Suara bel pintu terdengar kencang membuat seorang wanita terburu-buru menuju pintu depan untuk membuka pintu. Wanita itu menyambut security apartemen yang sedang mengantarkan paket dress hitam yang dipesan dari desainer ternama di Jakarta.
Setelah dress hitam pesanannya itu berada di tangannya, dia bergegas memakainya. Dia juga menyelesaikan kegiatan merias wajahnya setelah tadi sempat tertunda. Sambil menyelesaikan dandanannya, dia membuka ponselnya dan membaca beberapa pesan dari kakaknya.
Bola matanya berputar malas saat membaca pesan masuk dari kakaknya. Pesan yang berisi mengingatkan bahwa dia tidak boleh terlambat untuk datang ke acara kencan buta. Dia menghela nafas pelan lalu menutup ponselnya tanpa lanjut membaca sisa pesan atau bahkan membalas pesan dari kakaknya itu.
Dia menatap pantulan dirinya di cermin setelah selesai dia menyelesaikan merias wajahnya. Dia memeriksa kembali penampilannya sebelum benar-benar siap untuk pergi ke acara kencan buta. Bibirnya yang merah menyala membentuk senyum puas.
“Ini benar-benar sesuai dengan apa yang aku mau.” Ucapnya dengan puas.
Dia memperhatikan penampilannya yang memakai dress yang dia pesan seminggu lalu. Dress yang dia minta untuk didesain ulang sesuai keinginannya. Desain yang dimiliki dress ini sebelumnya panjang hingga melewati tumit, dia minta untuk bagian depannya dipotong sampai sebatas paha dan membuatnya terbuka memperlihatkan pahanya yang putih mulus dengan kaki jenjang yang ramping.
Lalu untuk bagian dadanya melengkung membentuk seperti bra dan dibuat lebih rendah lagi sampai memperlihatkan belahan dadanya lebih jelas. Ditambah bagian punggung dress itu dibuat lebih terbuka lebar seluas punggungnya. Intinya dress ini benar-benar menunjukkan lekuk tubuhnya dan memperlihatkan beberapa bagian tubuhnya dengan jelas.
Untuk sentuhan akhir, dia memakai liontin perak berbentuk bintang kecil dengan goresan nama ‘Estella’ pada bagian belakangnya. Wanita yang memiliki nama lengkap Sabrina Estella Davinian, yang akrab disapa Brina oleh orang-orang terdekatnya ini, memakai blazzer sebelum akhirnya siap untuk pergi kencan buta.
“Aku harap ini akan berhasil membuat pria itu ‘ilfeel’.” Ucap Brina yang terus memperhatikan dirinya sendiri lewat cermin. Dia benar-benar puas dengan penampilannya. “Aku harus berhasil membuat pria itu tidak menyukaiku dan menghancurkan kencan buta nanti.”
Setelah benar-benar puas dan yakin akan penampilannya, Brina lalu meninggalkan apartemennya untuk pergi menuju hotel tempat dimana kencan buta yang diatur kakaknya.
Kebetulan juga hotel tersebut menjadi tempat dimana pesta perayaan ulang tahunnya diadakan. Semoga malam ini akan menjadi malam yang spesial untuknya. Brina tidak boleh gagal untuk menghancurkan kencan buta nanti dan itu akan menjadi hadiah terbaik di hari ulang tahunnya.
***
Pelayan hotel menyambutnya dengan ramah saat Brina tiba. Semua mata memandangnya takjub dan terpesona saat Brina berjalan dengan anggunnya menuju restoran. Sosok Brina memang begitu mempesona. Wajahnya yang cantik dengan tulang hidung yang tinggi, dan tulang pipi yang tinggi dan sedikit berisi. Bibirnya yang sedikit tebal bagian bawahnya dengan suara yang lembut bagi siapa pun yang mendengarnya.
Tubuhnya tinggi semampai dengan kaki jenjangnya yang indah, membuat Brian terlihat seperti model. Siapapun yang melihatnya pasti akan mengira bahwa dia seorang model. Padahal tinggi badan Brina tidak masuk kriteria minimal untuk menjadi model. Namun tubuhnya memang benar-benar menakjubkan dengan beberapa tonjolan yang pas di beberapa tempat yang tepat juga, membuat pria manapun sulit melepaskan pandangan darinya.
Brina melenggang anggun, tak memedulikan tatapan beberapa pria yang menatapnya takjub. Itu sudah menjadi hal yang biasa bagi Brina. Yah, dia mengakui sendiri bahwa dirinya memang wanita yang mempesona.
Sesampainya di restoran, pelayan restoran segera menyambut kedatangannya dan segera mengarahkannya menuju meja yang sudah di pesan.
Meja terlihat kosong saat Brina sampai. Dia memeriksa waktu pada arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Janji temu yang sudah dijadwalkan kakaknya jam tujuh malam. Dia tiba tujuh menit lebih awal dari waktu janjian.
Brina melepas blazernya dan membuat punggungnya yang terbuka terpangpang jelas. Rambutnya yang bergelombang sengaja dia biarkan tergerai untuk menutupi sebagian punggung yang menjadi tontonan orang-orang. Dia lalu mengeluarkan ponselnya untuk dimainkan sambil dia menunggu pasangan kencan butanya datang.
