NovelToon NovelToon

Menggenggam Takwa

Keranjang Masuk Sungai

Mobil melaju dengan kekuatan sedang, penghuni di dalamnya baru saja pulang dari luar kota. Mereka adalah pak Rahman dan ibu Aulia, yang membawa kedua putri kembarnya di dalam keranjang bayi yang terpisah. Di tengah malam gulita, hanya lampu samar yang menerangi perjalanan karena banyak pepohonan yang menghalangi.

"Shitt...!" Tiba-tiba mobil mengerem mendadak.

Sebuah mobil bertengger di tengah jalan, pria-pria pembawa senjata tajam sudah menunjukkan kesan niatannya yang buruk. Mereka bersandar di mobil, dan mengangkat senjata pistol di udara.

"Turun dari mobil, atau kami pecahkan kaca ini." Salah satu dari mereka berteriak, yang mendekat ke mobil.

Rahman dan Aulia keluar dari mobil dengan kaki bergetar, Aulia terus memegang erat kedua keranjang putrinya yang masih bayi.

"Bugh!" Sebuah pukulan mengenai perut pak Rahman.

Aulia segera berlari sekencang mungkin, lalu dikejar hingga berada di pinggir jembatan. Dia tersudut tidak bisa berlari, karena terkepung di setiap sisi.

"Tolong!" teriak Aulia.

Salah satu dari mereka menarik paksa keranjang bayi, Aulia tidak menyerah dan terus menariknya.

"Oak! Oak!" Bayi-bayi itu terbangun dan menangis, merasakan tubuhnya terombang-ambing.

"Berikan bayi ini!" teriaknya.

Salah satu keranjang bayi ditarik dan Aulia terpental, hingga keranjang bayinya melayang di udara dan terlempar ke sungai.

"Byur!" Bunyi air saat keranjang bayi masuk sungai, lalu terbawa arus deras.

"Liana!" teriak Aulia histeris.

"Jangan bergerak, atau akan kami tembak" teriak para polisi yang tiba-tiba datang.

Mereka angkat tangan, dan meletakkan keranjang bayi itu. Aulia berdiri dan mengambil keranjang bayi tersebut. Mereka ditangkap, diborgol, dan dibawa ke kantor polisi. Rahman menghampiri istrinya itu, dan langsung memeluknya.

"Sayang, kamu tidak apa-apa kan?" tanya Rahman.

"Aku tidak apa-apa sayang. Tapi anak kita Liana terlempar ke dalam sungai." Aulia terisak.

"Ibu tenang saja, nanti kami akan meminta bantuan tim SAR untuk mencari anak Ibu." Sahut salah satu polisi.

"Terima kasih Pak atas kerjasamanya." ucap Rahman.

"Iya Pak, kami permisi dulu." jawabnya, lalu pergi meninggalkan mereka.

"Oak! Oak!" Tangis Liana memecah keheningan.

Seorang wanita paruh baya yang sudah tua sedang berdiri di pinggir sungai, dia sedang mengambil air di tengah malam. Dia adalah janda yang tidak memiliki anak, namanya Inem.

"Seperti suara bayi?" ujar mbok Inem, sembari memperhatikan sekelilingnya.

Dia melihat keranjang bayi tersangkut, di sebuah batu besar. Buaya putih tengah berusaha mendekat ke arahnya.

"Astaghfirullah, aku harus menyelamatkan bayi itu." Mbok Inem segera berlari mengambil bayi, yang ada di dalam keranjang.

Mata mbok Inem berbinar-binar, dia sekarang tidak akan kesepian lagi karena ada bayi itu.

"Siapa yang tega membuang bayi ke sungai?" monolog Mbok Inem, siapa orang yang tega melakukan hal sekejam itu pikirnya.

Mbok Inem melihat kalung bayi itu bersinar di kegelapan, tertulis nama Liana. Tanpa terasa cairan bening mengalir dari kedua matanya, pipinya kini telah basah, akibat tangis yang berjatuhan itu.

"Liana, mbok akan memanggilmu berdasarkan tulisan di kalung mu." Dia tersenyum merekah.

Keesokan harinya, polisi dan tim SAR mencari bayi yang hanyut di sungai itu tapi tidak ditemukan. Aulia histeris saat tim SAR memperlihatkan keranjang bayi.

"Pak, Ibu, apa benar ini keranjang bayi kalian?"

"Iya Pak, ini keranjang bayi kami." jawab Rahman.

"Sepertinya anak kalian dimakan oleh buaya penghuni sungai ini. Menurut keterangan warga sekitar, ada buaya putih di air. Lihatlah keranjang ini, penuh bekas gigitan dan rusak." Pria itu memperlihatkan sisi keranjang, yang dipenuhi gigitan buaya.

"Tidak mungkin, anakku pasti masih hidup." Aulia menangis sejadi-jadinya, dan terjatuh pingsan.

"Aulia sayang, bangun!" Rahman menepuk-nepuk kedua pipinya. Dia segera menggendong Aulia masuk ke dalam mobilnya.

