NovelToon NovelToon

Pernikahan Kontrak

PROLOG

Pak Doyok selalu guru kesiswaan hanya mampu menghela nafas saat gadis sengak di depan nya sibuk menghitung cicak dengan jari yang berada di lubang hidung. Tiga puluh menit lebih wali kelas nya memberikan teguran, namun gadis itu nampak biasa saja membuat Pak Doyok menggebrak meja dengan keras.

"Auvarata, dengarkan wali mu berbicara!"

"Auvaretta," ralatnya tanpa melirik sedikit pun lawan bicara nya.

"Kamu..." Bu Enzel kehabisan kata-kata, beliau memijit pangkal hidungnya yang terasa pening kemudian memusatkan pandangan nya pada buku bersampul merah dari osis.

"Terlibat aksi tawuran dan menggunakan fasilitas sekolah untuk mengunduh video dewasa?"

Varetta berdecak. "Saya sekolah juga bayar, fasilitas itu ibarat saya sewa. Bebas dong, mau di buat apa?"

"Tapi tidak digunakan untuk hal seperti itu, Retta. Perilaku kamu sudah melanggar peraturan dan kamu patut di hukum, beberapa kali Pak Doyok sudah menegur kamu tapi apa hasil nya?"

"Peraturan ada untuk di langgar, udah gitu aja repot. Tinggal ngasih saya hukuman apa susahnya, sih?"

"Varata!" bentak Doyok membuat Varetta menggelengkan kepala.

"Retta aja, lah, Pak. Capek saya, punya nama bagus malah diganti-ganti mulu kek tukang cilok."

Bu Enzel menutup buku pelanggaran dengan pasrah. "Kamu saya pulangkan selama satu minggu!"

Kedua sudut bibir Varetta tertarik hingga membentuk lengkungan manis, ini adalah hukuman yang ia tunggu-tunggu sejak tadi. Usaha nya untuk membuat emosi wali kelas nya membuahkan hasil, ia muak berada di sekolah ini dan ingin sesegera mungkin lulus.

Sekolah ini terlalu banyak peraturan dan Varetta benci itu. Melanggar beberapa peraturan hingga terlibat aksi tawuran ia lakukan demi di keluarkan dari sekolah, namun karena kuasa uang Mama nya lagi-lagi semua usaha nya gagal.

"Sebelumnya maaf jika saya kurang sopan, Bu Enzel. Saya selaku guru kesiswaan sepertinya kurang setuju jika hukuman Varetta skorsing selama seminggu," ujar Doyok membuat senyum di bibir Varetta mendadak hilang.

"Maksudnya?"

Doyok tersenyum mengejek. "Saya pikir ibu sudah paham maksud saya."

"Loh, ya nggak bisa gitu dong, Pak!" Varetta berdiri dari duduk nya membuat Doyok semakin melebarkan senyumnya.

"Seharusnya kamu berterimakasih kepada saya karena kamu tidak di skors dari pihak sekolah," ujarnya menyindir.

Varetta mengepalkan tangannya kesal, ia menghela nafas kasar kemudian duduk di tempat nya seperti semula. "Sa–ya menerima hukuman dengan lapang dada karena saya bertanggung jawab atas pelanggaran yang saya lakukan, bukan karena saya senang di hukum."

"Saya tidak berkata jika kamu menyukai hukuman."

Varetta tertohok, ia memejamkan mata untuk meredakan emosi yang hendak meledak. "Sialan!" maki nya membatin.

"Lalu hukuman apa yang cocok untuk Varetta, Pak?"

Doyok menoleh kemudian mengangguk sekali. "Panggilan orang tua, saya ingin orang tua kamu menemui saya sekarang juga!"

"Saya menolak!" potong Varetta cepat.

"Saya tidak menerima alasan apapun dari kamu."

"Mama saya sibuk–"

Brak!