Waktu berlalu terasa lambat. Brina merasa dia sudah menunggu terlalu lama untuk pasangan kencan butanya ini. Sudah lebih dari lima belas menit dari waktu yang dijanjikan namun pria itu belum muncul juga. Dia mulai menggerutu kesal dalam hatinya, memaki Salsa karena membuat dia harus melakukan kencan buta konyol yang sama sekali tidak diinginkan Brina.
Brina bisa saja menolak kencan buta yang diatur Salsa, tapi kakaknya itu selalu punya cara untuk mengancamnya dan membuat Brina terpaksa melakukan kencan buta.
Waktu masih berlalu dan pria itu masih belum datang juga. Pelayan restoran bahkan sudah dua kali menanyakan pesanannya dan dua kali juga Brina harus menjawabnya dengan jawaban yang sama bahwa dia masih menunggu pasangan kencannya.
Brina menutup ponselnya dengan kesal. “Ini sudah lebih dari dua puluh menit dan dia belum datang juga! Seharusnya aku santai saja tadi!” Brina berdecak kesal dan menghabiskan air minumnya sampai habis. “Salsa! Ini untuk terakhir kalinya kamu mengatur perjodohan bodoh ini! Buang-buang waktuku saja!” Merasa kesal, akhirnya Brina beranjak dari kursinya, berniat untuk pergi, namun saat berbalik, dia berpapasan dengan seorang pria.
“Apa kamu Brina?” seru pria itu sambil meneliti penampilan Brina yang terbuka.
Mata Brina seketika berbinar. Dirinya bahkan tertegun dan terperangah oleh paras pria di hadapannya ini. Dia sangat tampan dan mempesona. Alisnya tebal dan rapi. Hidung mancung dengan tulang pipi yang tinggi. Garis rahangnya tajam membuat pria ini seperti memiliki figur wajah dewa-dewa Yunani yang dikenal tampan. Bibirnya tebal dengan sedikit jenggot tipis di sekitar dagunya. Pria ini begitu tinggi. Meski Brina sudah memakai sepatu heels, tingginya hanya sebatas dada pria ini saja.
Yang membuat Brina semakin terpesona adalah tatapan matanya yang tajam dan teduh. Brina seolah terhipnotis dan tenggelam oleh iris matanya yang coklat gelap. Namun di saat yang bersamaan, dia merasakan aura dingin dan tatapan yang sedikit mengintimidasi dari pria ini.
Kenapa Salsa tidak mengatakan apa pun mengenai pasangan kencannya? Pria ini benar-benar tampan.
Brina mengerjapkan matanya dengan cepat. Berusaha membawa kesadarannya kembali. “Ehm.. iya. Saya Brina.”
“Maaf saya terlambat.” Ucap pria itu sambil melirik arloji di tangannya.
Pandangan Brina teralihkan dan ikut memperhatikan tangan pria itu. Kemejanya tergulung rapi hingga siku dan Brina dapat melihat dengan jelas otot-otot dan urat lengan pria itu yang menonjol kuat. Itu terlihat seksi. Pria ini jelas-jelas mempesona dan ‘panas’.
Brina menarik napas kuat dan kembali duduk di kursinya. Dia mengerjap-ngerjapkan kelopak matanya cepat, kembali menyadarkan dirinya. Dia tidak boleh terlalu terlena akan penampilan pria ini.
“Silakan duduk.” Ucap Brina.
Pria itu melangkah untuk mengambil tempat duduk di seberang meja di hadapan Brina. Tatapan pria itu tidak lepas dari Brina. “Saya baru saja kembali dari perjalanan bisnis. Ada beberapa kendala yang membuat saya datang terlambat. Saya minta maaf.”
Sialan. Pria ini terlalu mempesona. Dia bahkan meminta maaf padanya. Kalau begini jadinya, dia akan kesulitan melakukan rencananya. Pesona pria ini terlalu kuat. Dia takut akan menghancurkan rencananya.
“Begitu ya.” Ucap Brina pura-pura tak acuh.
Brina menegakkan posisinya seraya menghirup napas dalam-dalam. Dia mengeluarkan permen karet dari tasnya dan memakannya perlahan. Dia mencoba memfokuskan diri untuk menjalankan rencananya. Dia harus membuat pria dihadapannya ini membencinya agak kencan buta ini berakhir cepat dan perjodohan tidak akan diteruskan.
Rencananya Brina akan bertingkah seperti wanita nakal. Meski itu semua tidak benar, setidaknya dia bisa membuat imejnya jelek di depan pria ini dan semoga saja imejnya tersebar buruk sehingga tidak akan ada lagi kencan buta untuknya lain kali.
Brina memulai aktingnya. Dia menarik bibirnya yang merah menyala hingga menampilkan senyum lebar yang menggoda. Kelopak matanya yang berat karena bulu mata palsunya yang tebal, menatap sayu pria di hadapannya. Dia benar-benar sengaja memakai make up yang tebal dan menor untuk membuat pasangan kencannya tidak menyukainya.
“Aku sudah lama menunggu mu. Kamu tahu, aku orang yang tidak sabaran.” Brina mencondongkan tubuhnya sedikit hingga belahan dadanya benar-benar terlihat oleh pria itu.
