NovelToon NovelToon

SUAMIKU BAD BOY!

Perjodohan

BRAAAKKK!

Zachary menggebrak meja, menggoyangkan beberapa documen keeper yang tertata rapi di meja kerjanya.

“Aku tidak akan menerima rencana gila itu!” sungutnya menolak sebuah rencana pernikahan yang ditujukan padanya.

“Gila, memangnya ini tahun berapa, sih? Rajin banget main jodoh-jodohin anak?” gerutunya sengit. Dia menolak mentah-mentah. Semua tidak terjadi begitu saja tanpa alasan.

Bermula saat ia pulang larut malam dalam keadaan mabuk berat. Ia berpapasan dengan Maxwell, ayahnya yang kebetulan keluar dari kamarnya.

“Baru pulang kamu jam segini?” tegur Maxwell dengan suara keras.

“Kenapa, Pa? Harusnya aku pulang pagi malah, ini karena Satria yang mengajakku pulang cepat. Tanggung ya?” Zach terseok-seok melangkah menuju kamarnya.

Maxwell menggeleng-gelengkan kepala. Dia seperti melihat dirinya versi muda. Dulu kelakuannya persis seperti Zach sekarang. Pekerjaannya hanya bermain perempuan dan mabuk-mabukan.

“Ini tidak bisa dibiarkan! Mekipun ada pepatah buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Tapi kalau bisa jangan sampai jatuh, harus sudah dipetik. Sebelum Zach melangkah terlalu jauh, lebih baik segera menikah daripada menumpuk dosa,” gumamnya sambil melangkahkembali ke kamar.

Dia bahkan lupa hendak mengambil minuman.

“Ma!” Maxwell mengguncang bahu istrinya perlahan.

“Hmmhhh.” Intan yang sedang merajut mimpi merasa suaminya memanggilnya, ”Kenapa, Pa? aku capek banget, jangan sekarang,” jawab Intan menduga suaminya meminta jatah.

“Anakmu baru pulang tuh!”

“Ya terus, kenapa? Bukannya dia sudah biasa pulang malam?”

Intan bukan tak peduli. Dia justru sudah berkali-kali mengadu kepada suaminya tentang kelakukan Zach, tapi Maxwell menganggap hal itu biasa. Sekarang Intan membalikkan omongan Maxwell.

“Kamu kemarin kasih usulan mau menjodohkan Zach sama siapa itu? Kayaknya diteruskan saja, Ma. Agar anak itu kembali ke jalan yang benar.”

Intan yang tadinya akan melanjutkan tidur, mendadak segar bugar. Dia bangkit lalu menatap Maxwell dengan senyum lebar. Matanya berbinar-binar.

“Serius? Beneran? Yakin Papa tidak akan berubah pikiran? Mama malas kalau hanya diberi harapan palsu.” Intan mencebik.

Bukan tanpa alasan Intan berbicara begitu, saking seringnya Maxwell mengatakan iya, atas rencana perjodohan Zach dengan seorang gadis pilihannya. Tapi saat Intan membahasnya lebih serius, Maxwell selalu menunda-nunda.

Maxwell menghela napas panjang. Kelakuan Zach benar-benar mengingatkannya pada dirinya saat masih muda dulu.

Maxwell Bennedict dulunya adalah seorang ketua Gangster Reg Tiger yang akhirnya bertobat setelah menikahi Intan, sang Istri. Kali ini Maxwell berharap Zach bisa terselamatkan dengan cara yang sama. Menjodohkannya dengan gadis yang tepat. Dan dia menyerahkan urusan itu kepada Intan. Namun, karena kesibukannya, Maxwell jadi terlena ketika Intan membicarakan tentang rencana perjodohan itu.

Pagi hari di meja makan, terjadilah perbincangan yang membuat Zach batal memasukkan roti panggang ke dalam mulutnya.