Suara Varetta terhenti saat pintu ruang kesiswaan di buka keras dari arah luar. Terlihat wanita berumur 45 tahunan datang bersama kepala sekolah membuat raut wajah Varetta semakin datar dan tak berekspresi.

Bu Enzel yang baru sadar dari keterkejutan pun mengerjapkan kedua mata nya. "Maaf, bapak mencari siapa, ya?"

Tanpa mengindahkan pertanyaan dari guru bahasa, pria dengan status kepala sekolah itu masuk dan mendekat ke arah Varetta.

"Mama kamu sudah izin ke saya kalau ada acara keluarga, kamu boleh pulang," ujarnya ramah.

Varetta berdecih, tanpa banyak bicara ia berdiri dan menyampirkan tas nya di sebelah pundak dan pergi. Tanpa bertanya pun ia tau apa yang dilakukan Mama nya agar membuat kepala sekolah bisa memberikan izin semudah itu, apa lagi jika bukan karena uang?

"Perusahaan Mama hampir bangkrut, ngapain ngeluarin banyak uang cuma buat bikin Retta bolos?" ujar Varetta.

"Jangan banyak bicara dan ikuti Mama, jaga image kamu apalagi sampai berulah!"

"Kita mau kemana?" tanya Varetta curiga.

Zalia tak menjawab, ia masuk ke dalam mobil di ikuti Varetta. Gadis berumur 18 tahun itu terkejut saat Mama nya melempar sebuah paper bag berisi sebuah mini dress berwarna hitam.

"Untuk apa?" tanya Varetta memincingkan mata nya.

Mobil mulai berjalan menjauhi gerbang sekolah, Zalia melepas kacamata kemudian menatap jam pada pergelangan tangan nya.

"Biaya hidup membesarkan mu sampai saat ini membutuhkan uang yang tidak sedikit, kamu tau itu?"

Varetta diam, raut wajah nya datar dan menyorot lurus ke depan. Semua nya berubah sejak kematian Papa nya delapan tahun yang lalu dan Varetta benci itu.

Pukul 10 malam, mobil yang ditumpangi Zalia dan Varetta berhenti di depan salah satu resto mahal berlantai 5 yang ada di ujung kota. Kedua nya turun, Zalia menatap tajam Varetta yang kini bergerak tak nyaman akibat mini dress yang ia gunakan sungguh terbuka.

"Jangan tarik dress itu atau Mama akan membuang mu ke rumah nenek!" ancam Zalia ketika melihat Varetta menarik dress nya ke bawah untuk menutupi paha nya.

"Lagian ngapain pakai baju ginian, sih? Cuma makan sama temen bisnis Mama, kan?" desis Varetta.

Zalia tak menjawab, ia menarik tangan anak nya masuk. Wanita dengan dress warna senada dengan Varetta berjalan angkuh menuju lift VIP untuk sampai ke privat room.

Lift terbuka hingga menampakan satu keluarga yang kini duduk menatap kedua nya, Zalia menampilkan senyum andalannya sebelum menarik Varetta mendekat.

"Apapun yang di katakan lelaki itu, kamu harus lakukan. Paham?" bentaknya berbisik.

Varetta tidak berkomentar, ia mengikuti langkah Mama nya kemudian duduk di kursi yang masih kosong tanpa melepas tangan yang ada di dada. Sungguh rasanya ia tak nyaman karena tatapan dari pria yang ada di depan nya.

"Maaf menunggu lama, dia putriku, Varetta." Zalia memperkenalkan anak nya dengan senyuman.

Pria tua di depan Zalia pun menatap Varetta mulai dari atas hingga bawah, beberapa saat kemudian ia mengangguk. "Saya ambil dia dan besok sudah saya pastikan jika perusahaan mu kembali seperti semula."

Varetta mengernyitkan dahi, ditambah lagi melihat wajah Mama nya yang berbunga-bunga. Ia pun berdeham kemudian tersenyum paksa. "Maaf, maksudnya bagaimana ya?"