Dia memperhatikan raut wajah pria ini yang terlihat sedikit canggung meskipun pria ini tetap berhasil mempertahankan wajah datarnya. Brina tersenyum dalam diam. Dia berhasil membuat pria ini tidak nyaman karenanya.
“Saya sudah mengatakan alasannya tadi.” Sahut pria itu. Pria itu tetap bersikap tenang.
Brina mendengus kencang. “Padahal aku sangat mengharapkan kehadiranmu tapi sepertinya hanya aku yang tertarik dengan kencan buta ini.” Brina berlagak cemberut sambil memainkan rambutnya dan sesekali dia memainkan permen karetnya membentuk gelembung. “Kamu tahu, aku sudah lelah mengikuti banyak kencan buta. Setidaknya aku ingin ini terakhir kalinya dan aku cukup tertarik padamu.”
“Benarkah?” tanya pria itu.
“Kamu tampan. Itu cukup bagiku.”
Brina terus menatap ke depan, memperhatikan raut wajah pria itu. Namun dia sulit mengartikannya. Pria itu terus menampilkan wajah datar bahkan kini dia melihat pria itu menyeringai kecil. Brina merasa heran.
Lalu suara tawa terdengar keras. Brina sengaja tertawa kencang dan hal itu berhasil membuat pria itu kebingungan. “Apa ada yang lucu?" tanya pria itu bingung.
"Kamu itu tampan sekali. Bagaimana bisa orang setampan kamu ikut kencan buta? Seharusnya kamu bisa mendapatkan wanita cantik dengan mudah." Brina lalu berdiri dari duduknya dan mendekati pria itu. Dia berjalan dengan lambat, bertingkah seolah sedang menggodanya. Dia menunduk saat sudah di samping pria itu. "Wanita seperti apa yang kamu cari, Tuan Tampan?"
Bukannya merasa gugup atau bagaimana, pria itu malah mencondongkan tubuhnya ke depan hingga Brina tersentak dan melangkah mundur tanpa sadar. Wajah pria itu begitu dekat, hanya berjarak beberapa senti saja. Dia bahkan sampai menghirup aroma musk yang menguar dari tubuhnya. Brina merasa mabuk oleh aroma kuat pria ini.
Iris coklat pria itu menatap Brina tajam. Matanya menatap lekat-lekat wajah Brina dan berhenti saat menatap bibir Brina. Pria itu menyeringai lalu mendekat lagi, hingga jarak mereka semakin tipis. "Wanita yang kucari ada di sini." Brina mengerut bingung dan merasa malu di saat yang bersamaan. "Aku tahu tujuanmu bertingkah seperti ini."
Brina yang mendengar itu terkejut dan bingung, namun dia berusaha mengendalikan ekspresinya. Tidak mungkin pria ini bisa menebak rencananya. "Tujuan apa maksudmu? Aku hanya memenuhi undangan kencan buta yang diatur seseorang untukku." Brina bergerak ke samping, berbisik lembut pada telinga pria itu. "Aku juga sebenarnya sudah lama tidak merasakan kehangatan seorang pria. Kamu tahu maksudku, bukan?" ucap Brina dengan suara menggoda.
Senyum menyeringai pria itu semakin lebar. Brina tiba-tiba merasa tegang melihat seringaian pria itu. Entah apa yang dipikirkan pria itu.
"Ayo kita habiskan sisa malam ini dengan sesuatu yang panas. Kamu tahu maksudku, bukan?"
***
Brina terperangah mendengar perkataan pria ini. Ada apa dengan situasi ini? Siapa yang menggoda dan siapa yang digoda? Kenapa situasinya jadi berbalik?
Brina berusaha untuk menahan ekspresinya. Dia tidak tahu sikap pria ini akan berubah cepat dan berbalik menyerangnya. Ini bukan rencana seperti yang dia bayangkan. Seharusnya pria ini tidak menyukainya karena Brina bersikap murahan seperti ini.
“Kamu juga tertarik padaku rupanya.” Brina masih menjalankan karakternya dan dengan senyum menggodanya.
Ekspresi pria ini datar meski bibirnya tersenyum menyeringai. Iris coklatnya menjelajahi tubuh Brina yang berbalut gaun seksi. "Siapa yang tidak akan tertarik denganmu? Apalagi dengan penampilan seperti ini." dengan mata yang tajam, pria ini meneliti penampilan Brina. "Kita tunda makan malamnya dan bisa langsung check in hotel. Kamu mau?”
Ajakan pria ini semakin membuat Brina kewalahan. Ini benar-benar menjadi bumerang baginya. Karakter wanita nakal yang dia lakukan saat ini bukan berarti dia benar-benar menggoda pria ini dan ingin mengajak pria ini untuk 'tidur' tapi dia melakukannya hanya agar pria ini tidak menyukainya. Tapi entah kenapa, pria ini seolah tahu bahwa apa yang dilakukan Brina hanyalah sebagai tindakan agar pria ini menolaknya.
"Bagaimana?" tanya pria ini. Kali ini dia menatap Brina dengan tatapan menggoda yang seolah menantangnya.
Brina menarik nafas tertahan lalu tersenyum lebar. "Aku sudah tidak sabar." jawab Brina bohong. Dia harus mengikuti alurnya. Tidak mungkin dia tiba-tiba menolak pria ini padahal dia yang memulai.