“Nikah muda? Dijodohin?” Zach menyatukan alisnya. ”Papa seperti tidak pernah muda! Yang bener saja! memangnya Zach perempuan, dipaksa nikah muda?”

Piring berisi roti bakar selai srikaya kesukaannya segera ia singkirkan. Kini pria muda tampan itu tak berselera sarapan lagi.

“Zach, dengarkan Papamu dulu,” tutur Intan lembut. Ini bukan obrolan pertama yang membahas tentang perjodohan. Biasanya Intan yang memulainya, tapi karena Maxwell bersikap pasif, Intan harus pasrah ketika obrolan itu berakhir di udara.

“Mama sama Papa mau cucu berapa?” Maxwell dan Intan tersentak mendengar ucapan Zach.

“Berapapun yang kalian mau, aku bisa kasih. Jadi, tidak usah jodoh-jodoin aku. Kayak aku tidak laku saja!”

“Zach, jangan salah paham dulu,” tukas Mamanya masih berusaha sabar.

“Aku pikir Papa dan Mama orang tua zaman now yang akan mendukungku, bukan strict parents seperti orang tua zaman dulu.”

“Jadi kamu berharap kelakuanmu yang selalu mabuk-mabukan, main perempuan itu akan mendapat dukungan papa?” Suara Maxwell meninggi.

Zach baru teringat tadi malam ia berpapasan dengan papanya. Rupanya ini yang memicu obrolan tak penting di meja makan ini.

“Oke, oke Zach salah. Ma, maafin Zach, semalam emang Zach kebablasan, Zach janji tidak akan mengulanginya lagi.”

“Berapa kali kamu janji sama Mama? Berapa kali kamu mengingkari?” Intan menatap Zach tajam. Jika sudah begini Zach jadi mati gaya. Tadinya ia berharap mama melunak dan mau mendengarkan alasannya.

“Kami sudah terlalu sering kau bohongi, Zach. Lembur, dinas ke luar kota, kau pikir Papa tidak cek semuanya? Bohong! Itu semua cuma alasanmu untuk bersenang-senang!” Maxwell meradang.

Dia tahu semua kelakuan puteranya. Bagai meninggalkan jejak di masa lalu, yang dilakukan Zach seolah mengikuti alur kenakalannya dulu. Itulah yang membuat Maxwell kini bersikukuh dengan keputusan untuk segera menjodohkan Zach, supaya puteranya itu segera bisa menemukan arah hidup yang seharusnya.

Zach menatap ke arah Intan.

Mamanya mengangkat bahu, ”Sorry kali ini Mama tidak bisa bantu.”

Zach frustrasi. Jika sudah begini dia hanya ingin menemui Tiffany, mengunjungi kamar kekasihnya. Bersenang-senang di sana.

“Oke, oke aku akan menikah, aku akan memberikan cucu yang banyak. Tiffany pasti setuju.”

“Siapa yang bilang kami mengizinkan kamu menikahi Tiffany?” Maxwell berkata penuh penekanan pada nama kekasih Zach.

Bukan Maxwell namanya kalau tak bisa menelisik siapa gadis yang tengah dekat dengan anaknya.

Tiffany Amora Mukti, bukan gadis baik-baik. Diam-diam Maxwell selalu mengirimkan mata-mata pada gadis itu. Wanita muda berjiwa hedon yang mendarah daging. Tak punya pekerjaan tetap, hobinya hanya berfoya-foya.

Sungguh bukan sosok menantu idaman. Bukan pula calon ibu yang baik untuk anaknya nanti. Maxwell hafal betul dengan wanita seperti Tiffany, karena saat muda dulu dia sering berurusan dengan wanita seperti itu.

“Pa, aku mencintai Tiffany! Kami saling mencintai, apa salahnya kalau aku menikahinya seperti kemauan Papa dan Mama?”

“Papa mau kamu menikah dengan gadis lain. Gadis baik-baik pilihan Mamamu!”