Pria tua di depan Zalia tersenyum remeh, ia mengeluarkan map tipis yang ada di balik jas dan memberikan nya kepada Varetta.

"Silahkan," ujarnya santai.

Meski ragu Varetta tetap menerima nya, ia membaca dari atas hingga bawah. Rahang nya mengeras, tangan lentik nya mencengkram map tipis berisi persetujuan kontak yang mengatakan bahwasanya ia adalah jaminan jalur kekeluargaan.

"G-gue, di jual?" lirih nya tanpa suara, namun hal itu masih dapat di lihat dengan jelas oleh lelaki di depannya.

Varetta membanting map tipis dari Deka dengan kasar, ia ingin marah, namun keadaan disini sangat tidak memungkinkan. Zalia menyenggol keras kaki nya dari bawah membuat Varetta mengambil nafas dalam.

"Tidak ada jalur lain untuk menebus kerugian yang di alami Mama saya?" tanya nya datar.

Deka menggelengkan kepala nya. "Tidak ada, masih lebih baik jika saya mengusulkan untuk menjual tubuhmu dengan cara menikah."

"Meski hanya satu tahun," tambah nya.

Melihat Varetta hendak kembali berkata, Zalia terkekeh panik sambil mencubit keras paha anak nya. "Ahahaha-ha, maafkan anak saya Pak Deka. Varetta pasti terlalu senang karena bisa menikah dengan anak anda."

"Senang?" Varetta mengepalkan kedua tangannya di bawah meja, ia menatap tajam lelaki yang sedari tadi menatapnya dalam diam dan tanpa ekspresi.

"Baik, berarti pernikahan kontrak ini di setujui?"

Zalia mengangguk membenarkan pertanyaan istri Deka. "Benar, Bu Cia. Saya harap kerja sama nya."

Cia mengangguk dan tersenyum hangat pada Varetta yang tak diindahkan gadis itu. Pikiran nya berkecamuk disaat yang lain mulai menyantap hidangan di atas meja. Pernikahan kontak? Di jual? Seharusnya ia curiga saat Mama nya mampu mengendarai mobil mahal keluaran terbaru.

SEBUAH NEGOISASI?

Varetta menatap gedung pencakar langit di depannya dengan ragu. Semalaman ia tidak bisa tidur karena memikirkan masalah pernikahan kontrak yang dibicarakan saat makan malam, semalaman juga ia berkutat di depan laptop hanya karena mencari nama lengkap sekaligus nama perusahaan calon suaminya nanti, dan disini lah Varetta berada, di depan perusahaan megah yang terlihat mencekam dimatanya.

"Serem amat, ya Tuhan!" Varetta tersenyum kecut, beberapa saat kemudian ia menarik nafas panjang dan berdecak. "Segala pakai lupa nama nya lagi, nyusahin banget."

Lima menit lama nya ia mengotak-atik ponsel namun tidak menemukan data yang ia cari, padahal sebelum berangkat kemari ia masih menyempatkan untuk mengecek bawaannya terlebih dahulu.

"Kok nggak ada sih? yakin nih gue pasti itu orang pakai jasa jin biar privasinya aman."

"Bodoamat, lah. Urusan malu karena di usir bisa pikir belakangan," tambahnya mantap.

Langkah Varetta yang terlihat kaku mulai berhenti di depan meja resepsionis, tangannya sedikit gemetaran membuatnya berdecak, padahal menghadapi musuh saat tawuran tak membuat tubuhnya gemetar seperti sekarang.

"A-anu, permisi mbak."

Wanita dengan nama dada Farida itu memindai penampilan Varetta dari atas sampai bawah sebelum mengangguk. "Iya, ada yang bisa saya bantu?"

"I-itu, aanu.. bisa ketemu dengan bapak Malio? Ada?" tanya Varetta ragu pada akhir kalimat.

"Malio?"

"Eh?" Varetta tersentak. "Galio maksud saya, maaf typo lidah."

"Pak Galio tukang kebun?"