Pria ini bergerak menjauh tanpa melepaskan tatapannya dari Brina. "Kalau begitu ayo kita pergi."
Pria itu berjalan mendahului Brina keluar dari restoran. Sementara Brina mau tak mau mengikuti pria itu. Mereka berjalan menuju kamar hotel dengan Brina yang berjalan di belakang. Dia tidak tahu mengapa situasinya menjadi seperti ini. Dia harus cepat-cepat bertindak dan berpikir bagaimana caranya untuk pergi.
Tiba-tiba Brina merasakan gugup. Entah apa yang akan terjadi selanjutnya. Tidak mungkin mereka benar-benar akan menghabiskan malam bersama. Tidak harus terjadi bukan? Dia tidak benar-benar ingin mengajaknya tidur.
Selama di dalam lift pun, Brina hanya diam sambil memperhatikan punggung pria itu. Dia juga terus memikirkan cara untuk pergi namun dia juga tidak boleh membuatnya terlihat seperti ingin kabur.
"Kamu tidak apa-apa?"
"Hah?" Brina tersentak dari lamunannya lalu menatap pria itu heran.
"Kamu berubah pikiran?" Pria itu menatapnya tajam dari luar lift sambil menahan pintu lift, menunggu Brina keluar.
Brina segera tersenyum dan melangkah keluar lift. "Kamu pria tertampan yang pernah aku temui. Aku akan menyesal jika aku berubah pikiran." ucap Brina berusaha tenang sementara pikirannya terus jalan memikirkan rencana untuk kabur. Pria itu hanya diam sambil tersenyum tipis. "Tapi ngomong-ngomong, aku belum mendengar namamu, Tuan Tampan?"
"Panggil saja Evan."
Mereka berjalan beriringan menuju kamar.
"Evan, apa pekerjaanmu?" tanya Brina lagi. Entah kenapa dia menanyakan hal itu. Pertanyaan itu keluar begitu saja. Tidak biasanya dia berbasi-basi seperti ini.
Tiba-tiba Evan berhenti dan membuat Brina juga berhenti. Brina menatap Evan bingung. "Kamu bisa menanyakan itu nanti."
Kemudian Evan melangkah ke depan semakin mendekati Brina hingga Brina hampir terpojok ke arah dinding. Jarak di antara mereka semakin menipis. Jantung Brina semakin berdebar cepat dan gugup. Evan begitu dekat bahkan tatapannya begitu intens menatapnya.
"Kamu bisa menanyakan itu nanti karena kita akan menghabiskan malam yang panjang." ucap Evan dengan senyum miring di sudut bibirnya. Brina yang melihat itu semakin terperangah oleh sikap Evan yang tidak bisa ditebak. "Ayo kita masuk." Evan melenggang pergi dari hadapan Brina dan masuk ke kamar tepat di sebelah Brina berdiri.
Brina menarik nafas dalam dan panjang. Berusaha menenangkan jantungnya yang masih berdegup cepat. Setelah itu, dia mengikuti Evan yang sudah lebih dulu masuk ke kamar. Dia melihat Evan sedang berdiri diam menghadap jendela besar.
Brina melangkah pelan sambil tatapannya menelusuri kamar hotel yang cukup mewah ini. Tatapannya menangkap sebuah koper besar di sudut ruangan. Ada laptop yang terbuka dan beberapa berkas beserta map yang berserakan di atas meja.
"Kamu menginap di kamar ini?" tanya Brina penasaran.
Evan berbalik dan menatap Brina. Tatapannya terhadap Brina begitu intens dan tajam. "Buka bajumu." titah Evan.
Brina yang mendengar itu seketika melotot dan menatap tajam Evan. "A-apa maksudmu?"
"Buka bajumu. Bukankah kita akan bercinta seperti yang kamu mau?" Evan membuka beberapa kancing kemejanya lalu melangkah cepat mendekati Brina hingga jarak mereka hanya beberapa senti saja. "Atau kamu kesini hanya mencoba untuk mempermainkanku agar perjodohan ini dibatalkan, begitu Brina?"
Brina mengatur nafasnya. Evan tahu betul bahwa Brina bersikap seperti wanita murahan hanya untuk mempermainkan saja demi menghancurkan perjodohan.
Evan tersenyum angkuh. "Orang tua kita mengatur perjodohan ini, Brina. Tentu saja aku harus tahu siapa yang akan dijodohkan denganku. Lalu setelah bertemu denganmu..." Evan memberi jeda sesaat. Tatapan matanya tetap tak lepas dari Brina. "Kamu tidak seburuk yang aku pikirkan. Orang-orang bilang kalau kamu wanita murahan. Well... aku tahu kalau itu cuma akal-akalan kamu saja."
"Smart man." Brina melipat tangannya di dada dan merubah sikapnya. "Karena kamu sudah menyadarinya, maka semua kencan buta ini batal. Perjodohan juga batal. Kita sama-sama menginginkannya, bukan?" Brina melempar senyum angkuh dan balas menatap tajam pada Evan.
Bukannya menjawab, senyum Evan malah semakin lebar dengan angkuhnya. Evan bahkan malah mendekati Brina hingga membuat wanita itu jatuh terlentang di atas sofa. Brina memekik terkejut dan tak berdaya saat tubuh Evan menindihnya.