Dirawat Mbok Inem

Beberapa hari kemudian.

"Halo Pak?" ujar orang di seberang telepon."

"Iya, ada apa?" Menjawab setelah telepon tersambung.

"Saya mau melaporkan bahwa hari ini ada meeting mendadak. Saya harap bapak segera ke kantor, karena satu jam lagi kita akan bertemu dengan investor dari luar negeri." jelasnya.

"Baiklah, saya akan segera ke sana."

"Iya Pak." Sambungan telepon terputus.

"Aulia, kamu jangan terus bersedih iya. Aku pergi dulu ke kantor, kamu harus mengikhlaskan kepergian Liana." Mengusap kepala istrinya lembut.

Aulia tampak murung, dia kini tengah menggendong Liani. Matanya sembab karena sudah menangis berhari-hari.

Aulia menyalami tangan Rahman, dan mencium punggung tangannya. Rahman mencium kening Aulia lalu pergi.

"Oek... Oek... Oek..." Liani menangis, membuyarkan lamunan Aulia.

Aulia segera pergi ke dapur, menghampiri bibi Ijah yang tengah memasak. "Bibi, bisa tolong buatkan susu untuk Liani."

"Iya nyonya, saya akan membuatkannya." Bibi Ijah segera mengambil botol kecil, dan memasukkan air hangat ke dalam botol. Sebelum itu, susu bubuk telah dituang ke dalamnya.

"Bibi, kenapa Liana harus pergi secepat ini." Memberikan susu ke mulut Liani.

"Nyonya harus kuat iya, kita memang tidak pernah tahu apa yang akan terjadi pada kehidupan kita. Karena kehidupan ini berjalan sesuai ketentuan yang di atas, bila nyawa kita akan diambil kita tidak bisa menolaknya." jelas bibi Ijah.

Aulia masih terisak, dia seorang ibu yang telah mengandung putrinya itu selama 9 bulan. Sangat wajar jika dia sangat terpukul, dia menyaksikan putrinya pergi untuk selamanya. Padahal putrinya itu baru saja berusia satu bulan, melahirkan dengan mempertaruhkan nyawa.

"Aku akan berusaha ikhlas bibi, terima kasih atas nasehatnya." Aulia menatap pembantu setianya itu.

"Iya nyonya, Bibi hanya bicara seadanya." jawabnya.

5 tahun kemudian.

"Liana, kamu kemana saja? Mbok mencari kamu dari tadi." Mbok Inem setengah berteriak.

Liana segera mendekati mbok Inem yang tengah memarut ubi. "Ada apa Mbok?" tanya Liana.

"Kamu temani Mbok mencari kayu di hutan iya." pinta mbok Inem.

”Kenapa sih, aku terlahir dari keluarga miskin. Aku ingin seperti temanku, mereka bisa jalan-jalan ke mall sepulang sekolah.” batin Liana, dia sedang melamun dan berkhayal tingkat tinggi.

Mbok Inem melambaikan tangannya, di depan wajah Liana. "Kenapa melamun?"

Masih tidak ada jawaban, hanya terlihat wajah Liana yang cemberut. Dia benar-benar ingin menjadi kaya suatu hari nanti.

"Liana!" Panggil mbok Inem dengan kuat, suaranya berhasil membuyarkan lamunan Liana.

"Iya Mbok, ada apa?"

Mbok Inem tersenyum. "Kamu mikirin apa? Ayo kita mencari kayu bakar. Mbok ingin membuat kue, untuk dijual ke pasar." tuturnya.

Liana mengangguk. "Iya Mbok."

Mereka berjalan menuju belakang rumah, di sana banyak pohon-pohon lebat yang tumbuh. Ranting-ranting kecil dari dahan pohon dikumpulkan oleh mbok Inem, seperti itulah kesehariannya. Hingga kini dia tua renta, dia masih melakukan aktivitas melelahkan itu.

"Kamu bawa yang kecil-kecil saja iya Liana, biar Mbok yang membawa Tunggak besar." ujar Mbok Inem.

Liana merasa malas dan terpaksa "Iya." jawabnya singkat.

”Ketika sudah dewasa aku ingin pergi, aku ingin merubah hidupku. Aku benci dengan keadaan ini, kenapa aku harus terlahir sebagai anak Mbok Inem.” batin Liana.

"Tuh 'kan melamun lagi." Mbok Inem geleng-geleng kepala, melihat sikap Liana.

"Liana ingin seperti teman-teman Mbok, mereka asyik bermain dan tidak sepertiku." jawab Liana.

"Maafkan Mbok, yang tidak bisa membahagiakan kamu Nak." Dia merasa sedih, melihat Liana menderita.

Liana membanting setumpuk kayu tersebut. "Mau Mbok minta maaf bagaimana pun juga, kita tidak akan berubah menjadi kaya." jawabnya sambil terisak.

Dikira Selingkuh

1 Tahun Kemudian....

"Mama, Papa, Liani pergi ke sekolah dulu iya." ucap Liani.