"Kok tukang kebun?" heran Varetta.

Farida ikut heran. "Mohon maaf, kakak nya nyari siapa ya? Disini yang nama nya Galio hanya tukang kebun yang usia nya 58 tahun," jelas Farida dengan mata memincing.

"Lah kok ngamok?"

Farida menghela nafas sabar, ia hendak menjawab Varetta namun suara dering telepon membuat nya mengurungkan niat.

Tanpa banyak bicara, Farida mengangkat gagang telepon dan menempelkannya sebatas telinga. Nafas nya tercekat, beberapa detik kemudian ia menoleh ke atas dan mengusap wajah pucat saat menyadari sesuatu.

"Baik Pak, maaf atas tindakan saya yang kurang sopan."

"Iya, Pak. Baik!"

Kedua mata Varetta memincing curiga saat Farida memberikannya sebuah kartu hitam dengan warna emas pada setiap hurufnya setelah menerima telepon.

"Apa nih?" tanya nya julid.

"Ini kartu tamu untuk menemui Pak Eldio di lantai 30, maaf atas tindakan saya yang kurang sopan dan membuat nyonya menunggu lama," ujar Farida lembut, nada bicara nya pun berubah sopan di sertai sebuah senyuman yang lebar.

Tanpa mendengar celotehan Farida, Varetta menjentikkan jari senang. "Nah, Eldio Agradipta. Eh, kok tau kalau saya mau ketemu Pak Galio?"

"Pak Eldio," ralat Farida tersenyum kecut.

"Iya itu pokok nya, typo lidah dikit elah. Btw makasih mbak, semangat kerja nya!"

Tanpa melirik Farida yang tersenyum masam, Varetta melangkah kan kaki menuju lift dan menekan angka 30 dengan pelan, raut wajah tengil yang barusan ia tampilkan langsung berubah datar 180°.

Pintu lift terbuka, wajah Varetta kembali berubah tengil sambil berjalan tenang menyusuri lantai 30 tanpa menghiraukan tatapan aneh dari beberapa pegawai yang ada luar ruangan, dengan sengaja ia menjulurkan lidah ke arah mereka sambil memamerkan kartu yang ia punya.

"Gue punya ini wleee, kalian nggak punya kan?"

"Tamu aneh mana lagi yang diterima Farida pagi ini?" komentar salah satu pegawai dengan berbisik, Varetta justru terkekeh kecil sambil melengos pergi.

"Susah amat nyari nya, udah kek nyari dukun beranak aja," gumam Varetta sedikit jengkel, kedua netra nya tak sengaja menatap pada ruang terakhir yang terlihat mencolok dari ruangan lain. Sebuah ruangan yang terlihat kedap suara dan kokoh, ia mengamati pintu di depannya sambil meringis, ia yakin jika benda itu tidak akan terbuka dengan memencet bel saja.

Varetta berdecak. "Gini, nih, kalau kecilnya suka nyemilin micin. Otak nya ketinggalan di bungkus sachet."

"Untuk apa kamu kemari?"

Tubuh Varetta mematung, dengan gerakan lambat ia membalikan badan dan tertegun melihat pria tampan yang kini menatap nya dingin, setelan jas berwarna hitam tak lupa dasi nya membuat kesan yang sangat berbeda dari yang Varetta lihat tadi malam. Lelaki itu seperti dua orang yang berbeda.

Tanpa menunggu Varetta bicara, pria itu mengambil kartu hitam di tangan Varetta dan memasukkan nya pada tempat yang di sediakan. Pintu terbuka, Varetta yang masih terbengong pun kembali sadar saat Eldio melewati nya begitu saja.

"Saya mau bicara sama bapak!" pekik Varetta kesal, emosi nya kembali mengebu melihat wajah lempeng Eldio.

"Pak!!" teriak Varetta geram.

Eldio menghela nafas berat. "Saya bukan bapak kamu."

Kedua mata Varetta memincing. "Kok bapak beda sama yang kemarin?" tanya nya heran.