Pandangan Zach beralih kepada Intan yang segera mengangkat dagunya. Kali ini saat yang paling tepat baginya untuk menarik putranya kembali ke jalan yang benar.

“Gadis desa, cantik, sederhana, tidak neko-neko. Cantiknya alami, dan yang terpenting … Mama mengenal keluarganya.”

“So what? Jadi kalau Mama mengenal keluarganya itu berarti bisa seenaknya mengatur selera Zach?”

“Zach, menikah itu bukan soal selera, Dear! Menikah itu tentang pasangan yang tepat, yang saling mensuport satu sama lain, saling menopang dan yang paling penting, harus punya visi misi yang sama!” Intan berbicara panjang lebar, sementara Maxwell mengangguk-angguk tanda setuju.

“Ma, itu kalau Mama mau bangun perusahaan, semua karyawan harus punya visi misi yang sama. Menikah itu tentang perasaan, harus ada kenyamanan, tidak bisa sembarangan!”

“That’s it! Tidak boleh sembarangan! Mama sangat setuju! Jadi harus jelas kualitas wanita yang akan mendampingi kamu seumur hidup. Kualitas itu bukan cuma dilihat dari make up, baju bagus, tas mahal, fisik, nonsense. Itu cuma kulit luar. Kualitas itu di sini dan di sini.” Intan menunjuk kepala dan dadanya. Zach kehilangan kata-kata.

Membujuk

“Kamu tinggal nurut kata Ibu, Julia. Ingat! Usiamu sudah dua puluh empat tahun. Itu bukan usia muda lagi untuk terus bermain-main keluar masuk hutan, mendaki gunung, bersenang-senang di luar sana!”

“Bu, masih banyak gadis-gadis yang lebih tua dari aku belum nikah. Mereka santai-santai saja, tuh. Tenang, Bu. Nanti juga Julia bertemu jodoh. Tarzan saja di hutan terus, bertemu dengan jodohnya, Jane dari kota. Ibu tidak ingat kata pepatah, kalau jodoh tidak akan kemana.” Gadis manis itu tersenyum. Lesung pipinya menambah tingkat kemanisan wajahnya mendekati sempurna.

“Iya. Tapi, jangan lupa juga pepatah yang bilang … kalau tidak kemana-mana, bagaimana bisa dapat jodoh?” sahut Nia, ibunya.

“Hah? Pepatah dari mana itu? Kok Julia baru dengar.”

“Pepatah yang baru Ibu ciptakan. Sekarang coba kamu pikir, di mana kamu bisa ketemu jodoh kalau tiap hari kerjamu cuma keluar masuk hutan? Yang ada kamu ketemu sama lutung kasarung!”

“Ya ‘kan kerjaan Julia memang keluar masuk hutan, Bu.” Gadis itu sebenarnya belum punya pekerjaan tetap. Dia sedang memasukkan lamaran pekerjaan di sebuah perusahaan tambang ternama di kotanya.

Sekarang aktivitasnya membantu sebuah yayasan sebagai Konsultan Kehutanan. Hutan adalah rumah kedua bagi Julia Amalia Rohendi. Selain karena tempat tinggalnya memang sangat dekat dengan hutan, Julia merasa hanya hutan adalah tempat yang tidak membutuhkan kepura-puraan.

“Justru itu, Ibu mau bantu kamu. Coba Ibu mau tanya sekarang, kamu jawab pertanyaan Ibu dengan cepat, oke?”

“Siap!” Julia berdiri tegak di depan ibunya bagai seorang prajurit menghadap komandan.

“Nama?”

“Julia Amalia Rohendi.”

“Usia?”

“Dua puluh empat tahun lebih seratus empat belas hari.”

“Riwayat asmara?”

“Tidak ada. Ih … Ibu mah, anak sendiri diroasting!” Julia kesal karena merasa dikerjai ibunya sendiri.

