubah hitamnya, dia mengeluarkan sebilah wakizashi yang masih disarungkan. Sarung wakizashi tersebut terbuat dari kayu yang diproses hingga terlihat rapi, namun tanpa hiasan atau ukuran sama sekali, membuatnya memiliki kesan sederhana.
Gadis itu mengangkat wakizashi ke atas dan menebaskannya ke bawah\, tepat di arah pria yang mencemoohnya tadi. *Trank!* Pria tadi terkejut. Namun sempat dirinya menarik pedangnya dan menangkis tebasan wakizashi si gadis kecil.
*Tep!* *Clank!* *Trank!* *Tank!*
Kakinya mendarat ke lantai\, gadis kecil itu segera membebaskan pedangnya berkali-kali dengan tempo cepat dan dengan kekuatan yang terasa berat. Pria yang mencemooh tadi sampai terdorong mundur dibuatnya. Lalu pada serangan terakhir\, *Bagh!* gadis itu mengayunkan wakizashi mengincar maki si pria hingga membuat pria iti jatuh.
Gadis itu mengayunkan wakizashi beberapa kali di udara sebelum memasukkannya ke dalam jubahnya. "Merepotkan saja," gumamnya, "Aku tidak suka menggunakan kekerasan."
"He-Hebat." Pemilik bar terperangah. "Padahal kau masih muda, tapi bisa menggunakan teknik pedang sehebat itu."
Gadis itu melemparkan sebuah koin emas ke pemilik bar. "Ambil saja kembaliannya. Anggap sebagai permintaan maaf karena membuat keributan," katanya tanpa peduli, "Kuamati dari tadi, hanya kamu sendiri yang mengurus tempat ini. Hitung-hitung sedekah."
"Ta-Tapi, jumlahnya terlalu banyak. Aku tidak enak menerimanya!"
Gadis kecil itu acuh. Dia berbalik menghadap pintu ke luar dan melangkah.
"Tunggu! Setidaknya beritahu aku namamu!"
"Namaku?" Gadis kecil itu berhenti dan kembali berbalik memandang pemilik bar. "Namaku adalah Elena Madison." Dia tersenyum kecil. "Suatu hari aku akan membawa perubahan di dunia ini, ingat itu!"
~
Elena berjalan di jalanan ramai kota. Melangkah di bahu jalan, seekor kucing melompat dan mendarat di atas pundaknya.
"{Tidakkah kau merasa kau suka membual perkara?}" Kucing itu mengeong dengan bahasanya, tapi bisa dipahami oleh Elena saja — tidak dengan orang lain yang simpang siur. "{Mengatakan, 'Aku akan membawa perubahan di dunia ini’. Apa kamu tidak merasa malu?}"
"Itu bukan urusanmu, Aya," jawab Elena, "Yang lebih penting lagi, kita harus fokus dalam misi kita."
"{Iya, iya, terserah kau saja,}" jawab kucing itu — Aya — dengan tanpa niat, "{Aku masih penasaran kenapa kamu suka sekali disuruh-suruh. Mau saja dapat misi sampai ke dunia lain.}"
"Mau bagaimana lagi, 'kan?" kata Elena, "Musuh memang suka sekali membuat perkara—"
*Boom!*
Sebuah ledakan besar terjadi ketika Elena asyik bicara sendiri dengan kucingnya — Aya.
Orang-orang yang sebelumnya sibuk akan urusannya sendiri-sendiri berhenti mencari asal sumber ledakan. Mengambil kesempatan ketika perhatian orang-orang terpusatkan pada hal lain, Elena menghentakkan kakinya kuat-kuat ke tanah dan melompat-lompat ke langit.
"{U-Uwah, aku bisa jatuh!}"
*Tep!*
Elena mendarat di mantap salah satu bangunan. Jauh dari tempatnya, dia melihat awan debu membumbung ke langit.