"Iya sayang, kamu berangkat bareng dengan Papa saja."

"Iya Ma." Liani menyalami tangan Aulia, lalu mencium punggung tangannya.

Aulia tersenyum, menatap kepergian suami dan anaknya. Mereka berdua mengendarai mobil dengan lirih.

"Shitt...!" Tiba-tiba Rahman mengerem mobilnya.

"Ada apa Pa?" tanya Liani.

"Ponsel Papa ketinggalan, kita pulang ke rumah dulu iya sebentar." ujar Rahman.

"Iya Pa." jawab Liani.

Rahman memutar balik arah tujuannya, mobilnya melaju ke rumah. Rahman terkejut mendapati Aulia tengah bersama seorang pria, di halaman rumah.

Rahman turun dari mobil dan menghampiri Aulia. "Siapa dia?" tanya Rahman.

"Kenalin, saya adalah selingkuhan istri anda." jawab tersenyum, sambil mengulurkan tangan.

"Tidak sayang, itu tidak benar. Tolong percaya padaku." Aulia memohon.

Rahman yang tersulut emosi, langsung memberikan pukulan kepada pria tidak dikenal itu. Pria itu babak belur, dan segera lari tunggang langgang meninggalkan rumah tersebut.

"Dasar istri pengkhianat, kurang apa aku sampai kamu mendua?" Rahman berteriak murka, dan hendak menampar Aulia.

"Papa, jangan tampar Mama!" teriak Liani histeris.

Rahman menghentikan tangannya, yang melayang di udara. "Lebih baik kamu pergi saja dari rumah ini. Aku sudah tidak ingin melihat wajahmu lagi selamanya." Rahman melengos pergi, masuk ke dalam rumah.

"Mama!" Liani memeluk Aulia, dia terisak.

Rahman melempar koper, yang berisi barang-barang Aulia keluar rumah. Aulia langsung mendekati Rahman dan bersimpuh di kakinya.

"Mas, jangan usir aku. Aku minta maaf, telah menemuinya di belakangmu. Tapi dia bukan selingkuhan ku, tolong percaya dan dengarkan penjelasan aku."

"Tidak ada lagi yang perlu dijelaskan, cepat pergi."

"Papa, jangan usir Mama huaa..." pinta Liani, sambil menangis.

"Mas, aku harus melakukan apa supaya kamu memaafkan ku?"

"Sampai kamu mati, baru aku akan memaafkan dirimu." jawab Rahman, dengan rahang mengeras.

Aulia berdiri dan segera berlari, Liani mengejar mamanya sambil menangis.

"Mama, jangan pergi." pintanya.

Aulia berhenti sejenak. "Maafin mama sayang, mama harus pergi."

Bibi Ijah menghampiri Liani dan memeluknya. "Nyonya, jangan pergi iya. Kasian Liani." ucapnya.

"Tidak bisa Bibi, tolong jaga Liani baik-baik iya." Aulia menitipkan Liani ke bibi Ijah.

Di dalam kamar.

"Bibi, mama pergi. Mama meninggalkan aku di sini bersama Papa." Liani masih menangis histeris.

"Sayang, orang dewasa itu terkadang tidak bisa menjelaskan sesuatu kepadamu secara rinci. Yakinlah, mamamu akan kembali jika Allah mengizinkan." Bibi Ijah memeluk Liani.

Liani membenamkan kepalanya di dada bibi Ijah. "Huaa... huaa... Liani tidak ingin mereka berpisah."

"Mereka tidak berpisah, mereka hanya sedang ada sedikit masalah. Kamu tenang saja." ucap bibi Ijah.

"Tapi, Liani sedih melihat Mama diusir dengan Papa." Masih terisak.

"Kamu tidak perlu bersedih atas kepergian mamamu. Lupakan dia, karena dia tidak akan pernah kembali ke rumah ini." Rahman muncul dengan wajah garang.

"Tuan, nona Liani masih terlalu kecil. Jangan memberitahukan hal, yang membuatnya tambah terluka."

"Aku tidak peduli Bibi, lebih baik aku jujur daripada dia terus berharap. Aku akan memaafkan Aulia, jika dia sudah mati." Rahman berteriak, memenuhi seisi ruangan.

Liani bergidik ngeri melihat ekspresi papanya, yang tampak murka. Dia menggigit jari-jarinya, dengan terus terisak.

Telepon Rahman berbunyi. "Halo, apa Pak Rahman ada?" tanya orang di seberang telepon.

"Halo, dengan saya sendiri." jawabnya.

"Pak, kami ada informasi penting. Kami dari pihak kepolisian menemukan mayat istri anda tewas tertabrak truk besar."

"Apa?" Rahman kaget dan ponselnya terjatuh ke lantai.

"Papa, ada apa?" tanya Liani.

"Mama kamu tertabrak mobil truk. Dia sekarang di rumah sakit." jawab Rahman.

"Ayo kita ke sana sekarang Pa." Liani merengek.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!