“Bukan Ibu yang ngomong barusan. Riwayat asmaramu kosong, nol besar! Jadi bagaimana bisa Ibu percaya kamu akan menemukan jodohmu sendiri? Sudah, tidak ada tapi-tapi lagi, semua sudah ibu persiapkan, kamu tinggal terima jadi.”

“Memang baju terima jadi? Baju masih mending, tidak pas ukurannya bisa dipermak, lah … kalau suami?” gerutu Julia.

“Jadi gimana? Mau lihat dulu? Mau di pas-in dulu? Atau langsung pakai?” desak Nia tak mau kalah.

“Terserah Ibu, deh! Terseraaah!” Julia tak mau mendebat ibunya lagi. Semua yang dikatakan ibunya benar. Riwayat asmaranya benar-benar memprihatinkan.

Terkadang Julia juga heran dengan dirinya sendiri yang tidak gampang mencinta. Pernah dia membahas perkara rumit ini dengan Yanti, sahabatnya.

“Begitu syulit … mencari jodoh, apalagi pria baikkk,” lantun Yanti menirukan lagu yang sedang viral di tiktok. Meskipun mereka tinggal di pedesaan, tapi seluruh fasilitas kota sudah merambah ke wilayah itu.

“Tenang aja, Jul! Kamu dan aku berada pada posisi senada seirama. Sama-sama lagi sendiri alias jomlo. Bedanya, aku sudah berganti pacar puluhan kali, sedangkan kamu? Sekali pun belum pernah. Entah sampai kapan status tuna asmara ini akan dihapus dari KTP kita.”

“Jaljul, Julia! Panggil yang lengkap apa susahnya, sih?” protes Julia.

Yanti tergelak. Julia memang tidak mau namanya dipanggil separuh, harus utuh, karena dia suka nama pemberian ibunya.

Julia dari bahasa Yunani, versi cowoknya Julius, versi ceweknya Julia yang berarti awet muda. Julia memiliki wajah yang awet muda. Untuk gadis berperawakan kecil sepertinya memang usia terkadang menipu.

“Sebenarnya aku tidak masalah tidak punya pacar juga … bikin ribet, tau!”

“Ribet karena kamu belum merasakan dimanja-manja, kalau udah ketemu yang cocok nanti juga ketagihan.”

Julia mendelik, Yanti melengos.

“Aku cuma bingung, Yan. Kenapa tidak bisa dengan gampang suka atau cinta sama orang? Yah, teman SMA banyak yang suka, teman kuliah banyak yang nembak. Tapi, aku ‘tuh kayak yang merasa belum cocok aja.”

“Ya itu bagus, tapi kamu juga harus waspada.” Yanti memasang tampang serius.

“Waspada gimana maksudmu?” tanya Julia penasaran.

“Bagus karena kamu konsisten orangnya, malas coba-coba kayak aku. Waspada, karena biasanya saat kamu ketemu orang tepat, kamu bakalan bucin mampus!"

Sontak Julia mendorong kepala Yanti.

“Eh, sembarangan! Mahkota aku ditoyor pula!”

***

Nia sedang menjemur pisang saat ponselnya berdering. Panggilan masuk dari Intan, sahabatnya yang kini tinggal di Jakarta. Setelah berbasa-basi sejenak, Intan menyampaikan maksudnya.

“Max udah kasih respon, Nia. Jadi deh, kita besanan!” Intan tertawa renyah, perempuan itu menelepon sambil berbaring di kursi samping kolam renang usai yoga.

“Tunggu! Bukannya yang mau dijodohin sama Julia itu Zach?” jawab Nia membuat Intan tergelak.

“Heh, dengerin … aku kalau memprospek Zach tanpa dukungan Papanya, sama saja ngomong sama tembok. Makanya, sekarang setelah Max kasih dukungan, lebih mudah mengatur Zach. Pokoknya kamu siap-siap saja. Kasih waktu seminggu dua minggu, supaya hati Zach luluh.”