"Beda?"

Varetta mengangguk, lelaki yang duduk di depannya saat makan malam tidak terlihat seperti lelaki yang sekarang. Bahkan tadi malam, sempat-sempatnya Varetta merencanakan ide gila untuk mempermalukan Eldio.

Menggelengkan kepala sadar, Varetta kembali ke topik utama. "Saya gak suka basa-basi, tujuan saya kesini cuma mau nanya sama bapak tentang perjanjian ini, apa bapak setuju?" tanya nya membuat Eldio menaikan alis bingung.

"Terpaksa," jawab Eldio pada akhirnya.

"Bingooo." Varetta tersenyum sumringah sambil menjentikkan jari. "Saya disini ingin memberikan penawaran menarik."

"Maksud kamu?"

"Bagaimana jika saya ingin membatalkan pernikahan kontrak kita?"

"Sebagai gantinya, saya rela menjadi orang suruhan bapak seumur hidup," tambah Varetta cepat saat melihat Eldio yang nampak tidak terima.

"Gak ada untungnya punya orang suruhan seperti kamu, tubuh hanya tinggal tulang dengan kulit memangnya bisa bertarung?"

"Bisa sih, kalau di ranjang."

"Maksud saya, bisa kalau kerja bersihin ranjang bapak, ngepel, nyapu, ngasih makan ikan, nakutin kucing garong juga bisa," ralat Varetta cepat setelah melihat pelototan tajam dari Eldio. "Serem amad," batinnya meringis.

Eldio hanya bisa tertawa remeh, ia membanting sebuah map di atas meja dengan kedua alis tertaut tajam. Tangannya bergerak melepas jas yang ia pakai dan menggulung lengan kemeja nya karena merasa gerah. Varetta yang melihat itu pun terkikik dalam hati, ia menatap tangan kekar Eldio dengan otak yang nakal.

"Keknya nikah sama ini om-om juga kagak rugi, huahahaha!" batinnya tertawa jahat.

"Emang apa sih tujuannya jual saya ke bapak? Badan saya juga udah mirip cacing Jepang, emang harga nya mahal?" tanya Varetta heran.

"Menikah atau tidak menikahi kamu sebenarnya sama-sama tidak mempengaruhi perusahaan saya, itu yang membuat saya heran dengan pemikiran Mama saya!" ujar Eldio pedas.

"Bisa kamu lihat jika perusahaan saya ikut terkena imbas dari perusahaan Mama kamu. Perjanjian di atas kertas yang dibuat tetap merugikan perusahaan saya. Satu cabang utama di luar negeri harus rela saya tarik demi menyelamatkan perusahaan Mama kamu," terang Eldio panjang lebar, urat leher nya menonjol guna menahan emosi.

Lamunan indah Varetta buyar, ia menahan nafas kemudian menatap Eldio bingung. "Kalau tau kalian tetap rugi, mengapa harus tetap menggunakan jalur pernikahan kontrak?"

Rahang Eldio mengeras, ia memalingkan wajahnya ke kanan hingga menatap padat nya kota dari atas gedung. Beberapa kali ia mengatur nafas panjang agar emosi nya mereda.

"Saya tidak bisa memberikan alasan itu kepada kamu, yang jelas, saya juga terpaksa."

Hening, Varetta atau pun Eldio sama-sama memilih larut dalam pikiran masing-masing. Varetta pun menghela nafas berat, memberanikan diri untuk menemui Eldio secara langsung nyata nya tak mendapatkan hasil apapun. Ditambah lelaki itu sebenarnya tidak terlibat pada pernikahan kontrak yang di setujui.

"Bagaimana kalau saya kabur?" Eldio menatap tajam Varetta membuat gadis itu nyengir. "Bercanda, Pak."

Eldio mengusap wajah nya frustasi, beberapa saat kemudian ia menatap kalender dengan raut wajah tak terbaca.