Mata Elena yang berwarna hitam itu seakan berubah bak kaca. Ia memantulkan refleksi panorama yang Elena lihat dengan jelas, begitupun apa yang Elena lihat, dia mampu melihat dengan jauh lebih baik. Penglihatannya ditingkatkan berkali-kali lipat. Dari tempat ia berdiri saat ini, ia dapat melihat dengan jelas peristiwa yang terjadi ratusan meter di depannya.
"{Bagaimana menurutmu? Apa kita harus pergi ke sana?}" tanya Aya.
"Tentu saja," jawaban singkat Elena, "Pegangan yang kuat."
"{O~hohoho… aku suka perjalanan ini.}"
EztEnd, tidak ada yang tahu dari mana mereka berasal. Namun yang pasti, beberapa bulan yang lalu makhluk ini mulai bermunculan di tempat-tempat acak.
Dengan cara kemunculannya, yaitu dengan tiba-tiba timbul dari dalam tanah, tidak ada benteng yang berguna menghadang mereka. Belum lagi penampakan dan kekuatan mereka yang menyeramkan. Prajurit biasa — atau kebanyakan prajurit — tidak bisa melawan mereka.
Wujud dari EztEnd sendiri selalu beragam. Terkadang sosok mereka seperti nautilus raksasa yang berenang di langit dengan tentakel-tentakel beracun, mirip beruang air sebesar kutu yang bisa melahap besi, atau bahkan menyerupai tumbuhan venus yang memakan manusia dan hewan besar lainnya. Intinya, mereka adalah ancaman.
Dan makhluk itulah yang Elena kini tuju.
~
Elena melompat dari satu atap bangunan ke atap bangunan lainnya bak seorang ninja.
“{Uwah~ Hebat, ya?}” Aya kegirangan. “{Anginnya benar-benar enak!}”
“Kamu berisik, Aya!” ucapan dingin Elena.
Tak sampai semenit, Elena sampai di tempat EztEnd yang dilihatnya tadi. Tempat itu sudah kacau. Sesosok makhluk bulat raksasa dengan mulut menganga lebar dan ribuan tangan tertempel padanya terbentuk. Seluruh tubuhnya diselimuti bulu-bulu hitam yang menyala kebiruan gelap. Di sekitar sana, orang-orang berlarian. Bukan berarti pelarian yang lancar.
Seorang ibu dan anak kecil berusaha lari dari sana. Namun karena kaki si anak kecil dan ia terburu-buru, dirinya malah tersandung batu. Ibunya menyadari itu. Dia berhenti dan berniat menggendong anaknya. Namun baru saja ia berbalik, sebuah tangan raksasa melesat ke arahnya.
*Slash!*
Elena datang. Dia menarik wakizashi dan menebas. Jalur perak tercipta mengikuti jalur tebasan yang memotong tangan hitam tadi.
“Kalian tidak apa-apa?” tanya Elena.
“U-Umu.” Ibu dari anak tadi mengangguk. “Terima kasih.”
“Tak usah dipikirkan.” Elena berbalik menatap makhluk besar di belakangnya — EztEnd — yang mengerikan tanpa gentar. “Kalian pergilah. Evakuasi diri.” Dia menghela napas. “Merepotkan saja.”
“Ba-Baik.” Dengan kata-kata itu, dia membawa anaknya pergi.
*Sis!* *Sis!* *Sis!*
Seakan tak membiarkan, EztEnd ini mengarahkan belasan tangan berusaha menyerang Elena dan dua orang tadi.
Semakin mendekat\, Elena mengedipkan matanya. Di saat dia membukanya kembali\, pupilnya menjadi sebening kaca dan ia melihat gerakan dengan lebih jelas dan lebih lambat. Lalu\, *Slash!* *Slash!* *Slash!* Elena menarik wakizashi dan memotong semua tangan.
Tangan-tangan yang baru saja dipotong Elena jatuh. Mereka menghilang menjadi kabut hitam. Ibu dan anak itu sempat ketakutan melihatnya.
“Pergi! Jangan pedulikan!” bentak Elena.