“Intan, yang kita lakukan ini bener tidak, sih? Kadang aku ragu, sedikit khawatir kalau Zach nanti menolak Julia. Kalau Julia sih, aku jamin anak itu penurut.”

“Nia … kita ini mau besanan, bukan merencanakan kejahatan. Selama tujuan kita baik, dilakukan dengan cara baik, Insyaallah hasilnya juga baik. Apalagi anak kita berasal dari keluarga baik-baik. Itulah yang membuatku yakin perjodohan ini akan berhasil.”

“Baiklah, aku cuma tidak menyangka saja, persahabatan kita bisa seawet ini, dan janji kita dulu ternyata bisa terwujud.”

Nia ingat dia hanya iseng saat berpisah dengan Intan yang kala itu hendak pindah ke Jakarta. Mereka berjanji terus saling memberi kabar, hingga menikah dan punya anak, bahkan jika memungkinkan akan menjodohkan anak mereka. Ternyata, janji itu masih mereka ingat hingga sekarang. Intan yang melontarkan ide itu pertama kali saat curhat tentang kelakuan Zach kepada Nia.

Melihat ibunya sedang sibuk menerima telepon, Julia menyelinap pergi. Hatinya gelisah dengan rencana perjodohan ibunya. Saat galau seperti ini dia butuh nasihat untuk memantapkan hati. Gadis itu mendatangi Mang Ebo, guru ngajinya.

“Aku bingung, Mang. Masa jodohku diatur-atur Ibu. Jodoh ‘kan di tangan Tuhan.”

“Ya berarti Allah sedang mengaturnya melalui ibumu. Tidak baik melajang jika sudah layak menikah, agar terhindar dari zina.” Mang Ebo memberi jawaban dengan sangat hati-hati.

“Tapi aku belum mengenalnya, Mang. Bagaimana kalau nanti kami tidak cocok?” tanya Julia polos.

“Belum kenal?” Julia menggeleng. “Ya tinggal kenalan. Paling butuh waktu lima menit. Soal kecocokan, cocok apanya? Kau perempuan, dia laki-laki. Yang tidak cocok itu kalau perempuan sama perempuan, laki-laki sama laki-laki seperti yang marak terjadi sekarang.” Julia terdiam.

Sebenarnya ingin bertanya lebih jauh, tapi dia sendiri bingung harus bertanya apa.

“Niatkan semua untuk ibadah, Julia. Kalau landasannya ibadah untuk mencari ridho Allah, InsyaAllah semuanya akan dimudahkan. Yang kau bilang tidak cocok tadi, akan terasa cocok nantinya.”

Julia menyimak dengan saksama. Tapi masih ada yang mengganjal di pikirannya. Apakah bisa hidup bersama orang yang tidak dia kenal sama sekali?

Kelakuan Zach

“Ini baru anak Ibu.” Nia mengacungkan jempol ke arah Julia, memuji keputusan putrinya yang menerima perjodohan itu. “Ibu senang kamu bisa berpikir jernih, tidak mengedepankan emosi.”

“Julia tidak mau bikin ibu kecewa, nanti dikutuk jadi puteri cantik ‘kan Julia tidak bisa ke hutan lagi.”

“Hih, anak ini.” Julia segera menduselkan kepalanya ke dada Nia. Perempuan paruh baya itu mengelus rambut putrinya.

“Ridho Allah juga ridho orang tua, Julia. Insya Allah kalau kamu ikhlas menjalani pernikahan ini, keluargamu akan sakinah mawaddah warahmah.” Nia memeluk putrinya lebih erat. Jika Julia sudah setuju, itu artinya sebentar lagi putrinya akan menjadi istri orang dan akan diboyong ke Jakarta, tiba-tiba hati Nia menjadi sendu.

“Julia akan lebih tenang kalau pernikahan nanti mendapat restu Ibu.” Julia teringat nasihat Mang Ebo, selama ada restu orang tua, InsyaAllah pernikahannya akan langgeng.