"Cukup sampai tunangan saya kembali ke Indonesia? Jika bulan depan ia telah kembali, kontrak kita selesai," ujarnya tiba-tiba membuat Varetta menoleh.

"Apa yang terjadi pada saya setelah itu?"

"Saya akan melepaskan kamu setelah dia kembali ke Indonesia, kandidat kamu sebagai istri sah akan digantikan Ayara."

"Terus saya jadi janda di usia muda, gitu?" Varetta terkekeh sumbang. "Nggak adil!"

"Memang, jika kamu ingat jika uang yang saya keluarkan untuk perusahaan keluarga mu tidak sedikit, adil?"

Varetta mengepalkan kedua tangan nya kuat, bagaimana pun kondisi nya, ini adalah konsekuensi yang harus ia tanggung. Pernikahan kontrak selama satu tahun yang di ubah hanya sampai tunangan Eldio kembali, tetap saja membuat status nya berubah. Namun harusnya ia bersyukur, karena negoisasi ini ia bisa lepas dari Eldio lebih cepat.

"Saya tidak akan menyentuhmu selama masa kontrak berlaku, kamu bisa pegang janji saya."

Suara berat yang terkesan dingin itu menjawab seluruh kegelisahan Varetta. Perlahan wajahnya mendongak, menatap raut wajah datar yang kini juga menatap nya tanpa ekspresi.

"Apa yang bisa menjamin itu semua untuk saya?"

"Saya tidak berminat dengan tubuhmu, saya hanya ingin bekerjasama dengan kamu sampai tunangan saya kembali, itu saja."

"Namun..." Eldio menggantung kalimat nya, ia menatap Varetta tajam sambil bersandar pada kursi kebesarannya. "Saya tetap memberikan mu beberapa peraturan yang harus kamu patuhi, baik itu di rumah maupun di luar rumah."

Varetta diam membuat Eldio menatapnya dengan tatapan yang sulit di artikan.

"Kamu bisa menolak jika keberatan dengan syarat yang saya berikan, namun kamu juga harus ingat jika perusahaan Mama kamu ada pada tangan saya–"

"Saya setuju," potong Varetta mantap membuat sudut bibir Eldio tertarik sinis.

PERATURAN

Detik berganti menit, menit berganti jam, jam berganti hari, tak terasa sudah 2 minggu telah dilewati oleh Varetta.

Terpaan lembut angin pagi di taman kota selalu menjadi pelarian Varetta semenjak seminggu terakhir. Kedua mata nya terpejam erat, merasakan setiap sayatan pada hati yang ia ciptakan dengan halusinasi. Cepat atau lambat, terima atau menolak, pernikahan itu tetap terjadi dan ia akan segera mengubah statusnya.

Janda, Varetta benci jika harus berhadapan dengan kata keramat itu. Umurnya masih menginjak angka 18, namun mengapa masalah seolah sangat senang muncul di dalam kehidupannya.

Jika saja bunuh diri di perbolehkan, tentu Varetta melakukan itu sejak awal.

"Nona, anda harus segera kembali ke mansion untuk bersiap."

Memilih diam, Varetta mengabaikan suara bodyguard yang di beri oleh keluarga Eldio seminggu yang lalu.

Nafas nya terasa sesak, kedua mata nya memanas, sebulir lelehan air hangat mulai jatuh tanpa bisa ia cegah. Hal itu membuat pria berbadan besar di depannya sedikit panik.

"Nona, apakah perlu saya panggilkan tuan Eldio kemari untuk–"

"Tidak perlu, maaf."

Varetta berdiri, mengusap air mata yang meleleh dan membenarkan riasan wajahnya melalui kamera ponsel. Ia rasa telah menangisi prihal ini setiap malam, namun entah mengapa rasanya stok air mata yang ia punya seperti tak terbatas. Ia ingin kuat, ia tidak ingin menangis, namun mengingat kata-kata bahwa ia dijual membuat hatinya terasa sakit dan lelehan hangat itu lagi-lagi tak dapat dicegah untuk kesekian kali.