Masih dengan senyum angkuhnya, Evan berkata dengan nada datar, "Siapa bilang aku mau perjodohan ini batal? Kamu calon istriku, Brina."
***
Iris coklat Evan menatap Brina yang berada di bawahnya dengan intens. Dia meneliti figur wajah Brina yang cantik dan manis. Dibalik kelopak mata ganda dengan bulu mata palsu yang terlihat berat itu, dia melihat mata hitam pekat yang berkilau. Hidungnya tipis dan tinggi dengan pipi merah merona yang sedikit berisi. Bibirnya yang sedikit tebal, tertutup dengan merahnya lipstik.
Brina wanita yang cantik dan Evan akui itu. Bahkan ketika ayahnya memperlihatkan foto Brina, Evan sudah terpesona akan kecantikan Brina. Lalu ketika dia bertemu dengan Brina langsung, dia malah semakin terpesona dan hanyut oleh kecantikan Brina. Apalagi dengan proporsi tubuh dewasa Brina yang mampu menggoda pria mana pun.
Evan hampir kehilangan kendali saat tadi pertama kali melihat Brina. Wanita itu benar-benar cantik dengan gaun hitam terbuka yang menampilkan bagian-bagian tubuhnya yang membuat semua pria menatap ke arahnya.
Nama Brina sudah sering disebut-sebut oleh pria-pria yang sebagian dari mereka adalah pengusaha dan beberapa orang dari mereka adalah rekan bisnis Evan. Para pria itu sebagian pernah dijodohkan dengan Brina. Reputasi Brina sebagai wanita nakal dan tak sopan, tak selayaknya seperti wanita kaya yang anggun, sudah terkenal di antara para pengusaha.
Para pria memang menyukai wanita nakal, tapi tingkah Brina membuat para pria itu tak bisa menanganinya. Evan sudah banyak mendengar dan dia selalu dibuat penasaran oleh sosok Brina. Sampai akhirnya ayahnya menghubunginya bahwa dia akan dijodohkan oleh putri dari rekan kerja ayahnya. Yang tidak lain adalah Sabrina Davinian, putri dari Sandi Davinian, CEO dari Saina Corp.
Takdir seolah mendengar keinginan Evan. Setelah mendapat kabar itu, Evan dengan segera menyelesaikan urusannya dan pulang dengan cepat ke Indonesia. Dia benar-benar ingin bertemu dengan Brina dan rasa penasarannya begitu besar terhadap sosok Brina.
Benar saja. Sesaat setelah bertemu Brina di restoran, Brina mulai mengubah karakternya dan mulai bertingkah nakal. Siasat Brina sudah terbaca oleh Evan. Dia hanya perlu masuk dan menimpali permainan Brina. Hal itu berhasil membuat Brina kebingungan karenanya. Karena Brina tidak pernah menyangka bahwa akan ada seorang pria yang menerima godaan dan ajakannya.
Kini siapa yang kewalahan? Evan tersenyum lebar dengan penuh kemenangan. Sosok Brina kini ada di depannya, berada dalam kungkungannya tak berdaya.
"Calon istri apa maksudmu?!" Brina dengan kesal memberontak di bawah Evan, berusaha melepaskan diri. Namun kedua tangan Evan menahan kuat kedua tangan Brina. Mustahil bagi Brina untuk bisa lepas dengan mudah.
Evan menarik kedua sudut bibirnya membentuk senyum lebar. Dia merasa puas melihat Brina yang berada di bawahnya tak bisa melawannya. "Kamu menggodaku dan aku hanya menerimanya. Itu artinya perjodohan ini tetap berjalan. Kamu calon istriku, Brina."
"Dasar pria licik! Sialan, Evan! Lepaskan aku sekarang juga! Aku tidak mau menikah denganmu!" Brina menatap tajam Evan yang sedari tadi menampilkan senyum licik di wajahnya. Hal itu semakin membuat Brina semakin emosi melihatnya.
"Baiklah. A-aku minta maaf jika aku sudah menyinggung perasaanmu. Aku tidak bermaksud mempermainkanmu, Evan." Brina berhenti bergerak dan mulai menatap Evan dengan tatapan penuh memohon. "Aku hanya ingin perjodohan ini batal. Aku tidak mau menikah, denganmu atau dengan siapapun. Aku... aku tidak suka orang tuaku ikut campur dalam masalah percintaanku." Brina menatap Evan diam, menunggu reaksi Evan. Merasa tak akan dapat respon, Brina meneruskan. "A-aku harap kamu bisa mengerti, Evan. Tidak ada yang suka dipaksa untuk menikah, bukan?"
"Awalnya begitu. Tapi setelah melihatmu, aku berpikir tidak buruk juga jika akhirnya kita berdua menikah." jawab Evan dengan nada menggoda dan Brina yang mendengar itu kembali emosi.
Kening Brina mengerut semakin dalam. Wajahnya memerah karena emosi dan kesal terhadap Evan. "Kamu benar-benar, Evan! Lepaskan aku sekarang juga! Evan!" teriak Brina.