Minggu itu juga, Nia mengabarkan berita gembira tersebut kepada Intan.

“Alhamdulillah, ini kabar baik, Nia. Aku bakal kabarin Max secepatnya.”

“Gimana dengan Zach? Apakah kalian sudah bicara lagi?”

“Udaaah, serahkan sama kami. Zach urusanku sama Max. Yang penting Julia udah setuju. Anak itu memang manis sekali dari dulu. Salam buat Julia, ya! Aku sudah tidak sabar mau kasih kabar ini pada Max dan Zach.”

Tak seperti Intan yang super excited mendengar kabar Julia menerima perjodohannya, Zach justru muram. Lelaki tampan itu terus meratapi diri, merasa kembali ke masa lampau karena praktik perjodohan ternyata masih dilegalkan dan, parahnya lagi orang tuanya adalah dua tersangkanya. Sementara dirinya akan menjadi korban utama.

“Tidak usah merasa paling tersakiti gitu, dong! Tujuan Mama dan Papa itu baik, Zach. Suatu saat nanti kamu pasti akan berterima kasih pada kami.”

Entah ramalan dari mana yang dikatakan Mamanya, tapi Zach merasa hal itu tidak akan pernah terjadi.

“Papa sama Mama sadar tidak ‘sih udah memisahkan dua manusia yang sedang jatuh cinta. Trus tiba-tiba menggantikan manusia satunya dengan manusia lain yang tidak tahu entah dari planet mana.” Zach memutar matanya.

“Manusia yang kamu sebut itu namanya Julia Amalia. Dia bukan hanya cantik tapi juga cerdas. IQ dan EQ nya seimbang. Oya satu lagi jangan lupakan juga SQ nya dong, jago dia.” Intan memainkan alisnya.

“Mama benar-benar, sudah seperti mau merekrut karyawan aja! Apanya yang harus ada IQ, EQ, SQ? Bikin pusing saja.” Zach mengomel karena menganggap kriteria mamanya terlalu berlebihan.

“Sudah, yang seperti itu serahkan pada Mama. Papa dulu waktu diseleksi jadi suami juga penilaiannya gitu. Untung Intelektual Intelligence papa bagus, dan sekarang menurun sama kamu. Kamu cerdas, bisa mengembangkan perusahaan yang Papa bangun.” Maxwell menyahut.

“Urusan Emotional Intelligence, jangan ditanya. Papa kenapa bisa langgeng sama mama? Karena papa sangat memahami perempuan, kecerdasan memahami perempuan ini cuma bisa dikuasai lelaki peka dan penuh perhatian seperti Papa.” Ucapan Maxwell disambut dengan cibiran bibir Intan. Ada benarnya, tapi juga banyak salahnya.

“Nah, urusan Spiritual Intelligence ini kami berdua berproses, Zach. Percayalah, perjodohan ini adalah buah kesadaran Spiritual Intellence Papa dan Mama. Semua demi kebaikan kamu. Tidak ada orang tua yang suka melihat anaknya mabuk-mabukan dan main perempuan.”

Intan terperangah mendengar penjelasan suaminya. Intan hanya tahu Zach hobi dugem dan sedikit miras, tapi tentang main perempuan, Intan baru tahu.

“Maksud Papa, gonta-ganti pacar, Ma.” Maxwell menjelaskan ucapannya sambil melirik Zach yang menatapnya seolah meminta jangan membongkar aibnya.

Sebagai sesama lelaki, keduanya sama-sama tahu bahwa kebiasaan buruk itu pasti akan menyakiti Intan. Sebandel-bandelnya Zach, dia tidak akan tega menyakiti hati mamanya terang-terangan. Kalau sembunyi-sembunyi seperti yang ia lakukan sekarang, sering.

Zach pusing dengan segala ***** bengek penjelasan Papa dan Mamanya. Malam itu, Zach pergi ke club langganannya. Dia melampiaskan kekecewaannya dengan mabuk lagi. Tiffany menemani pria itu bersama dua teman Zach yang lain, Satria dan Hendra.