Ibu itu tanpa berkata-kata segera menggendong anaknya pergi.
Sekarang hanya ada Elena dan Aya berhadapan dengan EztEnd. Semua orang telah pergi, tak ada yang perlu dikhawatirkan.
“{Nya, nya, tidak ada orang lagi, nya~}” Aya mengeong riang, “{Sekarang, bisakah kita serius?}”
“Heh.” Elena terkikik. “Why not?”
§Krahhh!§ Makhluk itu meraung kencang memekikkan terlinga. Mulutnya terbuka lebar. Dari sana benda seperti dahan tumbuh dan dari dahan itu bunga-bunga bermekaran. Bukan bunga yang indah semenjak kelopaknya terbuat dari tangan dan di tengahnya adalah bola mata kuning besar.
“Wah, wah, dia bisa meraung juga ternyata,” cemooh Elena. Dia tersenyum kecil.
Belasan tangan-tangan kegelapan melesat ke arah Elena. Gadis itu, mata gadis itu yang bening bak kaca melihat semuanya. Alih-alih melarikan diri, dia justru menerjang masuk.
“{Aku tidak suka ini.}”
*Slash!* *Slash!* *Slash!*
Elena menebas cepat menggunakan wakizashinya. Cahaya keperakan mengikuti setiap jalur tebasnya. Dalam sekali perjalanan garis lurus, dia membuat puluhan tebasan yang memotong-motong tangan hitam menjadi potongan kecil.
“Easy, dik.” Elena tertawa. “Seperti namanya; Ezt.”
Pada satu titik\, ketika makhluk itu melepaskan lebih banyak tangan\, tidak ada jalur kabur. Namun untuk Elena\, *Cring!* tubuh Elena bertransformasi menjadi partikel cahaya dan muncul di langit. Dia melihat makhluk itu dari langit.
“Serangannya terlalu barbar. Sungguh tak rapi dan tanpa nilai seni.” Elena memandang makhluk itu dari langit. “Saatnya mengakhirinya, kurasa.”
“{Ya!}”
Elena menyarungkan wakizashinya dan menyembunyikannya di balik jubah. Dia mengambil topi dari atas kepalanya dan memasukkan tangannya ke dalamnya. “Mari kita lihat, benda apa yang bagus di sini.”
Meskipun topi itu terlihat memiliki kapasitas terbatas, Elena memasukkan tangannya hingga bahunya. Seakan saja topi tersebut memiliki ukuran lebih besar dari pada kelihatannya.
“Yap, sepertinya ini bisa dipakai.” Apa yang Elena ambil adalah sebuah RPG. Rocket Propelled Grenade — sebuah senjata anti tank. “Bisa kamu pergi sebentar, Aya. Tahan gerakannya, okay?”
“{All Corect!}”
Aya melompat dari pundak Elena. Kini dia jatuh bebas. “{Baik, mari kita lakukan ini.}” Di sekitar tubuhnya, pasak-pasak hitam tercipta. “{Meskipun disuruh buat nahan gerakannya, tapi dia gak gerak, sih. Aku serang saja secara asal-asalan.}”
*Sis!* *Sis!* *Sis!*
*Stab!* *Stab!* *Stab!*
Pasak-pasak hitam di sekitar tubuh Aya melesat dan menancap di tubuh EztEnd. Sedikit serangan tak menyakitkan milik Aya membuat dia mendapatkan balasan berkali-kali lipat berupa belasan tangan hitam mengarah padanya.
“{Wa-Wah, ini gak gawat, ya?}”
*Syut!*
Tiba-tiba Aya merasakan tubuhnya merasa seperti ditarik sesuatu. Dia ditarik menjauh dari jalur serangan tangan-tangan hitam makhluk itu. Dirinya menengok ke Elena dan membatin, ‘{Ini ulahnya, ya?}’
“Target siap…,” gumam Elena. “Sisanya tembak!”