Kendaraan besi beroda empat itu langsung melaju pelan kembali ke rumah setelah Varetta masuk, seorang supir yang membawa mobil keluaran terbaru itu tersenyum tipis.

"Saya yakin kalau tuan Eldio sudah mempertimbangkan semua nya, Nyonya. Semoga berbahagia."

Varetta hanya mampu tersenyum masam sambil membuang muka ke luar jendela, menatap hamparan laut dan rerumputan tinggi di batas kota.

Ingin rasanya ia berlari sekuat tenaga dan berbaring pada nyaman nya rumput yang mulai bergoyang diterpa angin, namun lagi-lagi Varetta disadarkan oleh kenyataan bahwa kini ia telah berdiri di depan pendeta bersama dengan orang yang ia akan menjadi suami kontraknya. Eldio, lelaki yang akan mengubah hidupnya nanti.

"Sudah siap?"

Varetta melirik pada lelaki dengan tuxedo putih rapi di sebelahnya. Seharusnya hari ini ia menangis bahagia, seharusnya hari ini ia tersenyum tanpa beban, harusnya saat ini ia tertawa karena memiliki kekasih hidup yang tampan. Namun kali ini Tuhan benar-benar menguji nya dengan lelaki kejam berwajah tampan.

Seakan mengerti apa yang dipikirkan Varetta, Eldio menatap gadis itu tajam. "Jangan membuat saya malu, Varetta!" tekan nya berbisik.

Kedua tangan Varetta terkepal, dengan terpaksa ia tersenyum ke arah pendeta yang kini menatapnya. "K-kita siap."

Varetta mengambil nafas, ia meremas gaun indahnya dengan gusar, hati nya tak henti merapal doa.

"Auvaretta Kinar Andhara, aku mengambil engkau menjadi seorang istriku, untuk saling memiliki dan juga menjaga dari sekarang sampai selama-lamanya."

"Eldio Agradipta, a-aku mengambil engkau menjadi seorang s-suamiku, untuk saling memiliki dan menjaga dari sekarang sampai selama-lamanya."

"Pada waktu susah maupun senang, pada waktu kelimpahan maupun kekurangan, dan pada waktu sehat maupun sakit. Untuk selalu saling mengasihi dan menghargai."

"Sampai maut memisahkan ki-ta..." Nafas Varetta tercekat, suaranya mulai melirih hampir tak terdengar.

"...dan inilah janji setiaku yang tulus."

Air mata yang mati-matian Varetta tahan akhirnya luntur, bulir-bulir hangat langsung merembes begitu saja dari kedua mata indahnya. Disisa kekuatan yang ia punya, hatinya seakan teremat kuat mendengar akhir janji yang di ucapkan Eldio.

Beberapa tamu undangan yang hadir bertepuk tangan setelah janji berhasil di ucapkan. Eldio memiringkan badan hingga menatap istri sah nya seluruhnya.

Pandangan Varetta terasa kabur, dunia nya serasa terhenti beberapa detik saat merasakan sebuah benda asing beradu pada bibirnya. Sebulir lelehan air hangat kembali merembes ketika apa yang ia takutkan benar-benar menjadi kenyatan. Gadis itu memberanikan diri membuka mata hingga wajah tampan Eldio berada tepat di depan wajah nya sambil memejamkan mata.

Pasokan udara Varetta terasa menipis, tangannya mencengkram kuat jas Eldio membuat lelaki itu membuka mata dan menegakkan badan nya seperti semula, sebuah kecupan ringan pada dahi menjadi penutup ciuman pertama mereka.

"Lakukan sesuai alur atau saya tidak segan menghancurkan bisnis Mama mu," bisik Eldio tajam sembari menghapus bekas air mata di pipi Varetta.

"Saya akan membunuh anda jika itu benar-benar terjadi," balas Varetta dengan bibir bergetar.

Eldio hanya menaikkan sebelah alisnya remeh. "Coba saja," ujarnya tenang.