“Aku sudah tidak tau harus ngomong apa lagi? Kesel banget sama Papa dan Mama. Hari gini masih dijodoh-jodohin, kayak tidak laku aja,” gerutunya sambil menenggak minuman keras.

Tiffany juga kesal dan marah, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Untuk melawan orang tua Zach jelas tidak mungkin. Dia tak punya apa-apa yang pantas dibanggakan. Satu-satunya yang bisa ia lakukan adalah meyakinkan Zach bahwa dia akan terus mendampinginya.

“Aku akan terus sama kamu kok Zach, kamu tenang aja.”

Zach yang sudah mabuk hanya manggut-manggut saja dan memeluk Tiffany erat-erat. Seperti biasa Zach pun menghabiskan malam dengan Tiffany. Mereka melampiaskan hasrat lalu terkapar hingga pagi menjelang.

Pagi harinya terjadi sesuatu yang tak akan pernah dilupakan Tiffany seumur hidupnya. Maxwell datang ke apartemen Tiffany dan menampar wanita itu.

“Jangan pernah ganggu anakku lagi, atau kau akan tahu akibatnya!” ancam Maxwell. Tiffany segera menutup dada dengan selimut sekenanya. Wanita itu belum memakai pakaian setelah semalam asik meraih puncak surga dunia bersama Zach.

“Bangun kau anak nakal!” teriak Maxwell sambil menyiram wajah Zach yang masih terlelap.

“Pa-papa?!” Zach yang tertangkap basah tampak ketakutan.

Tiffany menjerit keras melihat Maxwell menyeret tubuh Zach keluar dari apartemen itu.

“Sialan!” Tiffany menjambak rambutnya, lalu menangis merasa dipermalukan.

“Aku tidak akan melepaskan Zach! Kalian akan menyesel telah mempermalukan aku seperti ini!” desisnya sambil mengusap air matanya yang jatuh.

Tiffany membenci seluruh keluarga Zach. Maxwelll dan Intan. Gadis itu bertekad akan membuat perhitungan suatu hari nanti. “Aku akan mengingat hari ini, aku akan membalasnya!”

Tiffany sudah menemukan pria yang selama ini ia mau. Pria muda, tajir, tampan, punya masa depan cerah. Semua paket lengkap pria idaman ada dalam diri kekasihnya itu. Untuk merebut hati Zach dia bahkan rela mengumpankan tubuhnya. Dan rencananya itu telah berhasil.

Zach semakin hari semakin candu padanya. Tinggal selangkah lagi dia bersabar untuk menjadi istri Zachary. Tapi kini semua impian yang sudah di depan mata itu gagal karena rencana perjodohan gila orang tua Zach.

Di rumah Zach, Intan tak kuasa menahan air matanya melihat kelakuan melihat kelakuan Zach.

“Mama sudah memohon, Zach. Tapi kamu selalu mengulanginya lagi dan lagi. Mama sangat kecewa sama kamu,” ratap Intan sendu. Kali ini Zach tidak bisa berkutik lagi.

Pria itu berlutut. ”Ampun, Ma. Zach salah, maafin Zach, Ma.” Zach meraih tangan mamanya, tapi Intan segera menepis pegangan tangan Zach. Hati Zach mencelos.

“Kamu sudah sangat melukai hati Mama,” desis Intan sambil meneruskan ucapannya,”Mama tidak pernah mengajarkan kamu jadi liar seperti ini, Zachary.” Jika Intan sudah memanggil nama panjangnya, itu artinya mamanya benar-benar murka.

“Ampun, Ma. Maafin Zach. Zach mau melakukan apa saja untuk menebus kesalahan ini.”

“Jangan pernah bicara lagi dengan Mama! Dengar Zachary, Mama tidak akan memaafkanmu kecuali kau mau menikah dengan Julia.”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!