*Booom!*
Peluru RPG meluncur cepat dan menghantam EztEnd di depan. Satu tembakan membuat ledakan besar yang langsung memusnahkannya.
“{Gyaaahhh!!!}” Aya terhempas sebab ledakan. Dia hampir jatuh ke tanah. Namun tak sampai, Elena sudah ada di sana dan menangkapnya.
“Hati-hati, punya sembilan nyawa bukan berarti abadi,” ucap Elena dingin. Dia memasukkan RPG ke dalam topinya dan benda itu muat.
“{Aku sudah hati-hati!}” bentak Aya, “{Lagian, aku tidak punya sembilan nyawa.}”
“Sudah, sudah, itu diurus nanti saja.” Elena memandang ke depan pada kekacauan yang baru saja dibuat RPG-nya. “Sebaiknya kita segera pergi. Aku tidak suka direpotkan.”
“{Setuju.}”
Sama seperti cara dia datang, Elena melompat dari satu atap bangunan ke atap bangunan lain bak ninja.
~
EztEnd merupakan ancaman besar bagi umat manusia. Sesaat setelah kemunculannya dikonfirmasi, tentu saja pemilik wilayah akan mengerahkan pasukan untuk membasminya — meski itu akan membunuh banyak dari mereka. Dan karena itulah, seusai Elena pergi satu barisan prajurit datang.
Mereka mengenakan zirah lengkap dan menunggangi kuda. Pakaian mereka benar-benar mencerminkan penampilan seorang ksatria. Tekad dan keteguhan hati mereka seharusnya juga demikian, namun itu berbeda setelah mereka melihat sisa-sisa pertarungan Elena.
“Laporan kemunculan EztEnd, itu tidak salah, ‘kan?” salah di antara mereka berucap dengan tak percaya.
“Entah itu nyata atau hanya alarm palsu, tapi yang pasti ada pertarungan dari makhluk yang kuat,” jawab lainnya yang seperti komandan. “Entah apa yang akan menimpa dunia ini selanjutnya. Semoga kita tidak menemui akhir dunia.”
Dan di tempat lain, biang keladi yang membuat ledakan besar — Elena — , dengan entengnya dia memesan kamar di sebuah penginapan.
Malam harinya, Elena berada di penginapan. Dia hanya sendirian sementara kucingnya — Aya — jalan-jalan di luar. Namanya juga makhluk nocturnal.
Sebuah "celah" berwujud garis hitam tercipta di udara kosong. Terbuka, celah tersebut membesar dan sosok pria keluar dari sana.
"Lama tidak jumpa, Noctis," sapa Elena.
"Jangan sok akrab denganku, gadis kecil." Noctis berdiri di depan Elena. Dia melipat kedua tangannya — bersedekap — sambil memandang acuh Elena. "Laporkan saja kemajuanmu ekspedisimu selama berada di dunia ini.
Noctis atau Raja Roh Dimensi. Roh sendiri adalah personalisasi atau kepribadian dari alam itu sendiri. Noctis, sebagai Raja Roh Dimensi, dia memiliki kemampuan untuk memanipulasi atau mengendalikan ruang spatial. Kemampuannya itu memungkinkan dirinya untuk membuka celah, bahkan sampai ke dunia lain. Kekuatan dimensi sebagai kekuatan yang merupakan anomali, benar-benar salah satu kekuatan terkuat.
Roh aslinya tidak memiliki wujud. Namun pengambilan atau pembentukan tubuh diperlukan untuk menunjukkan eksistensinya pada makhluk lainnya, atau dia hanya berupa makhluk astral yang gaib. Wujud dari Noctis sendiri berupa pria tinggi ramping dengan mata dan rambut hitam. Dia memiliki kulit kuning langsat. Di atas kepalanya, dia memakai mahkota (untuk pamer dan menyombongkan diri).
"Tidak ada yang istimewa," jawaban tidak niat Elena, "Sudah? Kau bisa pergi."
*Zrt!*
Bayangan bergerak di mengikat leher Elena. Seutas benang hitam melingkar di leher Elena.