Evan tergelak mendengar teriakan Brina. Dia benar-benar menikmati menggoda Brina. Reaksi Brina sungguh diluar dugaannya. "Aku suka teriakanmu memanggil namaku." Evan menurunkan wajahnya membuat jarak mereka dekat hingga hidung mereka saling bersentuhan. "Aku akan membuatmu berteriak memanggil namaku lagi sepanjang malam ini." ucap Evan dengan suara yang begitu parau, sengaja menggoda Brina.
"Tidak! Lepaskan aku! Dasar pria mesum!" Brina semakin kuat memberontak hingga Evan harus mencengkeram tangan Brina lebih kuat.
"Diam atau aku cium paksa." ancam Evan dan hal itu berhasil membuat Brina langsung terdiam. Evan yang melihat Brina hanya mendengus geli.
Brina akhirnya berhenti bergerak. Nafasnya terlihat tak beraturan seiring dadanya yang naik turun dengan cepat. Evan benar-benar licik dan dia berbalik menggoda Brina. Dia menarik wajahnya agar bisa menatap wajah Brina dengan jelas. Iris mata coklatnya kembali menatap Brina lekat-lekat. Dia meneliti lagi paras cantik Brina yang malah semakin membuatnya terpesona melihat Brina.
"Tidak akan ada ruginya jika kita menikah, Brina. Orang tua kita akan senang dan perusahaan akan bekerja sama dengan baik. Pernikahan kita akan saling menguntungkan, Brina." ucap Evan. Tentunya Evan pun tidak mau menikah dengan cepat tapi seperti apa yang dikatakannya, menikah dengan Brina akan menguntungkan perusahaannya. Mengenai perasaan, itu urusan nanti.
Brina mendengus kesal mendengar penjelasan Evan. "Tidak bagiku. Aku hanya ingin menikah karena rasa cinta. Bukan untuk mengambil keuntungan."
Mendengar jawaban Brina, ekspresi Evan seketika berubah dingin. "Baiklah. Jika memang itu prinsipmu."
"Kamu bisa lepaskan aku sekarang." pinta Brina.
Tanpa membantah, Evan akhirnya melepaskan tangan Brina namun dia tidak melepaskan tatapan matanya dari Brina. Brina duduk di sisi sofa sementara Evan berdiri menatapnya.
"Apa ada hal lain yang ingin kamu sampaikan?" tanya Brina.
Evan mengulurkan tangannya memegang dagu Brina, memaksanya untuk menatap langsung matanya. Dia bisa melihat iris hitam milik Brina sedikit bergetar karena terkejut.
"Ingat kata-kataku, Brina. Aku akan melepaskanmu sekarang. Kamu bisa lari kemana pun." Evan berhenti sejenak sementara Brina hanya diam terpaku. Evan kembali melanjutkan. "Tapi jika aku melihatmu lagi, jangan harap kamu bisa lepas dariku."
***
Pesta ulang tahun Brina yang diadakan oleh Salsa dan Ayahnya sudah selesai sejak satu jam tadi dan saat ini adalah ‘pesta setelah pesta’ di mana hanya Brina dan kedua temannya yang hadir. Hanya pesta perayaan kecil yang biasa Brina dan teman-temannya lakukan jika ada yang berulang tahun atau ada hal istimewa. Mereka biasa memesan kamar hotel lalu merayakan pesta kecil, memesan berbagai makanan dan minuman sambil bertukar hadiah dan saling bercerita.
Brina melampiaskan kekesalannya dengan meminum minuman keras. Entah sudah berapa banyak botol bir dan alkohol lainnya yang dia habiskan. Brina sudah menceritakan semua keluh kesahnya mengenai kencan butanya yang berantakan dan bagaimana Kakaknya, Salsa, yang mengomelinya. Ternyata Salsa mengetahui rencana Brina yang berpura-pura bersikap nakal demi menghancurkan perjodohannya.
“Sepertinya pria itu membuatmu benar-benar kesal.” Ucap Tria sambil menatap Brina simpati.
“Dia dengan licik dan mudahnya berbalik menyerangku. Dia juga bilang bahwa dia tidak akan membatalkan perjodohan ini.”
“Dia bilang apa?!” ucap kedua temannya dengan kompak. Mereka terkejut karena mereka tahu tidak ada satu pun pria yang mau meneruskan perjodohan setelah bertemu Brina dan bagaimana Brina bertingkah seperti wanita nakal untuk membatalkan perjodohan itu.
“Dia sudah tahu semuanya dan dia tetap ingin melanjutkan perjodohan kalian?!” tanya Tria. Tria merasa simpati terhadap Brina terlebih Brina tidak suka dengan perjodohan.
“Entahlah. Itu yang dia katakan bahkan sebelum aku pergi, dia terdengar mengancamku.” Tria dan Kesha menatap Brina dengan fokus. “Ck! Dia pikir dia punya kuasa apa sampai dia bisa mengancamku?! Huh!”
“Apa yang dia katakan?” tanya Kesha.
Brina menggeleng pelan sambil mendengus geli, menyepelekan ancaman Evan yang terakhir diucapkan. “Dia bilang bahwa jika dia melihatku lagi maka jangan harap bisa lepas darinya. Apa maksudnya coba?! Aku tidak pernah berharap untuk bertemu dengannya lagi!” ucap Brina penuh emosi. “Dia menyebalkan, bukan?!”