Varetta mengepalkan kedua tangan nya, tentu saja ia tidak bisa melakukan hal itu jika Eldio benar-benar menghancurkan perusahaan Mama nya. Orang asing pun tau jika menyelakai Eldio tidak semudah membalikkan tangan, bahkan acara pernikahan tertutup ini saja sudah di hadiri 50 orang lebih berseragam hitam yang berjaga di depan mansion.

Varetta tersentak saat membalikkan badan, ia baru sadar jika tamu undangan yang tadi hadir menyaksikan pembacaan janji suci kini telah menghilang. Mata nya menatap ke semua penjuru ruangan namun nihil, pendeta yang tadi memimpin pemberkatan pun telah menghilang.

"Mereka tau jika tidak ingin mengganggu pengantin baru," ceplos Eldio asal.

Kedua mata Varetta memincing, emosinya berubah begitu saja saat Eldio menampilkan sisi lainnya. "Tidak ada kata pengantin baru untuk anda, saya benci keluarga Radipta!"

"Saya tidak peduli."

Varetta menggeram kesal namun tak urung ia tetap mengikuti langkah Eldio yang pergi meninggalkan ruang utama, tak lupa ia juga mengumpat sepanjang perjalanan.

"Dasar pria tua sialan, bunglon, sok dingin, nyebelin!"

"Saya mendengarnya."

"SAYA TIDAK PEDULI!" teriak Varetta kesal.

Eldio mengabaikan Varetta, lelaki itu masuk ke ruang kerja nya kemudian kembali dengan membawa sebuah map kertas berwarna biru di tangan nya.

"Jangan bilang itu tagihan uang yang harus saya bayar selama hidup disini?" tanya Varetta curiga.

"Itu adalah peraturan-peraturan yang harus kamu patuhi selama tinggal bersama saya." Eldio menyodorkan map itu didepan Varetta.

"Gak usah repot-repot bikin peraturan di rumah ini, Pak. Saya bisa tinggal di rumah Mama saya."

Varetta menghiraukan tatapan tajam Eldio, tangan lentiknya bergerak membuka map tipis tersebut dengan pelan. Semoga saja isi nya tidak–WHAT THE HELL?! tanpa sadar ia memberikan tatapan tajamnya untuk Eldio.

"Lah, ya nggak bisa gini, dong!" sembur Varetta reflek, ia baru saja membaca dua point teratas dan semua nya merugikan diri nya.

"Tidak boleh dekat dengan lelaki lain selama masa kontrak? Tidak boleh berkeliaran tanpa izin pihak pertama? APA-APAAN?!" nafas Varetta memburu, gadis itu membanting map tipis dimeja dengan jengkel.

"Tidak terima?" tanya Eldio enteng.

"YA NGGAK LAH!" pekik Varetta. "Maksudnya apaan coba? Sekarang gini, kalau saya larang bapak kencan sama tunangan bapak, apa mau?"

Eldio menaikkan alisnya aneh. "Jika saya berkencan dengan tunangan saya berarti masa kontrak kita telah selesai, kamu sudah tidak memiliki hak untuk melarang. Benar?"

Varetta hendak menyangkal, namun beberapa detik kemudian ia bergerak mundur karena Eldio mencondongkan badan nya ke depan.

"Mau apa? Mundur!"

"Takut?" Eldio menaikkan sebelah alis remeh membuat Varetta mendengus. "Gak!"

"Saya bisa saja menghapus peraturan itu dengan mudah, tapi dengan satu syarat."

"Syarat apaan? Saya kalau sama bapak bawaannya pengen curiga mulu, beneran." Kedua mata Varetta yang nampak sembab mulai memincing, hal itu membuat Eldio menyunggingkan senyum nakal.

"Bagaimana jika kita mengulangi kegiatan tadi? Bibirmu terasa sangat manis," bisik nya seksi.

"MAU SAYA GEBUK, HAH?!"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!