"Jangan membuang waktuku, gadis kecil," ancam Noctis, "Bila mana aku berkehendak, niscaya kepalamu akan terputus dari tubuhmu."
Elena menelan ludahnya dan berkeringat dingin, "Ma-Maaf, maaf, aku hanya bercanda, hehe…."
"Jangan bercanda denganku, aku sibuk." Noctis menghilangkan benang bayangan yang melingkar di leher Elena. "Kau menjadi wakilku karena energi alam di sini buruk sehingga kekuatanku terbatas. Lagi pula, sejak awal penyelidikan ini sama sekali tidak memberikan keuntungan padaku. Murni ini adalah urusan dari kerajaanmu."
"Iya, deh. Aku 'kan sudah bilang 'maaf'? Apa masih kurang?"
"Bila semuanya bisa selesai dengan permintaan maaf, izinkan aku memotong tangan dan kakimu lalu akan meminta maaf," ujar Noctis, "Sudah! Kembali ke pembahasan awal. Bagaimana kemajuan penyelidikanmu selama di dunia ini?"
"Emm… tidak ada yang istimewa," jawab Elena, "Kebanyakan orang di dunia ini adalah manusia normal — tidak bisa membuat fenomena supranatural — tanpa kekuatan magis. Adapun beberapa yang dikatakan sebagai 'penyihir', aku masih kekurangan informasi."
"Bagaimanapun ini adalah zaman kegelapan di mana orang tak bersalah bisa dieksekusi kejam sebagai ahli nujum," tebak Noctis, "Tapi masih ada kemungkinan bila keberadaan penyihir itu nyata."
"Benar." Elena membenarkan. "Oh, selain itu 'EztEnd' mulai mengamuk di dunia ini. Informasi yang kutemukan sejauh ini; Mereka bermunculan secara acak. Mereka relatif mudah diatasi. Terima kasih atas Topi Ajaib yang kau pinjamkan padaku."
"Ya, sama-sama. Jaga topi itu baik-baik. Itu adalah item yang kuciptakan sendiri dengan kekuatanku. Topi itu terhubung ke dimensi alternatif tempat aku menyimpan barang-barang bagus. Mie instan juga ada kalau terdesak. Yang kuah tentunya."
"Jarang-jarang kamu buat item sendiri. Biasanya 'kan kamu 'mencuri'." Elena menatap datar Noctis. "Dan aku lebih suka mie goreng."
"Jangan salah sangka, gadis kecil. Aku tidak mencuri," Noctis berkata bangga, "Aku mengambil barang jarahan di tempat yang sudah 'kubersihkan'."
"Terserah bagaimana kau menyebutnya, Noctis," ucap Elena bernada tak menyenangkan, "Ngomong-ngomong, bagaimana dengan yang di dunia sana?"
"Jangan dipikirkan. Temanmu bersama pihak kerajaan sudah mengejar mereka. Kau cukup fokus dengan masalah di dunia ini."
"Yah, kalau itu mereka berdua aku yakin mereka tidak akan mati, sih."
"Baiklah, kalau begitu aku undur diri untuk malam ini."
Noctis masuk ke dalam celah yang sebelumnya ia ciptakan. Kemudian celah hitam itu tertutup kembali, meninggalkan Elena dalam kesendirian.
"Dasar, memiliki Raja Roh Dimensi sebagai rekan benar-benar berbahaya, ya." Elena tersenyum. "Tapi kadang dia juga punya sisi imut."
~
Di tempat lain, jalan-jalan malam Aya sampai di gang-gang sepi. Dia menemui banyak hal; anak muda yang berpacaran, orang-orang berpakaian preman, dan pergerakan aktivitas ilegal. Sebagai kucing dia sama tidak dicurigai. Siapa juga yang menyangka kalau seekor kucing bisa berbicara dan membocorkan apa yang ia lihat? Sampai ketika Aya kembali ke penginapan Elena, dia masuk lewat pintu depan, dia menguping percakapan seorang wanita dengan resepsionis.