“Jika dia mengatakan itu, aku rasa dia tahu sesuatu tentangmu, Brina.” Ucap Tria.
Bukannya takut atau terheran-heran, Brina malah tertawa dengan kencang. Kedua temannya menatap Brina dengan bingung. Dia sudah gila karena minuman dan pria licik itu.
“Aku tidak takut. Jika memang aku akan bertemu lagi dengannya, maka aku akan menghajarnya.” Ucap Brina sungguh-sungguh. “Kalian pegang kata-kataku. Aku akan benar-benar menghajarnya. Berani sekali dia melawan Sabrina Davinian!”
Kemudian Brina beranjak dari ranjang lalu berjalan dengan sedikit sempoyongan ke arah pintu.
"Kamu mau kemana, Brina?" tanya Kesha. Kedua temannya pun ikut berdiri saat Brina beranjak dan mereka mengawasi Brina yang seperti akan pergi.
"Aku harus menemui pria itu. Aku harus memberinya pelajaran sekarang. Kebetulan dia menginap juga di hotel ini, jadi aku harus pergi menemuinya sekarang."
Tria bergegas mendekati Brina. "Kamu mabuk. Jika kamu ingin memberinya pelajaran, kamu bisa melakukannya di lain hari. Kondisimu tidak memungkinkan untuk menghajar dia, Brina." cegah Tria. Dia tidak ingin Brina terluka di saat Brina dalam keadaan mabuk.
"Lepas! Aku tidak mabuk." Brina menarik tangannya dari Tria lalu menampilkan senyum lebar sebagai bukti bahwa dirinya tidak mabuk. "Aku akan baik-baik saja. Aku hanya akan menemuinya sebentar lalu segera kembali ke sini." Brina dengan sudah payah memasang sendal hotel. "Aku juga harus mengambil baju gantiku yang tertinggal di kamarnya. Pria itu penyebab aku harus memakai baju ini dan akhirnya Salsa memarahiku." gerutu Brina.
Kesha dan Tria hanya tersenyum. "Besok lagi. Besok kita akan menemanimu untuk mengambil bajunya."
"Tidak! Aku harus membawanya sekarang lalu memberi pelajaran pada pria itu!"
Tanpa menunggu waktu lagi, Brina berlari keluar kamar dan membuat kedua temannya berteriak memanggil namanya dan mengejarnya. Brina masuk ke dalam lift hingga membuat kedua temannya itu tidak sempat mencegahnya.
"Bagaimana ini, Kesha?" tanya Tria cemas.
Kesha menghela nafas. "Kita cukup berdoa saja. Semoga tidak ada sesuatu yang terjadi padanya. Kita juga tidak bisa melakukan apa-apa. Kita tidak akan pernah bisa mencegah Brina."
***
“EVAN!”
Teriakan seorang wanita menggema di sepanjang lorong itu. Dia berdiri di depan pintu kamar bernomor 207 sambil tangannya menggedor pintu kamar itu dengan keras.
“EVAN!! Buka pintunya!”
Dari dalam kamar itu, Evan yang baru saja memejamkan matanya beberapa menit itu terbangun dengan terkejut. Bibirnya berdecak kesal seraya tangannya mengurut bagian pangkal hidungnya. Dia lalu memeriksa ponselnya untuk memeriksa waktu. Waktu menunjukkan pukul dua belas lebih empat puluh lima.
Evan bangun dari posisi tidurnya lalu mengambil posisi duduk. Matanya yang berat menatap ke arah pintu kamar dengan tajam. Suara wanita yang memanggil-manggil namanya terus terdengar disertai dengan suara pintu yang diketuk dengan keras.
Wanita gila mana yang berteriak di waktu tengah malam ini? Dan berani sekali dia meneriakkan namanya?
“EVAN!! Sialan kamu!" teriak wanita itu lagi.
Dia kemudian turun dari ranjang dan dengan segera keluar dari kamar menuju pintu keluar. Teriakan wanita itu semakin kencang dari luar. Evan membuka pintu dan matanya seketika membulat saat melihat sosok wanita yang berdiri di depan kamar hotelnya ini.
“Akhirnya kamu keluar, Evan!” ucap wanita itu setelah berhenti berteriak. Wanita itu berkacak pinggang sambil menatap Evan tajam.
Sementara Evan malah tersenyum miring menatap wanita itu. “Apa kamu sudah merindukanku, Sabrina?”
Brina mendengus sebal lalu tertawa. “Merindukanmu? Dalam mimpimu!” jawab Brina kesal.
Senyum Evan malah semakin lebar. Dia sama sekali tidak menduga Brina akan muncul secepat ini di hadapannya. Dia sudah tahu bahwa dia akan tetap bertemu dengan Brina lagi nantinya, tapi dia tidak menduga akan secepat ini. Dan Brina sendiri yang mendatanginya.
“Permisi.” Dua orang penjaga hotel tiba-tiba muncul.
“Kami mendengar laporan adanya keributan di sini. Apa ada masalah?” ucap salah satu dari kedua penjaga itu.
Evan mengerjapkan matanya dan baru menyadari bahwa orang-orang yang menginap di lantai yang sama sedang berdiri di luar menyaksikan dia dan Brina.