"Permisi, apakah ada seorang gadis mengenakan topi aneh dan jubah hitam datang ke mari?" tanya wanita itu. "Oh, topi yang dia pakai berwarna hitam dengan ujung panjang yang meruncing," penjelasannya.
Mendengar deskripsi dari wanita itu, Aya sebagai hewan peliharaan yang baik tentu saja akan mengawasi informasi yang berhubungan dengan Elena.
"Maaf, tapi informasi apapun tentang pengunjung adalah rahasia. Kami tidak akan membocorkannya," jawab resepsionis.
"Kumohon! Ini sangat penting!" Wanita tadi menyatukan kedua telapak tangannya. "Aku harus bertemu dengannya."
Aya mendekat. Tidak seperti akan ada yang terganggu oleh kucing. Dia memandang wanita itu dengan seksama. Sosok wanita yang memiliki rambut pendek dengan gaya bob berujung rapi yang berwarna perak, pupil mata biru koral, dan pakaian layaknya pengelana. Tak lupa, dia membawa tas ransel besar dan sebilah pedang pendek terpasang di pinggangnya. Dari melihat saja, Aya berspekulasi dia pasti pengelana.
"{Mencurigakan.}" Aya menatap dengan mata curiga. Ekornya terangkat ke atas. "{Apa sebaiknya aku membawanya ke Elena, ya?}"
Kucing itu mengeong membuat wanita tadi tertarik perhatiannya. "Ah, kucing. Kenapa di tempat ini ada kucing."
Aya melompat ke meja, kemudian melompati lagi hingga mendarat di wajah wanita tadi. Tak ketinggalan, dia mencakar wajah perempuan itu. Dengan menahan kekuatan tentunya. Dia tak ingin membuat bekas cakaran di sana.
Perempuan tadi meronta dan melemparkan Aya. "Kucing sialan! Beraninya kau mencakar wajahku!" bentaknya penuh kekesalan.
Aya mendarat dengan mulus. "Nyan!" Dia berlari masuk lebih dalam ke dalam penginapan.
"Tunggu! Jangan kabur kau!"
~
"Hmm?" Elena merasakan sesuatu di kamarnya. Dia beranjak dari ranjang dan membuka pintu. Dari sana Aya segera masuk. "Ada apa?"
"{Ada yang mencarimu,}" Aya mengeong, "{Dia bukan teman, tapi juga bukan musuh.}"
"Baik, informasi diterima," jawab Elena datar.
Tak lama, suara teriakan penuh amarah terdengar. Jelas, itu adalah suara dari wanita tadi.
"Berhenti kau kucing kecil! Kembali dan akan kucabik-cabik kau!" Tanpa sadar dia masuk ke kamar Elena yang sebelumnya pintunya sudah terbuka. Kemudian….
*Bugh!*
Elena jatuh dari atas dan menindihi tubuh wanita berisik tadi. Dia mengunci gerakan wanita itu. "Apa kau tahu masuk ke kamar orang itu tidak sopan, Nona?"
"Ugh…." Wanita itu merintih. Dia merasa sakit agaknya. Berusaha melihat ke belakang untuk mengetahui apa yang menindihi tubuhnya, dia menemukan Elena bersama kucing di pundaknya. "Ah! Kamu 'kan! Gadis kecil yang melawan EztEnd tadi siang!"
Elena menguatkan kunciannya hingga wanita itu merasa lebih sakit. "Adududuh! Stop! Jangan dilanjutkan!"
"Harusnya kau tidak berteriak. Membocorkan rahasia orang juga tidak sopan," ucapan acuh Elena, "Dan siapa namamu?"
"Le-Lepaskan dulu, ku-kumohon!"
Elena yang tak peduli malah menguatkan kunciannya.
"Akh! Baik! Namaku Lisa! Aku seorang pengelana!"
Barulah Elena melepaskan kunciannya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!