“Syukurlah ada penjaga di sini.” Ucap Brina. “Pak, saya ingin melaporkan adanya anca---“ Sebelum menyelesaikan kalimatnya, Brina sudah ditarik oleh Evan dan dengan segera tangan Evan membungkam mulut Brina.
Evan lalu menatap kedua penjaga hotel itu. “Kami baik-baik saja. Maafkan pacar saya karena sudah membuat keributan.” Kedua penjaga hotel itu mengangguk pelan dan terlihat sedikit ragu. “Kalau begitu kami permisi.” Tanpa basa-basi lagi, Evan segera menarik Brina masuk ke kamar, meninggalkan kebingungan dari kedua petugas itu.
Brina diseret paksa masuk ke dalam kamar dengan mulut yang masih dibungkam oleh Evan. Hal itu membuat Brina terus memberontak di dalam dekapan Evan sambil terus berteriak meski tertahan karena terbungkam oleh tangan Evan.
Evan dengan susah payah berhasil membawa Brina masuk ke ruang tengah kamar hotel lalu melepaskan Brina di atas sofa. Brina yang terbebas dari Evan, segera bangkit dari sofa dan menjauh dari Evan. Tatapan Brina menajam menatap Evan.
“Berani-beraninya kamu menyentuhku!” pekik Brina.
Evan hanya diam lalu duduk di sofa. Iris coklatnya menatap dingin Brina. Dia memperhatikan Brina dengan seksama. Penampilannya terlihat acak-acakan. Brina masih memakai dress yang dipakainya saat kencan buta tadi. Rambutnya yang tergerai rapi sudah tidak rapi. Dia juga hanya memakai sandal hotel.
Evan sempat mencium aroma alkohol tadi dan sepertinya Brina sedikit mabuk. Dia bahkan tidak segan membuat keributan di tengah malam hanya untuk bertemu Evan.
“Ada perlu apa sampai-sampai kamu ingin bertemu denganku tengah malam gini?” tanya Evan dingin.
Brina menarik nafas dalam-dalam. Matanya kini memicing tajam pada Evan. “Aku ingin.. balas dendam padamu, Evan.” Evan memiringkan kepala bingung. “Kamu sudah menghancurkan rencanaku, Evan. Kamu harus membayarnya!”
Sudut bibir Evan segera tertarik. Lebih tepatnya menyeringai. “Aku tidak melakukan apapun.”
“Tidak melakukan apapun?! Haha!” Brina tertawa. “Lalu bagaimana dengan kamu yang sudah melecehkanku dan merendahkanku?!”
“Maksudmu saat kita berdua di sofa ini?” Tunjuk Evan pada sofa. “Kita sedang mengobrol. Lagipula kamu yang pertama mengajakku untuk ke kamar. Kamu yang pertama menggodaku, Brina.” Jawab Evan.
Brina menarik nafas dalam, tak terima atas jawaban Evan. “Kamu juga mengancamku! Tapi aku tidak takut!”
“Mengancam bagaimana?” Evan kemudian berdiri mendekati Brina dengan perlahan. “Mengancam bahwa aku tidak akan melepaskanmu setelah aku bertemu denganmu lagi? Mengancam bahwa kamu tidak akan bisa lepas lagi dariku?”
Brina melipat tangannya di depan. Tatapannya tajam menatap Evan penuh kebencian. “Apa maksudmu bahwa kamu akan menghancurkanku? Memangnya siapa kamu? Kita bahkan tidak saling mengenal. Aku bahkan tidak memiliki rasa penasaran sedikitpun tentangmu. Kamu hanya pria kesekian yang akan aku lupakan. Perjodohan kita hanya percobaan saja karena aku sama sekali tidak berminat untuk menikah. Apalagi menikah denganmu.” Ucap Brina panjang lebar.
Jarak Evan dan Brina kini hanya beberapa langkah saja. Tatapan Evan terhadap Brina begitu dingin dan tak terbaca. Hening beberapa saat setelah penjelasan Brina dan mereka hanya saling bertatapan.
“Aku sungguh-sungguh mengatakan itu.” Ucap Evan. Kakinya mengambil langkah semakin mendekati Brina hingga membuat wanita itu mundur untuk menghindarinya.
Brina semakin tersudut sampai punggungnya menyentuh dinding. Evan dengan ekspresi dinginnya semakin mempersempit jaraknya dengan Brina hingga tubuh mereka saling bersentuhan. Kepala Evan menunduk untuk menatap jelas wajah Brina. Tangan Evan terangkat ke atas, memegang dagu Brina dan memaksanya untuk menatap Evan.
“Aku sudah melepaskanmu seharusnya kamu tidak kembali. Kamu membuang kesempatanmu.”
Terlihat nafas Brina semakin berat. Mata Brina terkunci pada tatapan iris coklat tajam milik Evan. Evan memikat Brina dengan tatapannya, menguncinya agar Brina fokus padanya. Dia menyadari bahwa Brina masih terlihat cantik bahkan ketika make up di wajahnya sudah hilang. Iris coklat hitam itu menatap balik padanya dengan sayu. Evan merasa tenggelam ke dalam mata gelap Brina yang bersinar.
“Aku tidak akan membayar atas segala perbuatanku. Kamu yang seharusnya membayar atas perbuatanmu, Brina.”
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!